Impian yang Terluka

"Dek, Bapak tunggu sampai akhir tahun, ya. Kalau kamu belum juga jelas mau ngapain, nggak ngelamar kerja, belum juga dapet beasiswa, kamu harus pulang dan bantu Bapak."

Suara Bapak di telepon tadi pagi kembali terngiang sembari Edi mengetik data penelitian di depan komputer laboratorium. Bapak, sosok yang ia hormati, sekaligus segani akhirnya menjatuhkan ultimatumnya. Sebenarnya Edi sudah menduga situasinya akan seperti ini. Kiranya satu setengah tahun adalah batas kesabaran Bapak menunggunya "mentas".

Edi telah menjadi bagian dari laboratorium Mikrobiologi sejak sebelum lulus kuliah. Dosen pembimbing tugas akhir yang dipilihnya memang dosen mata kuliah Mikrobiologi. Dunia yang hanya kasatmata di bawah lensa mikroskop itu membuatnya jatuh cinta.

Berkat ketekunan dan kerajinannya, ia lalu dilibatkan dalam proyek penelitian yang diketuai dosen pembimbingnya. Dan di sanalah ia sekarang, menguji sampel bakteri pemakan hidrokarbon yang potensial untuk membersihkan tumpahan minyak. Selanjutnya, bakteri-bakteri terpilih akan diisolasi enzimnya untuk mengetahui kunci kemampuan degradasi hidrokarbon.

Masih jauh jalannya agar hasil penelitiannya bisa diaplikasikan di lapangan. Ah, membayangkannya saja sudah membuat jiwa peneliti Edi berkobar. Namun, apa mau dikata. Sekarang sisa waktunya tinggal beberapa bulan untuk mengambil langkah demi masa depannya.

"Woi … Ed, muka lo kusut bener," ujar Nia dari samping. Kemunculannya membuyarkan pikiran Edi.

Aroma parfum rekan sesama asisten dosen itu menggoda saraf penciuman Edi tanpa permisi. Dengan jarak kurang dari satu meter, tentu saja Nia bisa melihat raut wajah serius Edi. Namun, bukannya Edi biasa begitu saat mengerjakan penelitian? Apakah ada aura berbeda yang ditangkap Nia sore itu?

Tampaknya usaha Edi menyembunyikan kegundahannya tidak berhasil bagi Nia.

"Eh … masa kusut? Udah gue setrika padahal."

"Hahaha …. Ya masa muka disetrika."

"Nih, udah gue masukin data hasil uji yang kemarin. Gile, kerjaan kita kayak nggak selesai-selesai. Banyak banget bakteri yang mesti di-screening." Edi mengalihkan perhatian.

"Mantaaap … nuhun, ya! Ga heran lo jadi favorit Bu Santi," puji Nia sambil menepuk bahu Edi.

Edi hanya mengembangkan senyum. Tangannya membetulkan letak kacamata yang agak melorot.

"Eh, gue pulang duluan, ya, Ed. Sampe besok!"

"Oke." Edi memang tak pandai berbasa-basi.

Capek, sih, tapi nggak pa-pa, deh. Gue jadi bisa lebih lama bareng sama lo, batin Nia sambil berdiri di ambang pintu, melihat ke arah Edi yang masih tekun menatap layar komputer.




Sebelum pulang, Pak Wahyu mengamati laporan keuangan bulan lalu. Bisnisnya berjalan dengan baik, satu hal yang sangat ia syukuri di usianya yang menjelang kepala enam. Bertahan di lini bisnis penyewaan alat berat selama hampir setengah dari usianya bukanlah hal mudah. Sayang, anak bungsu sekaligus tumpuan harapannya, menolak untuk meneruskan bisnis yang dirintis dari bawah itu.

"Dek, Bapak tunggu sampai akhir tahun, ya. Kalau kamu belum juga jelas mau ngapain, nggak ngelamar kerja, belum juga dapet beasiswa, kamu harus pulang dan bantu Bapak."

Akhirnya kata-kata itu keluar juga dari mulutnya. Ia paham betul minat Edi, satu-satunya anak laki-laki yang ia miliki, bukan di bisnis meski darah pebisnis diturunkan dari generasi ke generasi.

"Pak, Adek nanti mau kuliah di ITB. Pokoknya harus ke sana. Kalo gagal masuk, Adek mau coba lagi tahun berikutnya."

Masih jelas di ingatan Pak Wahyu tekad bulat Edi setahun sebelum ujian SMA. Dari siapa lagi Edi meniru sifat keras kepala kalau bukan dari dirinya?

Nak, sebenarnya ada alasan lain sehingga Bapak memintamu pulang. Tatapannya tertuju pada foto keluarga di atas meja. Tanpa diundang, bulir air mata mengalir membasahi pipinya.


***


Kehidupan kampus kembali berdenyut setelah ditinggal para penghuninya liburan akhir semester. Di mana-mana terlihat mahasiswa baru bergerombol, pindah dari satu gedung ke gedung lain di jam pergantian kuliah. Kembang agustusan bermekaran, menghiasi kampus dengan warna oranye, seakan menyambut kedatangan (yang dibilang) putra putri terbaik bangsa.

Edi pun tak kalah sibuk. Ia harus menyiapkan modul praktikum Mikrobiologi yang diampu Bu Santi. Mata kuliah wajib untuk tingkat 3 di semester ganjil itu memang terdiri dari 3 SKS kuliah dan 1 SKS praktikum.

Tok, tok.

Edi merasa harus memberi tahu Bu Santi sekarang soal kemungkinannya berhenti pada akhir tahun agar Ibu Santi bisa bersiap untuk mencari pengganti.

Satu lagi yang ingin ia beritahu. Aplikasi beasiswanya ke Korea sudah dijawab: ia ditolak.

"Masuk!"

Bismillah. Edi menekan gagang pintu ruangan Bu Santi di lantai empat Labtek Biru.

"Assalamu'alaikum, Bu. Ibu ada waktu sekarang? Ada yang mau saya bicarakan."

"Iya, boleh. Masuk, Ed. Tapi jam 11 saya ada acara."

Terlihat sejumlah berkas di hadapan Bu Santi. Wakil dekan bidang kemahasiswaan itu memang super sibuk. Edi beruntung, datang di saat yang tepat sehingga bukan pintu terkunci yang ditemuinya.

"Baik, Bu."

Edi masih berdiri di dekat pintu, mengambil jarak aman dari Bu Santi. Entah, mungkin kabar yang akan disampaikannya menahan Edi untuk mendekati meja.

"Kenapa, Ed? Eh, saya jadi inget, belum kasih tahu kamu. Kemarin saya baru dapet email dari kenalan, profesor di Jepang. Dia minta mahasiswa yang mau ambil S2 di labnya. Kamu tertarik, nggak?"

"Wah, beneran, Bu? Iya, saya tertarik. Kebetulan aplikasi ke Korea ditolak. Saya boleh coba yang ini?" Mata Edi berbinar. Ia tak bisa menyembunyikan antusiasmenya.

"Nanti saya kirim persyaratannya ke email kamu, ya!"

"Baik, Bu. Terima kasih banyak."

"Terus kamu ke sini mau bilang apa?"

"Eh … e … itu yang tadi, Bu, aplikasi beasiswa saya ke Korea ditolak."

Ia urung menyampaikan yang satu lagi. Harapan untuk tetap di dunia penelitian yang disukainya bangkit seiring tawaran dari Bu Santi barusan.

"Udah itu aja?"

"E ... iya, Bu. Nanti saya cek email. Secepatnya saya masukkan aplikasinya. Terima kasih sekali lagi."

Edi pamit keluar dari ruangan Bu Santi dan menutup kembali pintu dengan perlahan.

Maafkan Adek, Pak. Bukannya Edi tidak menyayangi Bapak, tetapi ia memilih untuk membuka jalan masa depannya sendiri.


***


"Pak, Adek dapet tawaran dari Bu Santi. Ada profesor kenalannya yang minta mahasiswa S2. Adek mau coba, Pak."

"Alhamdulillah. Di mana, Dek?"

"Di Jepang."

Seketika Pak Wahyu merasa hatinya diaduk oleh emosinya sendiri. Senang dan bangga bercampur dengan sedih dan kecewa. Diam-diam Pak Wahyu bersyukur waktu tempo hari Edi mengabarkan soal kebatalannya ke Korea. Ia sungguh berharap Edi bisa membantunya menjalankan bisnis. Sekarang, Jepang?

Meski berat, Pak Wahyu harus selalu bersiap dengan kemungkinan Edi berhasil mencapai impiannya untuk sekolah ke luar negeri. Ia paham tabiat putranya itu: pantang menyerah.

"Doain, ya, Pak," lanjut Edi memecahkan kesunyian yang sekejap terjadi.

"Iya, Dek. Insyaallah Bapak doakan."

Hanya itu yang bisa dilakukan orang tua, bukan? Pak Wahyu sudah berhasil mengantarkan Edi menempuh jenjang pendidikan tinggi. Ia bangga Edi punya impian yang jelas dan sedang melangkah menujunya.

"Makasih, ya, Pak."

Meski Edi berusaha memahami perasaan bapaknya, ia tidak tahu kenyataan sebenarnya di ujung telepon.

Kring, kring.

Telepon Pak Wahyu kembali berdering. Kali ini dari istrinya, Ros. Mungkin doa Bu Ros sewaktu menyematkan nama Edison pada nama anak laki-laki mereka, benar-benar dikabulkan Allah.

"Halo, assalamu'alaikum. Pak, udah minum obat belum?"

Bu Ros langsung mengutarakan maksudnya menghubungi Pak Wahyu. Walau ia sudah menyiapkan kotak obat bersekat dengan label waktu minum, tetap saja kalau tidak mengingatkan langsung, seperti ada yang kurang. Bu Ros ingin memastikan suaminya tidak lupa.

"Belum. Barusan Edi telepon. Kasih kabar, dia ditawarin dosennya untuk lanjut S2 ke Jepang. Bu, …." Pak Wahyu berhenti sejenak. "Gimana kalo dia benar-benar berangkat ke Jepang? Baiknya bisnis Bapak ditutup aja?"

Yang Pak Wahyu khawatirkan akhirnya akan terjadi, jauh lebih cepat daripada bayangannya. Dua kakak perempuan Edi tidak bisa diharapkan karena mereka sudah sibuk dengan keluarganya masing-masing.

"Istikharah aja lagi, Pak. Minta Allah tetapkan hati Bapak."

Bu Ros tahu suaminya bukan membutuhkan jawaban, melainkan penguatan. Mereka sudah mulai membahas kemungkinan ini, bahkan sejak Edi bersikeras masuk ITB. Namun, penyakit yang diderita Pak Wahyu beberapa bulan terakhir memaksanya untuk segera mengambil opsi terpahit yang berusaha mereka sisihkan bertahun-tahun.

Nak, haruskah Ibu membocorkan rahasia penyakit Bapak supaya kamu mau pulang dan melepaskan impianmu? batin Bu Ros setelah menutup telepon.


***


Semua berkas yang dibutuhkan sebagai syarat aplikasi beasiswa sudah siap. Meski ada permintaan langsung dari profesor, Edi harus tetap mendaftar lewat jalur resmi untuk mendapatkan beasiswa. Bedanya, dia tak lagi harus mencari profesor dan tema penelitian. Kemungkinannya diterima memang belum 100%, tetapi dengan adanya rekomendasi kuat dari profesor, ia jadi lebih percaya diri untuk lolos.

"Bismillah, send!" Edi mengeklik tombol untuk mengirimkan email kepada komite beasiswa. Tentu ia berharap banyak, tetapi di saat yang sama ia pun harus siap menerima kemungkinan gagal.

"Lo jadi daftar, Ed?" tanya Nia yang kali itu berada di belakang kursi Edi. Ia mengintip sedikit email Edi. Sekilas dibacanya tulisan application.

"Iya, doain gue lolos ya, Ni!"

"Pasti, dong," jawab Nia, "tapi …," lanjutnya dengan suara berbisik, "gue lebih suka kita sama-sama terus."

Edi yakin telinganya masih tajam. Ia menoleh ke arah Nia yang masih mematung di sana, di belakangnya. Baru kali ini ia menangkap warna lain di wajah Nia. Sendu.


***


Kring, kring.

Kring, kring.

Kring, kring.

Dinaungi langit yang sama, panggilan telepon Bu Ros untuk mengingatkan suaminya minum obat kali itu dijawab oleh mesin. Bu Ros hafal betul, suaminya selalu sigap mengangkat setiap panggilan telepon yang masuk. 

Mendung yang menggelayut sedari pagi seakan menjadi pertanda. Sesuatu yang pasti akan dialami setiap makhluk bernyawa nyaris menampakkan wujudnya. Kali ini di ruang kerja Pak Wahyu.



Tulisan ini diikutsertakan dalam Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog Maret 2022.

Post a Comment

14 Comments

  1. sedih ...
    ayahnya meninggal kah? teh Muti keren fiksinya ...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Nyaris, Teh. Ga tega mau bikin cerita ayahnya meningggal :'(. Hatur nuhun udah baca, Teeh :D

      Delete
  2. Endingnya... membuat kita mengambil kesimpulan sendiri, tapi juga bertanya-tanya. Apakah Edi jadi pergi?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hehehe.. biar pembaca bikin cerita sambungannya di dalam pikiran masing-masing, Teh. Hatur nuhun udah bacaaa :D.

      Delete
  3. Bagaimana ya jika saya ada di situasi seperti Edi? Terutama setelah Ibunya memberikan informasi mengenai keinginan terdalam sang ayah untuknya.. :(
    Sungguh, saya ga bisa membayangkan, keputusan apa yang harus saya pilih...

    Btw, kisah Edi dan Nia perlu diulik lebih lanjut nih ehehehe. :) Bikin part 2-nya, Muti. :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Di cerita ini sih, ibunya ga ngomong, Teh. Semua masih dirahasiakan. Ketahuannya nanti setelah ayahnya beneran pingsan. Eh, tapi itu mah butuh part-2 dong, wkwkwk.. Nuhun udah baca, Teeh :D.

      Delete
  4. Teh Muti, sedih bacanya. Sebagai orang tua ini memang dilema ya, pastinya bukan keputusan yang mudah, susah untuk orang tua dan anak.

    Sama kaya Uril, penasaran dengan Edi dan Nia hehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, Teeh. Semua orang tua ingin yang terbaik untuk anaknya walau ga jarang mereka harus banyak berkorban :(. Nuhun udah baca, Teeh :D.

      Delete
  5. Bagus banget ceritanya Mut. Pilihan ending yang baik. Kalau aku jadi orang tuanya juga kepikir lebih kepengen anak melanjutkan impiannya sih.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, bener, Teh. Meski harus berkorban, yaa.. Sekarang udah jadi orang tua, jadi lebih kerasa soal pengorbanan ini. Nuhun udah baca, Teeh :D.

      Delete
  6. Dilemaaa...
    endingnya bikin penasaran, karena ada kata 'nyaris'
    masih bisa dilanjut ya ini ceritanya heheheh

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hehehe.. iya, tadinya mau bikin "sudah", tapi last minute saya ganti. Nuhun udah baca, Teeh :D

      Delete
  7. Ceritanya sepertinya 90 persen kisah nyata ya. Tapi aku bingung, kenapa ibunya menelpon suaminya? Apakah ibunya masih aktif kerja sedangkan ayahnya sudah pensiun?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Justru 90% rekaan, Kak. Yang beneran cuma secuil-secuil, misal saya dulu memang ambil TA di lab mikro, tapi topiknya bukan tentang itu. Saya pernah gagal ke Korea, tapi keterima di Jepang. Usaha penyewaan alat berat terinspirasi dari saudara suami, tapi saya ga tahu beliau beneran menyewakan atau gimana. Pokoknya usahanya berhubungan sama alat berat. Gitu-gitu lah. Yang jelas tokoh Edi ga ada dalam kehidupan nyata (yang saya tahu). Anyway nuhun udah baca, yaaa... :D

      Delete