Friday, September 21, 2012
Free-heart
Last week, I finally decided to do some room rearrangement. Moved the wardrobe to other side of the room, the bed from left side to right side, thus leaving enough space for placing my computer and books. I stored my clothes in the wardrobe, instead of keeping it inside to luggage as I did all this time. I therefore can store the luggage at the corner, standing compactly. In consequent, all papers, documents, and books had to be removed out. I also bought plastic boxes for food and small things, but not for the papers and books yet.
Actually, how you arrange your house (or even just a room like me) shows how you arrange your life. If your house is a mess, your life is a mess too. Your daily life condition psychologically affects you. Believe me. What are the signs?
If your house in a mess, do you tend to have bad emotions? Do you feel like something heavy is clinging on you? Put some weight on your shoulder? Those are what I meant. Your not 'free'. It's your heart that isn't free.
In Oprah Show, there was an episode of a house full of unnecessary items, piled and cluttered everywhere, at every corner. Even made the family couldn't easily walk inside the house. What a disaster! I was barely able to imagine how it would be like to live in a home like that. The family was already in a point where they felt they need a huge change in their life. So, Oprah sent an expert to help them take out all those clutter. I forgot how many containers they need to pack all those things, but obviously more than one.
The expert then rearranged the family's house. Open spaces replaces the piles. Everything were neatly and properly placed. The result? They felt much more better. A huge burden had been lifted from their shoulders. Their quality of life had been improved.
After they had their new life, Oprah challenged them to see whether they can maintain the tidiness or not. You know, when piling things has already become a habit, it won't last long until you go back doing the same thing again. So, the next year, Oprah's crew revisited the house. Amazingly, the condition was exactly the same as when the crew left it a year ago. It was still neat and tidy! They said, "We don't want to go back to the old time".
That is exactly what I was doing last week: rearrange my room in order to remove all the unnecessary burden from my shoulder. To free my heart. Since I believe it will affect me emotionally, increase my productivity. So, there won't be any more excuse for me to be lazy. Hopefully.
[Image is from here]
[Image is from here]
Friday, September 14, 2012
Point your finger to yourself!
Sebelum kelas dimulai, seperti biasa Pak Bill Watson, dosen mata kuliah Research Methodology, bertanya kepada kami apakah kami sudah membaca koran Pikiran Rakyat hari itu. Seperti biasa pula kami menggelengkan kepala dan membuat Pak Bill (sekali lagi) mengeluhkan betapa malasnya kami. "I can't believe it. Reading the newspaper should be the first thing you do in the morning!", katanya.
Menurutnya, kolom Opini di koran adalah bagian yang paling penting. Hari itu dia membacakan satu opini tentang posisi Indonesia di indeks daya saing global (global competitiveness index). Disebutkan di sana, Indonesia berada pada peringkat 50 dari 144 negara, turun 4 peringkat dari tahun sebelumnya; di bawah Malaysia (25), Brunei Darussalam (28), dan Thailand (38), serta kalah telak dibandingkan Singapura di posisi 2. Indonesia hanya unggul sedikit dari Filipina (65). Miris? Tentu. Namun, bukan Pak Bill namanya kalau tidak memacu mahasiswanya untuk berpikir kritis.
Beliau meminta kami untuk mendiskusikan alasan yang membuat Indonesia berperingkat rendah. Ide bermunculan. Dua poin besar beliau garisbawahi: inefficient bureaucracy dan corruption. Semua orang paham bahwa birokrasi di Indonesia berbelit-belit. Untuk suatu urusan yang mudah, diperlukan waktu yang lama untuk mengurusnya. Teman saya bercerita, di Singapura, pengurusan izin pendirian perusahaan baru hanya butuh 3 hari, sedangkan di Indonesia butuh 60 hari! Selain karena proses belum terintegrasi dalam satu atap, sistemnya itu sendiri belum efisien. Bisa karena tanda tangan yang tidak perlu, berkas terlalu lama mengendap di satu bagian, atau alasan lain.
Bicara tentang korupsi di Indonesia, semua orang juga paham. Paham karena umum terjadi di lingkungan sekitar atau karena pernah menjadi korban. Mungkin paham karena termasuk salah satu pelakunya. Astaghfirullaahal'aziim. Meski sudah bertahun-tahun pemberantasan korupsi digaungkan pemerintah, koq ya masih ada juga? Tanyakan saja pada rumput yang bergoyang. Bagaimana bisa bersih kalau kita menyapu kotoran dengan sapu yang kotor? Jangan juga kita menambah kotor, meski jelas sudah kotor. Setiap kontribusi kita ada yang mencatat. Paham?
Nah, di antara poin-poin yang tersebutkan, ada frase low productivity. Lantas Pak Bill bertanya, "Apa yang menyebabkan produktivitas rendah?". Jawaban seperti rendahnya motivasi (karena jumlah insentif kurang), lambat, primordialisme, etnosentrik keluar dari mulut beberapa dari kami, namun tidak membuat Pak Bill puas. Beliau memberikan petunjuk dengan bertanya lagi, "Apakah pekerja Singapura lebih pintar daripada pekerja Indonesia?". "Tidak", jawab kami. "Apakah pekerja Singapura memiliki kebutuhan yang berbeda dibandingkan pekerja Indonesia?". "Tidak". "Lalu apa yang membuat keduanya berbeda?", tanya beliau sambil setengah berteriak karena gemas melihat kami yang masih saja tidak mampu melihat masalah.
Pak Bill akhirnya meledak. "From all your answers, I can't believe you think everyone is guilty except YOU! You blame the workers. You said they have poor motivation, they are slow. It's not their fault. Low productivity is because of POOR MANAGEMENT. Since you'll become manager, it's YOUR fault. It's the manager's fault, not the workers'. Maybe they want to change, they want to be productive, but they don't know how. If you place Indonesian workers in factory in Singapore, perhaps the productivity is the same."
Sejujurnya, saya merasa tertohok. Dalam. Ketidakmampuan menganalisis masalah membuat kami semua hanya melihat permukaan saja, bukan intinya. Parahnya, itu membuat kami terus menyalahkan orang lain, dalam hal ini para pekerja, kaum buruh. Mereka selalu dalam posisi yang tidak kuat, memiliki daya tawar yang lemah terhadap perusahaan tempat mereka bekerja. Apalagi di saat angka pengangguran tinggi, banyak yang mengincar tempat mereka seandainya mereka keluar. Perusahaan tinggal merekrut pekerja baru. Pilihannya jadi sulit: bertahan dengan upah sesuai UMR atau kehilangan pekerjaan.
Dengan posisi yang lemah itu, kaum buruh juga kerap dijadikan tumbal saat produktivitas rendah. Padahal sebenarnya, kesalahan ada pada buruknya manajemen perusahaan. Tindakan seperti kurang mendengarkan dan menghargai pekerja, luput memberikan pujian dan motivasi, berkata dan bertindak kasar, dan mengeksploitasi pekerja akan berujung pada produktivas yang rendah.
Manajemen yang baik tidak bergantung pada input pekerja. Buktinya, perusahaan sekelas Nike atau GAP berani untuk membangun pabrik di negara Asia, misal Vietnam, India, Cina, atau Indonesia demi mengambil manfaat dari upah buruh yang murah. Toh, kualitas produk yang mereka peroleh sama saja. Mengapa? Karena mereka menerapkan standar dan manajemen seperti di negara asal, Amerika Serikat.
Terakhir Pak Bill menyebutkan tentang buruknya infrastruktur sebagai penyebab rendahnya peringkat Indonesia dalam indeks daya saing global. Di dalam poin ini tercakup pendidikan, transportasi, komunikasi, dll. Orang Jakarta pasti mengerti benar bahwa dibutuhkan setengah hari untuk pergi dari ujung kota yang satu ke ujung yang lain. Suatu kesia-siaan yang terjadi karena buruknya transportasi umum di ibukota.
Saya setuju dengan Pak Bill (juga dengan penulis opini), sambil menyalahkan diri sendiri yang masih belum bisa berpikir dari sudut pandang manajemen. I guess I need more time to adapt.
Subscribe to:
Posts (Atom)