Serunya Berlebaran di Tanah Rantau

Allaahuakbar Allaahuakbar Allaahuakbar. Laa ilaahaillallaahu wallaahuakbar. Allaahuakbar wa lillaahilhamd.


Gema takbir berkumandang di Hall X2 gedung X TU Delft. Setelah dua tahun absen—tahun lalu ada, tapi jumlah jamaah dibatasi dan safnya berjarak—akhirnya tahun ini warga muslim Delft dan sekitarnya bisa berkumpul kembali seperti layaknya masa prapandemi untuk melaksanakan salat Idulfitri. Jamaahnya memang enggak sebanyak dulu, mungkin ada faktor jumlah mahasiswa yang berkurang juga. Banyak keluarga yang kami kenal sudah kembali ke tanah air (dan kami segera menyusul).

Meski begitu, suasananya, sih, masih tetap sama. Haru banget rasanya bisa salat dengan saf yang rapat, salam, cipika cipiki, foto bersama, mengobrol, dan bercengkerama. Anak-anak juga bebas berlarian bersama teman-teman yang mungkin baru saling kenal.

Suasana salat Idulfitri di Delft

Foto bersama dulu setelah salat

Drama pagi

Awalnya saya enggak berharap bisa mengikuti salat karena terlambat berangkat dari rumah. Nothing to lose. Saya salah membuat perkiraan waktu memasak makanan ringan yang akan dibawa dan lupa mengecek jadwal kereta! Duh, ini fatal banget, sih, karena kereta di sini, kan, pada umumnya—kalau enggak ada major force—datang dan pergi tepat waktu. Ternyata bila saya tepat naik kereta pukul 08.30, saya masih bisa naik bus ke lokasi, tapi bila naik kereta berikutnya pukul 08.40, saya harus jalan kaki (yang lumayan jauh, 1,1 km) dan bisa jadi ketinggalan salat berjamaah.

Pagi hari di kampus TU Delft
 
Alhamdulillah tsumma alhamdulillah, begitu sampai di stasiun dan berjalan cepat ke peron 5, kereta arah ke Delft baru saja tiba! Saya berdua Milie cepat-cepat menaiki tangga dan masuk ke dalam kereta. We made it! Sayangnya, ada yang enggak terpikirkan. Kemarin hari Senin dan bus arah ke kampus penuh! Hahaha. Awalnya saya sempat takut enggak kebagian tempat. Namun, lagi-lagi dengan pertolongan Allah kami bisa masuk meski harus berdiri (padahal busnya tipe bus gandeng, lo, tapi masih penuh juga). Akhirnya kami bisa tiba sebelum salat dimulai, bahkan lebih cepat daripada suami yang bersepeda dengan membawa Mika dan Maqi.

Halalbihalal yang dinanti

Overall things were back to normal. Enggak cuma salatnya, tapi juga makan-makannya! Yummy! KMD memang juara kalau soal mengadakan makan bersama. Sebagian besar hidangan dibawa oleh jamaah yang dikoordinasikan oleh pengurus. Ada yang membawa makanan utama, juga makanan ringan dan minuman. Tak lupa menu untuk anak-anak.

Mau makan? Antrian yang tertib dulu.
 
Semuanya enak! Yang pasti bisa mengobati kerinduan akan hidangan khas lebaran di tanah air, apalagi bagi para mahasiswa yang pastinya enggak masak sendiri. Mulai dari lontong opor, tumis buncis, semur tahu, hingga sate Padang dan batagor, bebas disantap. Nambah berkali-kali pun boleh. Dibungkus untuk dibawa pulang juga silakan, malah diwajibkan karena sisanya banyak banget. Alhasil, bawaan pulang jauh lebih berat daripada waktu pergi. Hahaha.

Foto keluarga: wajib!

Oh iya, lebaran enggak lengkap tanpa foto keluarga, dong. Tahun ini enggak perlu pakai bantuan tripod mini yang ditaruh di atas meja kursi tinggi lagi, deh. Fotonya pun di luar ruangan. Ihiy!

Foto keluarga terbaru

Ada Milie yang mulai pandai bergaya—entah dia tiru gayanya siapa karena saya enggak begitu. Ada Mika yang setia dengan gaya cool-nya. Ada Maqi yang masih berwajah datar meski kalau difoto sendiri atau bersama para kakak, dia langsung pasang gaya kepala miring dan tersenyum lebar. Tentu ada Papa dan Mama yang gaya dari foto ke foto enggak berubah. Hahaha. Foto wajib, done!

Penutup

Walau di tanah rantau, jauh dari sanak saudara, bukan berarti Idulfitri dilalui dengan sepi. Berkumpul dengan teman sesama muslim, sekaligus (kebetulan) sebangsa setanah air enggak kalah seru, lo. Kapan lagi, kan, halalbihalal bawa alat makan sendiri? Apalagi kalau berkumpul dengan muslim dari negara lain, wah, itu lebih seru karena kita benar-benar merasa dipersatukan oleh akidah, bukan oleh alasan lain. Tentunya kita jadi bisa mencicipi makanan khas negara tersebut. Mudah-mudahan Allah beri kesempatan untuk merasakannya pada Idulfitri yang entah kapan. Hehehe.

Untuk sekarang sekali lagi, Selamat Idulfitri—bukan Idul Fitri—1443 H. Taqabbalallahu minna wa minkum taqabbal ya karim. Semoga Allah Swt. menerima amal ibadah kita selama Ramadan dan memudahkan kita untuk melanjutkannya sampai bertemu Ramadan tahun depan. Insyaallah. Mohon maaf lahir batin, ya!

Post a Comment

5 Comments

  1. masya Allah seru sekali ceritanya teh.. terima kasih sudah berbagi, jadi bisa tau cerita merayakan Eid di negeri seberang. Met Idul Fitri juga ya teh.. btw, jd penasaran kenapa gitu bukan Idul Fitri tapi Idulfitri?? aku baru tau

    ReplyDelete
  2. Alhamdulillah, ikut senang bacanya Teh Muti.. Selamat Hari Raya Idul Fitri ya Teh, maaf lahir batin, semoga dimudahkan urusan kepulangan ke Indonesia.

    ReplyDelete
  3. Senang ya teh akhirnya bisa ngumpul lagi. Terutama di hari raya yang selama ini aneh bgt karena merayakannya sekeluarga aja di rumah. Semoga menjadi kenangan indah terus ya teh sampai nanti di I done:)

    ReplyDelete
  4. Senangnya teh keburu ikut shalat ied. Di lapangan juga kah? Senang sekali ya setelah 2 tahun, sikonnya kembali normal

    ReplyDelete
  5. Pastinya senang ya semua kembali berangsur normal, apalagi udah mau kembali ke tanah air ya, berarti ini bisa jadi lebaran terakhir di Delft dong.

    Btw aku penasaran, itu ayahnya bawa 2 anak naik sepeda boncengnya kayak gimana? Apakah di letakkan 1 di depan 1 di belakang, atau pakai kereta yang ditarik gitu?

    ReplyDelete