Thursday, September 30, 2021

Bahas Bahasa



Kekayaan suku dan bahasa di Indonesia menyebabkan besar kemungkinan orang Indonesia tumbuh sebagai bilingual, trilingual, bahkan poliglot. Coba saja. Kita pasti bisa bahasa Indonesia—kalau tidak, kamu pasti sudah bingung sejak awal membaca paragraf ini. Kemudian, tidak jarang kita bisa berbahasa daerah, baik daerah asal orang tua maupun daerah tempat kita tinggal. Belum lagi bahasa Inggris yang kita pelajari di sekolah (dan di tempat les). Belakangan ini makin banyak sekolah di kota besar juga mengajarkan bahasa Mandarin kepada siswanya. Di samping itu, ada juga sekolah menengah atas yang menyediakan pelajaran bahasa asing lain, selain bahasa Inggris. Itu semua belum ditambah pendidikan nonformal di luar sekolah. Hebat, bukan?

Setiap orang pasti memiliki pengalaman menarik terkait bahasa. Karena itulah, komunitas Mamah Gajah Ngeblog (MGN) mengambil tema “Pengalaman Berbahasa Seumur Hidup” untuk Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan ini. Mau tahu cerita saya? Yuk, lanjutkan baca sampai akhir. 


Saat saya muda

Waktu kecil saya hanya bilingual: bahasa Indonesia dan Inggris. Meski sedikit mengerti bahasa Jawa (daerah asal ayah), saya tidak pernah punya keberanian untuk membalas, apalagi memulai percakapan. Alasannya tentu karena saya tidak mengerti pembagian kelas bahasa. Salah-salah nanti saya dipecat jadi cucu (bukan menantu seperti cerita Teh Dewi, seorang mamah gajah juga). 

Hubungan yang lebih payah terjadi antara saya dengan bahasa Aceh, daerah asal ibu. Kosa kata saya hanya seputar nama masakan—sayur pli’, timphan, pulut (eh, malah jadi lapar)—sebab itu yang penting saat pertemuan keluarga. Oh ya, satu lagi: eiu yang berarti “mau air kelapa” (e = mau, i = air, dan u = kelapa)—hasil pengajaran bahasa Aceh yang gagal oleh Nyakwa (uak). Karenanya, saya merasa sama sekali tidak layak untuk menghitung bahasa Jawa, terlebih bahasa Aceh sebagai bahasa yang saya kuasai. 

Di jenjang pendidikan menengah ada pelajaran bahasa Arab di sekolah saya. Walau sudah belajar selama enam tahun, saya harus mengakui tidak banyak yang membekas hingga sekarang. Kenapa, ya? Mungkin karena selain tidak dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari, pada dasarnya bahasa Arab itu, masyaallah, susah! Misalnya, untuk perubahan kata benda tunggal menjadi jamak, setidaknya ada tiga pola yang harus dipelajari. Dua pola merujuk pada jenis kata bendanya, maskulin atau feminin. Yang terakhir kurang lebih disebut "tak beraturan" karena tidak memiliki pola umum. Tentu ini lompatan besar dari bahasa Indonesia yang tinggal mengulang kata benda tunggal untuk membuatnya jadi jamak, juga dari bahasa Inggris yang tinggal menambahkan huruf "s" di akhir kata benda.

Indonesia memiliki 718 bahasa daerah! (Sumber: cafeberita)

Saat saya dewasa muda

Setidaknya sampai saya lulus kuliah sarjana dan melanjutkan proyek penelitian di kampus, saya merasa puas dengan bahasa Indonesia dan Inggris saja. Keduanya bisa membuat saya bertahan hidup di Kota Kembang selama lima tahun. Meski cukup lama tinggal di tanah Sunda, toh kemampuan berbahasa Sunda saya tidak serta-merta terdongkrak. Kata-kata andalan saya adalah punten, hatur nuhun, dan tentu saja, kiri payun, A! Selain itu, saya menyerap frase-frase ajaib, seperti ti payun (dari depan) saat teman saya permisi pulang duluan dan bade ka cai (mau ke air) untuk mengekspresikan hasrat buang hajat. 

Buat apa belajar bahasa Sunda kalau penghuni kampus gajah berasal dari antero nusantara?, pikir saya waktu itu. Apalagi dengan makin ramainya wisatawan lokal dari Jakarta yang memadati Bandung setiap akhir pekan, saya makin merasa tidak perlu bisa bahasa Sunda. Yang mengaku orang Bandung pun menggunakan “gua” dan “elu”—salah satu gegar budaya bagi saya yang biasa menggunakan “gue” dan “lo” di Jakarta—lengkap dengan nada khas orang Sunda. 

Eh, ternyata prinsip tersebut salah besar, Saudara sekalian. Bertahun-tahun kemudian kemampuan bahasa Sunda saya diuji karena … suami saya orang Sunda tulen! Ha-ha-ha. Duh, saya tersiksa setiap hadir di pertemuan keluarga suami. Kalau situasi itu adalah adegan komik, pasti ada ikon “R” di atas kepala saya sebagai tanda “Roaming”. Karena itu, mau tidak mau, demi alasan kekeluargaan, saya terpaksa sedikit-sedikit mengerti bahasa Sunda. Mungkin suatu saat nanti—jika ada dorongan keberanian yang lebih besar—saya akan mulai bercakap-cakap dalam bahasa Sunda. Mari kumpulkan keberanian!


Saat saya dewasa akhir

Awal mula

Saya merasa petualangan berbahasa saya justru dimulai saat saya belajar bahasa Jepang dalam rangka persiapan tes beasiswa. Memang tidak ada keharusan bisa bahasa Jepang sebagai salah satu syarat, tetapi saya mengambil inisiatif, berharap akan mendapat nilai plus karenanya. Bahasa Jepang menantang karena hurufnya bukan huruf Latin, melainkan hiragana, katakana, dan kanji. Ibaratnya, usaha yang saya berikan harus dikali dua agar bisa membaca dan menulis, selain mengerti tata bahasanya. 

Huruf hiragana dan katakana (Sumber: situs Kedutaan Besar Jepang di Indonesia)

Di hari ujian, saya dengan pede menjawab soal-soal yang diberikan. Ternyata kalau sama sekali buta bahasa Jepang, peserta ujian boleh meninggalkan ruangan setelah sepuluh atau lima belas menit—saya lupa persisnya—dengan kertas ujian yang masih kosong. Ujian bahasa Jepang tersebut berfungsi untuk menentukan kategori kelas bahasa Jepang di universitas tujuan nanti jika dinyatakan lulus. Tahu begitu, kan …. 

Alhamdulillah saya menginjakkan kaki di Jepang pada awal April 2009. Masa-masa itu merupakan salah satu pengalaman paling bersejarah dalam hidup saya karena untuk pertama kalinya saya pergi ke luar negeri. Sendiri pula, eh, maksud saya tanpa didampingi orang tua karena saya berangkat bersama 74 orang penerima beasiswa lainnya. 

Profesor saya yang terlalu yakin saya pasti bisa hanya memberikan alamat universitas dan nomor ruangan beliau. Pastinya beliau belum pernah ke Indonesia. Kalau sudah pernah, pasti beliau mempertimbangkan kebingungan saya saat harus membeli tiket kereta di mesin tiket. Bagaimana saya bisa sampai ke tempat tujuan jika tidak mengerti cara naik kereta dari bandara ke kota? Perlu dicatat, semuanya memakai tulisan Jepang. Waktu itu masih jarang tulisan Latin, apalagi bahasa Inggris digunakan di ruang publik. 

Untungnya teman seperjalanan saya dijemput oleh mahasiswa suruhan profesornya. Akhirnya kami bertiga (saya, teman satu lab orang Malaysia, dan teman dari Indonesia) dengan selamat tiba di kota tujuan. Berkat bantuan mahasiswa itu pula, kami bisa naik taksi dari stasiun ke universitas. Setidaknya adegan menarik koper melewati jalan licin bekas salju mencair tidak perlu terjadi.


Makin mahir

Saya belajar bahasa Jepang selama enam bulan pertama, sebelum perkuliahan dimulai, dan memutuskan untuk melanjutkannya hingga lulus magister dua tahun kemudian. Dari yang awalnya belajar hiragana dan katakana, saya naik tingkat belajar kanji. Saya ikut kelas tata bahasa dan percakapan. Selain itu, saya menjajal kemampuan dengan mengikuti ujian bahasa Jepang (JLPT) sampai dua kali, N3 dan N2, dan dua-duanya lulus! Sepertinya ada keajaiban sehingga saya bisa lulus N2 sebab banyak huruf kanji yang saya tidak tahu di bagian reading comprehension. Saya juga seperti alien di tengah peserta ujian yang mayoritas orang Cina. Jangankan yang berkerudung, yang wajah asing non-Cina saja bisa dihitung dengan jari.

Dengan kemampuan bahasa Jepang yang lumayan, saya mulai bisa berinteraksi dengan penduduk lokal di kehidupan sehari-hari, mulai bisa berpikir dalam bahasa Jepang, dan yang lebih penting, mulai bisa mengerti percakapan tokoh-tokoh dalam dorama! Rasanya seperti keluar dari gelembung yang selama ini melingkupi dan membatasi saya dari dunia luar.

Menulis dalam bahasa Jepang (Sumber: freepik.com)

Ada satu cerita menarik. Suatu malam saya sedang berjalan di dekat pertokoan. Saya lupa waktu itu ingin bertanya apa sampai saya menghentikan seorang pemuda yang kebetulan berpapasan. Belum juga saya membuka mulut, dia sudah menyilangkan kedua tangan di depan dadanya, sambil berkata. “Eigo DAME!” (English no good). Dia langsung ngeloyor pergi meninggalkan saya yang syok mendapati reaksi seperti itu. Hih, begitu amat. Padahal kan, saya hendak bertanya dalam bahasa Jepang. #cie #kibasjilbab

Sejak peristiwa itu saya makin sadar betapa orang Jepang secara umum (waktu itu) bisa dibilang antibahasa Inggris. Perkiraan saya, hal ini terkait dengan pelafalan kata bahasa Inggris yang sulit untuk lidah orang Jepang—sehingga membuat mereka kurang percaya diri. Bahasa Jepang tidak mengenal huruf “l” dan huruf mati, kecuali “n”. Karena itu, kata-kata bahasa Inggris yang diserap ke dalam bahasa Jepang seringkali membuat kita mengulas senyum. Misalnya, computer menjadi kon(m)pyu-ta, taxi menjadi takushi, dan ice cream menjadi aisukurimu

Sekarang coba tebak supermarket menjadi apa? Jawabannya adalah su-pa. Kok, bisa? Iya, karena terlalu panjang, orang Jepang senang menyingkat kata. Yang termasuk singkatan adalah eakon(g) untuk air conditioner dan depa-to untuk department store. Menarik, ya? 

Tidak hanya berbicara, kemampuan berbahasa Jepang saya sudah mencapai tingkat menulis pos blog (receh). Ya, walau hanya dua dan singkat-singkat, pos tentang hinamatsuri termasuk pos populer, lo. Entah karena apa. Pengetahuan saya tentang SEO masih jalan di tempat, nih. He-he-he.


Saat saya dewasa (lebih dari) akhir

Masih tentang bahasa Jepang

Kemampuan bahasa Jepang saya tidak hilang walau sudah pulang ke Indonesia, kembali lagi ke Jepang dua tahun kemudian (pos "ひな祭り" ditulis dalam periode ini) selama satu tahun, bahkan sampai detik ini. 

Tulisan nihon-go alias bahasa Jepang (Sumber: japanesestation.com)

Kadang kata-kata bahasa Jepang masih muncul di dalam kepala saya saat hendak merespon sesuatu. Meski terhitung sudah hampir empat tahun berada di Belanda, justru kata sumimasen lebih dulu ada di ujung lidah dibandingkan pardon yang berarti "permisi" dalam bahasa Belanda. Begitu pula ungkapan-ungkapan lain, seperti chigau yo saat ingin menegasikan perbuatan orang lain, dame (da) yo saat ingin melarang, atau wakarimashita/wakatta saat ingin menyatakan bahwa saya mengerti. 

Meski begitu tentu karena sudah tidak aktif memakainya, kemampuan berbicara saya menurun drastis. Suatu waktu saya bertemu orang Jepang di museum di Leiden. Awalnya dia bertanya asal saya, mungkin karena melihat wajah Asia saya. Saya sudah tahu sebelumnya bahwa dia orang Jepang dari percakapan dengan suaminya. Terdorong perasaan bersemangat saya mengatakan saya pernah tinggal di Jepang. Bisa ditebak, berikutnya dia mulai mengobrol dalam bahasa Jepang. Saya—walau mengerti yang dia katakan—kesulitan untuk meresponnya. I was searching for the right words, but it seemed they were buried somewhere beneath piles of memories in my head. Gemas banget, deh. Akhirnya saya kembali menjawab dengan bahasa Inggris. Wakwaw



Saat ini

Bagaimana dengan bahasa Belanda? Harusnya juga sudah mahir, dong. Percayalah, anak saya yang masih 5,5 tahun lebih fasih berbahasa Belanda daripada saya. Kalau mau diukur, kemampuan berbahasa Belanda masih level bayi baru lahir. Saya belajar kosa kata ya dari buku bacaan anak-anak. Sehari-hari setidaknya saya bisa menyapa goedemorgen/goiemorgen (selamat pagi), goedemiddag (selamat siang), dan goedeavond (selamat malam), selain tiga mantera bedankt/dank je wel (terima kasih), alstublieft (tolong), dan sorry (maaf). 

Penyerapan banyak kosa kata bahasa Indonesia dari bahasa Belanda membuat saya tidak merasa begitu asing dengan bahasa ini. Sebut saja gratis, korting, bon, parkir, telat, pernis, peron, sepur, dll. Hal ini wajar mengingat sejarah panjang bangsa Belanda di Indonesia. (Simak pengalaman Teh Deani, mamah gajah yang juga tinggal di Belanda).

Kesibukan sebagai ibu rumah tangga dengan tiga anak kecil membuat saya kesulitan untuk belajar bahasa Belanda di tempat kursus. Apalagi dengan pandemi setahun kemarin, praktis tidak ada yang mengadakan kursus luring. Untuk belajar mandiri secara daring, saya baru mencoba Duolingo dan merasa lebih sreg belajar langsung dari guru. 

Konon begini cara belajar bahasa Belanda (Sumber: dutch101.com)


Namun, alasan yang lebih mendasar adalah kemampuan bahasa Inggris orang Belanda yang keren—walau ini tidak sepenuhnya berlaku untuk orang-orang tua. Biasanya saya meminta mereka untuk mengulang perkataan dalam bahasa Inggris sambil meminta maaf dan beralasan saya tidak bisa bahasa Belanda. Mereka lantas akan berbicara dalam bahasa Inggris dengan jelas dan lancar! Perlu diketahui, dalam bahasa Belanda, huruf "g" dilafalkan "kh" seperti huruf "kha" dalam bahasa Arab, tetapi saat berbicara bahasa Inggris pelafalan mereka ikut berubah menjadi "g" layaknya dalam "gajah". Entah bagaimana pengajaran bahasa Inggris di sekolah—anak-anak baru belajar bahasa Inggris di SD kelas akhir—sampai orang Belanda bisa fasih bilingual seperti itu. 

Dengan masa tinggal saya di sini yang kurang dari satu tahun lagi, saya makin tidak bersemangat untuk belajar bahasa Belanda. Kecuali jika takdir Allah Swt. berkata lain, saya bisa bermukim lebih lama di sini, mungkin (mungkin, lo, ya) saya akan belajar bahasa Belanda dengan serius. Untuk saat ini, alles is goed


Penutup 

Menurut saya ungkapan “Kuasai bahasa, kuasai dunia” benar adanya sebab dengan makin banyak bahasa yang kita kuasai, makin besar peluang kita untuk berkomunikasi dengan orang asing dan mempelajari hal-hal baru. Namun demikian, jangan sampai kita lupa untuk berbahasa Indonesia. 

Saya yakin banyak di antara kita yang kerap abai dengan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Baik sesuai konteks dan benar sesuai kaidah kebahasaan. Kita sering beralasan. “Ah, yang penting orang lain mengerti,” padahal struktur kalimat yang diucapkan berantakan. “Kamu mau lihat apa?” dan “Apa yang mau kamu lihat?” bermaksud sama dan diterjemahkan sama ke dalam bahasa Inggris oleh Google Translate, “What do you want to see?” Sebenarnya dari dua, hanya satu yang benar. Kamu tahu yang mana? 

Karena bahasa ibu kita adalah bahasa Indonesia, sudah semestinya kita memberikan perhatian lebih. Bukan hanya sekadar menggunakannya sebagai alat komunikasi sehari-hari, tetapi juga mempelajari kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar serta menerapkannya dalam komunikasi lisan ataupun tulisan. Mengutip slogan Kemendikbud yang selalu disampaikan Ivan Lanin, seorang pakar bahasa Indonesia, di setiap akhir kelasnya, mari kita “Utamakan bahasa Indonesia, lestarikan bahasa daerah, kuasai bahasa asing.” 

Jadi, selamat mengakrabkan diri dengan KBBI dan PUEBI, ya! Ssst ... ada aplikasinya juga, lo!


Catatan:

Untuk yang belum tahu Ivan Lanin, cuss langsung follow akun Instagram dan Twitter @narabahasa atau buka situs www.narabahasa.id


Tuesday, September 28, 2021

Hoaks dan Melek Literasi Digital


Seiring dengan makin berkembangnya media digital dan terbukanya arus informasi pascareformasi 1998, kita mengenal istilah baru: hoaks. Sederhananya, hoaks adalah informasi bohong. Entah apa motif yang mendasari pembuat hoaks. Kemungkinannya mulai dari iseng belaka, hingga agenda tersembunyi ala intelejen untuk mengganggu kedamaian dan memecah persatuan--baginya kalau tidak ribut, tidak seru. Apalagi jika kita mengingat masa kampanye Pemilu Presiden yang lalu. Wah, segala macam informasi berseliweran di ruang-ruang obrolan grup, linimasa media sosial, juga portal berita daring, tanpa kita tahu kebenarannya. 

Sebagai penerima informasi, seringkali kita sulit untuk membedakan mana hoaks dan bukan. Banyak juga yang mudah percaya dan merasa penting untuk meneruskannya kepada orang lain. Terutama jika ada redaksi semacam ini di bagian akhir, "Jika Anda merasa informasi ini bermanfaat, bagikan kepada orang terdekat yang Anda cintai," (sounds familiar?). Saya jamin batin kita bergejolak, bimbang--meski sedikit--dalam menentukan apakah akan mengikuti perintah atau tidak. Lebih menyeramkan lagi saat ada embel-embel, "Kalau tidak, Anda akan sial." Duh!


Sebenarnya salah satu trik untuk mengetahui kebenaran suatu informasi adalah dengan mengecek keterangan sumber yang seharusnya tertera. Kalau tidak ada atau tidak jelas sumbernya, kita tidak perlu membuang energi, bahkan untuk membacanya. Trik lain adalah dengan mengetik nama-nama yang biasanya menjadi sumber rujukan informasi di mesin pencari. Apakah yang bersangkutan bukan fiktif dan benar berkompeten di bidang yang dimaksud? Kita juga bisa membuka situs https://turnbackhoax.id/ atau menggunakan aplikasi Awas Hoax untuk mengecek kebenaran suatu berita. 


Melek literasi digital 

Kemampuan untuk memahami informasi yang diberikan media, baik secara implisit ataupun eksplisit adalah salah satu prinsip literasi digital. Menurut Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, literasi digital adalah kecakapan menggunakan media digital dengan beretika dan bertanggung jawab untuk memperoleh informasi dan berkomunikasi. 


Dalam buku Peran Literasi Digital di Masa Pandemik (2021) (dikutip oleh kompas.com), Devri Suherdi menjabarkan pengertian kecakapan, yakni kemampuan untuk menemukan, mengerjakan, mengevaluasi, menggunakan, membuat serta memanfaatkannya dengan bijak, cerdas, cermat serta tepat sesuai kegunaannya. Oleh karenanya, keterampilan mengoperasikan media digital saja tidak cukup untuk dikatakan melek literasi digital. Perlu perangkat lunak bernama etika dan tanggung jawab yang turut menyertainya.  


Dalam menyikapi tantangan literasi digital berupa arus informasi yang banyak, kita dituntut untuk bijak. Sifat kritis dalam mencari, menemukan, memilah serta memahami informasi yang benar dan tepat menjadi hal yang krusial. Mau tidak mau kita mengedepankan sifat skeptis sebagai filter pertama saat menerima informasi baru. Sifat kritis juga membantu kita untuk membedakan konten positif dari negatif. Konten negatif yang berisi isu pornografi, SARA, dll adalah tantangan literasi digital yang lain. 


Penutup

Pesatnya perkembangan media digital--terutama di masa pandemi, saat semua aktifitas bergantung pada media digital--memang satu hal yang patut disyukuri. Pertukaran informasi bisa terjadi dalam hitungan detik saja. Kejadian di satu belahan dunia akan segera diketahui orang di belahan dunia lain tanpa perlu menunggu tajuk berita di koran esok pagi. Artinya, dunia bergerak sangat dinamis. Namun, konsekuensinya kita harus senantiasa mengasah sifat kritis agar tidak mudah hanyut oleh arus informasi yang banyak (dan sebagian di antaranya menipu alias hoaks). 


Jadi, siapkah kita untuk melek literasi digital?

Tuesday, September 21, 2021

Mengenalkan Alam, Memupuk Literasi Sains

Di dalam konsep Pendidikan Berbasis Fitrah--saya belum menyebut diri praktisi sebab baru menerapkan sedikit saja--titik tekan untuk anak usia 0-6 tahun adalah menumbuhkan fitrah keimanan. Di rentang usia ini anak harus sebanyak mungkin dikenalkan dengan Allah Swt. sebagai Rabb (pencipta) dan dibuat kagum dengan Tuhannya. 

Bagaimana caranya? Salah satunya adalah dengan mendekatkannya dengan alam. Mengutip kata Ilma Dina dari Hannah Indonesia, alam adalah works of Allah, sedangkan Al-Qur'an adalah words of Allah. Anak-anak belajar mengenal keagungan Allah Swt. melalui hasil ciptaan-Nya, yakni segala sesuatu yang ada di alam semesta ini. Anak belajar membaca alam, mengenali tanda-tanda alam, serta mengagumi keindahan dan keunikan alam. Semuanya bertujuan untuk menumbuhkan keimanan kepada Allah Swt. 


Bukanlah kebetulan jika hal tersebut sejalan dengan upaya yang sedang digaungkan pemerintah melalui Gerakan Literasi Nasional. Menurut OECD (2016), literasi sains--satu di antara enam jenis literasi yang harus dikuasai anak--berarti pengetahuan dan kecakapan ilmiah untuk mampu mengidentifikasi pertanyaan, memperoleh pengetahuan baru, menjelaskan fenomena ilmiah, serta mengambil simpulan berdasar fakta, memahami karakteristik sains, kesadaran bagaimana sains dan teknologi membentuk lingkungan alam, intelektual, dan budaya, serta kemauan untuk terlibat dan peduli terhadap isu-isu yang terkait sains. Dengan  mendekatkan anak dengan alam untuk menumbuhkan fitrah keimanan, sesungguhnya kita juga sedang memupuk literasi sains pada anak usia dini. 


Tentunya karena subjeknya adalah anak-anak, pendekatan yang diambil haruslah yang menarik dan menyenangkan. Yang paling mudah adalah mengajak mereka untuk langsung bersentuhan dengan alam. Siapa guru yang lebih baik kalau bukan alam itu sendiri? Tidak perlu jauh-jauh. Kita bisa mulai dari halaman depan atau belakang rumah, teras, bahkan dari selembar kapas basah untuk menaruh butiran kacang hijau. Jika ingin melangkah lebih jauh, kita bisa melakukan kegiatan trekking (penjelajahan alam) seperti yang kami lakukan akhir pekan lalu bersama rombongan Ikatan Alumni ITB Belanda. 


Di era digital--apalagi pandemi--sekarang ini, upaya mengenalkan alam dapat dilakukan juga melalui kelas virtual. Saya merekomendasikan kelas dari @terangkids yang diadakan setiap hari Sabtu sore WIB. Waktunya yang ramah dengan waktu Eropa membuat kami bisa mengikuti kelasnya. Setiap tema dibawakan dengan cara yang menarik. Apalagi sang pembawa acara senantiasa mengembalikan semua kekaguman terhadap alam dan isinya kepada Allah Swt.


Seseru apapun kelas virtual ataupun video yang kita bisa tonton di YouTube, jangan lupakan buku sebagai sumber ilmu yang utama, ya. Apalagi sekarang banyak buku pengenalan sains untuk anak usia prasekolah yang disertai dengan ilustrasi menarik. Orang tua juga bisa ikut belajar bersama anak. Jangan-jangan keduanya sama-sama belum tahu (eh, itu sih saya). 


Bagi sesama orang tua, selamat menstimulasi literasi sains sejak dini! Niscaya fitrah keimanan akan ikut tumbuh jika kita selalu menghubungkannya dengan Allah Swt. Sang Maha Pencipta. Ibarat pepatah "sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui", ya, kan?

Tuesday, September 14, 2021

Tidak Sekadar Bisa Matematika


Siapa yang sewaktu kecil dulu menghafal perkalian dengan bantuan poster tabel perkalian yang ditempel di dinding? Tos dulu, ah. Saya merasa dulu menghafal tanpa mengerti konsepnya. Tidak ada yang benar-benar mengajarkan perbedaan 1x3 dan 3x1. Yang penting hasilnya sama: 3. Apa jadinya jika kita meminum tiga butir obat dalam sekali telan, padahal aturan di kemasannya ialah satu butir, tiga kali sehari? Bisa-bisa kita kelebihan dosis. Gawat, kan? 

Begitu juga untuk pembagian sederhana, pokoknya hafalkan dulu. Setelah hafal, barulah kita belajar cara pembagian menggunakan kurung. Deretan angka kita tuliskan sampai bertingkat-tingkat--tidak mau kalah dengan perkalian puluhan atau ratusan yang juga berlapis tersusun ke bawah. 

Apakah ada yang salah dengan pembelajaran matematika dasar kita dulu? Di sekolah kita terlalu terpaku dengan angka-angka, soal, dan cara penyelesaiannya seperti yang ada di buku teks. Semuanya ada di atas kertas, bukan di dunia nyata. Jangan heran kita bingung saat melihat resep dalam cc sedangkan skala gelas ukur kita dalam ml. Seberapa banyak kita harus menuang? 

Saya tidak mengetahui seperti apa pengajaran matematika dasar sekarang ini. Semoga saja sudah lebih baik, alias nyata diterapkan di dalam kehidupan sehari-hari. Bagaimanapun apa fungsinya mengerti penyelesaian soal matematika kalau tidak berguna untuk memecahkan masalah praktis dalam konteks kehidupan sehari-hari? Bukankah itu yang dimaksud dengan literasi numerasi? 

Menurut Gerakan Literasi Nasional yang dicanangkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 2017, literasi numerasi adalah bagian dari matematika. Karena sifatnya yang praktis, literasi numerasi juga mencakup bidang lain di luar mata pelajaran matematika. Sebagai contoh, literasi numerasi diterapkan untuk membuat grafik perubahan suhu saat pemanasan air di mata pelajaran IPA, diagram kue profil demografi penduduk di mata pelajaran IPS, atau tabel pemasukan dan pengeluaran di mata pelajaran ekonomi. Semuanya tentu membutuhkan dasar matematika. Karena itu, seharusnya siswa tidak lagi menganggap pelajaran matematika sebagai momok. Wong, untuk menghitung uang saja perlu kemampuan matematika.  

Jika kita melihat hasil penilaian Programme of International Student Assessment (PISA) 2018 untuk kemampuan matematika siswa di pendidikan menengah, Indonesia menempati urutan 72 dari 78 negara. Skornya rendah sekali, yakni 379, di bawah rata-rata 489. Yang lebih menyedihkan, skor tersebut hampir sama dengan skor yang diperoleh 18 tahun sebelumnya. Artinya, dalam kurun waktu hampir 20 tahun--catat, 20 tahun!--tidak ada peningkatan berarti perihal kemampuan matematika. Bagaimana dengan kemampuan baca tulis dan sains? Sami mawon alias sama saja. Wajar karena ketiganya membutuhkan logika berpikir yang baik dan nalar yang terasah.

Dengan literasi numerasi--juga berlaku untuk literasi di bidang lain--yang baik, kualitas hidup seseorang akan meningkat. Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) menyebutkan kemampuan numeral yang bagus melindungi seseorang dari pengangguran, penghasilan rendah, dan kesehatan buruk. Bagaimana tidak? Mulai dari kehidupan sehari-hari di rumah ataupun di pekerjaan, hingga kehidupan bermasyarakat dan bernegara membutuhkan literasi numerasi. Ibaratnya, mulai dari urusan dapur hingga urusan pemilu terkait dengan kemampuan numeral. Belum lagi yang beken saat pandemi: data berupa grafik pasien positif dan meninggal karena Covid-19. Sekarang kita bisa berasumsi bahwa orang yang masih abai dengan Covid-19 itu mungkin adalah termasuk yang berkemampuan numeral rendah!

Melalui tulisan ini saya mengajak pembaca sekalian untuk bersama mendukung Gerakan Literasi Nasional. Berbicara dari sudut pandang orang tua, upaya kita dapat berupa penyediaan bahan bacaan terkait kemampuan numeral. Jangan hanya dipajang, tetapi juga dibaca, ya! Selain itu kita dapat mulai memasukkan unsur literasi numerasi selama membersamai anak. Banyak hal yang bisa dilakukan, misal berhitung sederhana untuk anak usia dini, menimbang dan mengukur bahan masakan, membandingkan berat dan panjang benda, memperkirakan jarak tempuh, dll. 

Semoga dengan menyemai literasi numerasi dan literasi lainnya sejak kecil, anak-anak kita menjadi generasi masa depan Indonesia yang gemilang. Bisa jadi mereka menjadi penyumbang skor tinggi dalam tes PISA kelak. Mungkin saja, kan? 


Sumber:

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2017. Materi Pendukung Literasi Numerasi, Gerakan Literasi Nasional, diakses tanggal 12 September 2021.


Tuesday, September 7, 2021

Aku dan Literasi

 


Hubungan kami bermula dari lembaran-lembaran majalah anak-anak yang menemani masa kecilku. Rasa penasaran membuatku menjelajahi lembah dan gunung huruf-huruf, menelusuri setiap rangkaiannya, hingga akhirnya aku fasih memaknai kalimat demi kalimat. Oh, jangan tanya bagaimana caranya. Aku hanya seorang anak kecil yang tidak sabar menunggu orang dewasa membacakan cerita dari majalah kesukaanku. 

Hubungan kami berlanjut semakin serius saat aku menggandrungi kisah Lima Sekawan: Julian, Dick, Anne, Georgina, dan Timmy si anjing. Aku lupa dari mana asal mulanya, tetapi yang jelas aku membawa pulang semua buku koleksi sepupu yang berusia lima belas tahun lebih tua dariku dan melahap setiap halaman yang sudah menguning. 

Tidak hanya Lima Sekawan, berkat sepupuku itu aku juga mengenal Sapta Siaga dan ... Lupus! Mulai dari Lupus, Lupus ABG, Lupus Kecil, Olga, Vanya, Lulu, Vladd, sampai Luyut bertengger di rak bukuku. Aku merawatnya dengan kasih. Tidak boleh ada lipatan, coretan, apalagi robekan. Pernah suatu waktu, seorang tetangga sebaya meminjam satu bukuku. Saat dia kembalikan, buku itu sudah … ah, buruk rupa. Ada bekas lipatan di sampul depan, sudut buku pun aus. Langsung kuboikot dia dari daftar peminjam bukuku. 

Makin besar, hubungan kami menemukan bentuk yang baru. Aku banyak membaca majalah Annida. Darinya aku mengenal penulis-penulis wanita dengan karya-karyanya yang bernafas Islam. Helvy Tiana Rosa, Asma Nadia, dan Afifah Afra adalah tiga di antaranya. Koleksiku ikut beralih menjadi novel atau kumpulan cerpen Islami. 

Di bangku kuliah hubungan kami kembali mengeja makna, tetapi yang jelas makin kaya. Saat cenderung menekuni literatur ilmiah, aku mendapatkan pandangan baru tentang dunia--bahwa pemikiran. pengetahuan, serta penemuan seharusnya dituliskan sebagai sumbangsih kita untuk kemajuan peradaban dan sebagai bentuk syukur kita atas nikmat akal pikiran. 

Di seputaran waktu yang sama, seorang dosen bercerita tentang sebuah novel yang sarat nilai antropologi sebagaimana mata kuliah yang diampunya. Tak lama kemudian, novel ini menjadi best seller dan disebut-sebut sebagai novel fenomenal. Beberapa sekuel terbit setelahnya. Ada yang bisa menebak? Aku beri petunjuk: nama salah satu tokoh utamanya adalah Ikal. Berkat dosen tersebut aku merasa beruntung menjadi pembaca generasi pertama--kalaupun ada istilah demikian. 

Selepas itu, hubungan kami naik turun hingga hari ini. Hubungan kami benar-benar bertransformasi seiring pilihanku untuk ketiga anak kecilku dan kini, pilihan mereka sendiri. Kemudian koleksiku berganti menjadi buku karton, buku kata-kata pertama, buku cerita bergambar, sampai buku lift-the-flap. Di manakah pilihan untuk diriku sendiri? Ada, kok, hanya menunggu waktu yang tepat untuk disentuh lagi. 

Ah, bagaimanapun hubunganku dan literasi, seberapa pernah eratnya kami hingga kini dengan rupa yang baru, kami tidak pernah benar-benar berpisah. Buktinya? Ya, tulisan yang sedang kamu baca ini.