Posts with the label Tantangan
Showing posts with label Tantangan. Show all posts
Showing posts with label Tantangan. Show all posts

Sunday, November 13, 2022

Usir Bosan dengan Tiga Permainan Sederhana Ini!

Pernah mati gaya enggak, Mah? Umumnya saat dalam perjalanan atau sedang menunggu sesuatu, rasa bosan kerap melanda. Sebagai orang dewasa kita bisa mengusirnya dengan membuka ponsel atau membaca buku (lebih bagus lagi kalau kita membaca Al-Qur'an, sih, hehehe).

Namun, jika bersama anak, tentu ini bukan pilihan yang bijak. Mereka butuh pengalih yang seru. Menggambar, mewarnai, atau membaca buku bisa jadi alternatif, tetapi menurut pengalaman kami, anak-anak hanya bertahan sebentar. Mereka akan mulai kebosanan lagi.

Saat situasi seperti ini, biasanya saya akan mengeluarkan jurus andalan berupa permainan-permainan sederhana. Yang mereka butuhkan sebenarnya adalah kebersamaan dengan (siapa lagi kalau bukan) orang tuanya, kok. Selain mengisi waktu dan mengatasi bosan, ikatan antara anak dan orang tua pun makin erat. Mantap, kan, Mah?

Berikut adalah beberapa permainan yang bisa Mamah coba. Ada yang terinspirasi dari pengalaman masa kecil. Ada pula yang diajarkan oleh anak yang mendapatkannya dari sekolah.


1. ABC lima dasar

Waktu SD saya sering memainkan ini bersama teman-teman. Mungkin Mamah juga familiar dengan permainan ini. Dimulai dengan mengucapkan, "ABC lima da– sar," oleh semua pemain, masing-masing mengeluarkan jari sebanyak yang dimau. Kemudian, pemain menyebutkan abjad sesuai jumlah jari. Jari pertama A, jari kedua B, dan seterusnya hingga seluruh jari selesai ditunjuk. Setelah itu, pemain bergantian menyebutkan nama—yang telah disepakati sebelumnya—dimulai dari abjad yang disebut terakhir tadi. Variasinya beragam, mulai dari nama benda, buah, makanan, binatang, hingga nama negara.

2. Sambung ekor

Permainan ini lebih advance, lebih cocok untuk anak SD kelas tiga ke atas sepertinya. Saya pernah coba bermain dengan anak sulung saya yang berusia enam tahun. Dia masih agak bingung menentukan huruf terakhir dari satu kata untuk dijadikan huruf pertama kata berikutnya.

Bagaimana cara mainnya? Sebelum mulai, para pemain menyepakati satu kategori tertentu, sama dengan permainan ABC lima dasar. Kemudian, pemain pertama menyebutkan satu kata. Huruf terakhir dari kata tersebut menjadi huruf pertama dari kata yang akan disebutkan oleh pemain kedua. Misalnya, kata pertama adalah ayam, maka kata kedua harus dimulai dengan huruf m: monyet. Begitu seterusnya.

3. Ik zie, ik zie

Saya mengenal permainan ini saat anak sulung saya terpaksa belajar jarak jauh saat pandemi. Ik zie berarti aku melihat. Permainannya sangat mudah, bahkan bisa dimainkan oleh balita sekalipun. 

Caranya, pemain bergantian memberikan soal yang harus ditebak oleh pemain lainnya dengan mengatakan, “Ik zie, ik zie wat jij niet zien (aku melihat, aku melihat yang kamu tidak lihat).” Bila sedang bermain dengan kategori warna, sambungannya adalah, “De kleur is … geel! (warnanya … kuning!)” Variasinya bisa berupa bentuk, angka, huruf, atau lainnya. Sampai sekarang, permainan ini paling sering saya mainkan bersama anak-anak. Mereka puas bila saya tidak bisa menebak yang mereka maksud, hahaha.

Penutup

Ketiga permainan di atas sangat fleksibel untuk dimainkan di mana saja sebab tidak menggunakan alat apa-apa, tanpa modal, plus tidak perlu takut ada yang hilang/tercecer. Ramah dompet dan aman, deh, pokoknya. Orang tua senang, anak riang, bosan pun hilang.

Apakah Mamah punya ide permainan sederhana lainnya? Boleh banget untuk berbagi di kolom komentar, ya!

Usir Bosan dengan Tiga Permainan Sederhana Ini!

Sunday, November 13, 2022

Saturday, August 20, 2022

Di Atas Sungai Rhine



Tari menyeka bulir keringat di dahinya. Meski baru pukul 10, matahari sudah memancarkan sinarnya begitu terang, menyoroti kerumunan manusia yang pagi itu meramaikan pelataran Dom, gereja terbesar yang juga jadi ikon kota Köln. Pakaian tipis yang dikenakan Tari mulai dibasahi keringat. 

Mana, sih, Jan? Ke WC aja lama banget, gerutu Tari. Sedikit-sedikit ia melirik jam tangannya. Sudah lima belas menit berlalu, Jan belum datang juga, padahal belum ada satu pun dari agenda jalan-jalan mereka hari ini yang dicentang.  

"I'm sorry. It's hard to find the toilet. Finally, I found one. Guess, where? At the other side of the station!" jelas laki-laki berkulit putih itu tanpa diminta. 

Usahanya meyakinkan Tari haruslah maksimal. Ia sudah bisa mengira akan mendapatkan wajah cemberut kekasihnya. Lebih baik ia yang bicara dahulu daripada keburu diinterogasi perempuan yang telah mengisi hatinya selama setahun belakangan. 

Tari hanya bisa mendengus. Tak ada gunanya menghabiskan energi untuk hal remeh semacam ini, sedangkan perjalanan mereka baru dimulai. 

"Okay, let's go! Which way?" Tari menoleh ke arah kiri dan kanan. 

Keduanya sama-sama ramai. Tepatnya, tak ada satu lokasi pun di sekitar Dom yang tak penuh dengan pengunjung. Wajar, sekarang adalah liburan musim panas. 

Jan membuka aplikasi peta di ponselnya. Serahkan kepada ahlinya, begitu prinsip Tari. Kemampuan spasialnya memang payah—konon seperti kebanyakan perempuan. 

"We're here," tunjuk Jan pada satu titik di peta, "the bridge is here. So, we have to walk …," lanjutnya sambil menoleh ke arah tujuan. 

"This way," Jan menggamit lengan Tari. 

Hidup Tari berubah sejak Jan masuk. Mereka sering beradu mulut karena bersikukuh dengan pendapat masing-masing. Namun, itu tidak membuat hubungan keduanya renggang. Sebaliknya, mereka malah saling mengisi di sisi yang lain. 

***

Jembatan Hohenzollern membentang di atas sungai Rhine yang membelah kota Köln. Tiang-tiangnya yang kokoh kuat menahan perjalanan 1200-an kereta dan ribuan pejalan kaki dan pesepeda setiap hari. Pagi menjelang siang ini Jan dan Tari menjadi bagian dari keramaian di sisi jembatan.

"Tari, would you like to take a photo with those love locks?" tanya Jan.

"No way. It's too cheesy." Tari beralasan.

"But, you're the one who wanted to see it," ujar Jan tergelak. 

Ya, gembok cinta. Pagar pembatas antara rel kereta dan jalur pejalan kaki (dan pesepeda) dipadati oleh gembok warna-warni bertuliskan nama-nama pasangan dan tanggal. Entah siapa yang memulai, tetapi sekarang siapa saja boleh menggantungkan gembok miliknya di sana. Konon dengan begitu, cinta sang pemilik gembok akan abadi.  

Muka Tari bersemu merah. I know but now I'd rather have our love locks instead, batinnya. Meski awalnya hanya untuk menjawab rasa penasaran, saat melihat langsung, keinginan untuk mematri namanya dan Jan timbul jua. 

Jan, teman sekelompoknya di kelas Advance Organic Chemistry dulu, sekarang menjadi lebih dari sekadar teman biasa. Siapa sangka, cinta akan menyapa saat Tari justru tak berharap dia datang?

"Okay, then … I have something." Jan merogoh saku celananya. Tangannya mengepal sekeping benda berwarna merah. Tari bisa mengenalinya saat telapak tangan Jan terbuka. 

"Our love lock," lanjut Jan. 

Jan & Tari 
07-08-2022

Tari ternganga. Jantungnya berdetak lebih cepat. "You … How come? When …?

Tari tak melanjutkan kalimatnya. Ia tak menemukan ungkapan yang tepat saat Jan bertanya, "Will you be by my side through thick and thin?"



Cerita (yang sepenuhnya) fiksi ini diikutsertakan dalam Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan Agustus 2022. 

Di Atas Sungai Rhine

Saturday, August 20, 2022

Wednesday, July 20, 2022

Belajar Bukan Cuma di Sekolah

"Sekolah Mama di mana?" Anak sulung saya bertanya. Dia tahu Papa pergi ke sekolah hampir setiap hari. Dia dan adiknya juga pergi ke sekolah. Hanya saya dan anak bungsu yang tertinggal di rumah.

"Enggak ada. Dulu ada di Indonesia." Jawaban saya cukup segitu karena dia tidak bertanya lagi. Namun, kalau sekarang dipikir lagi, seharusnya saya menambahkan, “Tapi, Mama tetap bisa belajar, lo, walau enggak di sekolah,” karena kenyataannya belajar tidak dibatasi oleh umur, pekerjaan, tempat, atau apa pun (well, terkadang dibatasi oleh uang, sih, hahaha)

Setelah beranak tiga tanpa bekerja di ranah publik, apa, sih, yang ingin saya pelajari? Sejujurnya pertanyaan ini membutuhkan kontemplasi yang lama, sampai-sampai saya menunda hingga hari terakhir setoran untuk Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog. Bukan karena tidak ada yang (pernah) dipelajari, tetapi justru kebanyakan hingga keblinger dan kehilangan fokus.

Oke, lah, mari kita bungkus hal-hal di bawah ini sebagai yang ingin saya pelajari. Biar terukur, (ceritanya) saya bagi dua: sepanjang hayat dan lima tahun ke depan.



Sepanjang hayat

Ilmu agama

Kalau dalam hal ilmu agama, tuh, makin dipelajari, makin saya sadar bahwa diri ini masih sangat bodoh. Banyak yang belum saya ketahui. Kalaupun sudah pernah tahu, saya belum menjalankannya dengan sempurna. Yang lebih parah, setelah tahu, malah lupa karena tidak langsung dipraktikkan atau rutin dikerjakan. 

Jadi, bagi saya rasanya mempelajari ilmu agama harusnya berada di dua ranah: ingin dan butuh. Karena butuh untuk bekal di dunia dan akhirat, saya jadi ingin mempelajarinya terus.

Ilmu pernikahan dan parenting

Konon katanya cinta antara suami istri harus dirawat. Untuk itu belajar ilmu pernikahan menjadi penting. Kalau bukan kita (istri) yang memahami para suami, siapa lagi coba? Nauzubillah, jangan sampai ada pihak ketiga yang lebih bisa memberikan kenyamanan dan perhatian daripada kita, Mah. #okesip

Nah, ilmu parenting tidak kalah penting. Saya termasuk aliran yang setuju dengan paham bahwa anak diciptakan dengan perangkat fitrahnya masing-masing, bukan kertas kosong yang bebas kita goreskan tinta di atasnya. Karena itu sebagai orang tua, kami ingin mendampingi anak-anak menemukan versi terbaik dirinya sesuai dengan yang diinstal Allah sebelum mereka lahir.

Lima tahun ke depan

Teknik menyetir mobil (khususnya di Bandung)

Ini, sih, keinginan berkat kebutuhan. Di Belanda saya bisa bersepeda dengan aman dan nyaman. Transportasi umum pun memadai. Di Bandung, melihat pengalaman dulu waktu masih beranak satu, tampaknya nanti bakal sedikit-sedikit panggil Grab atau Gojek kalau tidak bisa berkendara sendiri. 

Mengapa bukan sepeda motor? Ngeri! Ngeri diserempet motor lain yang beringas, huhu, padahal menyetir mobil juga butuh keberanian, sih. Doakan saya berhasil, ya, Mah!

Ilmu menjaga kesehatan dan merawat kulit

Mengingat usia yang mendekati 40 tahun, urusan kesehatan makin terasa penting. Menua dengan sehat dan bahagia adalah impian saya. Semoga kelak saya dan suami tidak merepotkan anak-anak karena mengurus kami yang sakit-sakitan.

Caranya? Dengan memperhatikan makanan yang sehat, tidur cukup, hindari stres, dan olahraga. Yang terakhir perlu digarisbawahi, deh, karena saya masih m.a.l.a.s berkeringat. Jalan kaki, sih, sering. Semoga itu dihitung berolahraga juga, ya, hehehe.

Selain sehat, menua dengan bersinar juga jadi impian. Niatnya utamanya tentu sama: untuk merawat tubuh yang diberikan (sementara) oleh Allah Swt. Yang kedua, untuk membahagiakan suami, dong, Mah. #ihiy

Ilmu menulis hingga melahirkan buku solo

Minat terhadap dunia kepenulisan mulai menguat sejak aktif di dua subkomunitas ITB Motherhood, yaitu Mamah Gajah Bercerita dan Mamah Gajah Ngeblog dua tahun lalu. Semenjak itu, saya mengikuti beberapa kelas menulis dan edit naskah hingga menghasilkan buku antologi dan punya blog TLD sendiri. 

Namun, bagi saya buku solo adalah satu pencapaian istimewa sebab menulisnya membutuhkan semangat, energi, determinasi, kegigihan yang panjang. Di samping itu, pasti beda rasanya melihat nama kita seorang yang terpampang di sampul buku. There’s a pride you can’t describe.

Kelas daring di EdX

Sebenarnya saya pernah beberapa kali mengambil kelas di EdX, baik yang self-paced maupun terjadwal. Sayangnya, tidak ada satu pun yang selesai. Tampaknya ketekunan atau komitmen belajar saya nyungsep ditundukkan oleh urusan rumah dan anak-anak. 

Namun, keinginan untuk belajar melalui platform ini masih berkobar di dalam dada. #tsaah. Sebenarnya ini dalam rangka menjawab penasaran dan keinginan untuk sekolah lagi, sih. Entah kesampaian atau tidak, yang penting subjeknya dipelajari dulu. Hitung-hitung untuk menambal gap year yang kelewat menganga, kan?

Penutup

Hmm.. ternyata banyak juga yang ingin saya pelajari, ya, hihihi. Terbukti, kan, belajar tidak hanya di sekolah. Justru kehidupan adalah sekolah yang sebenarnya. 

Sebagai sesama Mamah, apa, nih, yang ingin Mamah pelajari? Boleh banget untuk cerita di kolom komentar, ya!



Belajar Bukan Cuma di Sekolah

Wednesday, July 20, 2022

Thursday, March 17, 2022

Impian yang Terluka

"Dek, Bapak tunggu sampai akhir tahun, ya. Kalau kamu belum juga jelas mau ngapain, nggak ngelamar kerja, belum juga dapet beasiswa, kamu harus pulang dan bantu Bapak."

Suara Bapak di telepon tadi pagi kembali terngiang sembari Edi mengetik data penelitian di depan komputer laboratorium. Bapak, sosok yang ia hormati, sekaligus segani akhirnya menjatuhkan ultimatumnya. Sebenarnya Edi sudah menduga situasinya akan seperti ini. Kiranya satu setengah tahun adalah batas kesabaran Bapak menunggunya "mentas".

Edi telah menjadi bagian dari laboratorium Mikrobiologi sejak sebelum lulus kuliah. Dosen pembimbing tugas akhir yang dipilihnya memang dosen mata kuliah Mikrobiologi. Dunia yang hanya kasatmata di bawah lensa mikroskop itu membuatnya jatuh cinta.

Berkat ketekunan dan kerajinannya, ia lalu dilibatkan dalam proyek penelitian yang diketuai dosen pembimbingnya. Dan di sanalah ia sekarang, menguji sampel bakteri pemakan hidrokarbon yang potensial untuk membersihkan tumpahan minyak. Selanjutnya, bakteri-bakteri terpilih akan diisolasi enzimnya untuk mengetahui kunci kemampuan degradasi hidrokarbon.

Masih jauh jalannya agar hasil penelitiannya bisa diaplikasikan di lapangan. Ah, membayangkannya saja sudah membuat jiwa peneliti Edi berkobar. Namun, apa mau dikata. Sekarang sisa waktunya tinggal beberapa bulan untuk mengambil langkah demi masa depannya.

"Woi … Ed, muka lo kusut bener," ujar Nia dari samping. Kemunculannya membuyarkan pikiran Edi.

Aroma parfum rekan sesama asisten dosen itu menggoda saraf penciuman Edi tanpa permisi. Dengan jarak kurang dari satu meter, tentu saja Nia bisa melihat raut wajah serius Edi. Namun, bukannya Edi biasa begitu saat mengerjakan penelitian? Apakah ada aura berbeda yang ditangkap Nia sore itu?

Tampaknya usaha Edi menyembunyikan kegundahannya tidak berhasil bagi Nia.

"Eh … masa kusut? Udah gue setrika padahal."

"Hahaha …. Ya masa muka disetrika."

"Nih, udah gue masukin data hasil uji yang kemarin. Gile, kerjaan kita kayak nggak selesai-selesai. Banyak banget bakteri yang mesti di-screening." Edi mengalihkan perhatian.

"Mantaaap … nuhun, ya! Ga heran lo jadi favorit Bu Santi," puji Nia sambil menepuk bahu Edi.

Edi hanya mengembangkan senyum. Tangannya membetulkan letak kacamata yang agak melorot.

"Eh, gue pulang duluan, ya, Ed. Sampe besok!"

"Oke." Edi memang tak pandai berbasa-basi.

Capek, sih, tapi nggak pa-pa, deh. Gue jadi bisa lebih lama bareng sama lo, batin Nia sambil berdiri di ambang pintu, melihat ke arah Edi yang masih tekun menatap layar komputer.




Sebelum pulang, Pak Wahyu mengamati laporan keuangan bulan lalu. Bisnisnya berjalan dengan baik, satu hal yang sangat ia syukuri di usianya yang menjelang kepala enam. Bertahan di lini bisnis penyewaan alat berat selama hampir setengah dari usianya bukanlah hal mudah. Sayang, anak bungsu sekaligus tumpuan harapannya, menolak untuk meneruskan bisnis yang dirintis dari bawah itu.

"Dek, Bapak tunggu sampai akhir tahun, ya. Kalau kamu belum juga jelas mau ngapain, nggak ngelamar kerja, belum juga dapet beasiswa, kamu harus pulang dan bantu Bapak."

Akhirnya kata-kata itu keluar juga dari mulutnya. Ia paham betul minat Edi, satu-satunya anak laki-laki yang ia miliki, bukan di bisnis meski darah pebisnis diturunkan dari generasi ke generasi.

"Pak, Adek nanti mau kuliah di ITB. Pokoknya harus ke sana. Kalo gagal masuk, Adek mau coba lagi tahun berikutnya."

Masih jelas di ingatan Pak Wahyu tekad bulat Edi setahun sebelum ujian SMA. Dari siapa lagi Edi meniru sifat keras kepala kalau bukan dari dirinya?

Nak, sebenarnya ada alasan lain sehingga Bapak memintamu pulang. Tatapannya tertuju pada foto keluarga di atas meja. Tanpa diundang, bulir air mata mengalir membasahi pipinya.


***


Kehidupan kampus kembali berdenyut setelah ditinggal para penghuninya liburan akhir semester. Di mana-mana terlihat mahasiswa baru bergerombol, pindah dari satu gedung ke gedung lain di jam pergantian kuliah. Kembang agustusan bermekaran, menghiasi kampus dengan warna oranye, seakan menyambut kedatangan (yang dibilang) putra putri terbaik bangsa.

Edi pun tak kalah sibuk. Ia harus menyiapkan modul praktikum Mikrobiologi yang diampu Bu Santi. Mata kuliah wajib untuk tingkat 3 di semester ganjil itu memang terdiri dari 3 SKS kuliah dan 1 SKS praktikum.

Tok, tok.

Edi merasa harus memberi tahu Bu Santi sekarang soal kemungkinannya berhenti pada akhir tahun agar Ibu Santi bisa bersiap untuk mencari pengganti.

Satu lagi yang ingin ia beritahu. Aplikasi beasiswanya ke Korea sudah dijawab: ia ditolak.

"Masuk!"

Bismillah. Edi menekan gagang pintu ruangan Bu Santi di lantai empat Labtek Biru.

"Assalamu'alaikum, Bu. Ibu ada waktu sekarang? Ada yang mau saya bicarakan."

"Iya, boleh. Masuk, Ed. Tapi jam 11 saya ada acara."

Terlihat sejumlah berkas di hadapan Bu Santi. Wakil dekan bidang kemahasiswaan itu memang super sibuk. Edi beruntung, datang di saat yang tepat sehingga bukan pintu terkunci yang ditemuinya.

"Baik, Bu."

Edi masih berdiri di dekat pintu, mengambil jarak aman dari Bu Santi. Entah, mungkin kabar yang akan disampaikannya menahan Edi untuk mendekati meja.

"Kenapa, Ed? Eh, saya jadi inget, belum kasih tahu kamu. Kemarin saya baru dapet email dari kenalan, profesor di Jepang. Dia minta mahasiswa yang mau ambil S2 di labnya. Kamu tertarik, nggak?"

"Wah, beneran, Bu? Iya, saya tertarik. Kebetulan aplikasi ke Korea ditolak. Saya boleh coba yang ini?" Mata Edi berbinar. Ia tak bisa menyembunyikan antusiasmenya.

"Nanti saya kirim persyaratannya ke email kamu, ya!"

"Baik, Bu. Terima kasih banyak."

"Terus kamu ke sini mau bilang apa?"

"Eh … e … itu yang tadi, Bu, aplikasi beasiswa saya ke Korea ditolak."

Ia urung menyampaikan yang satu lagi. Harapan untuk tetap di dunia penelitian yang disukainya bangkit seiring tawaran dari Bu Santi barusan.

"Udah itu aja?"

"E ... iya, Bu. Nanti saya cek email. Secepatnya saya masukkan aplikasinya. Terima kasih sekali lagi."

Edi pamit keluar dari ruangan Bu Santi dan menutup kembali pintu dengan perlahan.

Maafkan Adek, Pak. Bukannya Edi tidak menyayangi Bapak, tetapi ia memilih untuk membuka jalan masa depannya sendiri.


***


"Pak, Adek dapet tawaran dari Bu Santi. Ada profesor kenalannya yang minta mahasiswa S2. Adek mau coba, Pak."

"Alhamdulillah. Di mana, Dek?"

"Di Jepang."

Seketika Pak Wahyu merasa hatinya diaduk oleh emosinya sendiri. Senang dan bangga bercampur dengan sedih dan kecewa. Diam-diam Pak Wahyu bersyukur waktu tempo hari Edi mengabarkan soal kebatalannya ke Korea. Ia sungguh berharap Edi bisa membantunya menjalankan bisnis. Sekarang, Jepang?

Meski berat, Pak Wahyu harus selalu bersiap dengan kemungkinan Edi berhasil mencapai impiannya untuk sekolah ke luar negeri. Ia paham tabiat putranya itu: pantang menyerah.

"Doain, ya, Pak," lanjut Edi memecahkan kesunyian yang sekejap terjadi.

"Iya, Dek. Insyaallah Bapak doakan."

Hanya itu yang bisa dilakukan orang tua, bukan? Pak Wahyu sudah berhasil mengantarkan Edi menempuh jenjang pendidikan tinggi. Ia bangga Edi punya impian yang jelas dan sedang melangkah menujunya.

"Makasih, ya, Pak."

Meski Edi berusaha memahami perasaan bapaknya, ia tidak tahu kenyataan sebenarnya di ujung telepon.

Kring, kring.

Telepon Pak Wahyu kembali berdering. Kali ini dari istrinya, Ros. Mungkin doa Bu Ros sewaktu menyematkan nama Edison pada nama anak laki-laki mereka, benar-benar dikabulkan Allah.

"Halo, assalamu'alaikum. Pak, udah minum obat belum?"

Bu Ros langsung mengutarakan maksudnya menghubungi Pak Wahyu. Walau ia sudah menyiapkan kotak obat bersekat dengan label waktu minum, tetap saja kalau tidak mengingatkan langsung, seperti ada yang kurang. Bu Ros ingin memastikan suaminya tidak lupa.

"Belum. Barusan Edi telepon. Kasih kabar, dia ditawarin dosennya untuk lanjut S2 ke Jepang. Bu, …." Pak Wahyu berhenti sejenak. "Gimana kalo dia benar-benar berangkat ke Jepang? Baiknya bisnis Bapak ditutup aja?"

Yang Pak Wahyu khawatirkan akhirnya akan terjadi, jauh lebih cepat daripada bayangannya. Dua kakak perempuan Edi tidak bisa diharapkan karena mereka sudah sibuk dengan keluarganya masing-masing.

"Istikharah aja lagi, Pak. Minta Allah tetapkan hati Bapak."

Bu Ros tahu suaminya bukan membutuhkan jawaban, melainkan penguatan. Mereka sudah mulai membahas kemungkinan ini, bahkan sejak Edi bersikeras masuk ITB. Namun, penyakit yang diderita Pak Wahyu beberapa bulan terakhir memaksanya untuk segera mengambil opsi terpahit yang berusaha mereka sisihkan bertahun-tahun.

Nak, haruskah Ibu membocorkan rahasia penyakit Bapak supaya kamu mau pulang dan melepaskan impianmu? batin Bu Ros setelah menutup telepon.


***


Semua berkas yang dibutuhkan sebagai syarat aplikasi beasiswa sudah siap. Meski ada permintaan langsung dari profesor, Edi harus tetap mendaftar lewat jalur resmi untuk mendapatkan beasiswa. Bedanya, dia tak lagi harus mencari profesor dan tema penelitian. Kemungkinannya diterima memang belum 100%, tetapi dengan adanya rekomendasi kuat dari profesor, ia jadi lebih percaya diri untuk lolos.

"Bismillah, send!" Edi mengeklik tombol untuk mengirimkan email kepada komite beasiswa. Tentu ia berharap banyak, tetapi di saat yang sama ia pun harus siap menerima kemungkinan gagal.

"Lo jadi daftar, Ed?" tanya Nia yang kali itu berada di belakang kursi Edi. Ia mengintip sedikit email Edi. Sekilas dibacanya tulisan application.

"Iya, doain gue lolos ya, Ni!"

"Pasti, dong," jawab Nia, "tapi …," lanjutnya dengan suara berbisik, "gue lebih suka kita sama-sama terus."

Edi yakin telinganya masih tajam. Ia menoleh ke arah Nia yang masih mematung di sana, di belakangnya. Baru kali ini ia menangkap warna lain di wajah Nia. Sendu.


***


Kring, kring.

Kring, kring.

Kring, kring.

Dinaungi langit yang sama, panggilan telepon Bu Ros untuk mengingatkan suaminya minum obat kali itu dijawab oleh mesin. Bu Ros hafal betul, suaminya selalu sigap mengangkat setiap panggilan telepon yang masuk. 

Mendung yang menggelayut sedari pagi seakan menjadi pertanda. Sesuatu yang pasti akan dialami setiap makhluk bernyawa nyaris menampakkan wujudnya. Kali ini di ruang kerja Pak Wahyu.



Tulisan ini diikutsertakan dalam Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog Maret 2022.

Impian yang Terluka

Thursday, March 17, 2022

Saturday, January 15, 2022

Mamah Gajah dan Saya

Pos ini masih tentang blog baru (semoga kamu belum bosan 😁), tepatnya tentang tagline yang saya tulis di bagian header. Itu, tuh, yang ada di bawah judul muttimuti. Yup, "about motherhood and more".

Mengapa saya pilih tagline itu? Tentu alasan paling sederhana adalah karena saya seorang ibu dari tiga anak aktif. It's so obvious that everyone can see it. Namun, haruskah status keibuan saya diperjelas, bahkan dijadikan tagline?

Tema Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog perdana di tahun ini, "Tentang Dirimu, Mamah Gajah", pas sekali untuk membahasnya. Meski mendefinisikan diri itu tidak mudah, ada satu sisi yang sampai sekarang terus saya renungi dan resapi maknanya: saya sebagai ibu, sekaligus ibu rumah tangga.



Beratnya jadi mamah gajah

Bagi sebagian orang, mungkin peralihan status menjadi ibu rumah tangga terasa biasa saja, bahkan dianggap wajar. Menikah, lalu hamil, melahirkan, dan membesarkan anak tanpa diduakan oleh pekerjaan di luar rumah adalah kodrat perempuan yang harus diterima dan dijalani. Namun, lain perkara bila yang berada di posisi tersebut adalah seorang mamah gajah. Persoalan ini jadi rumit karena dulu waktu kuliah terbiasa berpikir yang rumit-rumit, setidaknya di mata saya.

Oh iya, untuk kamu yang belum tahu, mamah gajah itu sebutan untuk alumni (atau calon alumni) perempuan sebuah PTN di Bandung (sebut saja, Kampus Gajah) yang akan/sudah menyandang status mamah. Istilah gajah diambil dari lambangnya yang adalah gajah duduk, bukan karena ukuran tubuh, berat, apalagi wajah para mamah mirip gajah. Awas, nanti ada yang tersinggung 🤫.

Harapan yang diemban alumni Kampus Gajah ini sungguh tinggi. Mungkin penyebabnya adalah sepanjang sejarah sekolah ini hanya menerima mahasiswa peringkat atas dengan nilai superior. Bahkan waktu zaman orang tua saya menjadi mahasiswa baru di sana—iya, mereka alumni Kampus Gajah juga sehingga kami sebenarnya adalah keluarga gajah 🐘🐘🐘; saya dan suami juga membentuk keluarga gajah jilid 2—spanduk penyambutannya bertuliskan: Selamat Datang Putra-Putri Terbaik Bangsa.

Sebelum pandemi, kamu tidak perlu jadi mahasiswa. staf, atau dosen untuk jalan-jalan keliling kampus (foto: Kampus Gajah).

People expect you to be successful just because you're a top university graduate. Padahal kenyataannya, alumni Kampus Gajah juga sama-sama berjuang dari bawah seperti yang lain. Kesuksesan tidak jatuh dari langit, kan?

Harapan (dan tuntutan) ini berlaku sama, untuk laki-laki dan perempuan. Karenanya, alumni perempuan yang kemudian menikah dan memilih (dengan sadar ataupun terdesak oleh keadaan) untuk menjadi ibu rumah tangga kerap mendapat pertanyaan, "Kok, di rumah aja?" atau "Ga sayang, tuh, udah sekolah tinggi-tinggi, tapi jadi ibu rumah tangga doang?" Merendahkan, kepo, kasihan, dan murni bertanya itu memang berbeda tipis, Mah, setipis helaian rambut dibelah tujuh.

Stigma di masyarakat berpotensi membuat ibu rumah tangga minder. Peran sebagai ibu rumah tangga dianggap cuma-cuma: cuma jadi ibu rumah tangga, cuma di rumah, cuma mengurus anak, cuma jadi tukang antar jemput anak sekolah, dan sederet cuma lainnya. Lebih parahnya, karena ibu rumah tangga tidak digaji dan tidak berpenghasilan, negara menganggap ibu rumah tangga sebagai pengangguran terselubung. Diperhitungkan dalam penyumbang GDP? Tentu hanya mimpi. Walaupun faktanya, mungkin saja ibu rumah tangga memiliki usaha sampingan dan menghasilkan pemasukan bulanan lebih besar daripada pegawai kantoran.

Ibu rumah tangga sesungguhnya punya banyak tangan (gambar: Freepik).

Pandangan umum itu menurut saya kontradiktif karena menjadi ibu rumah tangga itu aslinya berat, Mah. Dia sebenarnya adalah manajer keuangan, pengawas kualitas, ahli gizi, koki, supir, body guard, guru, pendongeng, trainer, dan pengasuh anak dalam satu badan yang sama. Pokoknya harus serba bisa! Tidak ada waktu libur bagi ibu rumah tangga; untungnya masih punya waktu tidur (yang berantakan sewaktu anak masih bayi 😌).

Malangnya, ibu rumah tangga tidak diperhitungkan sebagai profesi yang layak untuk dipilih. Tidak ada, tuh, sekolah/pelatihan untuk menjadi ibu rumah tangga yang baik dan benar. Selain itu, tidak ada sertifikasi khusus untuk menyatakan kualifikasi sebagai ibu rumah tangga. Intinya, lulusan universitas yang menjadi ibu rumah tangga harus mencari sendiri cara untuk meningkatkan kualitas dirinya.

Pergulatan batin seorang mamah gajah

Nah, peran sebagai ibu rumah tangga yang multifaset berimbas pada penerimaan diri saya sebagai ibu. I'm lost in the journey of motherhood and I didn't expect it.

Dulu saya memilih untuk menjadi ibu penuh waktu yang bekerja di ranah domestik semata-mata karena merasa itu yang benar. Alasan sederhana sekali, ya? Namun, kenyataan tidaklah semulus kulit artis Korea 🤪.

Ada masa saya tidak menikmati menjadi ibu. Jangan salah sangka. Saya mencintai anak-anak saya, tetapi tetap saja ada yang mengganjal. Jauh di dalam hati, ada bisikan "seharusnya saya tidak di sini, tidak di rumah (saja)" yang membuat saya ingin menanggalkan peran ibu penuh waktu. Namun, untuk melangkah ke luar, ada perasaan bersalah karena itu berarti saya harus rela melepaskan anak dari pengawasan saya. Kaki saya menapak di rumah, tetapi jiwa saya ingin menjelajah. Istilah zaman sekarang: BM (Banyak Mau) 😂.

Momen memegang tangan bayi untuk pertama kali adalah momen berharga bagi seorang ibu (foto: Freepik)

Perasaan ini berlarut-larut, kadang naik, kadang turun. Dia belum benar-benar hilang meski setiap hari saya tetap melakukan segala pekerjaan ibu rumah tangga (yang tidak ada habisnya itu) dan tetap belajar berbagai hal tentang anak dan pengasuhan. Beberapa impian pribadi masih tersimpan, menunggu untuk diwujudkan.

Berulang kali saya mendengarkan nasihat soal ladang amal terbesar bagi perempuan sejatinya ada di rumah: sebagai istri dan ibu. Namun, yang namanya ikhlas mudah untuk diucapkan, sulit untuk dipraktikkan. Walau akal sudah menerima, hati ini belum lapang jua.

Kemudian menjelang kepulangan kami ke Indonesia tahun ini, saya berada pada persimpangan yang mengharuskan saya untuk mulai serius memikirkan wujud peran sebagai ibu. Apakah saya akan menjadi ibu penuh waktu yang bekerja di rumah atau ibu penuh waktu yang juga mengambil peran eksternal? Apakah saya akan kembali ke dunia akademik atau beralih ke yang lain? Jadi bloger, misalnya 😍? Apakah saya akan mengambil peran sebagai home schooler mom atau bekerja sama dengan sekolah dalam mendidik anak?

Pertanyaan-pertanyaan itu menuntut saya untuk tidak lagi menunda proses penerimaan diri sebagai mamah gajah (baca: ibu) seutuhnya. Saya harus segera berdamai dengan diri, dengan keadaan, dengan impian. And it means, now.

Penerimaan diri sebagai mamah gajah

Alhamdulillah kegalauan saya seperti bertemu muaranya Desember lalu, tepatnya di sesi penutup Konferensi Ibu Pembaharu (KIP) yang diselenggarakan oleh Ibu Profesional. Ibu Septi Peni Wulandani (founder Ibu Profesional) membawakan judul yang ngena banget: “Saya ibu rumah tangga dan saya bangga”. Beliau berbagi pengalamannya dalam meningkatkan kapasitas diri sebagai ibu melalui membaca buku, belajar public speaking, menebar kebaikan, juga mengajak ibu lain untuk sama-sama belajar.

Beliau menekankan pentingnya mengubah mindset soal ketidakberdayaan ibu rumah tangga. Everything begins from your mind. Dengan cara berpikir yang baru, ibu rumah tangga akan keluar dari cangkang yang ia ciptakan sendiri. Ia akan bisa melepaskan ikatan yang membelenggu pikirannya. Menjadi ibu rumah tangga bukan berarti berhenti belajar. Menjadi ibu rumah tangga bukan berarti tidak bisa berkarya. Dari ibu-ibu hebat, lahir anak-anak hebat.

Menerima diri adalah salah satu kunci kebahagiaan (gambar: Pixabay).

Meski sebenarnya bukan ide segar, saya menganggap ini cara Allah menguatkan saya. It just came at the right time. Rasanya berbeda karena sekarang saya sedang berbenah diri. Ditambah lagi, pembicara di sesi sebelumnya (juga di KIP) membahas tentang konsep fixed mindset vs growth mindset. Intinya, kita harus punya growth mindset untuk menjadi diri yang lebih baik, dengan kapasitas yang bertambah.

Jadi, apa yang (harus) saya lakukan dalam proses ini? Catatan: saya menulis poin-poin berikut dalam rangka memetakan langkah, bukan merekam pengalaman.
  1. Menanamkan dalam hati bahwa peran sebagai ibu (rumah tangga) adalah takdir Allah yang terbaik. Tidak ada ketentuan-Nya yang salah. Seringnya kekeliruan dalam memahami ada pada diri kita sebagai manusia.
  2. Memandang keluarga sebagai kendaraan yang akan membawa saya ke surga dunia dan akhirat. Menjadi ibu (rumah tangga) adalah bentuk ibadah kepada Allah. Tambahannya, bersyukur! Allah memberikan nikmat berupa keluarga (dengan anak-anak yang sehat) kepada saya.
  3. Memperbaiki niat sebab niat adalah setengah dari ibadah, lalu sering-sering memeriksa kelurusan niat. Lihat rumah berantakan, anak berantem, plus masih harus masak itu berpotensi membuat uring-uringan. Mamah pasti paham banget, deh. Kalau sudah begitu, pasang mode masa bodo dulu 😂.
  4. Mendesain ulang impian. Alih-alih merasa kehilangan impian, saya perlu membuat impian baru sesuai dengan peran sekarang. Mungkin istilah lebih tepatnya, "menyelaraskan impian" sebab seharusnya tidak perlu ada kepentingan baik yang dipertentangkan. Make some time for myself. Finding the right balance is the key.
  5. Mulai sekarang! Ini adalah poin yang paling menohok 😆.

Semoga pada saatnya nanti, saya akan mampu berkata dengan percaya diri, "Saya mamah gajah yang #dirumahaja dan saya bangga".

Penutup

Bagi saya, pergulatan batin dalam menerima diri sebagai ibu dan ibu rumah tangga melewati jalan berliku. Sekarang pun saya masih berproses karena merasa belum 100% ada pada titik menerima seutuhnya. It's okay, I will just take my time as long as I'm walking toward the right direction.

Tagline "about motherhood and more" sebenarnya adalah jangkar peneguh bagi saya selama berproses untuk menerima diri. Saya berharap dengan menuliskan banyak cerita dari sudut pandang ibu yang juga ibu rumah tangga, kaki saya akan makin kuat menjejaki peran ini.

Doakan ya, Mah!



Mamah Gajah dan Saya

Saturday, January 15, 2022

Tuesday, November 30, 2021

Tahun 2021-ku

Tahun 2021 dibuka dengan kuncitara total di Belanda. Toko-toko nonesensial tutup. Fasilitas umum tutup. Sekolah libur. Jumlah tamu yang berkunjung ke rumah dibatasi. Perjalanan yang tidak penting harus dihindari. Jam malam diberlakukan.

Kami bertanya-tanya kapan kuncitara akan selesai karena setiap mendekati tanggal yang ditetapkan sebagai akhir periode kuncitara, pemerintah mengumumkan perpanjangan. Kuncitara berlangsung dari yang awalnya satu bulan, diperpanjang menjadi dua bulan, lalu diperpanjang lagi menjadi tiga bulan. Kebijakan kuncitara diperlonggar menginjak bulan Maret sampai akhirnya pada bulan Juni pemerintah Belanda tidak lagi membatasi acara kumpul-kumpul. Jarak 1.5 m pun tidak berlaku. Penduduk Belanda bisa menikmati musim panas dengan gembira.

Apakah kisahnya berhenti sampai di situ, happily ever after? Oh, tentu tidak. Saat ini kami kembali berada di masa kuncitara parsial karena angka positif Covid-19 di Belanda meningkat drastis. Semoga saja keadaannya tidak separah di awal tahun.

Menjelang bulan Desember, mari kita kilas balik tahun 2021 dan mengambil pelajaran hidup darinya. Ya saya tahu, memang biasanya orang melakukan itu di bulan terakhir, tetapi demi Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog, saya rela melakukannya lebih awal (uhuk ...). Ini dia lima pelajaran hidup saya tahun ini yang tidak diurutkan berdasarkan waktu kejadian.



01. There's a bright side in everything.

Seperti saya sebutkan di atas, pemerintah menutup sekolah pada awal tahun 2021. Itu artinya semua kegiatan belajar dilakukan di rumah. Pihak sekolah memberikan materi harian yang perlu dipelajari anak dan orang tua tinggal mengikuti instruksinya.

Waktu itu baru anak sulung saya sudah bersekolah TK. Seharusnya adiknya mulai masuk kelompok bermain, tetapi tertunda oleh kuncitara. Situasi belajar dari rumah--di sini tidak ada istilah khusus semacam PJJ--membuat saya tahu materi (bahasa dan matematika) yang dipelajari anak sesuai kelasnya. Hal ini tentu lebih sulit saat anak bersekolah normal. Saya hanya menerima hasil berupa prakarya atau lembar kerja setiap periode tertentu. Pada pertemuan orang tua dan guru pun yang dibahas adalah perkembangan kemampuan anak di kelas.

(Jadilah ibu yang sabar dalam mendampingi anak saat belajar dari rumah. Foto: gpointstudio di Freepik)


Salah satu yang membuat saya terpukau adalah materi pengajaran bahasa. Anak-anak belajar tentang rima melalui buku cerita bergambar dan benda sehari-hari. Sampai sekarang si sulung masih melakukan permainan rima bersama adiknya. Pengalaman ini saya kembangkan menjadi opini dan bisa dibaca di situs web Mamah Gajah Ngeblog (MGN), lo.

Walau banyak orang tua mengeluhkan kesulitan mereka mendampingi anak-anak belajar di rumah, hal tersebut tidak melulu negatif, kok. Semua tergantung cara pandang kita. Hal seburuk apa pun, yang membuat tidak nyaman sekali pun, bisa kita ambil sisi positifnya. Justru sikap seperti ini akan membuat hidup kita lebih ringan dan lebih kaya. Benar, ‘nggak?

02. What doesn't kill you makes you stronger.

Di Belanda ada satu toko retail besar (sebut saja “A”) yang menjual aneka barang. Jaringannya luas hingga ke delapan negara Eropa lain. Yang unik adalah walau besar, A tidak memiliki toko daring! Jika membuka situsnya, kita hanya menemukan deretan produk dengan harga masing-masing, tanpa ada pilihan “masukkan ke keranjang belanja”. Di era digital yang serba daring, biasanya pebisnis memasukkan toko daring sebagai salah satu strategi bisnisnya. Kita pun menjadi akrab dengan teriakan “paket!” (ayo, ngaku!).

Namun, rupanya serangan negara api di awal tahun membuat A berpikir ulang. Enggak bisa kayak begini terus. Bisa bangkrut kita. Karena termasuk toko nonesensial, A harus tutup selama kuncitara. A yang sebelumnya mengandalkan pembelian luring di toko harus memutar otak dan mengubah strategi bisnisnya agar dapat tetap bertahan.

Perubahan ini terlihat saat saya melewati depan toko A semasa kuncitara masih berlangsung. Ada sebuah meja panjang dan tulisan “titik pengambilan”. Karena penasaran, saya membuka situsnya dan benar saja, A memutuskan untuk membuka toko daring! Wow, what a surprise!

(Jangan terus-menerus merasa terkurung. Siapa tahu sebenarnya ada pemandangan indah di luar sana. Gambar: bedneyimages di Freepik)


Sepertinya ini adalah hikmah kuncitara bagi A. Dia melihat kesulitan sebagai tantangan dan mampu mengubahnya menjadi kesempatan. Cara berpikir ini tentu berlaku umum, tidak hanya dalam perkara bisnis. Namun, tidak semua orang mau dan mampu melakukannya. Kalau kamu gimana? Masih suka meratapi kesulitan atau memilih untuk membalikkannya jadi peluang?

Tambahan:

Saya termasuk yang senang dengan adanya toko daring A. Berkatnya, kami mendapatkan stroller dengan harga murah, tetapi berkualitas baik, untuk si bayi. Bravo A!

03. Ada rezeki orang lain di dalam rezeki kita.

Dari awal kami menempati sepetak rumah ini pada tahun 2018, sudah ada kebocoran pipa air di toilet kami. Akibatnya setiap kali kami menyiram kloset, pasti ada air yang keluar. Tepat di bawah titik bocor tersebut ada wadah yang ditaruh oleh penghuni sebelumnya. Setelah beberapa waktu berselang titik bocor kedua muncul di pipa wastafel. Anehnya, tidak seperti pipa di toilet, air menetes terus-menerus meski keran sudah ditutup.

Kami bukannya tidak pernah melaporkan perihal ini kepada pihak penyewa--kami tidak bisa memperbaiki sendiri karena tinggal di apartemen. Beberapa kali suami saya mengirimkan surel, tetapi responnya lambat sekali. Waktu akhirnya ada seseorang yang datang untuk mengecek kondisi, kami senang dan berharap ada solusi. Sayangnya setelah itu tidak ada tindakan apa-apa, nihil. Dua kali begitu. Sampai pandemi datang, kondisi di toilet dan wastafel masih sama.

Melihat situasi pandemi mereda, pada pertengahan tahun suami saya kembali menghubungi pihak penyewa. Sebelumnya kami tidak menanyakan kelanjutan inspeksi karena enggan ada orang asing masuk ke dalam rumah. Akhirnya ada orang yang datang untuk (lagi-lagi) memeriksa kondisi. Kami tidak mau memasang ekspektasi tinggi agar tidak kecewa seperti dulu.

Tiba-tiba di hari Jumat tiga pekan lalu suami saya mendapat telepon bahwa akan ada perbaikan pipa pada hari Senin pekan depannya. Alhamdulillah! Bye-bye bocor! Tidak hanya pipa yang diganti, tetapi seperangkat kloset dan wastafelnya. Dua-duanya gres.

Saya jadi berpikir apakah ini rezeki kami atau sebenarnya kami hanya terciprat rezeki orang lain?


(Count your blessings, not your problems. Gambar: Gordon Johnson di Pixabay)


Kami berencana untuk meninggalkan rumah ini pada pertengahan tahun depan. Seorang teman yang baru memulai studi doktoralnya berminat untuk melanjutkan sewa rumah seperti halnya kami empat tahun lalu. Dia sudah tahu soal kebocoran pipa sewaktu berkunjung untuk melihat-lihat kondisi rumah. Tak dinyana nanti dia tidak perlu melakukan rutinitas membuang air hasil tampungan karena sudah tidak ada lagi yang bocor.

Yang mana pun jawabannya, saya jadi menyadari bahwa apa yang kita nikmati bukan selalu murni rezeki kita. Bisa jadi ada rezeki orang lain di dalamnya (contohnya, zakat/sedekah) atau malah kita yang “menumpang” di dalam rezeki orang lain. Ingatlah untuk selalu bersyukur dan bersyukur terus, ya!

04. Temukan potensi dengan belajar hal baru.

Hal baru yang saya lakukan tahun ini memiliki satu benang merah: menulis. Mulanya adalah saat saya bergabung dengan komunitas Mamah Gajah Bercerita (MaGaTa) pada tahun 2020, lalu mencoba mengikuti tantangan menulis pekanan sejak Februari 2021. Pada periode yang sama saya mengambil peluang yang ditawarkan seorang teman untuk mengikuti proyek antologi cerpen anak. Saya banyak belajar, termasuk berkenalan dengan PUEBI dan KBBI.

Pada bulan berikutnya saya mengikuti kelas blog. Kalau tidak salah ingat, awalnya saya iseng mengeklik satu tautan akun Instagram di IG Story. Ternyata pemilik akun tersebut membuka berbagai kelas, salah satunya kelas blog. Boleh juga, nih, pikir saya. Biayanya hanya seperdua-puluh dari kelas blog milik narablog asal AS yang saya minati di awal tahun. Keputusan saya mengikuti kelas blog menjadi penyebab blog saya bangkit dari mati suri dan pendorong saya bergabung di MGN.

Meski sudah mengikuti tantangan menulis pekanan di MaGaTa dan bulanan di MGN, saya masih tertarik dengan cerita anak. Mungkin karena di Belanda saya menemui beragam buku cerita anak dengan tema dan alur yang unik dan nyeleneh, mulai dari perceraian orang tua hingga feses binatang. Ha-ha-ha. Karena itu, beberapa kali saya mengikuti webinar dan kelas cerita anak. Ternyata membuat cerita anak itu menyenangkan, lo, meski tidak mudah.

(Keluar dari zona nyaman, yuk! Mencoba hal baru itu menyenangkan. lo! Gambar: macrovector di Freepik)


Satu lagi, tahun ini saya belajar tentang penyuntingan. Berangkat dari kesenangan saya memperbaiki kesalahan berbahasa, serta memperhatikan detail, saya mengambil posisi sebagai editor di tim media dan dakwah di sebuah komunitas sejak Juni 2021. Kemudian, bulan ini saya mengikuti kelas edit naskah. Wah, ternyata profesi editor itu ibarat dokter bedah, lo. Bedanya, yang menjadi pasien adalah naskah penulis, baik orang lain, maupun karya sendiri.

Dari belajar banyak hal baru saya jadi sadar minat dan potensi saya di bidang tulis-menulis. Seandainya tidak mencoba, belum tentu saya tahu. Kalaupun akhirnya tahu, jalannya akan lebih panjang.

Banyak orang memilih untuk tetap berada di dalam zona nyaman dan enggan belajar hal baru. Saya tidak mengatakan itu salah. Namun, dengan mencobanya kita akan dapat membedakan mana yang kita suka dan tidak suka, mampu dan tidak mampu kerjakan. Lagi pula hal baru akan membuat hidup lebih berwarna. Jadi, hal baru apa yang mau kamu coba tahun depan?

05. Tidak perlu selalu mempertimbangkan pendapat orang lain.

Ini musim dingin ketiga jari-jari tangan dan kaki saya bengkak dan memerah (bahkan sampai biru). Awalnya di bagian buku, lalu merambat ke sendi. Rasanya? Tentu saja nyeri saat disentuh, apa lagi ditekan. Selain itu, saya merasakan sensasi terbakar dan gatal di bagian tersebut. Setelah bertanya kepada Paman Google, ternyata saya terkena chilblains.

Chilblains biasanya terjadi di musim dingin sebagai reaksi terhadap udara dingin. Saya tidak mengerti mengapa gejala ini baru muncul pada tiga tahun terakhir, padahal saya sudah pernah merasakan beberapa kali musim dingin (dengan suhu yang lebih rendah). Apakah karena faktor U alias usia? #sensitif

Biasanya chilblains mereda setelah beberapa minggu. Caranya adalah dengan menjaganya tetap hangat. Walau suhu di luar masih di atas 10°C (dan saya masih merasa tidak butuh pelindung apa-apa), saya harus tetap menutupi tangan dengan sarung tangan. Sempat terpikir, apa kata orang lain saat melihat saya pakai sarung tangan? Apakah saya akan dianggap aneh? Pikiran itu saya tepis sendiri, tapi, kan, mereka tidak tahu masalah dan kebutuhan saya. Untuk apa saya memusingkan pendapat orang lain?

(Kita akan bersinggungan dengan banyak pendapat orang dalam hidup kita. Seberapa jauh kita mau mempertimbangkannya? Gambar: rawpixel.com di freepik.com)


Saya yakin banyak kondisi yang membuat kita berpikir sebelum mengambil keputusan. Apa pendapat orang lain bila saya melakukan ini? Apakah saya (tetap) akan diterima oleh mereka? Sebaliknya, apakah saya malah akan dihakimi tanpa ditanya alasan saya melakukan ini? Pikiran-pikiran tersebut, jujur, sangat melelahkan. Kita akan hidup untuk menyenangkan orang lain, untuk memenuhi harapan orang lain. Kita takut untuk berbeda, untuk mengambil jalan yang tidak umum.

Berita baiknya, pikiran seperti itu bukan sepenuhnya salah kita, melainkan peran sistem sosial. Layaknya bell curve yang menggambarkan distribusi normal dalam statistik, mayoritas orang berada di area tengah. Hanya sedikit yang berada di ujung kiri atau kanan. Artinya, memang secara alamiah kita akan cenderung mengikuti kebiasaan masyarakat di tempat kita berada. Biarpun begitu, bukan berarti selamanya kita tidak bisa menjadi berbeda, bukan? Nah, pertanyaan berikutnya adalah kapan kita lebih baik mengikuti harapan masyarakat dan kapan kita mempertahankan pilihan kita yang (mungkin) berbeda? Jawabannya boleh ditulis di kolom komentar, ya! He-he-he.

Penutup

Kok, cuma lima pelajaran hidup? Karena tenggat waktu pengumpulan tautan tulisan tinggal 1,5 jam lagi, Saudara-Saudara, padahal daftar yang sudah saya buat masih berderet (ehem ...). Apakah itu artinya perlu ada bagian kedua? Ha-ha-ha.

Tidak saya sangka sebelumnya, ternyata peristiwa kecil nan sederhana mengandung hikmah yang bisa dipetik. Itu mengapa perlu refleksi akhir tahun, ya (baru ngeh). Semoga pelajaran yang saya ambil dari peristiwa yang terjadi tahun ini juga menjadi pelajaran bagi para pembaca. Semoga di tahun depan dan tahun-tahun berikutnya kita menjadi semakin bijak dalam berpikir, berbicara, dan bertindak. Aamiin.

Selamat berefleksi diri di akhir tahun!





Tahun 2021-ku

Tuesday, November 30, 2021

Sunday, November 14, 2021

Mahalnya Harga Kesehatan

"Pah, rumah yang di ujung jalan dijual?"
"Iya, kan istri pemiliknya sakit berat. Butuh biaya buat berobat kayaknya."

Meski hanya ilustrasi, kita pasti familiar dengan situasi demikian. Setidaknya sekali dalam hidup, kita pernah mendengar seseorang terpaksa melepas sebagian (atau seluruh) hartanya demi membiayai pengobatan penyakit. Kita juga sering mendapat pesan berisi ajakan berdonasi untuk pasien yang sedang membutuhkan biaya perawatan di rumah sakit. Jangan-jangan malah kita sendiri yang memiliki pengalaman mengeluarkan uang dalam jumlah besar untuk berobat, bahkan sekadar untuk konsultasi ke dokter.




Akibat sakit

Berdasarkan kenyataan tersebut, wajar bila muncul ungkapan "Sakit itu mahal!". Benarkah? Mari kita ambil contoh tarif pelayanan rawat inap di dua rumah sakit pemerintah, yakni RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta dan RS Hasan Sadikin, Bandung yang saya ambil dari situs masing-masing. Untuk kelas III, kelas terendah, keduanya mematok harga di kisaran Rp300 ribu per hari. Ini belum termasuk obat-obatan.

Biaya rawat inap di RS Cipto Mangunkusumo (sumber: situs web RSCM)


Biaya rawat inap di RS Hasan Sadikin (sumber: situs web RSHS)

Bagi masyarakat berpenghasilan rendah, biaya per hari ini mungkin sama dengan uang makan mereka selama sebulan. Maka dari itu, wajar bila mereka lebih memilih untuk mengonsumsi obat-obatan umum yang ada di pasar, alih-alih mengunjungi dokter. Jika tak kunjung sembuh, mereka akan mendiamkan penyakitnya sampai akhirnya terlalu parah untuk diobati dengan cara atau obat biasa. Padahal nantinya biaya yang dikeluarkan malah akan lebih besar, bahkan bisa berujung pada kematian.

Bagaimana jika yang tertimpa musibah sakit adalah bapak sebagai kepala keluarga? Tentu akibatnya akan lebih dramatis lagi. Nasib satu keluarga menjadi tidak jelas karena kehilangan sumber penghasilan. Akibatnya, baik ibu, maupun anak-anak harus mencari cara untuk bisa bertahan hidup. Efek berikutnya sekolah anak bisa terganggu--bahkan putus di tengah jalan.

Itu baru dari aspek fisik dan materi yang kasat mata. Tak usah berbicara tentang si sakit yang sudah pasti terganggu keseimbangan mentalnya, memiliki anggota keluarga yang sakit juga berpotensi melemahkan mental yang sehat. Mau tidak mau ada perasaan khawatir, sedih, kasihan, takut kehilangan, tidak menerima, dan sebagainya yang mendera anggota keluarga terdekat. Apalagi bila timbul perasaan menyalahkan Tuhan atas takdir sakit yang diberikan, wah, itu berbahaya sekali.

Menjaga kesehatan sebelum sakit

Sayangnya persoalan kesehatan bagi sebagian masyarakat tidak lebih penting daripada urusan perut. Sehat sering baru dianggap bermakna saat sakit. Oh, betapa nikmatnya sehat itu! Begitu sehat, mereka kembali pada kebiasaan lama yang tidak menjaga kesehatan. Ah, manusia memang tempatnya lupa (dan alasan!).

Seharusnya dalam hidup kita mengikuti pakem "lebih baik mencegah daripada mengobati", terutama untuk urusan kesehatan. Caranya antara lain dengan makan makanan bergizi seimbang dan cukup, berolahraga, tidur cukup dan teratur, serta tidak merokok dan minum minuman keras. Dengan tubuh yang sehat, kita bisa melakukan kewajiban kita dengan sempurna, juga banyak hal lain yang baik dan bermanfaat. Kita juga bisa membersamai keluarga tanpa hambatan dan keluhan.

Di samping kesehatan fisik, jangan lupa untuk memperhatikan aspek mental sebab kesehatan mental mempengaruhi kesehatan fisik. Bagi muslim, dengan mengingat Allah dalam kondisi apa pun hati akan tenang. Selain itu, kita berusaha membersihkan hati dari berbagai penyakit, mengedepankan prasangka baik, dan menerima takdir dengan hati lapang. Bersosialisasi dan berteman juga penting sebab bagaimanapun kebutuhan sebagai makhluk sosial harus dipenuhi.

Satu lagi, menjaga kesehatan pikiran. Dengan terus menggunakan otak untuk berpikir yang bermanfaat, menambah pengetahuan, berbagi ilmu kita akan terus "hidup". Karena itu, banyak lansia tetap sehat di masa tuanya karena selalu mengasah pikirannya, tidak membiarkannya diam.

Penutup

Sebenarnya menjaga kesehatan itu tidak sesulit yang dibayangkan. Tidak perlu pula makanan mewah atau peralatan mahal. Mulailah dengan langkah kecil setiap hari. Jika memikirkan segala manfaat yang bisa diraih dan kegiatan yang dilakukan dengan tubuh, mental, dan pikiran yang sehat, kita akan lebih mudah untuk berubah menjadi lebih baik.

Oleh karena itu, seharusnya ungkapan yang tepat, bukan "Sakit itu mahal!", melainkan "Sehat itu mahal!". Mahal bukan diukur dengan uang, tetapi dengan keberdayaan diri saat sehat. Yuk, kita ubah cara berpikir kita dan mulai jaga kesehatan sejak sekarang!


Mahalnya Harga Kesehatan

Sunday, November 14, 2021

Sunday, October 31, 2021

Berkomunitas di Tanah Rantau

Kilas balik ke masa SMA dulu (iya, tahu, decades ago), kita mengenal istilah "komunitas" untuk pertama kali. Di pelajaran biologi--semoga kamu masih ingat, saya juga googling dulu, kok, supaya enggak salah--komunitas berada satu tingkat di atas populasi. Di dalam satu komunitas ada interaksi antarpopulasi yang hidup pada satu waktu dan tinggal di wilayah tertentu. Merujuk ke KBBI, komunitas diartikan sebagai "kelompok organisme (orang dan sebagainya) yang hidup dan saling berinteraksi di dalam daerah tertentu".

Kenapa repot mencari definisi? Karena pada kenyataannya, di era digital seperti sekarang komunitas tidak lagi dibatasi oleh wilayah fisik. Kita bisa bergabung di satu komunitas tanpa kesamaan wilayah tempat tinggal, kecuali jika pengertian wilayah sudah sedemikian meluas hingga ke seluruh daratan yang ada di peta. Pengertian komunitas pun bergeser menjadi “kelompok sosial atau sekumpulan orang yang memiliki ketertarikan yang sama” saja, tanpa tambahan “habitat yang sama”.

Tidak hanya itu, perkembangan teknologi juga memungkinkan anggota komunitas untuk hanya berkumpul di ruang virtual, tanpa perlu bertemu fisik. Malah sering kita merasa sangat akrab dengan seseorang padahal hanya mengetahui nama, belum pernah bertemu muka. Syukur jika dia memasang foto profil di Whatsapp. Jika tidak, ya kita hanya bisa menduga dan bermain imajinasi belaka. Saya pernah terkecoh saat mendengarkan rekaman video seorang teman. Suaranya berbeda dengan yang saya bayangkan sebelumnya. Sampai-sampai saya sulit untuk mengubah imajinasi saya sendiri. Aneh, ya?

Kedua poin di atas dimiliki oleh komunitas ITB Motherhood, Mamah Gajah Bercerita, dan Mamah Gajah Ngeblog. Anggotanya tersebar di seluruh dunia dan berbasis grup Facebook atau Whatsapp. Meski demikian, bukan berarti komunitas ini tidak solid, lo. Saya pernah menuangkannya dalam sebuah tulisan. Namun, kali ini saya ingin bercerita tentang komunitas lain yang juga saya cintai, yang justru terbentuk karena kesamaan wilayah tempat tinggal, sesuai pengertian awal tentang “komunitas”.



Keluarga Muslim Delft (KMD) dan Simpul Muslimah Delft

Sebagai anak rantau, bukan hal aneh kami mencari teman sebangsa dan setanah air. Rasanya nyambung aja gitu saat berinteraksi dengan sesama orang Indonesia. Terlebih lagi kami tidak perlu susah-susah memikirkan ketepatan kata atau kalimat bahasa asing (Inggris atau Belanda) dalam berekspresi dan menyampaikan pesan. Ada kesamaan identitas yang merekatkan kami.

Identitas sebagai muslim Indonesialah yang akhirnya membawa kami bergabung di Keluarga Muslim Delft (KMD). Di halaman Facebook-nya KMD menjelaskan dirinya sebagai “paguyuban pelajar dan warga muslim yang bertempat di Delft, Belanda”. Menurut sejarah, perkumpulan muslim Indonesia di Delft pertama kali berdiri pada awal era 1990-an dengan nama Komunitas Islam Delft (KID). Setelah sempat vakum beberapa tahun, KID bangkit kembali dan berganti nama menjadi KMD hingga sekarang. Meski diinisiasi oleh mahasiswa, warga KMD bukan hanya pelajar Indonesia yang sedang menempuh studi di dua universitas di Delft, melainkan juga warga muslim Indonesia yang berdomisili di Delft dan kota-kota sekitarnya.


Akun Instagram KMD


Seperti halnya komunitas pada umumnya, KMD memiliki program rutin, seperti KMD Mengaji (tahsin putra), Salam Delft (kajian dua bulanan), berbagai kegiatan di bulan Ramadan, penyelenggaraan salat Idulfitri dan Iduladha, dan barbecue. Selain itu, ada program insidental, seperti Simpul putra (kajian khusus ikhwan), serta pengumpulan donasi bencana dan donasi pembangunan masjid. KMD juga membuka infak rutin untuk mewujudkan mimpi menyewa ruangan kantor sendiri.


Acara Salam Delft dihadiri warga KMD. (Sumber: Facebook KMD)

Tentu semua kegiatan dilaksanakan secara luring sebelum pandemi menyerang. Selama pandemi, kegiatan yang tidak bisa dialihkan ke format daring jadi ditiadakan. Kan sulit bakar-bakaran virtual. Hehehe …. Salat Idulfitri pun diganti menjadi halalbihalal online. Padahal sebelumnya hari raya adalah momen akbar untuk berkumpul. Bukan hanya warga KMD, lo, beberapa muslim dari negara lain turut bergabung untuk salat. Rasa bahagia bercampur dengan haru setiap kali salat hari raya tiba. Bisa mengagungkan nama Allah bersama-sama menjadi suatu kemewahan di negara minoritas muslim seperti Belanda.

Yang berbeda dari pelaksanaan salat hari raya di tanah air, setelah salat selesai kami bersalam-salaman melingkar dan … makan bersama! Hidangan lengkap, mulai dari nasi, lauk, sayur, buah, hingga kue, minuman, dan kerupuk, bisa dinikmati oleh jamaah salat. Hebatnya semua adalah sumbangan dari ibu-ibu yang tergabung di Simpul Muslimah Delft, bagian dari KMD khusus untuk akhwat. Ibu-ibu yang bersedia memasak dan menyumbang makanan bisa mengisi daftar yang diberikan panitia. Biasanya menunya sudah ditentukan sehingga ibu-ibu tinggal mengisi di bagian yang mereka kehendaki. Bagi yang tidak bisa menyumbang makanan, tidak perlu khawatir. Mereka bisa berpartisipasi dalam bentuk uang. Sistem gotong royong ini juga berlaku untuk acara makan bersama setelah Salam Delft dan barbecue. Pokoknya di mana ada acara ngumpul-ngumpul, di situ pula kita bisa membawa hasil karya dari dapur kita.


Acara makan bersama setelah kajian selesai. (Sumber: Facebook KMD)

Berbekal kebiasaan ini, sudah tiga tahun Simpul Muslimah mengadakan kegiatan berbagi takjil Ramadan yang diberi nama KMD Berbagi. Tidak hanya soal masak, Simpul Muslimah juga memenuhi kebutuhan ibu-ibu dalam mencari ilmu dengan mengadakan tahsin muslimah, kajian khusus akhwat, dan yang paling baru, Instagram live. Selain itu Simpul Muslimah juga menyelenggarakan TPA Tulip dan kegiatan Ramadan untuk anak-anak.

KMD seperti keluarga bagi kami. Keguyubannya sangat kental. Rasanya saya tidak ingin melewatkan kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan oleh KMD. Seiring dengan melonggarnya peraturan terkait Covid-19 di Belanda, KMD akhirnya mengadakan Salam Delft secara luring lagi pada akhir bulan lalu. Meski belum seramai dulu, semoga di masa mendatang, kegiatan KMD akan kembali diikuti oleh segenap warga dengan antusias.


Saya berpartisipasi dalam lomba pantun KMD. Sayangnya kurang banyak yang like jadi 'nggak menang, deh. Hehehe .... (Sumber: Instagram KMD)


Grup liqo muslimah

Suatu waktu setelah mengikuti Salam Delft seorang teman (mamah gajah juga) mengajak saya untuk bergabung di grup pengajiannya. Tanpa banyak berpikir saya langsung mengiyakan karena tawaran seperti ini tidak datang dua kali, kan? Mungkin juga karena faktor kepercayaan kepada teman lama dan sesama mamah gajah. Hehehe ….

Pengajian ini diadakan setiap dua pekan secara bergiliran di rumah anggota (yang juga ibu-ibu Simpul Muslimah). Kami bergantian tugas untuk menceritakan sirah nabawiyah dan mentadaburi ayat. Sebelumnya kami bergiliran membaca Al-Qur’an. Ada seorang guru yang membersamai kami dalam belajar. Beliau mengoreksi bacaan Al-Qur’an dan mengajarkan tahsin, juga memperdalam pembahasan sirah ataupun ayat.

Komunitas ini istimewa karena kehadirannya mengecas jiwa secara rutin. Bukan hanya karena isinya saja, melainkan juga karena pertemuannya itu sendiri. Setiap bertemu dan meilhat wajah-wajah teduh sahabat, ada perasaan bahagia serta tenang. Saya teringat satu hadis yang berbunyi begini:
 لَا يَقْعُدُ قَوْمٌ يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا حَفَّتْهُمُ الْمَلَائِكَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَنَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِينَةُ وَذَكَرَهُمُ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ
Tidaklah suatu kaum duduk berdzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala kecuali akan dinaungi oleh para Malaikat, diliputi rahmat dan akan turun kepada mereka ketenangan. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan mereka di hadapan para makhluk-Nya yang ada di sisi-Nya.

Tentu saja selama pandemi, pengajian lesehan berubah menjadi pertemuan daring. Ini memungkinkan teman yang sudah kembali ke Indonesia (dan yang kemudian pindah ke negara Eropa lain) masih bisa bergabung. Rupanya di balik segala kesulitan yang ditimbulkan oleh pandemi, ada hikmah tersembunyi bagi sebagian orang.

Pertemuan daring juga memungkinkan petugas pengisi sesi sirah dan tadabbur ayat menggunakan salindia presentasi. Ini adalah inovasi yang baru dilakukan pada beberapa pertemuan terakhir. Meski hanya lingkup kecil, persiapannya tidak kalah dari pengisi webinar, lo. Hehehe ….


Sesi tadabur ayat menggunakan salindia presentasi


Yang namanya pengajian, pasti ada makanan. Semangat berbagi sebagaimana di KMD/Simpul Muslimah juga dibawa ke sini. Biasanya masing-masing membawa kudapan atau buah sebagai pengganjal perut sebelum menyantap hidangan makan siang yang disiapkan oleh tuan rumah. Terus terang sistem ini baru untuk saya karena selama di Indonesia, umumnya tamu tinggal datang membawa diri, baik itu di pengajian, acara keluarga, maupun arisan. Tuan rumah menyediakan semua makanan--dan dia juga yang akan bersih-bersih setelah tamu pulang!

Seperti juga kegiatan Salam Delft yang mulai diadakan secara luring, di bulan November ini kami akan kembali bertemu di darat. Meski masih uji coba (sekali luring dan sekali daring), saya sangat menantikan pertemuan tatap muka. Ah, rasanya rindu sekali bisa cipika cipiki, salam, dan bercengkerama dengan para sahabat setelah satu setengah tahun absen. Memang interaksi langsung tak tergantikan, ya.


Rumaisa Sabiila

Berbeda dengan dua komunitas sebelumnya, Rumaisa Sabiila mencakup wilayah yang lebih luas. Sebagaimana namanya, Rumaisa Sabiila (Rumah Muslimah Indonesia di Eropa) mewadahi muslimah Indonesia yang sedang menetap di Eropa untuk menjalin ukhuwah dan berbagi ilmu. Komunitas ini murni berbasis daring karena anggotanya tersebar mulai dari negara-negara Skandinavia di Utara (Norwegia, Finlandia, Swedia) hingga ke Selatan (Spanyol, Italia); dari Barat (UK) hingga ke Timur (Turki). Bahkan ada juga yang berdomisili di Maroko, Cina, dan tentu di Indonesia (biasanya yang sudah kembali ke tanah air).


Akun Instagram Rumaisa Sabiila


Di grup Whatsapp kami berbagi informasi, hikmah, serta pemikiran, bertukar canda, dan saling menularkan semangat. Selama sepekan ada rubrik dengan tema berbeda setiap hari yang diisi oleh anggota. Di hari Kamis ada tilawah bergantian satu juz (One Week One Juz), dilanjutkan dengan kajian yang diisi oleh pemateri yang berbeda setiap pekannya. Ada juga Instagram live rutin di akhir pekan. Tak lupa ada kelas tahsin dan tahfiz bagi anggota yang berminat.

Saat ini Rumaisa juga sedang mengadakan Kelas Halal Haram Eropa demi menjawab kegalauan dan memberikan pemahaman terkait kehalalan produk. Di Eropa muslim harus berupaya ekstra untuk memastikan apa yang ia konsumsi dan pakai adalah produk halal. Tidak semudah muslim Indonesia yang tinggal mengecek keberadaan label halal dari MUI.

Selain berinteraksi secara internal sesama anggota di grup Whatsapp dan Zoom, kami memperluas lingkup manfaat melalui media sosial (Instagram, Facebook, dan YouTube). Kamu bisa membaca beragam pos di Instagram @rumaisa.sabiila dan Facebook Rumaisa Sabiila. Selain itu, kamu juga bisa memutar rekaman kajian yang pernah diadakan oleh Rumaisa di kanal YouTube Rumaisa Sabiila.


Kanal YouTube Rumaisa Sabiila

Di kepengurusan tahun ini saya bergabung di tim media dan dakwah. Walau tidak jauh-jauh dari menyunting dan membuat tulisan, saya ikut belajar soal desain, copywriting, serta social media engagement juga, lo. Ternyata makin diulik, makin seru! Semoga apa yang dipos di media sosial Rumaisa bermanfaat bagi para muslimah di mana pun berada. Langsung follow dan subscribe, ya! #iklanlewat


Penutup

Bagi kami yang saat ini hidup di tengah minoritas muslim, komunitas berlandaskan kesamaan iman dan bangsa (Indonesia) laksana oase di tengah gurun. Setiap anggota komunitas serupa saudara yang saling menguatkan dan mengingatkan. Walau belum pernah bertemu langsung seperti di Rumaisa Sabiila, kedekatan di antara anggota tetap terasa.

Terinspirasi dari Ibu Septi (pendiri komunitas Ibu Profesional), kita bergabung di satu komunitas untuk memenuhi kebutuhan mencari diri dan melihat peran di sekitar kita. Saat berada di dalamnya, kita harus memastikan bahwa kita bertumbuh. Bila tidak demikian, sebenarnya komunitas itu bukan tempat yang baik untuk kita.

Lantas, dari mana rasa cinta terhadap komunitas muncul? Juga menurut beliau, ini adalah buah dari cara berpikir: kita yang memerlukan komunitas untuk bertumbuh, meningkatkan kualitas peran sebagai perempuan, istri, dan ibu, bukan sebaliknya. Dengan demikian, kita mulai mencintai yang kita perlukan (komunitas) dengan rasa cinta tanpa pamrih, tanpa alasan, tanpa "tapi".

Rasa cinta terhadap KMD/Simpul Muslimah Delft, grup liqo muslimah, dan Rumaisa Sabiila inilah yang membuat saya menuliskannya untuk Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan ini tentang "Komunitas yang Aku Cintai". Kalau kamu bagaimana? Komunitas apa yang kamu cintai?





Berkomunitas di Tanah Rantau

Sunday, October 31, 2021