Pilihan Ibu, Sentuhan Pengasuh

Saya merasa terusik dengan iklan yang belakangan ini muncul di televisi. Produk baru tampaknya, khusus untuk bayi. Baru ada dua versi iklan untuk dua produk berbeda. Satu krim anti-ruam, satu lagi cairan pencuci piring (bisa juga untuk mencuci buah dan sayur). Saya tidak menyoroti soal produknya, melainkan bintang iklannya.

Dalam kedua iklan tersebut, ada dua tokoh orang dewasa, ibu dan pengasuh bayi. Dari mana saya tahu pengasuh? Lewat seragam yang dipakainya, mirip perawat. Nah, di iklan krim anti-ruam, si ibu bertanya (dan terkesan menyalahkan) kepada pengasuh, mengapa di kulit bayinya banyak ruam. Lantas si ibu memberi saran agar si pengasuh menggunakan krim anti-ruam tersebut. Si pengasuh (tentu saja) menampilkan mimik wajah seakan berkata, "Oh, begitu ya, Bu? Saya baru tahu.".

Berikutnya, di iklan cairan pencuci piring, si ibu (orang berbeda) memergoki pengasuh (orang berbeda pula) saat mencuci botol susu bayi. Dia bertanya mengapa busanya banyak. Si pengasuh beralasan busa banyak lebih baik untuk membersihkan botol susu. Seperti bisa ditebak, si ibu menyalahkan pengasuh dan menyodorkan cairan pencuci piring yang aman (food grade). Lagi-lagi si pengasuh bermimik seakan baru tahu. 

Kedua iklan tersebut seperti biasa saja. Toh, di kehidupan sehari-hari kita sering melihat pengasuh bayi dalam keluarga muda, biasanya berseragam dari yayasan penyalurnya. Namun, terlepas dari performa mereka, sesungguhnya untuk urusan iklan, fenomena biasa menjadi punya nilai tersendiri. Bukan semata-mata karena terjadi di dunia nyata, kita bisa memasukkannya sebagai materi iklan. Iklan punya norma sendiri sebab dia ditonton oleh segala jenis pemirsa tanpa pandang bulu. Iklan tidak boleh menyinggung masalah SARA atau menampilkan kekerasan, misalnya. Pemasang iklan hanya bisa mengatur slot waktu tayang saja. 

Dalam hal dua iklan yang tadi saya sebutkan, hadirnya tokoh pengasuh patut untuk dicermati. Apakah peran ibu sudah sedemikian bergesernya dalam pengasuhan anak? Tentu khususnya di kota besar. Meski (mungkin) pembuat iklan ingin menyampaikan bahwa tetap ibulah yang 'tahu' apa yang terbaik bagi buah hatinya, eksekutornya adalah si pengasuh tadi. Apa jadinya jika makin banyak anak Indonesia yang makin jarang disentuh oleh tangan ibu sendiri? Mereka akan lebih mengenal pengasuhnya daripada wanita yang melahirkan mereka. Jangan sampai pengasuh akan lebih disayangi, lebih dirindu, dan lebih dicari saat sakit. Jika demikian, maka penyesalanlah ujungnya. 

Kalau saya ditanya, jika nanti saya memiliki anak, apakah saya akan memakai pengasuh? Jawaban saya, sepertinya tidak. Tidak sanggup bayar juga, hehe.. Sedih hati ini saat melihat bayi/balita yang lengket dengan pengasuhnya, padahal sang ibu berada tak jauh. Mom's there, but she's not there. Hal ini membuat saya bertekad untuk mengurus anak saya nanti dengan tangan saya sendiri. I want to get my hands dirty by taking care of my children. Semoga Allah swt mengizinkan saya untuk itu. 

Kembali ke iklan, meski iklan (komersial) sendiri intinya untuk memasarkan produk dan menarik konsumen untuk membeli, dia juga mengemban peran tersembunyi sebagai agen penyebar dan pembentuk opini, sikap, dan ideologi. Jadilah pemirsa yang cerdas, yang mampu memilah dan memilih informasi yang benar dan baik untuk diserap, kemudian diolah. Untuk para pembuat iklan, rancanglah iklan yang cerdas dan mencerdaskan bangsa. 

Untuk Indonesia jaya!


[Gambar dari sini.]

Post a Comment

0 Comments