Sunday, October 31, 2021

Berkomunitas di Tanah Rantau

Kilas balik ke masa SMA dulu (iya, tahu, decades ago), kita mengenal istilah "komunitas" untuk pertama kali. Di pelajaran biologi--semoga kamu masih ingat, saya juga googling dulu, kok, supaya enggak salah--komunitas berada satu tingkat di atas populasi. Di dalam satu komunitas ada interaksi antarpopulasi yang hidup pada satu waktu dan tinggal di wilayah tertentu. Merujuk ke KBBI, komunitas diartikan sebagai "kelompok organisme (orang dan sebagainya) yang hidup dan saling berinteraksi di dalam daerah tertentu".

Kenapa repot mencari definisi? Karena pada kenyataannya, di era digital seperti sekarang komunitas tidak lagi dibatasi oleh wilayah fisik. Kita bisa bergabung di satu komunitas tanpa kesamaan wilayah tempat tinggal, kecuali jika pengertian wilayah sudah sedemikian meluas hingga ke seluruh daratan yang ada di peta. Pengertian komunitas pun bergeser menjadi “kelompok sosial atau sekumpulan orang yang memiliki ketertarikan yang sama” saja, tanpa tambahan “habitat yang sama”.

Tidak hanya itu, perkembangan teknologi juga memungkinkan anggota komunitas untuk hanya berkumpul di ruang virtual, tanpa perlu bertemu fisik. Malah sering kita merasa sangat akrab dengan seseorang padahal hanya mengetahui nama, belum pernah bertemu muka. Syukur jika dia memasang foto profil di Whatsapp. Jika tidak, ya kita hanya bisa menduga dan bermain imajinasi belaka. Saya pernah terkecoh saat mendengarkan rekaman video seorang teman. Suaranya berbeda dengan yang saya bayangkan sebelumnya. Sampai-sampai saya sulit untuk mengubah imajinasi saya sendiri. Aneh, ya?

Kedua poin di atas dimiliki oleh komunitas ITB Motherhood, Mamah Gajah Bercerita, dan Mamah Gajah Ngeblog. Anggotanya tersebar di seluruh dunia dan berbasis grup Facebook atau Whatsapp. Meski demikian, bukan berarti komunitas ini tidak solid, lo. Saya pernah menuangkannya dalam sebuah tulisan. Namun, kali ini saya ingin bercerita tentang komunitas lain yang juga saya cintai, yang justru terbentuk karena kesamaan wilayah tempat tinggal, sesuai pengertian awal tentang “komunitas”.



Keluarga Muslim Delft (KMD) dan Simpul Muslimah Delft

Sebagai anak rantau, bukan hal aneh kami mencari teman sebangsa dan setanah air. Rasanya nyambung aja gitu saat berinteraksi dengan sesama orang Indonesia. Terlebih lagi kami tidak perlu susah-susah memikirkan ketepatan kata atau kalimat bahasa asing (Inggris atau Belanda) dalam berekspresi dan menyampaikan pesan. Ada kesamaan identitas yang merekatkan kami.

Identitas sebagai muslim Indonesialah yang akhirnya membawa kami bergabung di Keluarga Muslim Delft (KMD). Di halaman Facebook-nya KMD menjelaskan dirinya sebagai “paguyuban pelajar dan warga muslim yang bertempat di Delft, Belanda”. Menurut sejarah, perkumpulan muslim Indonesia di Delft pertama kali berdiri pada awal era 1990-an dengan nama Komunitas Islam Delft (KID). Setelah sempat vakum beberapa tahun, KID bangkit kembali dan berganti nama menjadi KMD hingga sekarang. Meski diinisiasi oleh mahasiswa, warga KMD bukan hanya pelajar Indonesia yang sedang menempuh studi di dua universitas di Delft, melainkan juga warga muslim Indonesia yang berdomisili di Delft dan kota-kota sekitarnya.


Akun Instagram KMD


Seperti halnya komunitas pada umumnya, KMD memiliki program rutin, seperti KMD Mengaji (tahsin putra), Salam Delft (kajian dua bulanan), berbagai kegiatan di bulan Ramadan, penyelenggaraan salat Idulfitri dan Iduladha, dan barbecue. Selain itu, ada program insidental, seperti Simpul putra (kajian khusus ikhwan), serta pengumpulan donasi bencana dan donasi pembangunan masjid. KMD juga membuka infak rutin untuk mewujudkan mimpi menyewa ruangan kantor sendiri.


Acara Salam Delft dihadiri warga KMD. (Sumber: Facebook KMD)

Tentu semua kegiatan dilaksanakan secara luring sebelum pandemi menyerang. Selama pandemi, kegiatan yang tidak bisa dialihkan ke format daring jadi ditiadakan. Kan sulit bakar-bakaran virtual. Hehehe …. Salat Idulfitri pun diganti menjadi halalbihalal online. Padahal sebelumnya hari raya adalah momen akbar untuk berkumpul. Bukan hanya warga KMD, lo, beberapa muslim dari negara lain turut bergabung untuk salat. Rasa bahagia bercampur dengan haru setiap kali salat hari raya tiba. Bisa mengagungkan nama Allah bersama-sama menjadi suatu kemewahan di negara minoritas muslim seperti Belanda.

Yang berbeda dari pelaksanaan salat hari raya di tanah air, setelah salat selesai kami bersalam-salaman melingkar dan … makan bersama! Hidangan lengkap, mulai dari nasi, lauk, sayur, buah, hingga kue, minuman, dan kerupuk, bisa dinikmati oleh jamaah salat. Hebatnya semua adalah sumbangan dari ibu-ibu yang tergabung di Simpul Muslimah Delft, bagian dari KMD khusus untuk akhwat. Ibu-ibu yang bersedia memasak dan menyumbang makanan bisa mengisi daftar yang diberikan panitia. Biasanya menunya sudah ditentukan sehingga ibu-ibu tinggal mengisi di bagian yang mereka kehendaki. Bagi yang tidak bisa menyumbang makanan, tidak perlu khawatir. Mereka bisa berpartisipasi dalam bentuk uang. Sistem gotong royong ini juga berlaku untuk acara makan bersama setelah Salam Delft dan barbecue. Pokoknya di mana ada acara ngumpul-ngumpul, di situ pula kita bisa membawa hasil karya dari dapur kita.


Acara makan bersama setelah kajian selesai. (Sumber: Facebook KMD)

Berbekal kebiasaan ini, sudah tiga tahun Simpul Muslimah mengadakan kegiatan berbagi takjil Ramadan yang diberi nama KMD Berbagi. Tidak hanya soal masak, Simpul Muslimah juga memenuhi kebutuhan ibu-ibu dalam mencari ilmu dengan mengadakan tahsin muslimah, kajian khusus akhwat, dan yang paling baru, Instagram live. Selain itu Simpul Muslimah juga menyelenggarakan TPA Tulip dan kegiatan Ramadan untuk anak-anak.

KMD seperti keluarga bagi kami. Keguyubannya sangat kental. Rasanya saya tidak ingin melewatkan kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan oleh KMD. Seiring dengan melonggarnya peraturan terkait Covid-19 di Belanda, KMD akhirnya mengadakan Salam Delft secara luring lagi pada akhir bulan lalu. Meski belum seramai dulu, semoga di masa mendatang, kegiatan KMD akan kembali diikuti oleh segenap warga dengan antusias.


Saya berpartisipasi dalam lomba pantun KMD. Sayangnya kurang banyak yang like jadi 'nggak menang, deh. Hehehe .... (Sumber: Instagram KMD)


Grup liqo muslimah

Suatu waktu setelah mengikuti Salam Delft seorang teman (mamah gajah juga) mengajak saya untuk bergabung di grup pengajiannya. Tanpa banyak berpikir saya langsung mengiyakan karena tawaran seperti ini tidak datang dua kali, kan? Mungkin juga karena faktor kepercayaan kepada teman lama dan sesama mamah gajah. Hehehe ….

Pengajian ini diadakan setiap dua pekan secara bergiliran di rumah anggota (yang juga ibu-ibu Simpul Muslimah). Kami bergantian tugas untuk menceritakan sirah nabawiyah dan mentadaburi ayat. Sebelumnya kami bergiliran membaca Al-Qur’an. Ada seorang guru yang membersamai kami dalam belajar. Beliau mengoreksi bacaan Al-Qur’an dan mengajarkan tahsin, juga memperdalam pembahasan sirah ataupun ayat.

Komunitas ini istimewa karena kehadirannya mengecas jiwa secara rutin. Bukan hanya karena isinya saja, melainkan juga karena pertemuannya itu sendiri. Setiap bertemu dan meilhat wajah-wajah teduh sahabat, ada perasaan bahagia serta tenang. Saya teringat satu hadis yang berbunyi begini:
 لَا يَقْعُدُ قَوْمٌ يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا حَفَّتْهُمُ الْمَلَائِكَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَنَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِينَةُ وَذَكَرَهُمُ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ
Tidaklah suatu kaum duduk berdzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala kecuali akan dinaungi oleh para Malaikat, diliputi rahmat dan akan turun kepada mereka ketenangan. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan mereka di hadapan para makhluk-Nya yang ada di sisi-Nya.

Tentu saja selama pandemi, pengajian lesehan berubah menjadi pertemuan daring. Ini memungkinkan teman yang sudah kembali ke Indonesia (dan yang kemudian pindah ke negara Eropa lain) masih bisa bergabung. Rupanya di balik segala kesulitan yang ditimbulkan oleh pandemi, ada hikmah tersembunyi bagi sebagian orang.

Pertemuan daring juga memungkinkan petugas pengisi sesi sirah dan tadabbur ayat menggunakan salindia presentasi. Ini adalah inovasi yang baru dilakukan pada beberapa pertemuan terakhir. Meski hanya lingkup kecil, persiapannya tidak kalah dari pengisi webinar, lo. Hehehe ….


Sesi tadabur ayat menggunakan salindia presentasi


Yang namanya pengajian, pasti ada makanan. Semangat berbagi sebagaimana di KMD/Simpul Muslimah juga dibawa ke sini. Biasanya masing-masing membawa kudapan atau buah sebagai pengganjal perut sebelum menyantap hidangan makan siang yang disiapkan oleh tuan rumah. Terus terang sistem ini baru untuk saya karena selama di Indonesia, umumnya tamu tinggal datang membawa diri, baik itu di pengajian, acara keluarga, maupun arisan. Tuan rumah menyediakan semua makanan--dan dia juga yang akan bersih-bersih setelah tamu pulang!

Seperti juga kegiatan Salam Delft yang mulai diadakan secara luring, di bulan November ini kami akan kembali bertemu di darat. Meski masih uji coba (sekali luring dan sekali daring), saya sangat menantikan pertemuan tatap muka. Ah, rasanya rindu sekali bisa cipika cipiki, salam, dan bercengkerama dengan para sahabat setelah satu setengah tahun absen. Memang interaksi langsung tak tergantikan, ya.


Rumaisa Sabiila

Berbeda dengan dua komunitas sebelumnya, Rumaisa Sabiila mencakup wilayah yang lebih luas. Sebagaimana namanya, Rumaisa Sabiila (Rumah Muslimah Indonesia di Eropa) mewadahi muslimah Indonesia yang sedang menetap di Eropa untuk menjalin ukhuwah dan berbagi ilmu. Komunitas ini murni berbasis daring karena anggotanya tersebar mulai dari negara-negara Skandinavia di Utara (Norwegia, Finlandia, Swedia) hingga ke Selatan (Spanyol, Italia); dari Barat (UK) hingga ke Timur (Turki). Bahkan ada juga yang berdomisili di Maroko, Cina, dan tentu di Indonesia (biasanya yang sudah kembali ke tanah air).


Akun Instagram Rumaisa Sabiila


Di grup Whatsapp kami berbagi informasi, hikmah, serta pemikiran, bertukar canda, dan saling menularkan semangat. Selama sepekan ada rubrik dengan tema berbeda setiap hari yang diisi oleh anggota. Di hari Kamis ada tilawah bergantian satu juz (One Week One Juz), dilanjutkan dengan kajian yang diisi oleh pemateri yang berbeda setiap pekannya. Ada juga Instagram live rutin di akhir pekan. Tak lupa ada kelas tahsin dan tahfiz bagi anggota yang berminat.

Saat ini Rumaisa juga sedang mengadakan Kelas Halal Haram Eropa demi menjawab kegalauan dan memberikan pemahaman terkait kehalalan produk. Di Eropa muslim harus berupaya ekstra untuk memastikan apa yang ia konsumsi dan pakai adalah produk halal. Tidak semudah muslim Indonesia yang tinggal mengecek keberadaan label halal dari MUI.

Selain berinteraksi secara internal sesama anggota di grup Whatsapp dan Zoom, kami memperluas lingkup manfaat melalui media sosial (Instagram, Facebook, dan YouTube). Kamu bisa membaca beragam pos di Instagram @rumaisa.sabiila dan Facebook Rumaisa Sabiila. Selain itu, kamu juga bisa memutar rekaman kajian yang pernah diadakan oleh Rumaisa di kanal YouTube Rumaisa Sabiila.


Kanal YouTube Rumaisa Sabiila

Di kepengurusan tahun ini saya bergabung di tim media dan dakwah. Walau tidak jauh-jauh dari menyunting dan membuat tulisan, saya ikut belajar soal desain, copywriting, serta social media engagement juga, lo. Ternyata makin diulik, makin seru! Semoga apa yang dipos di media sosial Rumaisa bermanfaat bagi para muslimah di mana pun berada. Langsung follow dan subscribe, ya! #iklanlewat


Penutup

Bagi kami yang saat ini hidup di tengah minoritas muslim, komunitas berlandaskan kesamaan iman dan bangsa (Indonesia) laksana oase di tengah gurun. Setiap anggota komunitas serupa saudara yang saling menguatkan dan mengingatkan. Walau belum pernah bertemu langsung seperti di Rumaisa Sabiila, kedekatan di antara anggota tetap terasa.

Terinspirasi dari Ibu Septi (pendiri komunitas Ibu Profesional), kita bergabung di satu komunitas untuk memenuhi kebutuhan mencari diri dan melihat peran di sekitar kita. Saat berada di dalamnya, kita harus memastikan bahwa kita bertumbuh. Bila tidak demikian, sebenarnya komunitas itu bukan tempat yang baik untuk kita.

Lantas, dari mana rasa cinta terhadap komunitas muncul? Juga menurut beliau, ini adalah buah dari cara berpikir: kita yang memerlukan komunitas untuk bertumbuh, meningkatkan kualitas peran sebagai perempuan, istri, dan ibu, bukan sebaliknya. Dengan demikian, kita mulai mencintai yang kita perlukan (komunitas) dengan rasa cinta tanpa pamrih, tanpa alasan, tanpa "tapi".

Rasa cinta terhadap KMD/Simpul Muslimah Delft, grup liqo muslimah, dan Rumaisa Sabiila inilah yang membuat saya menuliskannya untuk Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan ini tentang "Komunitas yang Aku Cintai". Kalau kamu bagaimana? Komunitas apa yang kamu cintai?





Thursday, October 21, 2021

Mencapai Ketahanan Pangan melalui Bank Makanan

Di bulan April dua tahun lalu Keluarga Muslim Delft (KMD), sebuah komunitas masyarakat muslim Indonesia di kota Delft, menyewa stan di pasar rakyat yang diadakan dalam rangka Koningsdag (perayaan hari ulang tahun raja). Kami menjual berbagai macam barang--mayoritas pakaian--hasil sumbangan dari seluruh warga KMD. Seluruh keuntungan kemudian disalurkan dalam bentuk donasi ke Voedselbanken Nederland. Voedselbank, yang berarti "bank makanan", adalah lembaga nonprofit yang menyalurkan makanan kepada orang-orang yang membutuhkan, yang hidup di bawah garis kemiskinan.

Tunggu. Garis kemiskinan? Memangnya di Belanda ada orang miskin?

Meskipun termasuk negara makmur, bukan berarti tidak ada kemiskinan sama sekali di Belanda. Menurut data statistik terakhir di tahun 2020, sebanyak 6,2% rumah tangga memiliki penghasilan bulanan di bawah standar €1090 untuk lajang dan €2080 untuk pasangan. Ini berarti lebih dari satu juta orang dari 17.4 juta penduduk Belanda adalah anggota dari rumah tangga yang tergolong miskin. Yang paling berisiko adalah orang-orang yang berasal dari etnis minoritas, terutama pengungsi dari Syria dan Ethiopia, dan keluarga dengan orang tua tunggal.




Bank makanan di Belanda

Bank makanan hadir untuk menyokong keluarga-keluarga miskin yang memenuhi syarat dengan suplai paket makanan setiap minggu. Bantuan ini tentu bersifat sementara dengan maksimal periode penerimaan tiga tahun saja. Bekerja sama dengan otoritas lokal, bank makanan juga membantu para penerima bantuan untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarganya secara mandiri. Biasanya dalam waktu setahun mereka sudah lepas dari bank makanan.

Tidak hanya membantu keluarga miskin, di sisi lain kehadiran bank makanan turut mengurangi terbuangnya bahan makanan. Mereka bekerja sama dengan perusahaan dan supermarket untuk mengumpulkan produk yang berlebih atau bahan makanan yang tidak habis terjual. Makanan tersebut (dan kadang produk kebersihan juga) kemudian dikemas dalam paket-paket dan didistribusikan kepada para penerima. Hebatnya semua kegiatan dilakukan oleh sukarelawan dengan perannya masing-masing.

Bank makanan adalah bentuk kontribusi masyarakat--dari masyarakat untuk masyarakat--untuk memastikan setiap keluarga mendapatkan makanan yang cukup, aman, dan bergizi. Terlebih pandemi membuat banyak pekerja kehilangan sumber penghasilan atau mengalami penurunan pemasukan. Akibatnya banyak keluarga yang harus memilih antara membeli makanan atau membayar sewa rumah.

Bank makanan dan ketahanan pangan Indonesia

Menurut FAO, ketahanan pangan adalah "keadaan saat semua orang, pada setiap waktu, memiliki akses secara fisik dan ekonomi terhadap makanan yang cukup, aman, serta bergizi untuk memenuhi kebutuhan dan preferensi makanan demi hidup yang aktif dan sehat". Keberhasilan ketahanan pangan ditandai oleh empat hal: availabilitas, aksesibilitas, utilitas, dan stabilitas. Dari keempat indikator tersebut, bank makanan mengambil peran untuk memastikan sebanyak mungkin keluarga memiliki akses terhadap makanan sehat, terlepas dari bagaimanapun kondisi ekonominya.

Saya berandai-andai bila ide tentang bank makanan ini diterapkan secara masif di Indonesia, tentu akan banyak yang terbantu untuk menyajikan hidangan bergizi bagi keluarga mereka. Artinya, akan semakin banyak pula anak-anak yang tumbuh sehat dan kuat demi generasi masa depan Indonesia yang lebih baik. Setiap usaha berarti, bukan?

Dari hasil pencarian lewat mesin pencari, setidaknya ada tiga organisasi bank makanan di Indonesia, yakni Indonesia Food Bank, FoodCycle Indonesia, dan Foodbank of Indonesia. Ketiganya sama-sama memiliki misi untuk membantu keluarga miskin bebas dari kelaparan. Meski terbilang baru (usianya kurang dari lima tahun), saya senang sekali saat mengetahui sudah ada orang Indonesia yang mengambil inisiatif untuk menerapkan ide tentang bank makanan. Semoga di tahun-tahun mendatang, bank makanan dapat mengambil peran lebih banyak dalam membantu pencapaian ketahanan pangan di Indonesia.

Bagi yang tertarik untuk mengetahui lebih jauh tentang bank makanan di Indonesia, bisa klik tautan di atas. Siapa tahu kamu tergerak untuk mengambil bagian di dalamnya atau malah mencontohnya untuk diterapkan di daerahmu. Yang itu, sih, juara!

Penutup

Kehadiran bank makanan membantu mempertemukan yang minus (penerima) dan yang surplus (donatur). Dengan kata lain, bank makanan adalah jembatan kebaikan antara dua pihak. Apalagi, semua pihak yang terlibat dalam operasional bank makanan bekerja tanpa dibayar. W-o-w, banget, ya?

Dalam Islam, Allah Swt. akan membalas sekecil apa pun kebaikan yang kita lakukan meski misalnya, hanya sebagai supir armada distribusi paket dari bank makanan atau sesimpel menyumbangkan uang hasil jualan seperti KMD. Karena itu, jangan pernah berpikir apa yang kerjakan itu tidak berarti dalam upaya mencapai ketahanan pangan Indonesia. 

Teruslah menjadi pelaku kebaikan apa pun bentuknya, di mana pun berada. Tebarkan kebaikan dan ajak orang lain untuk sama-sama berbuat baik. Bagaimanapun kebaikan yang terhimpun akan lebih berdampak dibandingkan yang sendirian. Setuju, kan?







Monday, October 11, 2021

Sop Ayam Favorit

Saya pernah menulis panjang lebar (tentu berbau curcol) tentang peran sebagai koki rumahan setelah merantau ke Belanda. Di rumah, saya memiliki empat pelanggan tetap. Yang satu seringkali tidak saya hitung suaranya karena baginya sehambar apa pun hasil masakan sayauntungnya level asinnya lebih rendah daripada sayatetap ia santap. Tiga pelanggan lain inilah penentu keberhasilan masakan saya. 

Dari tiga, dua pelanggan relatif mudah menyesuaikan sehingga tersisa satu pelanggan yang sesungguhnya mendominasi suara. Meski mau mencoba yang terhidang di meja makan, tak jarang ia enggan, bahkan menolak. Karena itu, saya cenderung mengikuti permintaan dan kesukaannya. Alasannya tentu agar ia mau menghabiskan porsi makanannya. Untungnya di usia menjelang enam tahun ini, ia sudah bisa meminta dengan jelas menu yang ia inginkan, tidak jauh dari makanan berkuah. Memang kuah itu sahabat anak-anak, ya. 

Ada tiga yang menjadi favoritnya akhir-akhir ini, yaitu mi rebus, sup ayam, dan cream soup. Ketiganya teramat mudah dibuat. Sepertinya ia tahu mamanya gampang lelah jika memasak resep yang rumit atau berbumbu banyak. He-he-he. 

Untuk resep mi rebus, sepertinya tidak perlu saya tulis di sini karena bumbu yang saya gunakan adalah bumbu mi instan (saya tidak antivetsin, gunakan secukupnya saja), kaldu sayuran blok (yang ini tanpa vetsin), atau kalaupun meracik sendiri, komposisinya hanya bawang merah, bawang putih, dan kemiri yang dihaluskan. 

Membuat sup ayam juga sama mudahnya, sampai-sampai saya malu untuk menuliskannya menjadi sebuah resep. Walaupun begitu, sup ayam tersebut selalu sukses meningkatkan selera makan tiga pelanggan kecil di rumah. Selain menyegarkan kerongkongan, kuahnya yang hangat juga membuat perut nyaman. Tak heran sup ayam seringkali menjadi pilihan makanan bagi orang yang sedang sakit. 


Kurang lebih begini penampakan sup ayam ala saya. (Sumber: masakanmama.com)

Sup ayam ala saya termasuk one-meal-pot karena sumber karbohidrat, protein, serat, dan vitamin semuanya dimasak dalam satu panci—meski begitu, kami tetap memakannya dengan nasi. Sungguh praktis dan efisien. Kita juga bisa mengganti atau menambahkan bahan lain sesuai selera. Biasanya saya menggunakan kentang dan wortel saja, kadang ditambah sosis.

Saat merebus ayam, saya selalu melebihkan airnya. Sebagian disimpan untuk membuat menu lain yang menjadi kegemaran nomor tiga, yakni cream soup. Isinya sesuai selera (dan isi kulkas) masing-masing, misalnya daging ayam, sosis, wortel, jagung, dll. Kuahnya yang kental membuatnya enak untuk dicolek dengan roti, tetapi tidak salah jika memadukannya dengan nasi. Sama-sama enak, kok. 

Berikut adalah resep sup ayam favorit para krucil. Resep cream soup akan saya tulis di pos lain saja. Sebelumnya, saya merasa perlu memberikan peringatan bahwa resep ini banyak menggunakan faktor F, Feeling. Jika kamu mencoba dan belum pas, jangan menyerah dan coba lagi, ya.


Sup ayam

Bahan:

1 kg ayam bertulang, cuci bersih
3 siung bawang putih, kupas dan memarkan
2 ruas jahe, kupas dan memarkan
1 batang wortel, potong sesuai selera
3 buah kentang, kupas, potong sesuai selera
1 batang daun bawang, iris
½ buah tomat, potong menjadi empat
Secukupnya air
Secukupnya garam
Secukupnya gula
Secukupnya merica

Cara membuat: 

  1. Rebus ayam bersama bawang putih dan jahe, beri garam. Tunggu hingga matang. 
  2. Sisihkan sebagian kaldu untuk membuat cream soup. Buang jahe dan bawang putih.
  3. Didihkan kembali sisa air kaldu,, tambahkan air jika perlu. Masukkan kentang dan wortel.
  4. Jika sudah empuk, matikan api. Masukkan daun bawang dan tomat. 
  5. Tambahkan garam, gula, dan merica sesuai selera. 


Kurang gampang apa lagi, kan? Saking gampangnya, kamu bisa tinggal sesekali untuk membangun peradaban. Selamat mencoba, ya!

Thursday, October 7, 2021

Nasi Padang, My Luv



Bicara tentang makanan favorit sepanjang masa, saya perlu berpikir agak lama untuk menemukan jawabannya. Rasanya tidak ada yang benar-benar jadi favorit. Namun, kalau ditanya makanan yang paling ngangenin sepanjang masa (merantau), saya akan menjawab: nasi Padang!


Soal nasi Padang, saya rasa tidak berlebihan jika mengatakan makanan tersebut adalah hidangan universal ala Indonesia. Hal ini tentu berkat semangat merantau yang luar biasa dari orang Minang. Bahkan di daerah dengan mayoritas warga nonmuslim sekalipun, kita bisa menemukan rumah makan Padang sebagai pilihan aman (halal) untuk bersantap. Sungguh besar jasa orang Minang terhadap ketersebaran nasi Padang ke seluruh Indonesia. Salut!


Nasi Padang masuk dan diterima oleh segala lapisan masyarakat. Ia tersaji di rumah makan besar lengkap dengan ruangan ber-AC dan tempat parkir mobil yang luas hingga warung pinggir jalan dengan dua set meja makan saja. Ia bisa menjadi ningrat, tetapi bisa juga merakyat. Jika tak bisa makan di tempat, pesan saja untuk dibawa pulang. Niscaya porsinya membuat begah! 


Cara penyajian di restoran. Kita membayar apa yang kita makan saja. Semuanya menggiurkan, bukan? (Sumber gambar: John Orford di wikipedia.com)

Sayangnya imej merakyat ini tidak berlaku untuk para perantau di luar negeri. Nasi Padang menjadi hidangan (super) mewah yang untuk menyantapnya kita harus mengeluarkan usaha--dan uang--yang tidak sedikit. Itu pun kalau ada yang menjual.


Meski cukup banyak restoran Indonesia, hanya ada satu restoran Padang seantero Belanda, tepatnya di kota Den Haag. Untuk mencapainya dari rumah, kami harus menempuh kira-kira satu jam dengan kereta, dilanjutkan dengan berjalan kaki. Walau jauh, dengan niat yang kuat, kami bisa berangkat khusus ke Den Haag hanya untuk mencicipi sepiring nasi Padang komplit. Saking komplitnya, ada jengkol segala, lo! Sungguh, baru di Belanda saya mencoba biji buah pemicu love-hate relationship ini. Kok, mau, sih? Iya, karena harga seporsi menu tersebut €16.50 saja, Saudara sekalian, setara dengan tiga porsi doner kebab. 


Memasak sendiri? Oh, saya baru pertama kali membuat rendang untuk hidangan Idul Fitri yang lalu. Meski gembira dengan hasilnya, sepertinya saya akan menjadikannya makanan setahun sekali (atau dua kali karena ada dua lebaran) karena proses pembuatannya yang memakan waktu. Gara-gara melihat unggahan saya di Instagram story, seorang teman--orang Minang asli--sampai berbaik hati memberitahu saya tips memasak rendang ala Minang. Itu baru rendang, belum jenis lauk yang lain, maka saya memilih untuk menyerahkan kepada ahlinya saja.


Untungnya ada teman di kota tetangga, seorang keturunan Minang, yang membuka usaha katering rumahan. Nasi Padang buatannya, hmm ... lamak bana. Bahkan ayam panggangnya--salah satu lauk favorit saya--lebih enak daripada restoran di Den Haag itu, pastinya dengan harga yang lebih murah. Apalagi kami tidak perlu mengeluarkan ongkos. Sayangnya, karena sistemnya prapesan, saya tidak bisa setiap saat menikmati kelezatannya. Karena itu, setiap dia mengumumkan akan membuat menu nasi Padang, saya langsung gercep mengontaknya, demi memastikan dua porsi tersedia untuk kami. Berhubung dia merotasi menu dan tidak tiap minggu membuka pesanan, prapesan menu nasi Padang menjadi sesuatu yang amat kami nantikan. 


Saya jadi ingat dulu waktu hamil anak kedua dan masih beradaptasi dengan kehidupan di Belanda, saya benar-benar ngidam nasi Padang. Entah mengapa, padahal di bulan-bulan sebelumnya (juga di kehamilan pertama) bisa dibilang saya tidak pernah ngidam. Keinginan tersebut baru terwujud hampir satu tahun setelah bayi lahir. Terbayang dong, betapa terharunya saya saat menyuap rendang, dkk ke dalam mulut. Ha-ha-ha. 


Duh, membahas tentang nasi Padang itu seru. Ia memiliki tempat khusus di hati saya--sama seperti di hati Audun Kviland asal Norwegia pencipta lagu "Nasi Padang". Kalau saja bukan karena alasan kesehatan, rasanya makan setiap hari pun saya tidak akan bosan. Tambuah ciek!



(Sumber gambar banner: Gunawan Kartapranata di wikipedia.com