Pepaya, Mangga, Pisang, Jambu

 


Kemarin baru saja kami sekeluarga berkunjung ke kebun binatang di Rotterdam. Sebagian besar binatang di sana dikelompokkan berdasarkan asalnya sehingga kita serasa sedang berjalan-jalan dari satu benua ke benua lain. Selain zona Asia, Afrika, Amerika Utara, dan Amerika Selatan, ada juga zona Oceanium khusus untuk binatang air. 

Di zona Amerika Selatan, kami masuk ke dalam area khusus bernama Amazonia. Di sini sengaja dibuat tertutup agar kondisi udara (suhu dan kelembapan) bisa diatur mendekati keadaan asli di Amazon. Begitu masuk ke dalam, nyess ... saya langsung merasakan seperti sedang di hutan Indonesia! Panas dan lembap. Saya jadi teringat zaman kuliah lapangan ke hutan dulu. Kelembapan udaranya bisa sampai di atas 95% karena keberadaan kanopi hutan. 

Vegetasi yang ditanam di area ini tentu adalah tanaman tropis, rumah bagi kupu-kupu yang bebas terbang berkeliaran di dalam area. Selagi menyusuri trek, saya menangkap tulisan di satu papan informasi. Pepaya. Wah, akhirnya ada nama yang akrab di telinga! Langsung saya panggil Milie, "Milie, ada pepaya!" sambil menunjuk ke arah pohonnya. 

"Mana?" 

"Itu!"

Dia menengok papan informasi … dan segera berlalu. Rupanya dia tidak setertarik dan seheboh saya. Haha …. Wajar sih, selama di Belanda hanya sekali dua kali saya melihat pepaya. Itu pun di pasar pekanan, bukan di supermarket. Meskipun langka, saya ogah mengeluarkan 3 euro untuknya. Jadilah kamus buah-buahan tropis di rumah kami sebatas pisang, mangga, dan alpukat. Itu pun hanya satu varian. Oh iya, juga nangka kupas beku! Haha ….

Ah, saya jadi rindu makan beraneka ragam buah di Indonesia. Sebut saja duku, salak, sawo, lengkeng, rambutan, manggis, durian, sukun, jambu, cempedak, nangka, siwalan, belimbing, dan (tentunya) pepaya. Bahkan ada yang belum pernah saya cicipi, seperti kesemek dan matoa. 

Pepaya, mangga, pisang, jambu

Dibawa dari Pasar Minggu

Di sana banyak penjualnya

Di kota banyak pembelinya 

Tampak pantas jika saya bilang Indonesia adalah surga buah. Bagaimana tidak, dari satu jenis buah ada berbagai varian, misalnya pisang. Di Indonesia kita mengenal pisang Ambon, pisang raja, pisang mas, pisang susu, pisang kepok, pisang tanduk, pisang Lembang. Masing-masing dengan ciri khas dan peruntukan yang berbeda. Di Belanda, adanya ya ... pisang yang itu, serupa pisang Ambon, dan pisang masak, mirip pisang tanduk. Itu pun impor. Anak-anak pencinta pisang seperti anak kami pasti jatuh hati jika mereka tahu sebenarnya ada berbagai macam pisang yang lebih enak daripada pisang yang biasa mereka makan.

Keragaman buah tentu tidak terlepas dari keanekaragaman hayati Indonesia. Di lingkup terestrial, Indonesia ada di peringkat kedua negara dengan keanekaragaman hayati terbesar! Ini adalah hadiah dari Tuhan untuk Indonesia yang terletak di garis khatulistiwa, beriklim tropis dengan curah hujan tinggi. 

Sayangnya, keragaman buah di Indonesia terancam oleh serbuan buah impor yang lebih fancy. Sepertinya orang-orang merasa naik kelas saat membeli/memakan buah impor. Selain itu, ada juga jenis buah yang semakin langka di pasaran, mungkin karena sulit dibudidayakan. Tambahan masalah datang dari pengelolaan pascapanen yang belum baik. Harga buah lokal jatuh saat musim panen, tetapi meroket di luar itu. Akibatnya, buah lokal semakin kehilangan konsumennya. 

Melalui tulisan ini saya mengajak teman-teman untuk mengutamakan buah lokal untuk konsumsi sehari-hari. Apalagi jika dikaitkan dengan jejak karbon, wah, pembahasannya akan menjadi panjang lebar. Manfaat memilih buah lokal tidak hanya untuk kesehatan tubuh, tetapi juga kesehatan kantong, terutama saat musimnya tiba. Setuju, 'kan? 

Sebagai penutup, saya ingin bercerita tentang supervisor saya dulu waktu kuliah di Jepang. Saat beliau tahu saya akan mudik ke Indonesia, beliau meminta saya untuk membawa … kelapa! Ha? Ternyata beliau penasaran dengan bentuk buah kelapa. Saya sampai menggambar di kertas, lengkap dengan penampang melintang dan nama bagian-bagiannya. Haha …. Unik, ya? Seketika saya merasa beruntung lahir dan besar di Indonesia. Apakah saya mengabulkan permintaannya? Tentu saja tidak. Hehe ….


Post a Comment

0 Comments