Friday, July 30, 2021
Pengganggu Ketenangan Hidup (Bagian 1)
Sepanjang hidup sebelum pertama kali merantau untuk kuliah di Bandung, saya tidak merasa punya hubungan spesial dengan hewan, baik peliharaan—yang tidak pernah saya miliki—maupun bukan. Justru setelah jauh dari rumah, saya jadi memiliki beberapa cerita berkesan terkait makhluk yang satu itu. Tidak ada hubungannya dengan jurusan Biologi yang saya pilih, lo, karena ini murni faktor ketidakberuntungan belaka. Waktu mengalami sih, boro-boro lucu. Yang ada malah perasaan takut, geuleuh, kesal. Namun, kalau diingat-ingat lagi dan diceritakan ke orang lain, kok saya malah tertawa, ya? Hahaha … berarti kejadian itu menghibur, setidaknya buat saya. Penasaran, 'kan? Penasaran, dong! #maksa
Cilukba!
Selama berkuliah di Bandung, saya sempat tiga kali berpindah kos-kosan. Yang paling lama adalah di Jl. Pelesiran yang dekat Jl. Taman Sari. Sekadar informasi, Jl. Pelesiran ini panjang sekali, satu ujungnya ada Jl. Cihampelas, satu lagi di Jl. Taman Sari. Kamar kos saya ada di lantai dua; dindingnya hanya berlubang kecil untuk ventilasi. Untungnya rumah di sebelah kanan tidak bertingkat sehingga kamar saya bisa mendapatkan udara segar dari luar. Malangnya saat hujan, seringkali air masuk melalui lubang, belum ditambah air dari sambungan atap-dinding yang tidak kedap. Alhasil kamar saya sering kebanjiran bila turun hujan deras, apalagi jika terbawa angin kencang.
Dari lubang ini, hewan-hewan kecil juga bisa masuk. Salah satunya adalah musuh bebuyutan saya: kecoak! Jangan tanya bagaimana reaksi saya kalau melihat hewan kecil cokelat bersungut panjang ini. Pasti saya akan berteriak keras, mengambil jarak aman, berharap dia pergi sendiri—yang mana ini hampir mustahil—atau ada orang lain yang melenyapkannya alias memukulnya sampai mati. Intinya, saya antikecoak garis keras!
Sepertinya kecoak punya indera perasa yang tajam. Mereka bisa mengetahui siapa yang termasuk kaum antikecoak ini. Dari semua kamar kos, sepertinya kamar saya yang paling sering disambangi kecoak. Pernah saya menemukan kecoak mati di bawah meja setelah saya tinggal mudik beberapa hari. Pernah juga kecoak melintas di lantai kamar dengan tenangnya. Saat saya berteriak kaget, dia juga ikut kaget dan kabur entah ke mana.
![]() |
Kecoak, si musuh bebuyutan (Sumber: Tartila di freepik.com) |
Puncaknya ada di suatu malam.
Eh, sebelumnya saya mau klarifikasi dulu, nih. Walau biasanya kehadiran kecoak berbanding lurus dengan kejorokan, (asli, suer!) kamar saya rapi dan bersih, lo. Sebagai gambaran, saya selalu merapikan kasur dan melipat selimut di luar waktu tidur. No kasur berantakan. Saya menyapu dan mengepel lantai seminggu sekali (malah saking rajin dan tidak mau ada debu di lantai, saya sapu lagi setelah lantai kering). Saya juga menata setiap barang dengan rapi, tidak banyak barang yang ditaruh di lantai. Namun, tetap saja kecoak lebih senang bertandang ke kamar saya. Bzzzz …. 😪
(Mari lanjut lagi).
Puncaknya ada di suatu malam. Saya sudah sangat mengantuk dan bersiap tidur. Setelah merebahkan diri di atas kasur dan menaruh kepala di bantal, saya menarik selimut sampai ke leher. Tepat saat itu, saya mencium bau aneh, indescribable, tetapi mirip bau sangit. Belum sampai otak ini mencerna sumber baunya, cilukba! Kedua mata saya beradu pandang dengan mata majemuk kecoak yang sedari tadi bersembunyi di dalam selimut, lengkap dengan kedua antenanya yang bergerak-gerak!
Deg.
OMG! Dia dan (muka) saya cuma terpaut satu jengkal! Jantung saya serasa copot, melorot hingga ke lantai.
Spontan saya lempar selimut dan lari ngibrit keluar kamar sambil berteriak, "Aaaaa …! Kecoaaaak!" Teman sekos yang belum tidur pun sampai keluar dari kamarnya, heran melihat air muka pucat saya. Dia berbaik hati menjadi garda terdepan menghadapi si kecoak. Sayangnya, sekalipun dia menyingkap selimut dan mengibas-ngibasnya, si kecoak sudah kabur menyelinap entah di mana, menanti kesempatan bagus untuk kembali menghantui saya.
Hi … hihihihihihi …. 👻
Harakiri
Mahasiswa Kampus Gajah pasti tahu deretan kios penjual makanan di Jl. Gelap Nyawang. Di kantin semi outdoor ini kita bisa merasakan udara sejuk kota Bandung sembari menikmati hidangan yang sudah kita pesan. Kelebihan lainnya, variasi jenis makanan yang bisa kita pilih lebih banyak dengan harga yang masih masuk ke dalam budget mahasiswa seperti saya. Mau ala western? Ada. Mau menu khas daerah? Ada. Mau versi fusion? Ada. Jika kita membuat rotasi menu dalam seminggu, dijamin kita tidak akan bosan.
Favorit saya adalah soto Betawi. Kiosnya berada di dekat warung nasi Padang yang berbatasan dengan kios buku. Biasanya saya memesan isian daging supaya agak bergizi sedikit, meski tetap saja lebih berlimpah kuah daripada dagingnya. Yah, namanya juga harga mahasiswa; ada harga, ada rupa, lah.
Siang itu saya makan di sana sendiri. Seingat saya suasananya tidak begitu ramai, mungkin karena bukan tepat jam istirahat siang. Saya baru memulai makan. Seporsi nasi pun masih terbilang utuh. Tak lama seekor lalat terbang di sekitar saya. Nah, ini salah satu poin minus konsep kantin setengah terbuka: hewan tak diundang (terutama lalat dan kucing) bebas berseliweran selama kita makan. Kalau sedang beruntung, mereka bisa ikut mengisi perut berkat kebaikan—dalam arti sebenarnya atau bertanda petik—pengunjung kantin.
![]() |
Lalat, si pengintai makanan (Sumber: brgfx di freepik.com) |
Saya yang sedang khusyuk makan tidak menepis kehadiran si lalat karena jelas-jelas dia tidak (atau belum) mengincar makanan saya. Posisinya masih agak tinggi dari piring nasi dan mangkok soto. Kecuekan saya berbicara, Ah, mungkin dia hanya numpang lewat, biarin aja. Ternyata adegan selanjutnya akan menjadi sebuah tragedi besar dalam sejarah persotoan saya.
Lalat tersebut berhenti terbang … tepat … di atas mangkok soto Betawi saya! Aaaaak!
(Kaget).
(Untungnya tidak sampai pingsan).
(Cuma sempat berhenti napas sedetik dua detik).
Dia memilih untuk harakiri dengan menjatuhkan diri di dalam kubangan kuah soto. Apakah saya dianggap musuh bebuyutan olehnya? Padahal saya sama sekali tidak menghalaunya dengan kibasan tangan.
Oh, lalat, kau tega sekali! Soto itu baru mulai aku nikmati; kau nodai dengan tubuhmu yang terkulai mati.
Setelah berhasil menarik napas dan menguasai diri kembali, saya lalu berpikir logis (ala mahasiswa Kampus Gajah, dong #kibasjilbab). Mau saya apakan soto itu? Kalau saya buang, sayang banget, kan masih banyak isinya. Saya juga ogah rugi kalau harus membeli makanan baru. Akhirnya saya membuat keputusan fenomenal berpedoman hadis Rasulullah (ya Allah, alhamdulillah waktu itu saya ingat), yakni mencelupkan kedua sayap plus seluruh badan lalat ke dalam kuah. Tuh, lalat, sekalian basah semua. Setelahnya, saya buang bangkainya, lalu melanjutkan makan sambil berharap tidak muntah di tengah-tengah. Untungnya rasa kuah soto masih sama, bukan rasa lalat.
Huek …! 🤢
***
Sebenarnya masih ada cerita seru lain terkait hewan-hewan pengganggu ketenangan hidup saya, tetapi nanti, deh. Saya simpan dulu untuk Bagian 2. Aheeey ….
Semoga dua cerita (yang mudah-mudahan) lucu saya tadi dapat menjadi setitik pereda ketegangan dan kecemasan teman-teman di tengah situasi pandemi yang tidak menentu ini, ya. Setidaknya begitu tujuan pemilihan tema Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan ini. Tetap jaga kesehatan fisik dan mental. Semoga kita bisa bersama-sama melewati terpaan badai bernama pandemi Covid-19 ini. Amin.
Saturday, July 10, 2021
Akhirnya Aku Divaksin!
Surat yang kami tunggu selama ini--tanpa kepastian akan waktunya--akhirnya tiba pada bulan Juni lalu. Di masa pandemi seperti ini surat tersebut seperti titik terang yang menerobos masuk melalui celah-celah jendela yang tertutup rapat. Isinya, kami sudah bisa mendaftarkan diri untuk divaksin! Di Belanda sistemnya satu pintu alias hanya lembaga pemerintah terkait (GGD) yang bisa menyediakan vaksin. Untuk mendapatkan jatah pun masyarakat harus menunggu undangan karena diurutkan menurut faktor risiko dan usia. Untuk yang tidak punya komorbid apa-apa dan termasuk "angkatan muda" ya, mau tidak mau ada di antrian bontot, seperti kami ini. Maka dari itu, waktu menerima surat "cinta" dari GGD, kami antusias. Rasanya bagai pucuk dicinta ulam tiba. Sebelas dua belas, lah, dengan perasaan saat dulu menerima surat dari calon suami (ta'aruf yes, pacaran no, dong 😉).
Meski bukan jaminan kita akan kebal dari infeksi makhluk tak kasat bernama virus Covid-19, setidaknya kita sudah memiliki zat kekebalan tubuh terhadapnya. Bismillah, vaksin adalah salah satu bentuk ikhtiar kita dalam menghadapi pandemi yang belum jelas ujungnya ini. Kalaupun karena takdir Allah kita terkena, mudah-mudahan akibatnya tidak terlalu parah. Ingat saja bahwa Allah menilai usaha kita, bukan hasilnya.
Perjalanan menuju vaksinasi
Kembali lagi ke undangan vaksin. Kami mendaftar lewat tautan yang diberikan. Setelah mengisi daftar pertanyaan, kami diminta untuk memilih tanggal dan lokasi vaksin. Dari tiga pilihan, saya memilih hari Rabu, 7 Juli di Schiedam dan suami hari Senin, 5 Juli di Vlaardingen. Kok, beda? Iya, karena kami hanya boleh masuk sendiri, tidak boleh membawa rombongan lenong bocah ke dalam ruangan. Jadilah kami memutuskan untuk memilih waktu yang berbeda.
Soal nama vaksin, baik di undangan maupun di situs pendaftaran, tidak disebutkan. Yang tertera hanya jenis vaksin, yakni vaksin mRNA dengan dua kemungkinan merek. Kepastian apakah kita akan mendapat vaksin Pfizer atau Moderna baru bisa kami dapatkan di hari H. "... tergantung ketersediaan," katanya. Sekadar info Belanda menggunakan empat macam vaksin menurut situs RIVM. Dua di antaranya adalah vaksin mRNA (Pfizer dan Moderna) dan dua yang lain adalah vaksin vektor (AstraZeneca dan Janssen).
Tak banyak cerita yang kami dapat dari teman-teman di sini soal efek samping vaksin. Ya … memang kami tidak kepo, sih. 😜 Satu teman meriang selama tiga hari setelah divaksin sedangkan yang satu lagi mengantuk selama dua hari. Namun, ada juga yang hanya pegal di bagian bekas suntik. Semoga nanti kami kebagian yang terakhir, deh. Amin.
Mendekati hari vaksinasi aku merasa cemas tidak jelas. Sedikit, sih … mungkin karena vaksin terakhirku adalah waktu SD dan aku hampir pingsan setelahnya--bukan karena vaksin, melainkan karena perut yang tidak terisi penuh--dan harus berdiam sementara di ruang UKS ditemani segelas teh manis hangat dan bau minyak gosok. Untungnya pengalaman suami yang divaksin dua hari sebelumku sedikit banyak memberikan gambaran tentang pelaksanaan di lapangan. Katanya, "Enggak kerasa. Kayaknya karena jarumnya tipis banget, deh. Kayak jarum akupuntur." Oke sip, tidak sakit, seperti akupuntur. I can bear it then, menyakinkan diriku sendiri. Bagi suami efek sampingnya pegal di sekitar bagian bekas suntik sejak sore hingga keesokan harinya. Itu saja. Semoga aku juga begitu, tanpa tambahan yang lain. Amin.
Hari Vaksinasi
Saat tiba di area parkir mobil di lokasi vaksinasi, aku baru ingat sesuatu. Aku lupa membawa masker! Astagfirullah. Padahal itu adalah poin pertama yang harus dibawa selain kartu identitas, lembar pertanyaan tentang riwayat kesehatan, dan surat/SMS undangan. Biasanya selalu ada masker di dalam tas andalanku, tetapi kali itu aku memakai tas lain yang lebih kecil dengan alasan hanya perlu membawa ponsel, kartu dompet, dan kunci rumah. Tas itu aku pakai saat menjemput anak-anak di sekolah sehingga tidak ada masker cadangan di sana. Untuk pulang lagi rasanya sulit (dan malas) karena jarak dari rumah lumayan jauh, 3 km. "Ah, semoga ada masker gratis di pintu masuk", harapku.
Hanya ada banner kuning-merah berbentuk pilar bertuliskan "Ingang Vaccineren" yang menandakan pintu masuk ke dalam gelanggang olahraga yang disulap menjadi lokasi vaksinasi masal di Schiedam. Kami mengantri untuk masuk satu persatu. Tidak perlu menunggu lama karena antriannya mengalir cepat.
![]() |
Pintu masuk ke lokasi vaksinasi |
Aku langsung memakai cairan disinfektan yang tersedia di pintu masuk dan mengambil masker gratis. Sayangnya aku sempat kesulitan memakai masker tipe earloop tersebut (yang memakai kerudung pasti paham, deh). Huff … salah sendiri enggak teliti, gerutuku dalam hati.
Begitu masuk, setiap orang akan diminta untuk menyiapkan kartu identitas, lembar pertanyaan, dan surat/SMS undangan--iya, lembaga di Belanda masih menggunakan SMS untuk mengingatkan janji yang kita punya--, lalu menuju ke meja registrasi awal. Di sana petugas meminta kartu asuransi untuk menuliskan nomor BSN, yakni nomor layanan warga untuk terhubung ke pemerintah, misalnya untuk layanan kesehatan dan pajak.
Berikutnya aku mengikuti arahan untuk mengantri di dekat petugas yang akan mengarahkan kami ke loket registrasi. Di loket ini, aku menyerahkan kartu identitas, kartu asuransi, dan lembar pertanyaan. Petugas lantas mengecek di layar komputer dan tidak butuh waktu lama, aku sudah menerima kartu registrasi vaksin dan lembar pertanyaan baru yang harus dibawa saat vaksinasi kedua bulan depan.
Setelah itu, aku tinggal menunggu arahan petugas untuk menuju ke kamar yang kosong. Sepertinya aku hanya perlu menghitung sampai angka lima, saking cepatnya, sampai petugas menyuruhku masuk ke kamar nomor dua. Seorang petugas wanita menyambutku dan meminta semua dokumen yang aku bawa. Setelah memverifikasi data dengan menanyakan tanggal lahir, dia memintaku untuk menaikkan lengan baju karena suntikan akan diberikan di lengan bagian atas. Kemudian, cuss … sebatang jarum suntik menembus kulit dan ototku. Ini sih kerasa, sambil meringis dan menertawakan diri sendiri, emangnya kamu berharap definisi enggak sakit tuh kayak gimana, Mut? batinku.
Selesai divaksin kami diarahkan untuk duduk di bangku berwarna abu-abu di area tunggu dekat pintu keluar. Sekitar lima belas menit aku duduk di sana, berjaga-jaga seandainya aku merasa pusing setelah divaksin. Waktu ini lebih lama daripada total waktu mulai dari pintu masuk sampai akhirnya aku selesai divaksin. Kalau dihitung kira-kira hanya sepuluh menit. Menurutku kelancaran dan kecepatan proses ini gabungan dari banyak faktor: kecukupan jumlah dan kesigapan petugas, kesiapan dan kecepatan dalam mengakses data, kecukupan jumlah vaksin, dan tentu ketertiban masyarakat. Yang penting juga, dan menjadi hulu dari semuanya, adalah sistem pendaftaran dan penyediaan vaksin satu pintu berbasis data penduduk yang lengkap dan jelas.
Sayangnya semua proses di dalam ruangan tidak boleh direkam, baik dengan foto maupun video. Hmm … mungkin bisa saja curi-curi waktu duduk di kursi abu-abu itu, tetapi yang namanya mencuri itu tidak benar, 'kan? 😉 Semoga ceritaku di atas cukup menggambarkan, ya.
Oh iya, sejam dua jam setelah divaksin aku masih merasakan kulitku perih, lalu berganti dengan pegal di bagian bekas suntik hingga ke seluruh lengan kiri. Rasanya sakit bila digerakkan terlalu banyak. Pegal ini berlangsung sampai keesokan harinya. Hari ini, hari kedua setelah vaksin, rasa pegal sudah hilang. Selain itu, tidak ada efek samping lain. Alhamdulillah.
Walaupun sudah divaksin, bukan berarti kita boleh lengah, lo. Apalagi prokes di Belanda sudah semakin longgar. Tetap pakai masker, cuci tangan, jaga jarak, jauhi kerumunan, dan kurangi mobilitas dan interaksi. Semoga Allah Swt. segera mengangkat pandemi Covid-19 ini dari muka bumi. Amin.
Until next shot, then!
__________
Catatan: Setelah pelonggaran tanggal 26 Juni, kasus positif di Belanda melonjak tajam, padahal liburan musim panas belum dimulai. Langsung pada party-party, sih. Ada kemungkinan kebijakan tersebut akan ditinjau ulang dan berujung pada pengetatan kembali. Kita tunggu saja kelanjutannya.