Tips Singkat Mengasuh Balita

Masa-masa indah mengasuh balita itu indah untuk dikenang, tetapi tidak untuk diulang. Mengapa? Karena bersama tingkah pola yang lucu dan menggemaskan, hadir pula sejuta kelakuan yang berpotensi menguji kesabaran dan menguras emosi orang tua. Setuju atau setuju banget, nih, Mah?

Ibarat pondasi bangunan, masa balita adalah masa saat otak anak berkembang pesat. Kesalahan pengasuhan pada masa ini (yang tidak segera diperbaiki) akan tertanam dan terbawa hingga dewasa. Karena itu, orang tua (dan orang dewasa lain di sekitarnya) haruslah mengambil pendekatan yang tepat agar kelak mereka tumbuh dengan optimal. Jangan sampai cara orang tua bereaksi justru malah mengerdilkan jiwa dan memadamkan potensi mereka di masa depan. 

Walau pengalaman saya menjadi orang tua baru seumur jagung (si sulung bahkan belum masuk SD), ada beberapa tips terkait interaksi dengan anak yang ingin saya bagi dalam rangka Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan ini. Keberhasilannya memang baru bisa dilihat saat mereka lebih besar nanti, tapi yang pernah saya baca, kepercayaan diri adalah tanda penting cukup terpenuhinya kebutuhan emosi seorang anak. 

Ada tips apa saja? Langsung baca hingga tuntas, ya, Mah!


1. Perlakukan anak sebagai manusia yang setara.

Meski masih kecil, anak-anak tetaplah manusia yang harus dihargai pendapatnya. Mereka harus diperlakukan dengan setara, bukan lebih rendah. Kalimat seperti, “Anak kecil tau apa, sih?” sudah semestinya dijauhi dalam pengasuhan anak. 

Anak-anak akan merasa dihargai pendapatnya bila kita berbicara eye level dengan anak, mendengarkan cerita atau pendapatnya tanpa memotong, dan menanggapi ceritanya dengan seru (bahkan lebai jika perlu). Kita juga bisa meminta pendapat mereka mengenai suatu hal, apalagi jika itu berkaitan dengan kepentingan keluarga. Tanggung jawab mereka juga dapat dilatih bila kita tidak terus-terusan menganggap mereka kecil dan tidak bisa apa-apa. 

2. Berikan waktu bagi anak untuk beralih dari satu kegiatan ke kegiatan lain. 

Seringkali kita ingin anak-anak mengikuti kemauan kita tanpa memberi mereka ruang untuk bersiap. Akibatnya, mereka akan menolak keras, menangis, atau malah berujung tantrum. Alih-alih langsung menyuruh mereka untuk berhenti melakukan yang sedang asyik mereka lakukan, kita bisa memberi waktu dan menyetel alarm, lalu memberitahukan konsekuensi setelah alarm berbunyi. 

Contohnya, 
“Mama kasih 15 menit untuk main, setelah itu beres-beres. Kita mau siap-siap tidur.”
“Waktu berangkat sekolah 20 menit lagi. Yuk, siap-siap. Kalau mau sekolah pakai piyama, ya, enggak apa-apa. Yang penting, waktunya berangkat, kamu pergi ke sekolah.”

Dalam praktiknya, tidak selamanya proses berjalan mulus. Kadang disertai dengan marah-marah atau tangisan juga. Meski berusaha konsisten untuk menerapkan konsekuensi, bagi saya, penting untuk menjaga diri agar tetap lentur. Yah, lewat 5 menit tidak mengapa selama mereka on progress menyelesaikan tugas dalam masa yang diberikan. 

3. Biarkan anak memilih, tapi batasi pilihannya.

Sekitar usia 1,5 tahun anak-anak akan mulai menunjukkan keinginan untuk memilih yang dia suka, misalnya dalam hal pakaian dan makanan. Tidak jarang mereka kekeuh surekeuh sampai membuat kita kesal. Daripada begitu, lebih baik kita mengakomodasi keinginan mereka dengan menyediakan pilihan yang terbatas (dua atau tiga, yang semuanya sesuai keinginan kita, hahaha). Hal ini penting agar mereka merasa dihargai atas pilihannya, tapi di sisi lain, tidak tersesat dalam lautan pilihan. Pokoknya semua senang, deh, Mah.

Misalnya,
“Kamu mau baju yang ini (merah) atau ini (hijau)?” 
“Mana yang mau kamu lakukan duluan, makan atau ganti baju?”

Soal memberi pilihan ini juga berlaku untuk hal-hal yang tidak anak sukai, tapi wajib mereka kerjakan. Contohnya, “Kamu mau jalan sendiri ke toilet atau Mama angkat?”, “Kamu mau mandi sekarang atau 5 menit lagi?” Sebenarnya yang mana pun yang mereka pilih, hasil akhirnya sama. Namun, dengan memberi pilihan tertutup, kita sedang melatih anak untuk terampil mengambil pilihan terbaik sebab kelak hidup mereka akan penuh dengan pilihan. #tsaah

4. Puji usaha anak, bukan hasil.

Usia balita adalah usia anak-anak mencari pengakuan dari orang dewasa bila mereka berhasil menyelesaikan atau menghasilkan sesuatu. Biasanya mereka akan mendatangi kita dan menunjukkan hasil karya/kebolehannya. Kita pun berkomentar, "Wah, keren!", "Bagus banget!, "Hebat, deh!" 

Konon pujian berorientasi hasil kurang baik bagi perkembangan anak. Saat makin besar hingga dewasa, pujian seperti ini mungkin akan membuat anak tidak menghargai proses. 
Hasil bagus dapat diperoleh dengan cara-cara tidak baik, kan? Untuk melatih anak menghargai proses, tinggal tambahkan kalimat pujian yang biasa dengan kata-kata yang mengandung unsur proses.

Contohnya,
"Wah, hebat! Kamu udah berusaha keras supaya warnanya enggak keluar garis."
"Keren! Walaupun jatuh, kamu bangun lagi. Akhirnya sekarang bisa naik sepeda, deh."

Kalimatnya jadi panjang, sih, Mah, hehehe. Namun, kalau lama-lama, kita akan terbiasa untuk langsung fokus pada proses, bukan lagi hasil, kok. Jadi, yuk, sama-sama berlatih terus, Mah! 

5. Beritahu konsekuensi, bukan menakut-nakuti.

Bila melihat anak-anak berlarian, reaksi pertama kita biasanya, “Jangan lari-lari! Nanti jatuh!” Saat melihat anak memegang colokan listrik, kita spontan berteriak, “Awas nanti kesetrum!” Tidak ada yang salah dengan kekhawatiran kita. Sebagai orang dewasa, kita merasa lebih tahu risiko suatu perbuatan sehingga kalimat-kalimat peringatan tersebut keluar. Namun, yang namanya risiko, kan, bukan kepastian. Apakah kalau berlari-larian, pasti akan jatuh? Apakah kalau memegang colokan listrik pasti akan tersetrum? 

Cara penyampaian yang salah bisa jadi malah akan menakut-nakuti anak. Mereka akan enggan untuk berlari karena takut jatuh atau takut untuk memegang colokan listrik karena khawatir tersetrum. Apa-apa serba takut. 

Karena itu, alangkah baiknya bila kita memperbaiki kalimat peringatan dengan menambahkan kata “bisa”. Dengan begini, kita menyampaikan risiko dengan cara yang benar. Anak-anak pun belajar untuk mengambil dan menerima risiko dari perbuatan yang mereka lakukan dengan lapang dada. 

Kalimatnya jadi begini,
“Jangan lari-lari! Nanti bisa jatuh!”
“Awas nanti bisa kesetrum!” 

Kalau benar terjadi, jangan bilang, “Tuh, kan, bener. Mama bilang apa … kamu enggak denger, sih,” sambil bersungut-sungut, ya, Mah, hahaha. Yang ini juga susah, nih, sebab biasanya meluncur dengan mudah dari mulut. Saya cuma bisa beri saran, “Tahan, ya, Mah. Kalau enggak bisa, gigit lidah aja.” Tidak perlu kita menambahi kesedihan dan kepedihan anak-anak dengan ucapan dan ekspresi masam kita. Percaya, deh, mereka belajar, kok, walaupun bukan jaminan besok mereka tidak begitu lagi, hahaha

Penutup

Layaknya peribahasa "Tak ada gading yang tak retak", ada kalanya tips-tips di atas tidak terlaksana dengan semestinya. Anak-anak yang berkembang sesuai usia membuat kita sebagai orang tua harus terus-menerus belajar. Pendekatan yang berhasil kemarin belum tentu akan berhasil juga besok. Ditambah lagi, karakter anak berbeda-beda sehingga kadang pendekatan kita untuk setiap anak pun berbeda. 

Semoga sedikit tips di atas dapat membantu sesama Mamah yang masih memiliki anak balita. Kalau ada tips lain yang layak untuk dibagikan, silakan share di kolom komentar, ya, Mah!


Post a Comment

6 Comments

  1. Mamah Mutiaraaaa. Ya Allah saya sampai manggut-manggut dan ternganga membacanya saking setujuuunya pakai banget. Ini mah sudah bisa menjadi 101 Handbook untuk para toddler's parents. 😍

    Dari yang ngobrol dengan eye level, tidak menakut-nakuti, dan menghargai proses; semuanya mantul tipsnya. Mantabb betul Mah Muti. 😍

    ReplyDelete
    Replies
    1. Masih jauuuh dari handbook ini mah, Teh. Masih sering clueless dan trial and error juga pas benerannya. 😆

      Delete
  2. Gigit bibir saya mah teh!... Tapi dengan ngeliat gitu malah anak-anak jadi tau kl itu tandanya mamanya benernya mau marah... 😂
    Terima kasih poin2 supernya teh!... 🤗😘

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wah, Teh Alfi beneran gigit bibir 😯. Kalau saya bilang begini, "Mama lagi marah banget ini," dengan nada rendah dan muka serius. Lumayan menahan diri supaya ga kelepasan bersuara sampai oktaf kesekian dan tangan melayang ke sasaran, sih.

      Delete
  3. setuju dengan poin-poinnya, walaupun praktiknya waktu anak membangkang dan menerima konsekuensi, masih aja sering lupa untuk menahan diri tidak bilang: mama bilang juga apa!

    Ini sih tipsnya bisa dipakai untuk sampai besar kok, bukan cuma masa balita saja...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kalau saya, versi lebih panjang, "Ka~n, tadi Mama udah kasih tahu konsekuensinya. Ya udah, deh," sambil angkat bahu. #azeek

      Delete