Doa di Sepenggalan Ramadan


Ramadan tinggal sepenggalan. Alih alih kendur, justru ikat pinggang dikencangkan. Di malam-malam sepertiga sisa, doa-doa dipanjatkan. Naik ke langit berkejaran. Menembus lapis-lapis, mengetuk pintu sekalian. Berharap Sang Maha berkenan mengabulkan.

Wahai Sang Pemilik Hati,
Engkaulah yang paling mengetahui. 
Saat janji setia terucap, saat itu pula hatiku berharap. Lelaki pujaan akan menjadi suami impian, yang romantis juga puitis. Meski kutahu diri, ia tak akan sesempurna Muhammad yang mulia ataupun Ali yang pemberani.

Hari demi hari, bulan, tahun kulewati tanpa manis ucapan, bait puisi ciptaan, maupun hadiah kejutan. Namun, kecupan, perhatian, dan dukungan rupanya adalah caranya untuk menyatakan. Bahwa aku berarti untuknya. Membuatku merasa dicintainya. Aku adalah belahan jiwanya. 

Tak jarang kami berbeda pandang, walau tak sampai berperang. Wajar, kami hanyalah dua insan yang dengan izin-Mu berpaut berkelindan. Sepenuhnya kami sadar bahwa pernikahan adalah selamanya wahana belajar. Berdamai dengan diri, berpaham bahasa cinta, berkata dengan bijaksana. 

Satu yang pasti, kami menaiki perahu yang sama. Mengarungi lautan dunia menuju keabadian setelah fana. Maka ia nakhoda dan aku juru peta. Berdua menjaga bahtera agar selamat sejahtera. Berkumpul kembali di surga, sebuah cita-cita. 

Di malam-malam sepertiga sisa Ramadan, asa digantungkan, harapan dilambungkan. Pada Sang Maha kusampaikan.

Ya Rabb, jaga selalu suamiku dalam ketaatan kepada-Mu. Teguhkan ia pada jalan Rasul-Mu dan orang-orang beriman sebelum kami. Lembutkan hatinya untuk mudah menerima kebenaran agama-Mu. Mampukan ia untuk menjadi imam dalam keluarga kami. Serta, kumpulkan kami bersama anak keturunan kami di surga-Mu kelak. 

Duhai Sang Pemilik Jiwa,
Engkaulah yang paling mendengar hamba. 
Terimalah doa-doa lirih di malam Ramadan yang tinggal sepenggalan.


Schiedam, 28 Ramadan 1442 H





Post a Comment

2 Comments