Sunday, October 31, 2021
Berkomunitas di Tanah Rantau
Kenapa repot mencari definisi? Karena pada kenyataannya, di era digital seperti sekarang komunitas tidak lagi dibatasi oleh wilayah fisik. Kita bisa bergabung di satu komunitas tanpa kesamaan wilayah tempat tinggal, kecuali jika pengertian wilayah sudah sedemikian meluas hingga ke seluruh daratan yang ada di peta. Pengertian komunitas pun bergeser menjadi “kelompok sosial atau sekumpulan orang yang memiliki ketertarikan yang sama” saja, tanpa tambahan “habitat yang sama”.
Tidak hanya itu, perkembangan teknologi juga memungkinkan anggota komunitas untuk hanya berkumpul di ruang virtual, tanpa perlu bertemu fisik. Malah sering kita merasa sangat akrab dengan seseorang padahal hanya mengetahui nama, belum pernah bertemu muka. Syukur jika dia memasang foto profil di Whatsapp. Jika tidak, ya kita hanya bisa menduga dan bermain imajinasi belaka. Saya pernah terkecoh saat mendengarkan rekaman video seorang teman. Suaranya berbeda dengan yang saya bayangkan sebelumnya. Sampai-sampai saya sulit untuk mengubah imajinasi saya sendiri. Aneh, ya?
Kedua poin di atas dimiliki oleh komunitas ITB Motherhood, Mamah Gajah Bercerita, dan Mamah Gajah Ngeblog. Anggotanya tersebar di seluruh dunia dan berbasis grup Facebook atau Whatsapp. Meski demikian, bukan berarti komunitas ini tidak solid, lo. Saya pernah menuangkannya dalam sebuah tulisan. Namun, kali ini saya ingin bercerita tentang komunitas lain yang juga saya cintai, yang justru terbentuk karena kesamaan wilayah tempat tinggal, sesuai pengertian awal tentang “komunitas”.
Keluarga Muslim Delft (KMD) dan Simpul Muslimah Delft
![]() |
Akun Instagram KMD |
![]() |
Acara Salam Delft dihadiri warga KMD. (Sumber: Facebook KMD) |
Tentu semua kegiatan dilaksanakan secara luring sebelum pandemi menyerang. Selama pandemi, kegiatan yang tidak bisa dialihkan ke format daring jadi ditiadakan. Kan sulit bakar-bakaran virtual. Hehehe …. Salat Idulfitri pun diganti menjadi halalbihalal online. Padahal sebelumnya hari raya adalah momen akbar untuk berkumpul. Bukan hanya warga KMD, lo, beberapa muslim dari negara lain turut bergabung untuk salat. Rasa bahagia bercampur dengan haru setiap kali salat hari raya tiba. Bisa mengagungkan nama Allah bersama-sama menjadi suatu kemewahan di negara minoritas muslim seperti Belanda.
![]() |
Acara makan bersama setelah kajian selesai. (Sumber: Facebook KMD) |
Berbekal kebiasaan ini, sudah tiga tahun Simpul Muslimah mengadakan kegiatan berbagi takjil Ramadan yang diberi nama KMD Berbagi. Tidak hanya soal masak, Simpul Muslimah juga memenuhi kebutuhan ibu-ibu dalam mencari ilmu dengan mengadakan tahsin muslimah, kajian khusus akhwat, dan yang paling baru, Instagram live. Selain itu Simpul Muslimah juga menyelenggarakan TPA Tulip dan kegiatan Ramadan untuk anak-anak.
![]() |
Saya berpartisipasi dalam lomba pantun KMD. Sayangnya kurang banyak yang like jadi 'nggak menang, deh. Hehehe .... (Sumber: Instagram KMD) |
Grup liqo muslimah
لَا يَقْعُدُ قَوْمٌ يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا حَفَّتْهُمُ الْمَلَائِكَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَنَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِينَةُ وَذَكَرَهُمُ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ
Tidaklah suatu kaum duduk berdzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala kecuali akan dinaungi oleh para Malaikat, diliputi rahmat dan akan turun kepada mereka ketenangan. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan mereka di hadapan para makhluk-Nya yang ada di sisi-Nya.
Tentu saja selama pandemi, pengajian lesehan berubah menjadi pertemuan daring. Ini memungkinkan teman yang sudah kembali ke Indonesia (dan yang kemudian pindah ke negara Eropa lain) masih bisa bergabung. Rupanya di balik segala kesulitan yang ditimbulkan oleh pandemi, ada hikmah tersembunyi bagi sebagian orang.
![]() |
Sesi tadabur ayat menggunakan salindia presentasi |
Yang namanya pengajian, pasti ada makanan. Semangat berbagi sebagaimana di KMD/Simpul Muslimah juga dibawa ke sini. Biasanya masing-masing membawa kudapan atau buah sebagai pengganjal perut sebelum menyantap hidangan makan siang yang disiapkan oleh tuan rumah. Terus terang sistem ini baru untuk saya karena selama di Indonesia, umumnya tamu tinggal datang membawa diri, baik itu di pengajian, acara keluarga, maupun arisan. Tuan rumah menyediakan semua makanan--dan dia juga yang akan bersih-bersih setelah tamu pulang!
Seperti juga kegiatan Salam Delft yang mulai diadakan secara luring, di bulan November ini kami akan kembali bertemu di darat. Meski masih uji coba (sekali luring dan sekali daring), saya sangat menantikan pertemuan tatap muka. Ah, rasanya rindu sekali bisa cipika cipiki, salam, dan bercengkerama dengan para sahabat setelah satu setengah tahun absen. Memang interaksi langsung tak tergantikan, ya.
Rumaisa Sabiila
![]() |
Akun Instagram Rumaisa Sabiila |
![]() |
Kanal YouTube Rumaisa Sabiila |
Di kepengurusan tahun ini saya bergabung di tim media dan dakwah. Walau tidak jauh-jauh dari menyunting dan membuat tulisan, saya ikut belajar soal desain, copywriting, serta social media engagement juga, lo. Ternyata makin diulik, makin seru! Semoga apa yang dipos di media sosial Rumaisa bermanfaat bagi para muslimah di mana pun berada. Langsung follow dan subscribe, ya! #iklanlewat
Penutup
Lantas, dari mana rasa cinta terhadap komunitas muncul? Juga menurut beliau, ini adalah buah dari cara berpikir: kita yang memerlukan komunitas untuk bertumbuh, meningkatkan kualitas peran sebagai perempuan, istri, dan ibu, bukan sebaliknya. Dengan demikian, kita mulai mencintai yang kita perlukan (komunitas) dengan rasa cinta tanpa pamrih, tanpa alasan, tanpa "tapi".
Rasa cinta terhadap KMD/Simpul Muslimah Delft, grup liqo muslimah, dan Rumaisa Sabiila inilah yang membuat saya menuliskannya untuk Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan ini tentang "Komunitas yang Aku Cintai". Kalau kamu bagaimana? Komunitas apa yang kamu cintai?
Thursday, October 21, 2021
Mencapai Ketahanan Pangan melalui Bank Makanan
Bank makanan di Belanda
Bank makanan dan ketahanan pangan Indonesia
Penutup
Dalam Islam, Allah Swt. akan membalas sekecil apa pun kebaikan yang kita lakukan meski misalnya, hanya sebagai supir armada distribusi paket dari bank makanan atau sesimpel menyumbangkan uang hasil jualan seperti KMD. Karena itu, jangan pernah berpikir apa yang kerjakan itu tidak berarti dalam upaya mencapai ketahanan pangan Indonesia.
Teruslah menjadi pelaku kebaikan apa pun bentuknya, di mana pun berada. Tebarkan kebaikan dan ajak orang lain untuk sama-sama berbuat baik. Bagaimanapun kebaikan yang terhimpun akan lebih berdampak dibandingkan yang sendirian. Setuju, kan?
Monday, October 11, 2021
Sop Ayam Favorit
Saya pernah menulis panjang lebar (tentu berbau curcol) tentang peran sebagai koki rumahan setelah merantau ke Belanda. Di rumah, saya memiliki empat pelanggan tetap. Yang satu seringkali tidak saya hitung suaranya karena baginya sehambar apa pun hasil masakan saya—untungnya level asinnya lebih rendah daripada saya—tetap ia santap. Tiga pelanggan lain inilah penentu keberhasilan masakan saya.
Dari tiga, dua pelanggan relatif mudah menyesuaikan sehingga tersisa satu pelanggan yang sesungguhnya mendominasi suara. Meski mau mencoba yang terhidang di meja makan, tak jarang ia enggan, bahkan menolak. Karena itu, saya cenderung mengikuti permintaan dan kesukaannya. Alasannya tentu agar ia mau menghabiskan porsi makanannya. Untungnya di usia menjelang enam tahun ini, ia sudah bisa meminta dengan jelas menu yang ia inginkan, tidak jauh dari makanan berkuah. Memang kuah itu sahabat anak-anak, ya.
Ada tiga yang menjadi favoritnya akhir-akhir ini, yaitu mi rebus, sup ayam, dan cream soup. Ketiganya teramat mudah dibuat. Sepertinya ia tahu mamanya gampang lelah jika memasak resep yang rumit atau berbumbu banyak. He-he-he.
Untuk resep mi rebus, sepertinya tidak perlu saya tulis di sini karena bumbu yang saya gunakan adalah bumbu mi instan (saya tidak antivetsin, gunakan secukupnya saja), kaldu sayuran blok (yang ini tanpa vetsin), atau kalaupun meracik sendiri, komposisinya hanya bawang merah, bawang putih, dan kemiri yang dihaluskan.
Membuat sup ayam juga sama mudahnya, sampai-sampai saya malu untuk menuliskannya menjadi sebuah resep. Walaupun begitu, sup ayam tersebut selalu sukses meningkatkan selera makan tiga pelanggan kecil di rumah. Selain menyegarkan kerongkongan, kuahnya yang hangat juga membuat perut nyaman. Tak heran sup ayam seringkali menjadi pilihan makanan bagi orang yang sedang sakit.
Kurang lebih begini penampakan sup ayam ala saya. (Sumber: masakanmama.com) |
Saat merebus ayam, saya selalu melebihkan airnya. Sebagian disimpan untuk membuat menu lain yang menjadi kegemaran nomor tiga, yakni cream soup. Isinya sesuai selera (dan isi kulkas) masing-masing, misalnya daging ayam, sosis, wortel, jagung, dll. Kuahnya yang kental membuatnya enak untuk dicolek dengan roti, tetapi tidak salah jika memadukannya dengan nasi. Sama-sama enak, kok.
Berikut adalah resep sup ayam favorit para krucil. Resep cream soup akan saya tulis di pos lain saja. Sebelumnya, saya merasa perlu memberikan peringatan bahwa resep ini banyak menggunakan faktor F, Feeling. Jika kamu mencoba dan belum pas, jangan menyerah dan coba lagi, ya.
Sup ayam
Bahan:
1 kg ayam bertulang, cuci bersih
3 siung bawang putih, kupas dan memarkan
2 ruas jahe, kupas dan memarkan
1 batang wortel, potong sesuai selera
3 buah kentang, kupas, potong sesuai selera
1 batang daun bawang, iris
½ buah tomat, potong menjadi empat
Secukupnya air
Secukupnya garam
Secukupnya gula
Secukupnya merica
Cara membuat:
- Rebus ayam bersama bawang putih dan jahe, beri garam. Tunggu hingga matang.
- Sisihkan sebagian kaldu untuk membuat cream soup. Buang jahe dan bawang putih.
- Didihkan kembali sisa air kaldu,, tambahkan air jika perlu. Masukkan kentang dan wortel.
- Jika sudah empuk, matikan api. Masukkan daun bawang dan tomat.
- Tambahkan garam, gula, dan merica sesuai selera.
Kurang gampang apa lagi, kan? Saking gampangnya, kamu bisa tinggal sesekali untuk membangun peradaban. Selamat mencoba, ya!
Thursday, October 7, 2021
Nasi Padang, My Luv
Soal nasi Padang, saya rasa tidak berlebihan jika mengatakan makanan tersebut adalah hidangan universal ala Indonesia. Hal ini tentu berkat semangat merantau yang luar biasa dari orang Minang. Bahkan di daerah dengan mayoritas warga nonmuslim sekalipun, kita bisa menemukan rumah makan Padang sebagai pilihan aman (halal) untuk bersantap. Sungguh besar jasa orang Minang terhadap ketersebaran nasi Padang ke seluruh Indonesia. Salut!
Nasi Padang masuk dan diterima oleh segala lapisan masyarakat. Ia tersaji di rumah makan besar lengkap dengan ruangan ber-AC dan tempat parkir mobil yang luas hingga warung pinggir jalan dengan dua set meja makan saja. Ia bisa menjadi ningrat, tetapi bisa juga merakyat. Jika tak bisa makan di tempat, pesan saja untuk dibawa pulang. Niscaya porsinya membuat begah!
![]() |
Cara penyajian di restoran. Kita membayar apa yang kita makan saja. Semuanya menggiurkan, bukan? (Sumber gambar: John Orford di wikipedia.com) |
Sayangnya imej merakyat ini tidak berlaku untuk para perantau di luar negeri. Nasi Padang menjadi hidangan (super) mewah yang untuk menyantapnya kita harus mengeluarkan usaha--dan uang--yang tidak sedikit. Itu pun kalau ada yang menjual.
Meski cukup banyak restoran Indonesia, hanya ada satu restoran Padang seantero Belanda, tepatnya di kota Den Haag. Untuk mencapainya dari rumah, kami harus menempuh kira-kira satu jam dengan kereta, dilanjutkan dengan berjalan kaki. Walau jauh, dengan niat yang kuat, kami bisa berangkat khusus ke Den Haag hanya untuk mencicipi sepiring nasi Padang komplit. Saking komplitnya, ada jengkol segala, lo! Sungguh, baru di Belanda saya mencoba biji buah pemicu love-hate relationship ini. Kok, mau, sih? Iya, karena harga seporsi menu tersebut €16.50 saja, Saudara sekalian, setara dengan tiga porsi doner kebab.
Memasak sendiri? Oh, saya baru pertama kali membuat rendang untuk hidangan Idul Fitri yang lalu. Meski gembira dengan hasilnya, sepertinya saya akan menjadikannya makanan setahun sekali (atau dua kali karena ada dua lebaran) karena proses pembuatannya yang memakan waktu. Gara-gara melihat unggahan saya di Instagram story, seorang teman--orang Minang asli--sampai berbaik hati memberitahu saya tips memasak rendang ala Minang. Itu baru rendang, belum jenis lauk yang lain, maka saya memilih untuk menyerahkan kepada ahlinya saja.
Untungnya ada teman di kota tetangga, seorang keturunan Minang, yang membuka usaha katering rumahan. Nasi Padang buatannya, hmm ... lamak bana. Bahkan ayam panggangnya--salah satu lauk favorit saya--lebih enak daripada restoran di Den Haag itu, pastinya dengan harga yang lebih murah. Apalagi kami tidak perlu mengeluarkan ongkos. Sayangnya, karena sistemnya prapesan, saya tidak bisa setiap saat menikmati kelezatannya. Karena itu, setiap dia mengumumkan akan membuat menu nasi Padang, saya langsung gercep mengontaknya, demi memastikan dua porsi tersedia untuk kami. Berhubung dia merotasi menu dan tidak tiap minggu membuka pesanan, prapesan menu nasi Padang menjadi sesuatu yang amat kami nantikan.
Saya jadi ingat dulu waktu hamil anak kedua dan masih beradaptasi dengan kehidupan di Belanda, saya benar-benar ngidam nasi Padang. Entah mengapa, padahal di bulan-bulan sebelumnya (juga di kehamilan pertama) bisa dibilang saya tidak pernah ngidam. Keinginan tersebut baru terwujud hampir satu tahun setelah bayi lahir. Terbayang dong, betapa terharunya saya saat menyuap rendang, dkk ke dalam mulut. Ha-ha-ha.
Duh, membahas tentang nasi Padang itu seru. Ia memiliki tempat khusus di hati saya--sama seperti di hati Audun Kviland asal Norwegia pencipta lagu "Nasi Padang". Kalau saja bukan karena alasan kesehatan, rasanya makan setiap hari pun saya tidak akan bosan. Tambuah ciek!
(Sumber gambar banner: Gunawan Kartapranata di wikipedia.com)