Wednesday, October 16, 2013
Eid mubarak from Noda!
Allaahuakbar Allaahuakbar Allaahuakbar
Laailaahaillallaahu Allaahuakbar
Allaahuakbar walillaahilhamd
Kemarin adalah hari 'Id pertama dari dua 'Id yang akan saya lalui di Jepang. Karena tidak ada masjid di kota tempat saya tinggal maupun di kota terdekat, saya dan teman-teman mengikuti sholat 'Id di Tokyo, tepatnya di Tokyo Camii di daerah Yoyogi Uehara. Dari stasiun Unga, stasiun terdekat dari tempat tinggal kami, butuh waktu sekitar 1.5 jam dengan kereta untuk mencapai masjid tersebut. Memang hanya dua kali ganti jalur kereta saat pergi dan tiga kali saat pulang, tapi rutenya panjaang. Hampir 30 stasiun! (And I have to mention it was a full train filled with sarariman, OL, and gakusei :|). Jika ditambah dengan lamanya berjalan kaki dari rumah ke stasiun, total hampir 2 jam. Bukan waktu yang singkat bagi saya yang di Indonesia biasanya hanya 7 menit berjalan kaki ke lapangan tempat sholat dilaksanakan. Dulu di Sapporo pun hanya 5 menit dengan sepeda. Beginilah resiko tinggal jauh dari keramaian (baca: kota kecil) :p.
Dari stasiun Yoyogi Uehara, butuh waktu sekitar 10 menit berjalan kaki ke masjid. Tidak sulit untuk mendapati masjid ini karena gaya bangunannya sangat berbeda dari sekitarnya, gaya Turki. Tokyo Camii sering disebut dengan Masjid Turki karena memang awalnya didirikan oleh pendakwah dari Turki. Setelah mengalami renovasi, sekarang masjid tersebut berdampingan dengan Turkish Culture Center. Pengunjung dapat masuk ke dalam masjid dengan bebas. Pintunya selalu terbuka.
Untuk sholat 'Id kemarin, jamaah wanita menempati aula di lantai bawah. Seperti biasa, banyak ibu yang membawa serta bayi dan anak-anaknya. Sebenarnya tidak mengapa selama mereka tenang. Sayangnya kemarin ada dua anak yang menangis dengan volume tinggi. Diperparah dengan minimnya pengeras suara, situasi menjadi tidak kondusif. Urutan sholat yang berbeda dengan yang biasa saya lakukan tambah membuat berantakan. Biasanya di rakaat kedua, 5 kali takbir lalu surat Al-Fatihah. Kemarin surat Al-Fatihah dulu baru 5 kali takbir. Meski demikian berada di tengah-tengah saudara Muslim dengan wajah dan perawakan yang beragam menyadarkan saya kembali bahwa Allah Maha Indah. Arab, Turki, Asia Tenggara, Jepang, Afrika berbaur dalam satu ruangan untuk menyembah Tuhan yang sama. Tuhan yang satu.
Selepas sholat kami diajak untuk menikmati hidangan di gedung sebelah belakang masjid. Alhamdulillah dapat pengisi perut yang sudah protes. Nasib anak rantau :p. Bermaksud untuk pulang, kami diajak berbincang oleh dua orang bapak. Yang satu berwajah Pakistan, yang satu lagi orang Cina yang keluarganya pindah ke Jepang sejak ia masih kecil. Hebatnya bapak ini fasih berbahasa Arab dengan lafaz sempurna! Iriii.. Beliau bercerita tentang kuatnya Muslim di Cina dari segi fisik dan pertahanan meski jumlah mereka sedikit. Tubuh mereka lebih besar daripada orang Cina lainnya karena nenek moyang mereka adalah orang Persia dan Arab yang berdakwah ke Cina dan menikah dengan penduduk setempat. Beliau juga bercerita bahwa Islam di Indonesia dibawa oleh Cheng Ho. Cheng Ho kuat karena ia membawa armada dan tentara dalam jumlah besar. Cuma Bali yang waktu itu bisa bertahan dan melawan. Akibatnya sampai sekarang mayoritas penduduk Bali beragama Hindu Bali, bukan Islam. Perbincangan yang menarik dan berisi.
Sebelum pulang, kami mampir ke ruangan utama masjid di lantai dua. Waah, bagian dalam masjid indah sekali. Bergaya Turki. Foto-foto? Tentu saja :D. Selain kami, ada beberapa orang yang mengambil foto juga. Seorang bapak menyapa dan bertanya, "From Malaysia?" (Why people always ask Malaysia? Whyyy? Perlu diakui memang Malaysia lebih terkenal. Hufft.) Setelah meminta tolong untuk difoto, bapak tersebut bilang kalau dia sudah tinggal di Malaysia selama 23 tahun dan sering ke Indonesia untuk keperluan bisnis. Di Jepang sudah seminggu. Mungkin untuk keperluan bisnis juga ya. And he speaks fluent Malay! Meski harus mengira-ngira padanan katanya dalam bahasa Indonesia, percakapan kami lancar tanpa halangan berarti. Beliau berasal dari Turki dan bercerita tentang cikal bakal pembangunan masjid dan perjalanan dakwah pendirinya di Jepang. Lagi, tentang sejarah. How we interestingly met two historians yesterday :).
Sayangnya kemarin kami tidak bisa libur karena ada kelas di siang hari. Dari Tokyo kami langsung pergi ke kampus. Padahal rasanya ingin leyeh-leyeh di rumah :(. Tapi liburnya diganti menjadi hari ini karena ada taifu no.26 lewat di daerah Kanto. No class for today. Senang! Meski dari semalam hujan deras dan angin bertiup kencang sekali, seharian di rumah di hari kerja itu sesuatu :D.
Anyway, Eid Mubarak! May we learn from the lesson of patience, sacrifice, and faith from Ibrahim a.s., Ismail a.s. and Siti Hajar.
[All photos are courtesy of Mas Ade]
Thursday, October 10, 2013
Out of comfort zone
"Life begins at the end of your comfort zone" (Neale Walsh)
I cried the first two weeks I was in Japan four years ago. Life was so depressing mainly because the language barrier I faced in daily life. In school, my lab mates were almost all boys with only one girl. And they, like common Japanese, were quiet (and shy). Well, not having confidence to speak in English might become one of the reason though. They went lunch without inviting me, often even eating instant noodles at lab. Very different environment with the one I usually had in Indonesia. I felt shoved out.
Life was better at dormitory where I have few good friends, one of them was also Indonesian. Thanks to a senior in my faculty, I was introduced to other Indonesian students until finally I found a family away from home which I really grateful of. They were the one who kept me sane.
Despite the academic stress, different culture brought stress at its own. Not to mention the homesick part. No one to be asked for help. No one to lean on. No one to talk to. You just want to shout, "Get me out of here and return me to my comfort zone!" And when you feel so, crying is the only thing you can do because there is no way to run away from reality. Crying will make you feel better yet the situation remains. You have to think and act afterward to manage your discomfort. As for me, I chose not to care it much and tried to accept the situation as commonly happen in Japan. I studied Japanese language. I created my own pace, my new comfort zone without caring other people's opinion or action. Luckily I survived. It needs tears to make you stronger.
This time, the adaption process is much more smooth. Yes, thanks to the experience, but somehow my current lab mates are more lively. Is there a relation between pure life science and social science/engineering background with the students' behavior? Hm, interesting question to answer. Different situation indeed, but many to be thankful for. There must be fine reason(s) for Allah swt to place me in this country one more time. And I shall seek for the answer in one year ahead. Hopefully.
-Special post for Niken and Vicka.-
[Image is from here}
-Special post for Niken and Vicka.-
[Image is from here}
Subscribe to:
Posts (Atom)