Prinsip CINTA ala Keluarga Kita

Apakah kamu mencintai anakmu? Saya yakin semua orang tua akan memilih “Ya” sebagai jawaban. Memang secara naluriah, orang tua akan mencintai anaknya. Kita bahkan melihatnya pada induk hewan kepada bayinya. Namun, masalahnya adalah apakah cara mencintai kita sudah baik?

Lo, memang ada cara mencintai yang tidak baik?

Ada, dong. Jika berbicara ekstrem, di ujung kiri ada tipe orang tua yang terlalu tegas, kaku, bahkan keras. Mereka mencintai dengan cara memukul, mencubit, menampar, menghukum (fisik) atau mengancam, berteriak (verbal). Walau terkesan "tega" dan "jahat", saya yakin, kok, di lubuk hati yang terdalam mereka melakukan itu karena sayang.

Di ujung satu lagi ada tipe orang tua yang terlalu permisif. Semua yang diinginkan anaknya akan diberikan sebagai (yang dikira) bentuk kasih sayang. I will give anything and everything to my children.

Kalau begitu, bagaimana perwujudan cara mencintai yang ada di tengah-tengah, yang seimbang? Toh, Rasullullah juga, kan, menyuruh umatnya untuk jadi umat pertengahan. Kita juga pasti sepakat bahwa segala sesuatu yang berlebihan itu tidak baik.

Mbak Yulia Indriati, Direktur Keluarga Kita (@keluargakitaid), memaparkan tentang prinsip CINTA agar orang tua dapat mencintai anak-anaknya dengan lebih baik. Beliau adalah salah satu pembicara di Konferensi Ibu Pembaharu yang diselenggarakan oleh Ibu Profesional pada Desember 2021 lalu.

Prinsip pengasuhan ini adalah wujud dari prinsip hubungan reflektif, disiplin positif, dan belajar efektif yang diusung oleh Keluarga Kita. Keluarga Kita percaya bahwa tidak ada orang tua yang sempurna. Selain itu, pengasuhan adalah urusan bersama, bukan hanya keluarga. It takes a village to raise a child.

Nah, apa, sih, yang disebut CINTA? Yuk, kita simak!



C: Cari cara

Parenting is marathon, aim for the future
Sebagai orang tua kita harus terus mencari cara yang baik untuk mengekspresikan cinta kepada anak. Dengan begini, kita tidak mudah menyerah dan malah memilih jalan yang cepat agar anak mengikuti yang kita mau. Kalau tidak, kita akan terjerumus ke salah satu ujung ekstrem, entah terlalu keras atau terlalu lembek.

Contoh yang sering kita alami adalah saat anak tantrum karena ingin sesuatu. Orang tua yang tidak mencari cara akan dengan cepat mengalah dan meluluskan permintaan anak karena tidak tahan mendengar tangisan dan rengekan. Sekali dituruti, anak belajar bahwa perilaku tersebut dengan mudah meluluhkan hati orang tuanya. Alhasil, berikutnya anak akan menggunakan tangisan dan rengekan sebagai senjata untuk mendapatkan keinginannya.

Jadi orang tua memang harus panjang akal. Secara tidak langsung sebetulnya kita sedang mengajari anak bernegosiasi--suatu keahlian yang penting untuk masa depannya kelak. Siap-siap panjang akal dan panjang sabar, ya!

I: Ingat impian tinggi

Expecting the best of them, take a leap of faith
Setiap anak diciptakan lengkap dengan kelebihan masing-masing. Namun, keterbatasan usia membuatnya belum bisa menyadari kekuatan dirinya. Orang dewasa di sekitarlah yang lebih mampu menilai kemampuannya. Karena itu, sebagai orang tua kita harus percaya bahwa anak bisa sebelum dia percaya bahwa dirinya bisa. Dengan begini, anak akan mendapat kekuatan berupa rasa percaya diri untuk melakukan sesuatu.

Jangankan anak-anak, kita yang sudah dewasa pun membutuhkan kepercayaan dari orang lain bahwa kita bisa. Bayangkan perasaan saat mendengar kata-kata, “Coba dulu. Aku yakin kamu bisa.” Pasti keraguan akan lenyap dan berganti menjadi keberanian untuk memulai. Kita akan langsung termotivasi untuk melakukan apa yang sebelumnya urung kita lakukan.

Maka dari itu, yuk, kita biasakan diri untuk memberikan kata-kata penguat kepada anak-anak agar mereka berani untuk mencoba dan terus bersemangat dalam proses menggapai impian. Dalam perjalanan pasti akan ada momen anak lelah dan ingin menyerah. Di sinilah orang tua berperan untuk mengevaluasi dua kemungkinan: anak benar-benar sudah tidak mampu atau dia hanya butuh dorongan untuk bisa maju. Yang jelas, jangan sampai memaksakan impian kita kepada anak, ya!

N: Nerima tanpa drama

Loving the worst of them, unconditionally
Mencintai anak-anak saat mereka sedang manis dan menyenangkan hati pasti jauuuh lebih mudah dibandingkan saat mereka sedang cranky dan menguji kesabaran. Bener, enggak? Padahal mencintai anak-anak (dan pasangan) itu harusnya tanpa syarat. Jadi, rasa cinta saat kondisi terburuk harusnya sama dengan saat kondisi terbaik. Walaupun pasti beraaat, bismillah, kita coba, yuk!

Mencintai tanpa syarat ini juga termasuk menerima anak dalam kondisi apa pun. Ada orang tua yang Allah pilih untuk membesarkan anak berkebutuhan khusus atau anak dengan kelainan bawaan atau anak dengan fisik yang kurang sempurna. Orang tua-orang tua hebat dengan anak-anak istimewa inilah contoh mencintai tanpa syarat yang sesungguhnya. Masya Allah.

T: Tidak takut salah

Mistakes are for learning, parenting is for growing
Memberikan kesempatan bagi anak untuk melakukan kesalahan juga bentuk cinta, lo. Salah itu tidak apa-apa. Dengan prinsip “selalu ada kesempatan kedua, selalu ada ruang perbaikan”, kita akan mampu memaafkan anak saat mereka salah, sekaligus memaafkan diri.


Eh, memaafkan diri? Iya, karena biasanya orang tua ingin anaknya sempurna (dan lupa kalau mereka sedang belajar). Dengan melonggarkan standar kesempurnaan—kesempurnaan hanya milik Allah—kita akan lebih mudah untuk memaafkan diri sendiri saat anak melakukan kesalahan.

Untuk mampu memaafkan diri, kita harus bertanya kepada diri sendiri dulu. Siapkah kita untuk menerima kesalahan anak? Siapkah kita jika kenyataan tidak sesuai ekspektasi? Siapkah kita untuk membiarkan anak mengontrol hidupnya sendiri? Jika menjawab “Siap”, selamat menjadi orang tua yang bertumbuh bersama anak-anak!

A: Asyik main bersama

Parenting is fun, plays are powerful moments
Rutinitas dan kesibukan yang padat sering membuat orang tua lupa untuk bermain dan bergembira bersama anak, padahal bersenang-senang bersama akan menumbuhkan kehangatan yang dibutuhkan dalam hubungan keduanya. Melalui main dan tertawa bersama, orang tua juga bisa menanamkan nilai dan memotivasi anak.

Anak-anak tidak pernah main-main dalam bermain. Mereka selalu bermain dengan sungguh-sungguh. Karena itu, kita juga harus totalitas saat bermain sehingga berada dalam dunia yang sama dengan anak-anak. Ikut lari-lari, ikut loncat-loncat, ikut berkhayal, pokoknya kita harus siap disuruh oleh anak (dan siap jadi korban keisengannya) bila memang itu tuntutan permainannya.

Makanya, jadi orang tua dilarang kaku! Ini, sih, saya yang pertama kali harus dinasihati 😁.

Penutup

Menurut saya, formula CINTA ini singkat, tetapi padat dan lengkap. Setiap poin menjadi PR sekaligus pengingat untuk kami karena bagaimanapun tidak ada orang tua yang sempurna, kan? Yang ada adalah orang tua yang selalu berusaha untuk menjadi lebih baik. Semoga Allah Swt. memberi kemampuan kepada kita sebagai orang tua dalam mendampingi anak-anak menemukan dan menjalani peran peradabannya di dunia. Aamiin.

Post a Comment

6 Comments

  1. Wah terimakasih sudah menuliskan ini Teh Muti, saya ikut belajar.

    Tentang tidak takut salah dan memaafkan diri, ikut nambahin dikit ya..dulu saya pernah ikut kelas dan ada satu session kami membuat vision board. Vision board itu untuk diri sendiri, tapi kebanyakan kami (yang juga orang tua) akan memasukkan keberhasilan anak dalam vision board. Kemudian guru kami bilang : hati-hati karena walaupun anak dia bukan diri kita, jangan set ekspektasi. Sebagai orang tua tentunya kita berharap banyak dari anak-anak, hal yang baik, tapi jangan jadikan itu sebagai tujuan.

    Saya pikir itu betul sih, saya coba terapkan dan sangat membantu untuk tidak berharap berlebih-lebihan dari anak hehe.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Makasih untuk tambahannya, Teh ❤️. Iya, aku setuju banget. Orang tua kadang berharap terlalu tinggi terhadap anak-anak dan memaksakan harapan ke mereka. Makanya, itu tantangan juga, ya. Gimana caranya maintain keseimbangan yang pas antara ekspektasi orang tua dan memotivasi mereka untuk menembus batas dirinya.

      Delete
  2. Wah nyambung banget nih anak bukan diri saya dengan pembahasan buku yang lagi dibaca. Susah ya emang jadi orangtua, maunya yang terbaik tapi terlalu turut campur malah jadi boomerang juga. Kita harus rajin2 update ilmu. Makasih teh Mutiara tulisannya. Ngasih banyak insight baru��

    ReplyDelete
  3. Semua adalah poin-poin yang valid. Jadi mencintai gak melulu dari material atau sayang ketika lagi manner ya hehe. Harus siap ketika anak salah juga.

    Kalau aku ketika anak salah, inget terus kalau dia gak ngerti dia salah (dan tugas ortu yang lurusin). Karena anak masih balita. Dan kalau kita marah berlebihan, nanti jiwanya luka.

    ReplyDelete
  4. Kok bisa pas ya Cinta jadi 5 poin tentang cinta. Aku tuh paling susah tentang bermain dengan sungguh-sungguh. Apalagi anak-anakku skrg mainannya susah-susah. Tapi mungkin akunya juga yang udah lama ga main game lagi. Jadi kalau aku ajakin mainan yg lain mereka ga mau, tapi akunya yang harus belajar mainan yg mereka mainkan.

    Udah tau tapi syulit... hehehe..

    ReplyDelete
  5. Seperti apa ya sebenarnya cinta tanpa syarat itu?

    Tp mungkin dibalik pertanyaannya, cinta dengan syarat pada anak itu yg bagaimana? Yg mengharapkan balasan ketika nanti mereka besar ya?

    Masalah parenting ini buat saya masalah yang harus diiterasi terus terusan ����. Tp mungkin itulah hidup ya, ga selalu sempurna... Ketidakaempurnaan itu adalah kesempurnaan hidup

    ReplyDelete