Perkara Cuping Telinga Tak Berlubang

Anting, anting gantung, anting jepit, tindik

Kamu pasti tahu betapa tidak enaknya saat ada secuil makanan terselip di gigi. Kamu memang masih bisa menjalani hidup dengan normal tapi selalu ada yang menggelayuti pikiran. Kamu gatal ingin mengenyahkannya langsung dengan tangan atau dengan bantuan tusuk gigi. Kamu berusaha mencongkelnya sampai tak bersisa sehingga timbul perasaan lega tanpa ganjalan lagi di hati. 

Persis, begitulah hubungan saya dengan lubang di cuping telinga. 

Bagi sebagian orang tua menindik bayi perempuannya merupakan keharusan meski sebenarnya hal ini adalah bagian dari tradisi semata. Dalam agama Islam memang tidak ada larangan untuk menindik dan memakai anting, tetapi bukan juga menjadi tugas orang tua terhadap bayi baru lahir. Apalagi pengkhususan tugas untuk bayi berjenis kelamin tertentu, tidak ada sama sekali. 

Agaknya itulah alasan mengapa ibu memutuskan untuk membiarkan telinga saya apa adanya sejak lahir. Beliau pun mendapat perlakuan yang sama dari ayahnya. Saya tumbuh bahagia tanpa tindik. Tidak ada masalah perihal itu hingga saat saya bersekolah di TK. 

Suatu waktu saya dan teman-teman mengikuti lomba menari di TMII. Saya yang tidak diantar oleh orang tua hanya pasrah saat didandani dengan baju daerah berikut perlengkapannya. Masalah timbul begitu saya harus memakai anting gantung di cuping telinga. Harus ditusukkan di mana? 

Akhirnya demi keseragaman dengan teman-teman lain, anting tersebut ditempelkan ke cuping telinga menggunakan selotip transparan. Jangan tanya bagaimana perasaan saya waktu itu. Sedihnya masih terekam hingga sekarang. Bingung, kecewa bercampur jadi satu. 

Perkara anting ini terus mengganjal setiap saya harus berdandan di kesempatan formal, khususnya saat harus berseragam. Selalu saja timbul masalah karena rupanya tidak bertindik bagi perempuan seperti melawan kewajaran. Bukan sekali dua kali saya menyesali keputusan ibu untuk tidak menindik cuping saya sejak lahir. Namun untuk meminta tindik saya ciut, takut akan rasa sakit saat prosesnya. 

Akhirnya di berbagai acara, anting jepit adalah solusi. Saya tetap bisa memakai anting walau tanpa tindik. Apakah masalahnya selesai? Oh, tidak. Anting jepit memberi tekanan yang kuat terhadap cuping telinga. Akibatnya saya sangat merasa terganggu selama memakainya, bahkan tidak jarang tekanan tersebut menimbulkan sakit kepala. 

Duh, mengapa perihal anting saja membuat hidup saya tidak tenang?

Kemudian semua permasalahan terkait tindik dan anting lenyap tak berbekas seiring dengan datangnya hidayah dari Allah Swt. untuk memakai kerudung saat kelas 1 SMA. Ternyata jalan keluarnya sangat sederhana! Dengan berkerudung saya tidak perlu lagi repot-repot mengkhawatirkan soal anting dan perhiasan lainnya yang menempel di bagian aurat tubuh. Alhamdulillah, betapa syariat Islam sangat memudahkan. 

Selamat tinggal anting jepit!

Lantas berkaca pada pengalaman masa kecil seperti itu, apakah saya menindik cuping anak perempuan saya? Yang menjawab "Ya", sayang sekali kamu salah. Haha .... Saya memilih untuk tidak repot memikirkan tradisi dan menghiraukan keingintahuan orang, sama seperti ibu saya. Beruntungnya sampai sekarang berumur lima tahun, dia tidak mengalami perkara anting dalam hidupnya. Mungkin juga karena saat ini kami berdomisili di luar Indonesia, ya. Tidak ada orang yang mengusik soal itu.

Suami saya bercerita bahwa di suatu negara Skandinavia tempatnya bersekolah dulu keputusan soal tindik-menindik cuping adalah hak anak. Jika anak tidak ingin ditindik, orang tua tidak boleh memaksa. Begitupun sebaliknya. Saking mereka berpegang pada prinsip tidak boleh ada yang melakukan sesuatu terhadap tubuh seseorang tanpa izin yang bersangkutan.

Yah, semoga saja saat nanti kami kembali ke tanah air, hubungan anak saya dengan anting layaknya suasana alam di pegunungan. Damai dan tenang, tanpa berisik yang tidak perlu. 

Post a Comment

0 Comments