Belanja Barang Bekas Aja, Yuk!

Siapa yang suka berbelanja barang bekas? Dulu waktu saya masih kecil (baca: era 90-an) tidak ada opsi membeli barang bekas (kecuali mobil/motor mungkin, ya). Saya tumbuh—dan sepertinya kebanyakan masyarakat Indonesia pun begitu—dengan kebiasaan membeli barang baru. Kalau pun barang lama, itu adalah lungsuran dari saudara karena dia sudah tidak memakainya lagi.

Begitu pula ketika akhirnya saya mengenal pasar barang bekas di Gedebage semasa kuliah, opsi itu hanya bersifat rekreasional. Tempatnya yang seperti pasar tradisional tidak membuat saya ingin ke sana untuk yang kedua kali. 

Namun, gambaran saya tentang pasar barang bekas berubah saat studi di Jepang belasan tahun lalu. Oh, ternyata membeli barang bekas bekas bisa seseru itu! Saya pun ikut menjadi anggota tim pemburu barang bekas, hahaha. 

Memang apa, sih, serunya? 


Keseruan berburu barang bekas

1. Mendapatkan barang kebutuhan dengan harga murah, bahkan gratis

Ini yang paling utama, sih. Dengan membeli barang bekas, kita bisa menghemat. Dulu di Jepang saya pernah membeli mesin cuci top loading dengan harga 5000 yen saja. Kalau tas, baju, atau sepatu, sih, sudah pasti murahnya. Kadang hanya dihargai 100 yen, lo. Air mineral saja masih lebih mahal daripada itu, hehe. 

Di Belanda juga sama. Kadang baju-baju dijual 50 sen saja. Kalau beruntung kita bisa mendapatkan barang gratis. Pernah waktu itu saya membeli pakaian anak-anak. Penjualnya memberikan gantungan baju secara cuma-cuma saat saya bertanya harganya. Pas sekali, saya memang butuh untuk tempat menggantung jaket anak-anak. Seperti bertemu jodoh, uhuy. 

2. Menemukan barang vintage 

Terkadang saya ke toko/pasar barang bekas tanpa tujuan spesifik. Sekadar cuci mata saja sudah menyenangkan. Kita bisa menjumpai barang-barang klasik yang disukai para kolektor. Di toko barang bekas yang besar, kita bahkan bisa membeli perabot rumah tangga, semacam kursi, meja, lemari berbagai model, termasuk model klasik. 

3. Menemukan barang baru yang masih ber-tag

Tidak semua yang dijual di toko/pasar barang bekas itu bekas, lo. Banyak juga barang baru yang dijual karena pemiliknya tidak menginginkannya lagi. Meski begitu, harganya tetap murah. Ya, tidak semurah barang bekas, sih, tetapi yang jelas jauh lebih murah daripada harga aslinya. 

4. Menemukan barang bermerek

Tidak jarang pula, saya menemukan barang bekas dengan merek ternama, sebutlah Fossil dan Zara. Biasanya tanpa cacat, kalau pun ada, cacat minor yang bisa ditoleransi. Sebenarnya kalau sudah masuk toko barang bekas, kita tidak perlu khawatir. Si pemilik sudah menyortir dulu mana yang masih layak untuk dijual dan mana yang tidak. 

Di Belanda ada lokapasar khusus barang bekas. Di situ, sih, bertebaran barang bermerek. Kita tinggal cari merek dan spesifikasi barang yang kita mau. Kami pernah membeli sepeda, tablet, gendongan bayi, hingga koper Trunki melalui lokapasar tersebut.

5. Jadi bagian dari pelaku hidup berkelanjutan yang ramah lingkungan

Nah, ini yang paling bernilai. Sebagai warga bumi, kita bisa ikut berperan dalam menjaga lingkungan dengan membeli barang bekas. Produksi barang baru, kan, membutuhkan sumber daya dan energi yang tidak sedikit. Menggunakan barang bekas adalah upaya untuk menahan laju pembuangan barang. Masih ingat slogan refuse, reduce, reuse, recovery, recycle? Memakai barang bekas adalah aksi dari reuse

Lesson learned 

Manfaat yang paling terasa pastinya kita bisa berhemat. Kualitas barang yang kami beli, baik di toko, pasar, atau lokapasar barang bekas masih sangat baik. Karena itu, rasanya menang banyak setiap kali membeli barang bekas. 

Selain itu, dengan menjadi pengguna barang bekas, kita sedang mengajari anak-anak bahwa membeli dan memakai barang bekas itu bukan hal tabu dan rendah–mereka juga belajar tentang kringloopwinkel (toko barang bekas) di sekolah. Mereka juga jadi tahu, untuk mendapatkan barang sesuai kebutuhan itu tidak selalu dengan jalan membeli yang baru. No gengsi-gengsi club, deh. 

Di saat yang sama, kami juga menjual barang yang sudah tak terpakai lewat lokapasar. Selain mengurangi tumpukan barang di rumah, anak-anak juga belajar tentang jual beli. Kita bisa mendapatkan uang dari menjual barang. 

Anak-anak juga belajar untuk mengklasifikasikan barang bekas: yang masih layak dan yang tidak. Yang masih layak, bisa dijual atau diberikan kepada orang lain. Itu lebih bermanfaat untuk orang lain, sekaligus lebih baik daripada langsung dibuang. Dengan begitu, mereka belajar, barang bekas tidak selalu harus berakhir di tempat sampah. 

Penutup

Kebiasaan membeli barang bekas ingin kami lanjutkan di Indonesia. Sayangnya—dan pak suami juga mengakui—kualitas barang bekas yang ada di lokapasar masih rendah. Jumlah dan jenisnya pun sedikit. 

Alternatifnya adalah bergabung di grup jual beli barang bekas. Selama di Belanda, ini juga jadi pilihan yang oke. Biasanya mahasiswa yang sudah lulus banyak menjual barang dengan harga murah atau gratis. 

Grup ITB Motherhood juga bisa jadi alternatif. Banyak Mamah menjual barang pribadinya (istilahnya garsel/garage sale) selama periode market day pekanan.

Semoga kelak di Indonesia makin berkembang iklim jual beli barang bekas, ya. Itu sama sekali bukan hal yang hina, lo. Malah, kita bisa menjadi pahlawan bumi dengan cara memperpanjang usia barang. Keren, kan?

Post a Comment

4 Comments

  1. Wah... bener banget, Teh Muti. Di Indonesia sih yang sudah banyak adalah jual ulang buku bekas. Lumayan kan, dapat buku ori dengan harga murah meriah. Mungkin akan ada juga toko semacam Book Off atau Hard Off di Indonesia nantinya.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, bener, Teh. Buku bekas itu juga menyenangkan untuk diubek-ubek. Setuju banget. Semoga kelak ada toko buku bekas yang nyaman ya, Teh.

      Delete
  2. Ehehe karena Mamah Muti mengangkat Gedebage, jadi teringat lagi. Itu dulu tempat saya hunting baju, karena murah merijah. Dan betul, suka nemu yang tag-nya masih nempel euy. Rasanya seneng banget, kayak dapat jackpot ehehe.

    ***
    Penasaran sama thrift store yang di Jepang dan Belanda, pasti bersih ya. Dulu juga sempat tahu website zozo(dot)jp, ngiler pas lihat harganya murah murah pol, tapi sayang, ribet ngurusin shipping overseas.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Rasa senang yang beda aja gitu, ya, Teh, hehehe. Yang saya pernah datangi, tokonya seperti toko layaknya aja. Kalau versi pasar, biasanya di tempat terbuka, bentuknya meja atau tikar digelar berjejer.

      Delete