Sepenggal Kenangan dalam Sekeping Magnet

Waktu kecil, kisaran kelas enam SD, saya senang mengumpulkan barang yang hits pada zamannya. Ada tiga macam yang saya koleksi: kertas surat, kertas fail bergambar, dan perangko. Beberapa teman perempuan sekelas juga memiliki kesenangan yang sama. Jadilah kami sering bertukar koleksi kertas surat dan kertas fail bergambar. Ada kepuasan tersendiri saat memandangi kertas yang lucu-lucu itu.

Berbeda halnya untuk koleksi perangko. Saya mendapat hibah beberapa buku koleksi milik tante (iya, perangkonya sejadul itu!). Sisanya saya beli di toko buku atau ambil dari surat yang datang. Sama seperti dua koleksi lain, rasanya puas melihat deretan perangko aneka ukuran, warna, bentuk, serta gambar bercirikan negara bersangkutan atau momen khusus.

Selepas SD, hobi mengoleksi barang mulai saya tinggalkan. Meski begitu, sampai sekarang semuanya masih ada, lo. Mau dibuang, kok, sayang. Kalau Bu Marie Kondo tahu, mungkin dia akan geleng-geleng kepala. He-he-he.

Suatu hari saat berkunjung ke rumah teman, saya melihat magnet-magnet ditempel di pintu kulkasnya. Ih, kok lucu? Saya memang sudah punya satu dua magnet hasil berkunjung ke tempat wisata, tetapi belum terpikir sama sekali untuk mengoleksinya.


Nah, sejak satu malam sekitar 2010 itu, magnet mengeluarkan pesonanya. Koleksi magnet menjadi barang berharga bagi saya hingga saat ini. Setiap berkunjung ke suatu tempat, pasti saya sempatkan diri untuk mencari suvenir magnet. Sampai-sampai suami dan anak-anak saya sudah paham tentang kebiasaan ini. Ha-ha-ha.

Sayangnya tidak semua tempat wisata menyediakan suvenir berupa magnet. Ada juga yang menjual satu macam saja sehingga saya tidak punya pilihan selainnya—dan yang satu ini tidak cukup bagus menurut saya untuk dibeli. Kalau sudah begini, biasanya saya lebih memilih macam suvenir yang lain.

Koleksi magnet pramerantau ke Belanda

Magnet favorit

Adalah wajar bila dari sekian banyak benda koleksi, seseorang memiliki yang paling favorit. Alasannya bisa karena bentuknya yang unik, warnanya seperti warna kesukaan, cara mendapatkannya yang sulit, atau ya … karena suka aja. Kadangkala tak perlu logika untuk menyukai sesuatu. #azeek.

Sebenarnya selama tinggal di Belanda saya tidak mengumpulkan banyak magnet. Jumlahnya tidak sebanding dengan lamanya kami bermukim. Penyebab utamanya tentu adalah pandemi yang mengurangi frekuensi jalan-jalan secara drastis. Meski begitu, bila diminta untuk memilih yang paling favorit, tetap saja saya kesulitan. Saya suka magnet bertulisan ITALIA yang unik dengan gantungan kecil berbentuk ciri khas negara tersebut. Saya juga suka magnet tengkorak T-rex yang mirip fosil betulan. Roarrr ....

Koleksi magnet selama tinggal di Belanda. Mana yang paling Mamah suka?

Insiden (tak) berdarah

Meski anak-anak sudah tahu, magnet yang tertempel di kulkas adalah punya Mama dan mereka tidak boleh bermain dengannya, mereka sesekali minta (baca: berinisiatif mengambil kursi dan mengambilnya sendiri) untuk memegangnya. Tentu ini terjadi saat kebetulan saya ada di dapur. Jika tidak, bisa saja mereka tertangkap basah sedang bermain dengan magnet-magnet itu di luar dapur.

Apakah ada yang rusak? Oh, tentu. Ada yang sudutnya terkelupas sedikit, plastik pelapisnya lepas sebagian (dan akhirnya sekalian saya lepas semua), melengkung, patah, bahkan yang teranyar, pecah. Hiks. Mau menangis, kok, rasanya terlalu receh, tetapi yang jelas hati periiih. Untung yang pecah adalah magnet Nijntje dari Museum Nijntje yang bisa kami kunjungi lagi. Coba kalau yang pecah yang dibeli di luar negeri, masa harus balik lagi ke sana? Ini alasan yang sering saya sampaikan kepada anak-anak agar mereka paham pentingnya menjaga koleksi magnet Mama. Ha-ha-ha
.

Magnet: mesin waktu kenangan

Alasan membeli suvenir pastinya berbeda bagi setiap orang. Bagi saya, suvenir ibarat mesin waktu yang membawa ingatan saya kembali kepada tempat tertentu. Setiap melihat koleksi magnet, saya ingat waktu, tempat, dan suasana terkait, lalu cerita pun mengalir ibarat adegan film yang diputar ulang.

Dari semuanya, magnet bergambar lumba-lumba adalah yang paling berkesan di hati. Saya membelinya di kios suvenir setelah menonton pertunjukan lumba-lumba di Varna, Bulgaria. Pertunjukannya, sih, sesuai harapan. Kisah pendukungnyalah yang membuatnya istimewa.

Menonton lumba-lumba beraksi di Dolphinarium Varna

Waktu itu, saya mencari hiburan yang sesuai untuk anak-anak sambil menunggu suami yang mengikuti workshop dan menemukan pertunjukan lumba-lumba, masih di kota Varna. Dari hotel, saya dan anak-anak naik taksi. Kalau dipikir sekarang, saya nekat juga waktu itu: bawa dua anak, stroller, dan gendongan, naik taksi di negeri asing.

Setelah berbelok dari jalan utama menuju lokasi, saya baru tahu kalau gedungnya jauh dari jalan raya dan sepiii. Setelah menunggu sebentar sampai jam pertunjukan dimulai, kami naik ke tribun penonton dan menikmati pertunjukan. Tidak banyak yang datang, mungkin karena bukan hari libur.

Setelah selesai, saya berburu magnet di kios suvenir, tepat di lobi utama. Saat itu saya mulai bingung, bagaimana kami akan kembali ke hotel? Tidak ada taksi yang menunggu penumpang atau yang bisa dipanggil langsung. Akhirnya saya bertanya kepada ibu penunggu kios (yang bisa berbahasa Inggris—ini super penting!) sebab saya tidak punya nomor kontak perusahaan taksi. Alih-alih memberikan nomor telepon, beliau malah memesankan taksi untuk kami. Alhamdulillah, Allah memberi bantuan lewat ibu itu. Untuk membalas kebaikan hati beliau, sambil menunggu taksi saya membelikan anak saya boneka lumba-lumba yang bisa berbunyi. Bagaimana lagi saya bisa membalasnya, selain menambah penjualannya hari itu, kan?

Moral of the story:
  • Cari info yang detail di Google Maps tentang lokasi tempat yang belum pernah kita datangi.
  • Jangan ragu untuk bertanya dan kalau perlu, meminta bantuan. Kita tidak tahu, orang baik ada di mana-mana.
  • Nekat itu tidak mengapa, asal jangan sering-sering. Ha-ha-ha.

Penutup

Hobi mengoleksi barang terlihat tidak sesuai dengan prinsip simple living. Instead of reducing possessions, we add more and more. Sebenarnya ini bisa dipahami karena dengan memiliki sedikit barang, otomatis beban pikiran kita juga akan berkurang. Hidup kita akan lebih ringan. Namun, sisi sentimentil yang menyertai suatu barang seringkali membuat kita menjauhi simple living.

Meski menyukai prinsip simple living, di sisi lain saya juga suka membawa sepenggal kenangan dari masa lalu sebagai pengingat dan bahan cerita kepada anak-anak. Things that spark joy, kalau versi Marie Kondo. Karena itu, bagi saya, mengoleksi magnet seperti win-win solution. Ukurannya relatif kecil dan mudah dipindah-pindah sehingga tidak butuh banyak ruang penyimpanan. Saya tidak merasa terbebani secara pikiran dengan mengoleksi magnet. Lagi pula, biasanya saya hanya membeli satu magnet dari setiap tempat yang saya kunjungi.

Semoga cerita soal hobi mengoleksi magnet saya dapat menginspirasi Mamah untuk punya aktivitas favorit dan menceritakannya juga, ya! Eh, tapi kalau mau ikut Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog, sih, hari ini kesempatan terakhir untuk setor. Hi-hi-hi.


Post a Comment

24 Comments

  1. Siappp noted Mamah Muti moral story-nya, ehehe, :). Bikin ngikik bacanya. :)

    Saya cukup shock dengan fakta bahwa Mutiara masih menyimpan koleksi perangko (dan yang lainnya masa kecil) sampai sekarang! Masih awet tersimpan. Waduhh terbayang bagaimana rapihnya dan well-organized-nya Muti.

    Melihat koleksi magnetnya juga menggemaskan, rapiih banget nyimpennya. Ohya, saya paling suka yang magnet ada tulisan NAPOLI dan BULGARIA, melihat gambar sungai kok calming dan soothing.

    Nuhun sudah sharing, Muti. :) Yang kurang cuma 1 siy menurut saya, foto koleksi perangkonya ehehe.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Dahulu aku memang rapi, Teh, lalu setelah jadi emak-emak, makin lama makin ga rapi, mengikuti ekspektasi rendah terhadap kerapian anak-anak. Hahaha ...

      Nice choices, Teh. Yang Napoli bergambar sungai itu, aku pilih karena dia stated 100% made in Napoli. Mungkin yang bikin gemes sama magnet-magnet buatan China. Hihihi ... Terus yang Bulgaria itu bener-bener cuma satu macam itu yang aku temui di toko suvenir deket hotel.

      Makasih juga udah mampir, Teh Uriiil :D. Perlu juga ada foto koleksi perangko? Hehehe ...

      Delete
  2. magnetnya bagus-bagus teh Muti.
    sepenggal kenangan bener banget ini ... aku punya magnet kenangan beli di makkah dan madinah saat umroh tahun 2018, tapi waktu haji 2006/2007 kok gak nemu ya? jadinya beli gantungan kunci deh.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Waah.. impian banget punya magnet dari Mekkah dan Madinah. Semoga kelak Allah sampaikan aku sekeluarga ke sana juga. Aamiin.

      Makasih udah mampir, Teh Dewiii :D.

      Delete
  3. Ayo, kapan ke Cannes buat nambah koleksi? 🤗

    ReplyDelete
    Replies
    1. Huaaa ... ditodong juragan Cannes. Hehehe ... Doain ada rezeki biar bisa sampai sana, yaaa ...

      Makasih udah mampir, Teh Alfiii :D.

      Delete
  4. Konsep simple living yaa... :) Saya sendiri suka mengumpulkan mug beragam bentuk. Tapi lama-lama kok ya selaluuu deh merasa sayang buat dipakai, jadi cuma buat pajangan dan perangkap debu. Yaa sesekali dibersihin siih. Sekarang kalau lihat mug lucu lucu di e-commerce, cuma dimasukkan ke wishlist aja buat dipandang sesekali. Rata-rata mahal sih kalau barang bagus, apalagi yang customize. Magnet kulkas lucu juga ya buat dikoleksi. Tapi di kulkas saya banyaknya magnet hadiah dari paket nugget, sosis, atau keju. 🤪 & btw, top 3 magnet Teh Muti yang jadi favorit saya: Bulgaria yang ada termometernya, Polandia yang berpola seperti lantai keramik, dan Napoli yang berupa lingkaran dengan lukisan pemandangan. Sukaaa.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Untuk barang yang lain aku berusaha membatasi cuma beli pas butuh, bukan ingin, Teh. Magnet itu perkecualian. Hehehe ... Nah, kalau barang besar seperti mug, aku ga punya tempat penyimpanan. Makanya magnet udah paling pas, deh, buat dikoleksi. Hihihi ...

      Mirip sama Teh Uril, nih <3. Yang berpola itu Porto, Teh. Tulisannya imut dan saru sama warna polanya, ya, jadi kurang jelas.

      Makasih udah mampir, Teh Didiii :D.

      Delete
  5. Mamah Muti membangkitkan nostalgia koleksi prangko dengan kertas surat jaman kecil deh, kayanya dulu memang hobby anak-anak SD banget ya. Tapi salut punya Mamah Muti masih ada, aku dah ngga tahu album perangko dimana.

    Aku juga suka ngumpulin magnet, kayanya seru aja dan ngingetin pengalaman unik waktu ngunjungin tempat-tempat itu. Favoritku yang Trex dan Napoli Teh, unik banget

    ReplyDelete
    Replies
    1. Berarti kita masih satu zaman, nih, Teh. Hehehe ... Ngumpulin kertas surat aja, tapi ga dipake untuk ngirim surat. Hihihi ...

      Tos dulu untuk T-rex. Magnet Napoli banyak penggemarnya <3.

      Makasih udah mampir, Teh Maaay :D.

      Delete
  6. Kayanya kalau aku suka jalan2, pasti ada kecenderungan mengoleksi memorabilia. Simple ya magnet hiasan itu. Aku banyak juga singkirkan koleksi karena ngeri hisab

    ReplyDelete
    Replies
    1. Nah, soal hisab ini juga pernah terlintas di pikiranku, Teh. Aku berencana untuk bikin semacam plat buat nempelin magnet dan menjadikannya hiasan dinding. Jadi, fungsinya sama seperti hiasan lain untuk memperindah rumah. Semoga nanti jatuhnya bukan jadi barang ga berfungsi dan ga bermanfaat. Anyway, makasih buat pengingatnya, Teh.

      Makasih juga udah mampir, Teh Andinaaa :D.

      Delete
  7. Hobi magnet lemari es bagus banget koleksinya Teh. Jadi punya perpustakaan bribadi untuk koleksi

    ReplyDelete
    Replies
    1. Alhamdulillah, Bu. Bener juga, istilahnya perpustakaan pribadi, yaa..

      Makasih udah mampir, Bu Haniii :D.

      Delete
  8. Wah, ceritanya related bgt, sy kalau kemana mana juga suka beli magnet, tp disimpannya di kulkas rumah ibu saya. Daaan related juga bagian anak anak berinisiatif mainin magnet, jd ada yg pecah dll 🙃

    ReplyDelete
    Replies
    1. Waah, ada yang ngoleksi magnet jugaa.. Paham banget soal anak mainin magnet ya, Teh. Hihihi ... Akhirnya sekarang aku ultimatum. Mereka boleh pegang hanya di dapur. Kalau ada yang ketahuan bawa ke luar dapur, harus segera tempel di kulkas lagi. #emakgalak

      Makasih udah mampir, Teh Diniii :D.

      Delete
  9. Sparks of joy bgt ya teh muti, kalau tiap lihat magnet jadi keinget cerita perjalanan masing2.. hehe.. bagus2 tehh magnetnya..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, bener, Teh, lengkap berikut cerita pendukungnya. Hehehe ...

      Makasih udah mampir. Teh Aitiiiy :D

      Delete
  10. waaah aku terlalu cheap (murahan) untuk beli magnet kemana aku pergi. tapi masalah lainnya adalah aku emang jarang kemana-mana sih ihihih... tapi seneng bgt nih baca tulisannya teh Muti. Jadi ingat jaman ngumpulin kertas surat (meskipun nggak ngumpulin juga untuk alasan yang sama hahaha), ingat teman2 yang lain punya koleksi yang cantik2 banget.
    Semoga semakin banyak perjalanan yang dibuat bersama keluarga ya teh, biar nambah koleksi magnet dan kenangannya :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Eh, maksudnya gimana, Teh? Karena magnet biasanya murah? Justru itu plus poin buat aku secara harga suvenir biasanya mahal-mahal, kaan. Hahaha ...

      Aamiin buat doanya. Makasih udah mampir, Teh Deaaa :D.

      Delete
  11. magnet yang dikoleksi harus dari hasil beli sendiri ya? Misalnya dikirimin/dibeliin gitu dikoleksi juga nggak? Aku selalu bingung kalau mengoleksi, suka jadi terlalu banyak mau, hebat juga mamah muti bisa membatasi diri hanya beli 1 di 1 tempat, hehehe..

    ReplyDelete
  12. Aku juga suka beli magnet begini tapi biasanya titip ke teman atau saudara yang ke luar negeri. Maklum aku jarang traveling huhu. Magnet-magnet itu jadi semacam afirmasi untuk suatu hari nanti mudah-mudahan aku bisa sampai ke sana

    ReplyDelete
  13. Ibu saya nih yang suka ngumpulin magnet, saya suka deg2an kalau cucunya ingin megang magnetnya, heuheu...

    ReplyDelete
  14. Jadi ada kisah di balik setiap keping magnet yang teh Muti punya, ya :D

    Btw blognya kiyut banget, teh!

    ReplyDelete