Hello!

Welcome to my blog and enjoy reading the bittersweet stories of motherhood! 🤍
The blog

Usir Bosan dengan Tiga Permainan Sederhana Ini!

Sunday, November 13, 2022

Pernah mati gaya enggak, Mah? Umumnya saat dalam perjalanan atau sedang menunggu sesuatu, rasa bosan kerap melanda. Sebagai orang dewasa kita bisa mengusirnya dengan membuka ponsel atau membaca buku (lebih bagus lagi kalau kita membaca Al-Qur'an, sih, hehehe).

Namun, jika bersama anak, tentu ini bukan pilihan yang bijak. Mereka butuh pengalih yang seru. Menggambar, mewarnai, atau membaca buku bisa jadi alternatif, tetapi menurut pengalaman kami, anak-anak hanya bertahan sebentar. Mereka akan mulai kebosanan lagi.

Saat situasi seperti ini, biasanya saya akan mengeluarkan jurus andalan berupa permainan-permainan sederhana. Yang mereka butuhkan sebenarnya adalah kebersamaan dengan (siapa lagi kalau bukan) orang tuanya, kok. Selain mengisi waktu dan mengatasi bosan, ikatan antara anak dan orang tua pun makin erat. Mantap, kan, Mah?

Berikut adalah beberapa permainan yang bisa Mamah coba. Ada yang terinspirasi dari pengalaman masa kecil. Ada pula yang diajarkan oleh anak yang mendapatkannya dari sekolah.


1. ABC lima dasar

Waktu SD saya sering memainkan ini bersama teman-teman. Mungkin Mamah juga familiar dengan permainan ini. Dimulai dengan mengucapkan, "ABC lima da– sar," oleh semua pemain, masing-masing mengeluarkan jari sebanyak yang dimau. Kemudian, pemain menyebutkan abjad sesuai jumlah jari. Jari pertama A, jari kedua B, dan seterusnya hingga seluruh jari selesai ditunjuk. Setelah itu, pemain bergantian menyebutkan nama—yang telah disepakati sebelumnya—dimulai dari abjad yang disebut terakhir tadi. Variasinya beragam, mulai dari nama benda, buah, makanan, binatang, hingga nama negara.

2. Sambung ekor

Permainan ini lebih advance, lebih cocok untuk anak SD kelas tiga ke atas sepertinya. Saya pernah coba bermain dengan anak sulung saya yang berusia enam tahun. Dia masih agak bingung menentukan huruf terakhir dari satu kata untuk dijadikan huruf pertama kata berikutnya.

Bagaimana cara mainnya? Sebelum mulai, para pemain menyepakati satu kategori tertentu, sama dengan permainan ABC lima dasar. Kemudian, pemain pertama menyebutkan satu kata. Huruf terakhir dari kata tersebut menjadi huruf pertama dari kata yang akan disebutkan oleh pemain kedua. Misalnya, kata pertama adalah ayam, maka kata kedua harus dimulai dengan huruf m: monyet. Begitu seterusnya.

3. Ik zie, ik zie

Saya mengenal permainan ini saat anak sulung saya terpaksa belajar jarak jauh saat pandemi. Ik zie berarti aku melihat. Permainannya sangat mudah, bahkan bisa dimainkan oleh balita sekalipun. 

Caranya, pemain bergantian memberikan soal yang harus ditebak oleh pemain lainnya dengan mengatakan, “Ik zie, ik zie wat jij niet zien (aku melihat, aku melihat yang kamu tidak lihat).” Bila sedang bermain dengan kategori warna, sambungannya adalah, “De kleur is … geel! (warnanya … kuning!)” Variasinya bisa berupa bentuk, angka, huruf, atau lainnya. Sampai sekarang, permainan ini paling sering saya mainkan bersama anak-anak. Mereka puas bila saya tidak bisa menebak yang mereka maksud, hahaha.

Penutup

Ketiga permainan di atas sangat fleksibel untuk dimainkan di mana saja sebab tidak menggunakan alat apa-apa, tanpa modal, plus tidak perlu takut ada yang hilang/tercecer. Ramah dompet dan aman, deh, pokoknya. Orang tua senang, anak riang, bosan pun hilang.

Apakah Mamah punya ide permainan sederhana lainnya? Boleh banget untuk berbagi di kolom komentar, ya!

Belanja Barang Bekas Aja, Yuk!

Thursday, September 22, 2022

Siapa yang suka berbelanja barang bekas? Dulu waktu saya masih kecil (baca: era 90-an) tidak ada opsi membeli barang bekas (kecuali mobil/motor mungkin, ya). Saya tumbuh—dan sepertinya kebanyakan masyarakat Indonesia pun begitu—dengan kebiasaan membeli barang baru. Kalau pun barang lama, itu adalah lungsuran dari saudara karena dia sudah tidak memakainya lagi.

Begitu pula ketika akhirnya saya mengenal pasar barang bekas di Gedebage semasa kuliah, opsi itu hanya bersifat rekreasional. Tempatnya yang seperti pasar tradisional tidak membuat saya ingin ke sana untuk yang kedua kali. 

Namun, gambaran saya tentang pasar barang bekas berubah saat studi di Jepang belasan tahun lalu. Oh, ternyata membeli barang bekas bekas bisa seseru itu! Saya pun ikut menjadi anggota tim pemburu barang bekas, hahaha. 

Memang apa, sih, serunya? 


Keseruan berburu barang bekas

1. Mendapatkan barang kebutuhan dengan harga murah, bahkan gratis

Ini yang paling utama, sih. Dengan membeli barang bekas, kita bisa menghemat. Dulu di Jepang saya pernah membeli mesin cuci top loading dengan harga 5000 yen saja. Kalau tas, baju, atau sepatu, sih, sudah pasti murahnya. Kadang hanya dihargai 100 yen, lo. Air mineral saja masih lebih mahal daripada itu, hehe. 

Di Belanda juga sama. Kadang baju-baju dijual 50 sen saja. Kalau beruntung kita bisa mendapatkan barang gratis. Pernah waktu itu saya membeli pakaian anak-anak. Penjualnya memberikan gantungan baju secara cuma-cuma saat saya bertanya harganya. Pas sekali, saya memang butuh untuk tempat menggantung jaket anak-anak. Seperti bertemu jodoh, uhuy. 

2. Menemukan barang vintage 

Terkadang saya ke toko/pasar barang bekas tanpa tujuan spesifik. Sekadar cuci mata saja sudah menyenangkan. Kita bisa menjumpai barang-barang klasik yang disukai para kolektor. Di toko barang bekas yang besar, kita bahkan bisa membeli perabot rumah tangga, semacam kursi, meja, lemari berbagai model, termasuk model klasik. 

3. Menemukan barang baru yang masih ber-tag

Tidak semua yang dijual di toko/pasar barang bekas itu bekas, lo. Banyak juga barang baru yang dijual karena pemiliknya tidak menginginkannya lagi. Meski begitu, harganya tetap murah. Ya, tidak semurah barang bekas, sih, tetapi yang jelas jauh lebih murah daripada harga aslinya. 

4. Menemukan barang bermerek

Tidak jarang pula, saya menemukan barang bekas dengan merek ternama, sebutlah Fossil dan Zara. Biasanya tanpa cacat, kalau pun ada, cacat minor yang bisa ditoleransi. Sebenarnya kalau sudah masuk toko barang bekas, kita tidak perlu khawatir. Si pemilik sudah menyortir dulu mana yang masih layak untuk dijual dan mana yang tidak. 

Di Belanda ada lokapasar khusus barang bekas. Di situ, sih, bertebaran barang bermerek. Kita tinggal cari merek dan spesifikasi barang yang kita mau. Kami pernah membeli sepeda, tablet, gendongan bayi, hingga koper Trunki melalui lokapasar tersebut.

5. Jadi bagian dari pelaku hidup berkelanjutan yang ramah lingkungan

Nah, ini yang paling bernilai. Sebagai warga bumi, kita bisa ikut berperan dalam menjaga lingkungan dengan membeli barang bekas. Produksi barang baru, kan, membutuhkan sumber daya dan energi yang tidak sedikit. Menggunakan barang bekas adalah upaya untuk menahan laju pembuangan barang. Masih ingat slogan refuse, reduce, reuse, recovery, recycle? Memakai barang bekas adalah aksi dari reuse

Lesson learned 

Manfaat yang paling terasa pastinya kita bisa berhemat. Kualitas barang yang kami beli, baik di toko, pasar, atau lokapasar barang bekas masih sangat baik. Karena itu, rasanya menang banyak setiap kali membeli barang bekas. 

Selain itu, dengan menjadi pengguna barang bekas, kita sedang mengajari anak-anak bahwa membeli dan memakai barang bekas itu bukan hal tabu dan rendah–mereka juga belajar tentang kringloopwinkel (toko barang bekas) di sekolah. Mereka juga jadi tahu, untuk mendapatkan barang sesuai kebutuhan itu tidak selalu dengan jalan membeli yang baru. No gengsi-gengsi club, deh. 

Di saat yang sama, kami juga menjual barang yang sudah tak terpakai lewat lokapasar. Selain mengurangi tumpukan barang di rumah, anak-anak juga belajar tentang jual beli. Kita bisa mendapatkan uang dari menjual barang. 

Anak-anak juga belajar untuk mengklasifikasikan barang bekas: yang masih layak dan yang tidak. Yang masih layak, bisa dijual atau diberikan kepada orang lain. Itu lebih bermanfaat untuk orang lain, sekaligus lebih baik daripada langsung dibuang. Dengan begitu, mereka belajar, barang bekas tidak selalu harus berakhir di tempat sampah. 

Penutup

Kebiasaan membeli barang bekas ingin kami lanjutkan di Indonesia. Sayangnya—dan pak suami juga mengakui—kualitas barang bekas yang ada di lokapasar masih rendah. Jumlah dan jenisnya pun sedikit. 

Alternatifnya adalah bergabung di grup jual beli barang bekas. Selama di Belanda, ini juga jadi pilihan yang oke. Biasanya mahasiswa yang sudah lulus banyak menjual barang dengan harga murah atau gratis. 

Grup ITB Motherhood juga bisa jadi alternatif. Banyak Mamah menjual barang pribadinya (istilahnya garsel/garage sale) selama periode market day pekanan.

Semoga kelak di Indonesia makin berkembang iklim jual beli barang bekas, ya. Itu sama sekali bukan hal yang hina, lo. Malah, kita bisa menjadi pahlawan bumi dengan cara memperpanjang usia barang. Keren, kan?

Di Atas Sungai Rhine

Saturday, August 20, 2022



Tari menyeka bulir keringat di dahinya. Meski baru pukul 10, matahari sudah memancarkan sinarnya begitu terang, menyoroti kerumunan manusia yang pagi itu meramaikan pelataran Dom, gereja terbesar yang juga jadi ikon kota Köln. Pakaian tipis yang dikenakan Tari mulai dibasahi keringat. 

Mana, sih, Jan? Ke WC aja lama banget, gerutu Tari. Sedikit-sedikit ia melirik jam tangannya. Sudah lima belas menit berlalu, Jan belum datang juga, padahal belum ada satu pun dari agenda jalan-jalan mereka hari ini yang dicentang.  

"I'm sorry. It's hard to find the toilet. Finally, I found one. Guess, where? At the other side of the station!" jelas laki-laki berkulit putih itu tanpa diminta. 

Usahanya meyakinkan Tari haruslah maksimal. Ia sudah bisa mengira akan mendapatkan wajah cemberut kekasihnya. Lebih baik ia yang bicara dahulu daripada keburu diinterogasi perempuan yang telah mengisi hatinya selama setahun belakangan. 

Tari hanya bisa mendengus. Tak ada gunanya menghabiskan energi untuk hal remeh semacam ini, sedangkan perjalanan mereka baru dimulai. 

"Okay, let's go! Which way?" Tari menoleh ke arah kiri dan kanan. 

Keduanya sama-sama ramai. Tepatnya, tak ada satu lokasi pun di sekitar Dom yang tak penuh dengan pengunjung. Wajar, sekarang adalah liburan musim panas. 

Jan membuka aplikasi peta di ponselnya. Serahkan kepada ahlinya, begitu prinsip Tari. Kemampuan spasialnya memang payah—konon seperti kebanyakan perempuan. 

"We're here," tunjuk Jan pada satu titik di peta, "the bridge is here. So, we have to walk …," lanjutnya sambil menoleh ke arah tujuan. 

"This way," Jan menggamit lengan Tari. 

Hidup Tari berubah sejak Jan masuk. Mereka sering beradu mulut karena bersikukuh dengan pendapat masing-masing. Namun, itu tidak membuat hubungan keduanya renggang. Sebaliknya, mereka malah saling mengisi di sisi yang lain. 

***

Jembatan Hohenzollern membentang di atas sungai Rhine yang membelah kota Köln. Tiang-tiangnya yang kokoh kuat menahan perjalanan 1200-an kereta dan ribuan pejalan kaki dan pesepeda setiap hari. Pagi menjelang siang ini Jan dan Tari menjadi bagian dari keramaian di sisi jembatan.

"Tari, would you like to take a photo with those love locks?" tanya Jan.

"No way. It's too cheesy." Tari beralasan.

"But, you're the one who wanted to see it," ujar Jan tergelak. 

Ya, gembok cinta. Pagar pembatas antara rel kereta dan jalur pejalan kaki (dan pesepeda) dipadati oleh gembok warna-warni bertuliskan nama-nama pasangan dan tanggal. Entah siapa yang memulai, tetapi sekarang siapa saja boleh menggantungkan gembok miliknya di sana. Konon dengan begitu, cinta sang pemilik gembok akan abadi.  

Muka Tari bersemu merah. I know but now I'd rather have our love locks instead, batinnya. Meski awalnya hanya untuk menjawab rasa penasaran, saat melihat langsung, keinginan untuk mematri namanya dan Jan timbul jua. 

Jan, teman sekelompoknya di kelas Advance Organic Chemistry dulu, sekarang menjadi lebih dari sekadar teman biasa. Siapa sangka, cinta akan menyapa saat Tari justru tak berharap dia datang?

"Okay, then … I have something." Jan merogoh saku celananya. Tangannya mengepal sekeping benda berwarna merah. Tari bisa mengenalinya saat telapak tangan Jan terbuka. 

"Our love lock," lanjut Jan. 

Jan & Tari 
07-08-2022

Tari ternganga. Jantungnya berdetak lebih cepat. "You … How come? When …?

Tari tak melanjutkan kalimatnya. Ia tak menemukan ungkapan yang tepat saat Jan bertanya, "Will you be by my side through thick and thin?"



Cerita (yang sepenuhnya) fiksi ini diikutsertakan dalam Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan Agustus 2022. 

Belajar Bukan Cuma di Sekolah

Wednesday, July 20, 2022

"Sekolah Mama di mana?" Anak sulung saya bertanya. Dia tahu Papa pergi ke sekolah hampir setiap hari. Dia dan adiknya juga pergi ke sekolah. Hanya saya dan anak bungsu yang tertinggal di rumah.

"Enggak ada. Dulu ada di Indonesia." Jawaban saya cukup segitu karena dia tidak bertanya lagi. Namun, kalau sekarang dipikir lagi, seharusnya saya menambahkan, “Tapi, Mama tetap bisa belajar, lo, walau enggak di sekolah,” karena kenyataannya belajar tidak dibatasi oleh umur, pekerjaan, tempat, atau apa pun (well, terkadang dibatasi oleh uang, sih, hahaha)

Setelah beranak tiga tanpa bekerja di ranah publik, apa, sih, yang ingin saya pelajari? Sejujurnya pertanyaan ini membutuhkan kontemplasi yang lama, sampai-sampai saya menunda hingga hari terakhir setoran untuk Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog. Bukan karena tidak ada yang (pernah) dipelajari, tetapi justru kebanyakan hingga keblinger dan kehilangan fokus.

Oke, lah, mari kita bungkus hal-hal di bawah ini sebagai yang ingin saya pelajari. Biar terukur, (ceritanya) saya bagi dua: sepanjang hayat dan lima tahun ke depan.



Sepanjang hayat

Ilmu agama

Kalau dalam hal ilmu agama, tuh, makin dipelajari, makin saya sadar bahwa diri ini masih sangat bodoh. Banyak yang belum saya ketahui. Kalaupun sudah pernah tahu, saya belum menjalankannya dengan sempurna. Yang lebih parah, setelah tahu, malah lupa karena tidak langsung dipraktikkan atau rutin dikerjakan. 

Jadi, bagi saya rasanya mempelajari ilmu agama harusnya berada di dua ranah: ingin dan butuh. Karena butuh untuk bekal di dunia dan akhirat, saya jadi ingin mempelajarinya terus.

Ilmu pernikahan dan parenting

Konon katanya cinta antara suami istri harus dirawat. Untuk itu belajar ilmu pernikahan menjadi penting. Kalau bukan kita (istri) yang memahami para suami, siapa lagi coba? Nauzubillah, jangan sampai ada pihak ketiga yang lebih bisa memberikan kenyamanan dan perhatian daripada kita, Mah. #okesip

Nah, ilmu parenting tidak kalah penting. Saya termasuk aliran yang setuju dengan paham bahwa anak diciptakan dengan perangkat fitrahnya masing-masing, bukan kertas kosong yang bebas kita goreskan tinta di atasnya. Karena itu sebagai orang tua, kami ingin mendampingi anak-anak menemukan versi terbaik dirinya sesuai dengan yang diinstal Allah sebelum mereka lahir.

Lima tahun ke depan

Teknik menyetir mobil (khususnya di Bandung)

Ini, sih, keinginan berkat kebutuhan. Di Belanda saya bisa bersepeda dengan aman dan nyaman. Transportasi umum pun memadai. Di Bandung, melihat pengalaman dulu waktu masih beranak satu, tampaknya nanti bakal sedikit-sedikit panggil Grab atau Gojek kalau tidak bisa berkendara sendiri. 

Mengapa bukan sepeda motor? Ngeri! Ngeri diserempet motor lain yang beringas, huhu, padahal menyetir mobil juga butuh keberanian, sih. Doakan saya berhasil, ya, Mah!

Ilmu menjaga kesehatan dan merawat kulit

Mengingat usia yang mendekati 40 tahun, urusan kesehatan makin terasa penting. Menua dengan sehat dan bahagia adalah impian saya. Semoga kelak saya dan suami tidak merepotkan anak-anak karena mengurus kami yang sakit-sakitan.

Caranya? Dengan memperhatikan makanan yang sehat, tidur cukup, hindari stres, dan olahraga. Yang terakhir perlu digarisbawahi, deh, karena saya masih m.a.l.a.s berkeringat. Jalan kaki, sih, sering. Semoga itu dihitung berolahraga juga, ya, hehehe.

Selain sehat, menua dengan bersinar juga jadi impian. Niatnya utamanya tentu sama: untuk merawat tubuh yang diberikan (sementara) oleh Allah Swt. Yang kedua, untuk membahagiakan suami, dong, Mah. #ihiy

Ilmu menulis hingga melahirkan buku solo

Minat terhadap dunia kepenulisan mulai menguat sejak aktif di dua subkomunitas ITB Motherhood, yaitu Mamah Gajah Bercerita dan Mamah Gajah Ngeblog dua tahun lalu. Semenjak itu, saya mengikuti beberapa kelas menulis dan edit naskah hingga menghasilkan buku antologi dan punya blog TLD sendiri. 

Namun, bagi saya buku solo adalah satu pencapaian istimewa sebab menulisnya membutuhkan semangat, energi, determinasi, kegigihan yang panjang. Di samping itu, pasti beda rasanya melihat nama kita seorang yang terpampang di sampul buku. There’s a pride you can’t describe.

Kelas daring di EdX

Sebenarnya saya pernah beberapa kali mengambil kelas di EdX, baik yang self-paced maupun terjadwal. Sayangnya, tidak ada satu pun yang selesai. Tampaknya ketekunan atau komitmen belajar saya nyungsep ditundukkan oleh urusan rumah dan anak-anak. 

Namun, keinginan untuk belajar melalui platform ini masih berkobar di dalam dada. #tsaah. Sebenarnya ini dalam rangka menjawab penasaran dan keinginan untuk sekolah lagi, sih. Entah kesampaian atau tidak, yang penting subjeknya dipelajari dulu. Hitung-hitung untuk menambal gap year yang kelewat menganga, kan?

Penutup

Hmm.. ternyata banyak juga yang ingin saya pelajari, ya, hihihi. Terbukti, kan, belajar tidak hanya di sekolah. Justru kehidupan adalah sekolah yang sebenarnya. 

Sebagai sesama Mamah, apa, nih, yang ingin Mamah pelajari? Boleh banget untuk cerita di kolom komentar, ya!



Tips Singkat Mengasuh Balita

Monday, June 20, 2022

Masa-masa indah mengasuh balita itu indah untuk dikenang, tetapi tidak untuk diulang. Mengapa? Karena bersama tingkah pola yang lucu dan menggemaskan, hadir pula sejuta kelakuan yang berpotensi menguji kesabaran dan menguras emosi orang tua. Setuju atau setuju banget, nih, Mah?

Ibarat pondasi bangunan, masa balita adalah masa saat otak anak berkembang pesat. Kesalahan pengasuhan pada masa ini (yang tidak segera diperbaiki) akan tertanam dan terbawa hingga dewasa. Karena itu, orang tua (dan orang dewasa lain di sekitarnya) haruslah mengambil pendekatan yang tepat agar kelak mereka tumbuh dengan optimal. Jangan sampai cara orang tua bereaksi justru malah mengerdilkan jiwa dan memadamkan potensi mereka di masa depan. 

Walau pengalaman saya menjadi orang tua baru seumur jagung (si sulung bahkan belum masuk SD), ada beberapa tips terkait interaksi dengan anak yang ingin saya bagi dalam rangka Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan ini. Keberhasilannya memang baru bisa dilihat saat mereka lebih besar nanti, tapi yang pernah saya baca, kepercayaan diri adalah tanda penting cukup terpenuhinya kebutuhan emosi seorang anak. 

Ada tips apa saja? Langsung baca hingga tuntas, ya, Mah!


1. Perlakukan anak sebagai manusia yang setara.

Meski masih kecil, anak-anak tetaplah manusia yang harus dihargai pendapatnya. Mereka harus diperlakukan dengan setara, bukan lebih rendah. Kalimat seperti, “Anak kecil tau apa, sih?” sudah semestinya dijauhi dalam pengasuhan anak. 

Anak-anak akan merasa dihargai pendapatnya bila kita berbicara eye level dengan anak, mendengarkan cerita atau pendapatnya tanpa memotong, dan menanggapi ceritanya dengan seru (bahkan lebai jika perlu). Kita juga bisa meminta pendapat mereka mengenai suatu hal, apalagi jika itu berkaitan dengan kepentingan keluarga. Tanggung jawab mereka juga dapat dilatih bila kita tidak terus-terusan menganggap mereka kecil dan tidak bisa apa-apa. 

2. Berikan waktu bagi anak untuk beralih dari satu kegiatan ke kegiatan lain. 

Seringkali kita ingin anak-anak mengikuti kemauan kita tanpa memberi mereka ruang untuk bersiap. Akibatnya, mereka akan menolak keras, menangis, atau malah berujung tantrum. Alih-alih langsung menyuruh mereka untuk berhenti melakukan yang sedang asyik mereka lakukan, kita bisa memberi waktu dan menyetel alarm, lalu memberitahukan konsekuensi setelah alarm berbunyi. 

Contohnya, 
“Mama kasih 15 menit untuk main, setelah itu beres-beres. Kita mau siap-siap tidur.”
“Waktu berangkat sekolah 20 menit lagi. Yuk, siap-siap. Kalau mau sekolah pakai piyama, ya, enggak apa-apa. Yang penting, waktunya berangkat, kamu pergi ke sekolah.”

Dalam praktiknya, tidak selamanya proses berjalan mulus. Kadang disertai dengan marah-marah atau tangisan juga. Meski berusaha konsisten untuk menerapkan konsekuensi, bagi saya, penting untuk menjaga diri agar tetap lentur. Yah, lewat 5 menit tidak mengapa selama mereka on progress menyelesaikan tugas dalam masa yang diberikan. 

3. Biarkan anak memilih, tapi batasi pilihannya.

Sekitar usia 1,5 tahun anak-anak akan mulai menunjukkan keinginan untuk memilih yang dia suka, misalnya dalam hal pakaian dan makanan. Tidak jarang mereka kekeuh surekeuh sampai membuat kita kesal. Daripada begitu, lebih baik kita mengakomodasi keinginan mereka dengan menyediakan pilihan yang terbatas (dua atau tiga, yang semuanya sesuai keinginan kita, hahaha). Hal ini penting agar mereka merasa dihargai atas pilihannya, tapi di sisi lain, tidak tersesat dalam lautan pilihan. Pokoknya semua senang, deh, Mah.

Misalnya,
“Kamu mau baju yang ini (merah) atau ini (hijau)?” 
“Mana yang mau kamu lakukan duluan, makan atau ganti baju?”

Soal memberi pilihan ini juga berlaku untuk hal-hal yang tidak anak sukai, tapi wajib mereka kerjakan. Contohnya, “Kamu mau jalan sendiri ke toilet atau Mama angkat?”, “Kamu mau mandi sekarang atau 5 menit lagi?” Sebenarnya yang mana pun yang mereka pilih, hasil akhirnya sama. Namun, dengan memberi pilihan tertutup, kita sedang melatih anak untuk terampil mengambil pilihan terbaik sebab kelak hidup mereka akan penuh dengan pilihan. #tsaah

4. Puji usaha anak, bukan hasil.

Usia balita adalah usia anak-anak mencari pengakuan dari orang dewasa bila mereka berhasil menyelesaikan atau menghasilkan sesuatu. Biasanya mereka akan mendatangi kita dan menunjukkan hasil karya/kebolehannya. Kita pun berkomentar, "Wah, keren!", "Bagus banget!, "Hebat, deh!" 

Konon pujian berorientasi hasil kurang baik bagi perkembangan anak. Saat makin besar hingga dewasa, pujian seperti ini mungkin akan membuat anak tidak menghargai proses. 
Hasil bagus dapat diperoleh dengan cara-cara tidak baik, kan? Untuk melatih anak menghargai proses, tinggal tambahkan kalimat pujian yang biasa dengan kata-kata yang mengandung unsur proses.

Contohnya,
"Wah, hebat! Kamu udah berusaha keras supaya warnanya enggak keluar garis."
"Keren! Walaupun jatuh, kamu bangun lagi. Akhirnya sekarang bisa naik sepeda, deh."

Kalimatnya jadi panjang, sih, Mah, hehehe. Namun, kalau lama-lama, kita akan terbiasa untuk langsung fokus pada proses, bukan lagi hasil, kok. Jadi, yuk, sama-sama berlatih terus, Mah! 

5. Beritahu konsekuensi, bukan menakut-nakuti.

Bila melihat anak-anak berlarian, reaksi pertama kita biasanya, “Jangan lari-lari! Nanti jatuh!” Saat melihat anak memegang colokan listrik, kita spontan berteriak, “Awas nanti kesetrum!” Tidak ada yang salah dengan kekhawatiran kita. Sebagai orang dewasa, kita merasa lebih tahu risiko suatu perbuatan sehingga kalimat-kalimat peringatan tersebut keluar. Namun, yang namanya risiko, kan, bukan kepastian. Apakah kalau berlari-larian, pasti akan jatuh? Apakah kalau memegang colokan listrik pasti akan tersetrum? 

Cara penyampaian yang salah bisa jadi malah akan menakut-nakuti anak. Mereka akan enggan untuk berlari karena takut jatuh atau takut untuk memegang colokan listrik karena khawatir tersetrum. Apa-apa serba takut. 

Karena itu, alangkah baiknya bila kita memperbaiki kalimat peringatan dengan menambahkan kata “bisa”. Dengan begini, kita menyampaikan risiko dengan cara yang benar. Anak-anak pun belajar untuk mengambil dan menerima risiko dari perbuatan yang mereka lakukan dengan lapang dada. 

Kalimatnya jadi begini,
“Jangan lari-lari! Nanti bisa jatuh!”
“Awas nanti bisa kesetrum!” 

Kalau benar terjadi, jangan bilang, “Tuh, kan, bener. Mama bilang apa … kamu enggak denger, sih,” sambil bersungut-sungut, ya, Mah, hahaha. Yang ini juga susah, nih, sebab biasanya meluncur dengan mudah dari mulut. Saya cuma bisa beri saran, “Tahan, ya, Mah. Kalau enggak bisa, gigit lidah aja.” Tidak perlu kita menambahi kesedihan dan kepedihan anak-anak dengan ucapan dan ekspresi masam kita. Percaya, deh, mereka belajar, kok, walaupun bukan jaminan besok mereka tidak begitu lagi, hahaha

Penutup

Layaknya peribahasa "Tak ada gading yang tak retak", ada kalanya tips-tips di atas tidak terlaksana dengan semestinya. Anak-anak yang berkembang sesuai usia membuat kita sebagai orang tua harus terus-menerus belajar. Pendekatan yang berhasil kemarin belum tentu akan berhasil juga besok. Ditambah lagi, karakter anak berbeda-beda sehingga kadang pendekatan kita untuk setiap anak pun berbeda. 

Semoga sedikit tips di atas dapat membantu sesama Mamah yang masih memiliki anak balita. Kalau ada tips lain yang layak untuk dibagikan, silakan share di kolom komentar, ya, Mah!


Mengenal Tiga Kudapan Indonesia Peninggalan Belanda

Friday, May 20, 2022

Sebagai bangsa, bisa dikatakan Belanda tidak memiliki tradisi kuliner yang kuat. Sejauh pengamatan saya (dan hasil browsing), jarang sekali kita bisa menyebutkan nama masakan khas Belanda, selain stamppot. Stamppot sendiri adalah makanan yang sangat sederhana karena bahan dasarnya hanya kentang dan sayuran, misalnya wortel, bayam, atau kembang kol. Cara memasaknya pun mudah: kentang dan sayuran direbus dalam satu panci, lalu dilumatkan bersama-sama. Mentega, susu, dan bumbu-bumbu, seperti garam dan merica ditambahkan belakangan. Sungguh menghemat cucian piring. Sebagai sumber protein, kentang lumat ini bisa dimakan bersama rookworst (sosis asap), bola-bola daging, ikan, ayam, hingga ikan dan keju.

Makanya, sulit jika diminta untuk menulis tentang makanan khas kota masing-masing demi menjawab Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan ini. Iya, iya, Belanda bukan kota, tapi coba bayangkan, deh, dari skala negara saja sulit, apalagi skala kota?
Untungnya dalam hal kudapan, Belanda punya beberapa yang bisa dimasukkan ke dalam daftar harus-banget-dicoba kalau kita berkunjung ke negeri kincir angin ini. Sebut saja, poffertjes dan stroopwafel. Ada juga tradisi makan oliebollen yang baru dijajakan di tiga bulan terakhir setiap tahun dan menjadi hidangan khas tahun baru.

Tidak, saya tidak akan membahas soal kudapan khas Belanda karena setelah mencoba langsung, semuanya jadi biasa saja. Tidak ada yang benar-benar sampai ke hati #tsaah. Jadi, apa, dong?

Hampir lima tahun tinggal di Belanda membuat saya sadar, irisan budaya Indonesia dan Belanda—mengingat sejarah panjang keduanya—terdapat pada banyak hal. Tak ketinggalan, akulturasi juga terjadi di bidang kuliner. Makanan Indonesia diadaptasi oleh orang Belanda, vice versa. Makanya, menu Indonesia seperti sate, lumpia, nasi/bakmi goreng, lazim dijumpai di restoran atau supermarket. Sebaliknya, makanan Belanda diadaptasi di Indonesia dan disesuaikan dengan lidah lokal. Ada yang masih mirip dengan bentuk aslinya, bahkan namanya pun mirip. Namun, ada juga yang wujudnya berbeda meski namanya sangat "Londo". 

Nah, kali ini kita akan mengenal kategori kedua: kudapan Indonesia yang berakar dari Belanda. Hmm … apa saja, ya? Yuk, kita lihat satu-satu sambil membandingkan versi adaptasi dan aslinya!


Kastengel, Kaasstengels, dan Kaastengels

Masih dalam suasana lebaran, pasti kita akrab dengan kue kering yang satu ini. Kastengel adalah kue istimewa yang kerap hadir saat perayaan hari besar keagamaan di Indonesia, terutama Idulfitri dan Natal. Kue kering ini kental dengan cita rasa keju yang juga menjadi parameter harganya. Makin ngeju—biasanya penjual memakai campuran keju cheddar dan Edam di dalam adonan—makin mahal harganya.

Entah dorongan dari mana, tahun ini untuk pertama kalinya saya membuat kastengel sendiri. Mumpung ada di Belanda, negerinya keju, saya bisa dengan mudah mendapatkan keju betulan—bukan yang dicampur dengan macam-macam bahan lain (processed cheese) seperti yang disebut "keju" di Indonesia. Sebagai informasi, di Belanda umumnya penamaan keju merujuk pada lamanya waktu keju disimpan. Makin lama, keju akan makin keras dan makin kuat rasa dan bau yang dihasilkan. Dari muda ke tua, namanya adalah jong, jong belegen, belegen, extra belegen, oud.

Soal resep kastengel, jangan harap kita akan mendapatkan versi aslinya sebab kue ini memang tidak eksis di Belanda. Dengan kata lain, kastengel itu bisa-bisanya orang Indonesia dalam membuat resep! Mungkin waktu itu orang Indonesia terinspirasi dari orang Belanda yang membuat kue kering berbahan dasar keju ini.

Eh, jadi gimana? Di Belanda enggak ada kastengel, tapi orang Belanda membuat kastengel?

Kastengel asli Belanda berbeda bentuknya dengan yang kita kenal di Indonesia. Malah sebenarnya ada dua jenis: kaasstengels (dengan dua s) dan 
kaastengels (dengan satu s). Nah, lo, apa bedanya?

Bagai anak kembar nonidentik yang namanya hanya berbeda satu dua huruf (foto kastengel dan kaasstengels: Canva, kaastengels: topking).

Kaasstengels adalah cheese stick (kaas = keju, stengel = stick) yang terbuat dari kulit pastry yang dipotong memanjang dan diberi taburan keju. Terdengar gampang, tapi kalau membuat sendiri, hasilnya tetap tidak seenak membeli di toko. Ha-ha-ha. Menurut blog orang, kaasstengels bisa dibeli di bakkery, tapi saya, sih, cukup membeli di supermarket. Itu pun sudah enak, kok. Garing, gurih, dan wangi khas keju bikin ketagihan. 

Adapun kaastengels adalah makanan serupa lumpia, tapi alih-alih campuran daging/sayur, bagian dalamnya diisi keju (kaas berarti keju). Bisa jadi justru orang Belanda yang terinspirasi dari orang Indonesia (yang juga mengadopsi dari Cina) untuk menggoreng keju favoritnya dengan bungkus kulit lumpia. Di luar garing kres kres, di dalam keju lumer. Duh, membayangkannya sudah menerbitkan air liur. YummyKaastengels biasanya dijual di kedai sebagai camilan pendamping minuman. Lucunya, kaastengels sebenarnya merupakan merek dagang. 

Kastengel (tanpa dua a dan dua s) ala Indonesia malah tidak menyerupai keduanya. Jadi, tidak tepat bila ada yang bilang, kastengel berasal dari Belanda. Walau namanya ke-Belanda-Belandaan, kastengel itu asli Indonesia. Keju yang dipakai juga keju yang ada di Indonesia. Yang diimpor dari Belanda hanya keju Edam yang tergolong jenis keju tua—dan membuat harga kastengel biasanya paling mahal dibandingkan jenis kue kering lain. Tempo hari saya menggunakan keju belegen yang lebih muda untuk mendapatkan rasa keju yang lebih soft. Walau begitu, tetap enak, dong. Sayangnya stok di rumah sudah keburu ludes sebelum sempat difoto. He-he-he. 

Lekker Holland dan Boterkoek

Saya baru tahu nama kue ini saat browsing resep di Cookpad. Konon kue ini sempat hits di Indonesia. Jujur saya agak mengernyitkan dahi sebab dalam bahasa Belanda, lekker berarti enak dan Holland adalah sebutan untuk Belanda. Jadi, arti nama kue ini "Belanda enak" gitu?

Baru setelah bertanya pada Om G yang serba tahu, ternyata kue lekker Holland diadaptasi dari boterkoek. Kalau itu, sih, saya tahu karena sudah pernah mencicipi rasanya. Deskripsi kue lekker Holland di resep mirip dengan boterkoek—renyah di luar, lembap dan padat di dalam.

Tingkat kemiripan 90%, lah, ya (foto lekker Holland: fibercreme, foto boterkoek: Canva).

Meski demikian, dari segi resep pastinya tidak persis sama. Namanya juga adaptasi. Alih-alih memakai 100% mentega (boter = mentega, koek = kue), kue lekker Holland memakai campuran mentega dan margarin. Untuk mengompensasi rasanya gurih, ditambahkan susu bubuk, padahal resep asli tidak menggunakan susu sama sekali. Lagi pula, di sini susu bubuk biasanya hanya dikonsumsi bayi dan batita (bukan untuk campuran kue).

Bagaimana dari segi rasa? Apakah ada perbedaan signifikan? Sayangnya saya tidak bisa membandingkan karena belum pernah mencoba kue lekker Holland. Yang jelas di lidah saya, boterkoek itu tipe kue yang dimakan-sedikit-aja-udah-enek, cocok untuk menjadi teman minum kopi. Teksturnya yang padat membuat boterkoek lebih bisa menjadi pengganjal perut kala lapar dibandingkan tipe kue seperti bolu chiffon yang kinyis-kinyis. Dengan catatan, jumlah yang dimakan sama, ya. He-he-he.

Onbekuk dan Onbijtkoek

Kue ketiga ini adalah yang paling mendekati asli dari rupa, rasa, dan nama. Diadaptasi dari kata ontbijtkoek, onbekuk menggunakan rempah-rempah, khususnya kayu manis dan cengkeh, dalam adonannya. Bisa ditebak, aromanya khas sekali.

Sesuai namanya, ontbijtkoek biasa disantap untuk sarapan (ontbijt = sarapan/makan pagi, koek = kue). Di supermarket pun, kue ini bisa ditemukan berdampingan dengan aneka selai, meses, madu, dan crackers yang biasa ada di meja makan saat sarapan. Meski lidah Indonesia akrab dengan rempah, saya kurang suka ontbijtkoek, justru karena aroma dan rasa rempah yang sangat kuat.

Lucunya saat saya mencari resep onbekuk di Cookpad, hanya ada tiga resep. Begitu saya ketik ontbijtkoek, eh, malah banyak. Ha-ha-ha. Ini membuat saya penasaran, bagaimana orang Indonesia melafalkannya? Kan, bahasa Indonesia dilafalkan sesuai penulisannya. Aslinya, sih, dia dibaca /onbaytkuk/. Entah, tapi sepertinya sebutan "bolu rempah/bolu spekuk" lebih aman bagi orang Indonesia daripada lidah keseleo atau timbul miskomunikasi, kan?

Yang ini bak pinang dibelah dua (foto onbijtkoek: Wikipedia, onbekuk: sajiansedap).

Penutup

Tentu masih banyak makanan Indonesia yang diadaptasi dari Belanda. Mungkin juga resepnya diciptakan di Indonesia oleh orang Belanda dengan memakai bahan lokal, lalu dinamakan dengan bahasa Belanda dan masih dipakai hingga sekarang. Bisa jadi kita tidak sadar saat memakannya, apa lagi yang namanya sudah memakai bahasa Indonesia. Yang pasti, akulturasi dalam hal makanan menambah kekayaan kuliner Indonesia. 

Ah, jadi kepingin wiskul. Kapan-kapan kita wiskul bareng, yuk, Mah! 




Serunya Berlebaran di Tanah Rantau

Wednesday, May 4, 2022

Allaahuakbar Allaahuakbar Allaahuakbar. Laa ilaahaillallaahu wallaahuakbar. Allaahuakbar wa lillaahilhamd.


Gema takbir berkumandang di Hall X2 gedung X TU Delft. Setelah dua tahun absen—tahun lalu ada, tapi jumlah jamaah dibatasi dan safnya berjarak—akhirnya tahun ini warga muslim Delft dan sekitarnya bisa berkumpul kembali seperti layaknya masa prapandemi untuk melaksanakan salat Idulfitri. Jamaahnya memang enggak sebanyak dulu, mungkin ada faktor jumlah mahasiswa yang berkurang juga. Banyak keluarga yang kami kenal sudah kembali ke tanah air (dan kami segera menyusul).

Meski begitu, suasananya, sih, masih tetap sama. Haru banget rasanya bisa salat dengan saf yang rapat, salam, cipika cipiki, foto bersama, mengobrol, dan bercengkerama. Anak-anak juga bebas berlarian bersama teman-teman yang mungkin baru saling kenal.

Suasana salat Idulfitri di Delft

Foto bersama dulu setelah salat

Drama pagi

Awalnya saya enggak berharap bisa mengikuti salat karena terlambat berangkat dari rumah. Nothing to lose. Saya salah membuat perkiraan waktu memasak makanan ringan yang akan dibawa dan lupa mengecek jadwal kereta! Duh, ini fatal banget, sih, karena kereta di sini, kan, pada umumnya—kalau enggak ada major force—datang dan pergi tepat waktu. Ternyata bila saya tepat naik kereta pukul 08.30, saya masih bisa naik bus ke lokasi, tapi bila naik kereta berikutnya pukul 08.40, saya harus jalan kaki (yang lumayan jauh, 1,1 km) dan bisa jadi ketinggalan salat berjamaah.

Pagi hari di kampus TU Delft
 
Alhamdulillah tsumma alhamdulillah, begitu sampai di stasiun dan berjalan cepat ke peron 5, kereta arah ke Delft baru saja tiba! Saya berdua Milie cepat-cepat menaiki tangga dan masuk ke dalam kereta. We made it! Sayangnya, ada yang enggak terpikirkan. Kemarin hari Senin dan bus arah ke kampus penuh! Hahaha. Awalnya saya sempat takut enggak kebagian tempat. Namun, lagi-lagi dengan pertolongan Allah kami bisa masuk meski harus berdiri (padahal busnya tipe bus gandeng, lo, tapi masih penuh juga). Akhirnya kami bisa tiba sebelum salat dimulai, bahkan lebih cepat daripada suami yang bersepeda dengan membawa Mika dan Maqi.

Halalbihalal yang dinanti

Overall things were back to normal. Enggak cuma salatnya, tapi juga makan-makannya! Yummy! KMD memang juara kalau soal mengadakan makan bersama. Sebagian besar hidangan dibawa oleh jamaah yang dikoordinasikan oleh pengurus. Ada yang membawa makanan utama, juga makanan ringan dan minuman. Tak lupa menu untuk anak-anak.

Mau makan? Antrian yang tertib dulu.
 
Semuanya enak! Yang pasti bisa mengobati kerinduan akan hidangan khas lebaran di tanah air, apalagi bagi para mahasiswa yang pastinya enggak masak sendiri. Mulai dari lontong opor, tumis buncis, semur tahu, hingga sate Padang dan batagor, bebas disantap. Nambah berkali-kali pun boleh. Dibungkus untuk dibawa pulang juga silakan, malah diwajibkan karena sisanya banyak banget. Alhasil, bawaan pulang jauh lebih berat daripada waktu pergi. Hahaha.

Foto keluarga: wajib!

Oh iya, lebaran enggak lengkap tanpa foto keluarga, dong. Tahun ini enggak perlu pakai bantuan tripod mini yang ditaruh di atas meja kursi tinggi lagi, deh. Fotonya pun di luar ruangan. Ihiy!

Foto keluarga terbaru

Ada Milie yang mulai pandai bergaya—entah dia tiru gayanya siapa karena saya enggak begitu. Ada Mika yang setia dengan gaya cool-nya. Ada Maqi yang masih berwajah datar meski kalau difoto sendiri atau bersama para kakak, dia langsung pasang gaya kepala miring dan tersenyum lebar. Tentu ada Papa dan Mama yang gaya dari foto ke foto enggak berubah. Hahaha. Foto wajib, done!

Penutup

Walau di tanah rantau, jauh dari sanak saudara, bukan berarti Idulfitri dilalui dengan sepi. Berkumpul dengan teman sesama muslim, sekaligus (kebetulan) sebangsa setanah air enggak kalah seru, lo. Kapan lagi, kan, halalbihalal bawa alat makan sendiri? Apalagi kalau berkumpul dengan muslim dari negara lain, wah, itu lebih seru karena kita benar-benar merasa dipersatukan oleh akidah, bukan oleh alasan lain. Tentunya kita jadi bisa mencicipi makanan khas negara tersebut. Mudah-mudahan Allah beri kesempatan untuk merasakannya pada Idulfitri yang entah kapan. Hehehe.

Untuk sekarang sekali lagi, Selamat Idulfitri—bukan Idul Fitri—1443 H. Taqabbalallahu minna wa minkum taqabbal ya karim. Semoga Allah Swt. menerima amal ibadah kita selama Ramadan dan memudahkan kita untuk melanjutkannya sampai bertemu Ramadan tahun depan. Insyaallah. Mohon maaf lahir batin, ya!

Sepenggal Kenangan dalam Sekeping Magnet

Wednesday, April 20, 2022

Waktu kecil, kisaran kelas enam SD, saya senang mengumpulkan barang yang hits pada zamannya. Ada tiga macam yang saya koleksi: kertas surat, kertas fail bergambar, dan perangko. Beberapa teman perempuan sekelas juga memiliki kesenangan yang sama. Jadilah kami sering bertukar koleksi kertas surat dan kertas fail bergambar. Ada kepuasan tersendiri saat memandangi kertas yang lucu-lucu itu.

Berbeda halnya untuk koleksi perangko. Saya mendapat hibah beberapa buku koleksi milik tante (iya, perangkonya sejadul itu!). Sisanya saya beli di toko buku atau ambil dari surat yang datang. Sama seperti dua koleksi lain, rasanya puas melihat deretan perangko aneka ukuran, warna, bentuk, serta gambar bercirikan negara bersangkutan atau momen khusus.

Selepas SD, hobi mengoleksi barang mulai saya tinggalkan. Meski begitu, sampai sekarang semuanya masih ada, lo. Mau dibuang, kok, sayang. Kalau Bu Marie Kondo tahu, mungkin dia akan geleng-geleng kepala. He-he-he.

Suatu hari saat berkunjung ke rumah teman, saya melihat magnet-magnet ditempel di pintu kulkasnya. Ih, kok lucu? Saya memang sudah punya satu dua magnet hasil berkunjung ke tempat wisata, tetapi belum terpikir sama sekali untuk mengoleksinya.


Nah, sejak satu malam sekitar 2010 itu, magnet mengeluarkan pesonanya. Koleksi magnet menjadi barang berharga bagi saya hingga saat ini. Setiap berkunjung ke suatu tempat, pasti saya sempatkan diri untuk mencari suvenir magnet. Sampai-sampai suami dan anak-anak saya sudah paham tentang kebiasaan ini. Ha-ha-ha.

Sayangnya tidak semua tempat wisata menyediakan suvenir berupa magnet. Ada juga yang menjual satu macam saja sehingga saya tidak punya pilihan selainnya—dan yang satu ini tidak cukup bagus menurut saya untuk dibeli. Kalau sudah begini, biasanya saya lebih memilih macam suvenir yang lain.

Koleksi magnet pramerantau ke Belanda

Magnet favorit

Adalah wajar bila dari sekian banyak benda koleksi, seseorang memiliki yang paling favorit. Alasannya bisa karena bentuknya yang unik, warnanya seperti warna kesukaan, cara mendapatkannya yang sulit, atau ya … karena suka aja. Kadangkala tak perlu logika untuk menyukai sesuatu. #azeek.

Sebenarnya selama tinggal di Belanda saya tidak mengumpulkan banyak magnet. Jumlahnya tidak sebanding dengan lamanya kami bermukim. Penyebab utamanya tentu adalah pandemi yang mengurangi frekuensi jalan-jalan secara drastis. Meski begitu, bila diminta untuk memilih yang paling favorit, tetap saja saya kesulitan. Saya suka magnet bertulisan ITALIA yang unik dengan gantungan kecil berbentuk ciri khas negara tersebut. Saya juga suka magnet tengkorak T-rex yang mirip fosil betulan. Roarrr ....

Koleksi magnet selama tinggal di Belanda. Mana yang paling Mamah suka?

Insiden (tak) berdarah

Meski anak-anak sudah tahu, magnet yang tertempel di kulkas adalah punya Mama dan mereka tidak boleh bermain dengannya, mereka sesekali minta (baca: berinisiatif mengambil kursi dan mengambilnya sendiri) untuk memegangnya. Tentu ini terjadi saat kebetulan saya ada di dapur. Jika tidak, bisa saja mereka tertangkap basah sedang bermain dengan magnet-magnet itu di luar dapur.

Apakah ada yang rusak? Oh, tentu. Ada yang sudutnya terkelupas sedikit, plastik pelapisnya lepas sebagian (dan akhirnya sekalian saya lepas semua), melengkung, patah, bahkan yang teranyar, pecah. Hiks. Mau menangis, kok, rasanya terlalu receh, tetapi yang jelas hati periiih. Untung yang pecah adalah magnet Nijntje dari Museum Nijntje yang bisa kami kunjungi lagi. Coba kalau yang pecah yang dibeli di luar negeri, masa harus balik lagi ke sana? Ini alasan yang sering saya sampaikan kepada anak-anak agar mereka paham pentingnya menjaga koleksi magnet Mama. Ha-ha-ha
.

Magnet: mesin waktu kenangan

Alasan membeli suvenir pastinya berbeda bagi setiap orang. Bagi saya, suvenir ibarat mesin waktu yang membawa ingatan saya kembali kepada tempat tertentu. Setiap melihat koleksi magnet, saya ingat waktu, tempat, dan suasana terkait, lalu cerita pun mengalir ibarat adegan film yang diputar ulang.

Dari semuanya, magnet bergambar lumba-lumba adalah yang paling berkesan di hati. Saya membelinya di kios suvenir setelah menonton pertunjukan lumba-lumba di Varna, Bulgaria. Pertunjukannya, sih, sesuai harapan. Kisah pendukungnyalah yang membuatnya istimewa.

Menonton lumba-lumba beraksi di Dolphinarium Varna

Waktu itu, saya mencari hiburan yang sesuai untuk anak-anak sambil menunggu suami yang mengikuti workshop dan menemukan pertunjukan lumba-lumba, masih di kota Varna. Dari hotel, saya dan anak-anak naik taksi. Kalau dipikir sekarang, saya nekat juga waktu itu: bawa dua anak, stroller, dan gendongan, naik taksi di negeri asing.

Setelah berbelok dari jalan utama menuju lokasi, saya baru tahu kalau gedungnya jauh dari jalan raya dan sepiii. Setelah menunggu sebentar sampai jam pertunjukan dimulai, kami naik ke tribun penonton dan menikmati pertunjukan. Tidak banyak yang datang, mungkin karena bukan hari libur.

Setelah selesai, saya berburu magnet di kios suvenir, tepat di lobi utama. Saat itu saya mulai bingung, bagaimana kami akan kembali ke hotel? Tidak ada taksi yang menunggu penumpang atau yang bisa dipanggil langsung. Akhirnya saya bertanya kepada ibu penunggu kios (yang bisa berbahasa Inggris—ini super penting!) sebab saya tidak punya nomor kontak perusahaan taksi. Alih-alih memberikan nomor telepon, beliau malah memesankan taksi untuk kami. Alhamdulillah, Allah memberi bantuan lewat ibu itu. Untuk membalas kebaikan hati beliau, sambil menunggu taksi saya membelikan anak saya boneka lumba-lumba yang bisa berbunyi. Bagaimana lagi saya bisa membalasnya, selain menambah penjualannya hari itu, kan?

Moral of the story:
  • Cari info yang detail di Google Maps tentang lokasi tempat yang belum pernah kita datangi.
  • Jangan ragu untuk bertanya dan kalau perlu, meminta bantuan. Kita tidak tahu, orang baik ada di mana-mana.
  • Nekat itu tidak mengapa, asal jangan sering-sering. Ha-ha-ha.

Penutup

Hobi mengoleksi barang terlihat tidak sesuai dengan prinsip simple living. Instead of reducing possessions, we add more and more. Sebenarnya ini bisa dipahami karena dengan memiliki sedikit barang, otomatis beban pikiran kita juga akan berkurang. Hidup kita akan lebih ringan. Namun, sisi sentimentil yang menyertai suatu barang seringkali membuat kita menjauhi simple living.

Meski menyukai prinsip simple living, di sisi lain saya juga suka membawa sepenggal kenangan dari masa lalu sebagai pengingat dan bahan cerita kepada anak-anak. Things that spark joy, kalau versi Marie Kondo. Karena itu, bagi saya, mengoleksi magnet seperti win-win solution. Ukurannya relatif kecil dan mudah dipindah-pindah sehingga tidak butuh banyak ruang penyimpanan. Saya tidak merasa terbebani secara pikiran dengan mengoleksi magnet. Lagi pula, biasanya saya hanya membeli satu magnet dari setiap tempat yang saya kunjungi.

Semoga cerita soal hobi mengoleksi magnet saya dapat menginspirasi Mamah untuk punya aktivitas favorit dan menceritakannya juga, ya! Eh, tapi kalau mau ikut Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog, sih, hari ini kesempatan terakhir untuk setor. Hi-hi-hi.


Pengalaman Memperbarui Paspor di Belanda

Friday, March 25, 2022

Paspor adalah dokumen penting yang wajib disimpan dengan baik, apalagi bagi WNI yang bertempat tinggal di luar wilayah Indonesia. Selain itu, penting pula untuk memperhatikan masa berlaku paspor, yakni lima tahun untuk paspor hijau. Karena paspor Milie dan saya akan habis dalam waktu dekat, sekalian saja saya mendaftarkan nama kami berdua untuk memperpanjang paspor di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Den Haag.

Sebelum saya bercerita tentang pengalaman memperpanjang paspor di Belanda, kita bahas dulu tentang proses yang ada di Indonesia, yuk. Kebetulan orang tua baru selesai membuat paspor setelah yang sebelumnya kedaluwarsa tanpa diperpanjang. Ternyata sekarang ada yang berubah, lo!


Membuat paspor di Indonesia

Lima tahun lalu kami harus datang pagi-pagi ke kantor imigrasi untuk mengambil nomor antrean. Orang-orang datang sebelum jam operasional kantor dan sudah berdiri mengular, bahkan pada pukul 7 pagi! Sungguh perjuangan luar biasa dan tentunya tidak mudah. Untungnya ada prioritas untuk anak-anak dan lansia sehingga antrean pelayanan relatif lebih pendek—tetapi yang di luar sih, sama saja.

Sekarang sistemnya sudah diganti. Pendaftaran permohonan paspor harus dilakukan melalui APAPO (Aplikasi Pendaftaran Antrean Permohonan Paspor secara Online). Antrean hanya dibuka setiap Jumat pukul 16.00 untuk mendapatkan nomor antrean pekan berikutnya (Senin—Jumat). Mau tidak mau, kita harus sigap. Jika kehabisan kuota, kita harus menunggu satu pekan dan mencoba peruntungan di Jumat berikutnya.

APAPO di Playstore

Namun, menurut pengalaman orang tua, prioritas untuk anak-anak dan lansia tetap ada. Hanya saja, mereka tidak perlu mendaftar lewat aplikasi, melainkan harus datang langsung ke lokasi untuk mendapatkan nomor antrean. Ibu saya kehabisan jatah lansia yang cuma 10 orang setiap hari meski sudah datang pukul 06.30 pagi. Sepertinya orang lain datang benar-benar sehabis subuh, deh. Luar biasa.

Kok, kesannya, baik mendaftar lewat aplikasi, maupun datang langsung karena termasuk golongan yang mendapatkan prioritas sama-sama repot, ya? Mengingat ini adalah pelayanan publik, seharusnya prosesnya dibuat sederhana dan transparan. Kalau memang ingin tetap ada antrean prioritas untuk anak-anak dan lansia, buat saja sistemnya di dalam aplikasi yang sama. Dengan begitu, mereka tidak perlu datang esok harinya (atau esok dan esoknya lagi) bila kehabisan kuota di hari itu.

Memperpanjang paspor di Belanda

Pendaftaran yang mudah

Bagaimana dengan proses pembuatan paspor di Belanda? Tentu kondisinya berbeda setelah pandemi. Pada 2018 dan 2020 kami sempat membuat paspor baru untuk dua anak yang lahir di Belanda. Sistemnya sedikit berbeda, tetapi yang sekarang malah lebih baik. Bravo!

Dulu kami bisa datang kapan saja di waktu yang telah ditentukan untuk pembuatan paspor. Setelah melapor di pos jaga, kami mendapat nomor antrean, lalu menunggu dipanggil untuk pemeriksaan berkas. Setelah diperiksa, kami langsung difoto dan membayar. Paspor baru dapat diambil pada tanggal dan jam yang tertera di kuitansi pembayaran.

Gedung KBRI Den Haag, tetapi bukan untuk urusan imigrasi. Untuk urusan tersebut, kita masuk melalui pintu terpisah tepat di samping pintu pagar gedung ini (foto: dokumentasi pribadi). 

Sekarang kita harus membuat janji dulu di situs KBRI Den Haag. Setelah mengisi kolom-kolom yang ada, kita akan mendapatkan konfirmasi melalui surel, berikut formulir permohonan yang sudah diisi rapi oleh komputer dalam bentuk PDF, tanpa perlu mengisi manual seperti dulu. Di dalam surel tersebut juga ada beberapa persyaratan yang harus kita bawa saat datang ke KBRI, yaitu (1) paspor lama, (2) formulir permohonan, (3) satu lembar foto paspor, (4) kutipan buku nikah/akte kelahiran/ijazah, dan (5) izin tinggal.

Sehari sebelum waktunya tiba, sebuah surel lain datang untuk mengingatkan. Di bagian bawah ada pilihan seandainya kita akan membatalkan janji untuk esok hari. Terus terang terobosan ini di luar ekspektasi saya tentang sebuah institusi pemerintah Indonesia. Sewaktu di Indonesia saya tidak ingat pernah mendapatkan surel semacam ini. Karena itu, waktu membaca judul dan isinya, saya terperangah sekaligus salut. Namun, dibandingkan SMS—di Belanda pengingat biasa dikirimkan melalui SMS dua hari atau sehari sebelumnya—pengingat melalui surel lebih besar kemungkinannya untuk tidak terbaca. Meski sudah mengeset push notification, tidak ada notifikasi apa pun yang masuk ke ponsel saya. Untungnya saya membuka surel hari itu. Kalau tidak, ya, tidak mengapa sebab saya sudah menuliskannya di agenda. He-he-he.

Hari H yang banyak kejutan

Pada hari H kami datang tepat sesuai waktu perjanjian. Setelah melapor, kami dipersilakan untuk masuk dan langsung menuju aula di bagian belakang gedung. Di sana tersedia kursi-kursi yang disusun berjarak satu dengan yang lain. Suasananya sepi saat itu, mungkin efek dari penyebaran pengunjung berdasarkan waktu kedatangan.

Aula tempat mengajukan permohonan dan pengambilan paspor (foto: dokumentasi pribadi).

Karena tidak diberi nomor antrean, saya duduk saja di salah satu kursi sambil menunggu orang yang sedang dilayani selesai. Agak tricky memang karena staf tidak bisa mengetahui siapa yang datang lebih dulu. Benar saja, berselang sedikit setelah saya ada ibu dan anaknya datang. Belum sempat mereka mengambil tempat duduk, salah satu staf yang loketnya sudah kosong bertanya ke arah kami, “Ibu sudah dibantu?” Sambil setengah bingung (padahal dia sempat menoleh ke arah saya!), dia menjawab, “Belum” dan langsung menuju ke arah meja loket. Pedih!

Entah mengapa KBRI tidak menyediakan nomor antrean. Saat saya sudah menyelesaikan semua urusan, hal serupa terjadi juga antara seorang ibu dan bapak. Si ibu yang merasa berhak dilayani duluan akhirnya menang, lagi pula perempuan selalu benar, kan? Ha-ha-ha.

Pohon sakura sedang mekar sempurna di depan gedung KBRI (foto: dokumentasi pribadi).

Giliran saya tiba untuk pemeriksaan berkas. Saya dan Milie duduk di depanku staf yang bertugas. Dengan sigap semua dokumen saya serahkan. Eng ing eng … ternyata ada yang kurang, Saudara-Saudara, padahal saya merasa yakin sudah membawa semuanya, sampai saya double check sebelum berangkat. Bukan punya saya yang kurang, melainkan punya Milie. Di dalam surel yang saya terima, persyaratan untuk saya (dewasa) dan Milie (anak-anak) sama saja, tetapi begitu di loket saya dimintai salinan paspor ayah, kutipan surat nikah orang tua, dan salinan izin tinggal ayah karena baik Milie maupun suami adalah WNI. Untung (alhamdulillah!) suami saya ada di rumah, sehingga semua dokumen tambahan bisa dikirim via WA lalu saya teruskan ke alamat surel KBRI. Staf yang lain lantas mencetaknya di tempat.

Agak aneh, ya. Menurut beliau persyaratan ini ada di situs KBRI, tetapi saya tidak merasa membacanya. Alhamdulillah bapak staf itu tidak menyalahkan, tidak memburu-buru, dan sangat kooperatif sehingga setelah semua persyaratan lengkap, permohonan kami bisa diproses.

Berikutnya adalah panggilan untuk foto, pengecekan ulang nama dan tanggal lahir, serta pembayaran dengan kartu. Bahkan sebelum pandemi, KBRI sudah menerapkan pembayaran tanpa uang kontan. Semua proses ini dilayani oleh ibu staf yang sangat ramah. Jadwal pengambilan paspor tertera di kuitansi, yakni 10 hari kerja, jauh lebih lama daripada proses di Indonesia yang memakan waktu empat hari kerja saja.

Foyer gedung KBRI khusus untuk urusan imigrasi (foto: dokumentasi pribadi).

Pengambilan paspor

Slot waktu pengambilan paspor ada di siang hari, sedangkan permohonan paspor di pagi hari. Waktu saya datang untuk mengambil paspor, saya tidak lagi perlu menulis data diri di buku tamu, melainkan dipersilakan langsung masuk ke aula. Suasananya bahkan lebih sepi daripada sesi pagi hari.

Setelah menyerahkan kuitansi, bapak staf mencari paspor saya dan Milie di kotak. Yeay, kami punya paspor baru! Paspor lama pun ikut dikembalikan. Lumayan untuk koleksi paspor dan visa. He-he-he.

Oh iya, soal persyaratan dokumen untuk perpanjangan paspor anak, sesaat lalu saya cek lagi di situs KBRI dan hasilnya masih nihil. Eh, jangan-jangan ada di bagian ‘Membuat paspor pertama untuk anak”? Jeng … jeng … benar ada, dong! Seharusnya persyaratan tambahan khusus untuk anak juga ditulis di bagian “Memperbaharui atau mengganti paspor” agar tidak ada kejadian seperti yang saya alami.

Penutup

Membuat paspor di KBRI Belanda jauh lebih simpel daripada di Indonesia, khususnya soal pendaftaran. Dengan pemilihan waktu kedatangan yang bisa dilakukan kapan saja, kami tidak perlu mantengin aplikasi plus deg-degan berharap dapat jatah nomor antrean. 

Namun, meski ada perbaikan positif oleh KBRI, bukan berarti semua prosesnya sudah sempurna. Semoga setiap lembaga yang melayani publik terus mengevaluasi diri dan berbenah secara berkala agar dapat memberikan pelayanan yang optimal kepada masyarakat.