Walau dalam pengertian tersebut aspek nonfisik mungkin lebih dominan, bagi saya rumah dalam arti sebenarnya, “bangunan untuk tempat tinggal”, sama pentingnya. Karena itu, wajar bila banyak pertimbangan yang diambil dalam mencari/menentukan rumah. Ada yang obyektif, tetapi lebih banyak yang subyektif. Balik lagi ke preferensi dan kebutuhan keluarga masing-masing, ya.
Nah, dalam tulisan ini saya ingin berbagi tentang beberapa poin terkait lokasi yang menjadi bahan pertimbangan saya dalam memilih rumah/tanah. Wujudnya, sih, masih dalam pencarian. Semoga ketemu dengan jodoh terbaik, ya, Maah. Aamiin.
Rumah tapak vs. apartemen
Sebelum poin-poin lain, saya mau bahas ini dulu, ah. di Indonesia, rumah tapak pastinya lebih populer, tetapi di kota-kota besar apartemen makin marak.
Masing-masing punya kelebihan. Rumah tapak bisa memiliki halaman; apartemen tidak. Komplek apartemen biasanya ditunjang dengan fasilitas lengkap, misalnya lapangan olahraga, kolam renang, atau tempat fitnes; rumah tapak tidak (kecuali di komplek elit, ya).
Tinggal menentukan prioritas saja. Bagi saya, halaman lebih penting daripada fasilitas sehingga apartemen bukan pilihan saya.
Rumah tapak 👌.
Kontur datar vs. kontur berbukit
Saya besar di Jakarta yang notabene berkontur datar. Walau dulu bertahun-tahun kuliah di Bandung, daerah jajahan saya berkisar dekat kampus dan rumah kos saja. Sekarang pun saya tinggal di rumah berkontur datar.Makanya, waktu saya mulai bisa mengemudi sendiri dan ada keperluan ke tempat yang berlokasi di dataran lebih tinggi di Bandung, saya baru mengerti ucapan seorang teman, “Aku mah nyari rumah di tanah datar.” Oh, ternyata punya rumah di daerah berbukit semenantang itu! Enggak kebayang itu gimana kalau naik motor. #merinding
Saya langsung mengeliminasi lokasi yang perlu menanjak dulu untuk mencapainya, apalagi jalannya kecil khas jalanan Kota Bandung. Udah lah menanjak, kecil pula. Selalu bikin deg-degan setiap kali berpapasan dengan mobil, apalagi truk.
Kontur datar 👌.
Ramai vs. sunyi
Lagi-lagi saya mendapat inspirasi dari seorang teman. Kurang lebih dia pernah menjawab, “Aku lebih cocok di kota besar,” waktu saya tanya alasannya pindah. Saya memang mengenalnya waktu kami berdua masih tinggal di Jakarta.Seumur hidup saya juga begitu, belum pernah tinggal di daerah sunyi. Dulu waktu di Belanda, meski bukan kota besar, keluarga kami tinggal hanya selemparan baru dari pusat kota. Keramaian ada di mana-mana.
Saya rasa saya akan mati gaya bila harus tinggal di daerah sunyi. Untuk berlibur sampai seminggu masih oke, tetapi untuk tinggal seterusnya enggak dulu, deh.
Ramai 👌.
Pemukiman biasa vs. cluster vs. komplek
Waktu kecil hingga SMA saya tinggal di komplek. Banyak keluarga saya tinggal di pemukiman biasa. Sekarang saya tinggal di cluster.Dari segi sosial, rumah berpagar seperti di komplek atau pemukiman biasa membatasi interaksi penghuni dengan lingkungan sekitar. Ini pas untuk orang introvert.
Cluster tidak demikian. Jumlah rumah yang sedikit plus ketiadaan pagar membuat penghuni harus lebih terbuka dengan tetangga. Tegur sapa sedikit dengan tetangga tidak menyakitkan, kok.
Bagi saya, yang mana saja tidak masalah asalkan lingkungan aman dan tetangga baik. Oh iya, satu lagi. Asal dekat dengan masjid/mushola yang bisa ditempuh dengan maksimal 5 menit berjalan kaki.
Ketiganya 👌.
Jalan lebar minimal 2 mobil vs jalan sempit oke aja
Salah satu pertimbangan saya soal lokasi rumah/tanah adalah akses jalan. Seperti kita tahu, jalanan di Bandung itu sempit-sempit. Mobil, motor, sepeda, dan pejalan kaki harus meningkatkan kewaspadaan serta toleransi saat berbagi jalan.Keadaan ini sungguh membuat tidak nyaman. Makanya, jangan sampai saya harus menempuh jalan pulang yang sempit setiap hari, ditambah jalan depan rumah yang sempit.
Jalan lebar minimal 2 mobil 👌.
Penutup
Memilih lokasi rumah harus dilakukan dengan tenang, tidak terburu-buru. Jangan sampai salah ambil keputusan karena itu berhubungan dengan kehidupan kita dan keluarga dalam jangka waktu lama. Pindah tempat tinggal itu repot banget.
Rumah juga bisa menjadi investasi. Karenanya, kita perlu bervisi ke depan. Kalau bisa, sekalian mengacu kepada rencana pembangunan daerah. Biasanya kan setelah dibangun pusat keramaian, harga properti di sekitarnya jadi melejit.
Semoga di mana pun berada, rumah yang kita tinggali memberikan berkah bagi kita sekeluarga, ya, Mah!
*****
Tulisan ini dibuat untuk Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog Mei 2024.
5 Comments
Ehehehe.jadi inget cerita rumah bude di daerah awiligar dan punya mobil jeep yang suka tiba-tiba mogok. Deg-degan deh tiap mau pulang, takut mati di tengah tanjakan.
ReplyDeleteRumah jaman sekarang nggak pakai pagar ternyata buar berinteraksi dengan tetangga ya
Belum lama anter Butet ke rumah temennya di jalan sempit dan nanjak akut. Hadeuh, deg2an, taut ada mobil dr arah berlawanan. Tapi emang tempatnya enak banget dan rumahnya besaaarrr 😜
ReplyDeleteKok lucu (lucu in a good way) ya cara memberi emoji sebagai tanda preferensi Mamah Muti di tiap akhir sub bab. :)
ReplyDeleteTernyata bukan saya aja ya Muti yang kerasa dag dig dug nyetir di jalanan Bandung, terutama yang sempit, naik turun, plus di kanan kiri ada pejalan kaki maupun motor parkir. Ehehe.
Aku pun lebih memilih rumah di daerah datar dibandingkan yang berkontur. Selain struktur bangunannya juga lebih murah, kebayang anak-anak nggak akan kesulitan main sepedaan di rumah. Kayanya repot banget ngajarin anak naik sepeda di kompleks-kompleks yang konturnya ekstrim.
ReplyDeleteRumahku di Bandung Jatihandap. Nanjak dan lumayan sempit. Sedangkan di Jakarta datar dan lebar.
ReplyDeleteKata suami, kalau nanti lansia kayaknya gak tinggal di Jatihandap deh ha3 ...
Seru deh cara.ceritamya teh Muti.