Stop Buang Makanan

Sejak kecil saya diajarkan orang tua kebiasaan saat makan: rapi dan tuntas tanpa menyisakan sebutir nasi pun. Kebiasaan baik ini saya teruskan kepada anak-anak. Mereka belum sepenuhnya berhasil, sih. Kadang masih ada juga butiran nasi berpencaran di piring. Kalau sudah begini, biasanya saya kumpulkan dan minta mereka untuk menghabiskan. Jika beruntung, mereka akan mendengarkan kisah petani sebagai bonus, hahaha.



Bicara Data

Ternyata perkara makan tanpa sisa ini bukan hal receh, lo. Indonesia menghasilkan 20,93 juta ton sampah makanan per tahun (Food Waste Index 2021 keluaran United Nations Environment Programme [UNEP]). Ini menempatkan Indonesia di posisi keempat terbesar setelah Cina, India, dan Nigeria.

Adapun hasil kajian Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) pada 2021 menyebutkan Indonesia menghasilkan 23–48 juta ton sampah makanan per tahun pada periode 2000–2019. Artinya, tiap penduduk Indonesia menyumbang 115-184 kg sampah per tahun. Bila dikalkulasi berdasarkan kehilangan kandungan gizi (energi), seharusnya 61–125 juta orang Indonesia dapat tercukupi kebutuhan energinya dari jutaan ton makanan terbuang.

Dalam laporan kajian yang sama, sampah makanan dibagi menjadi dua kategori berdasarkan tahapan rantai pasok makanan: food loss dan food waste. Food loss terjadi pada tahap produksi, pascapanen dan penyimpanan, serta pemrosesan dan pengemasan, sedangkan food waste terjadi pada tahap distribusi dan pemasaran, dan konsumsi. Timbulan sampah terbesar berada pada tahap konsumsi, yakni 5–19 juta ton/tahun. Diestimasi sektor rumah tangga menyumbang 80%. Lebih lanjut, sebesar 44% dari food waste sebenarnya masih layak makan.

W-o-w banget enggak, sih?


Dampak bagi Lingkungan

Walau terkesan tidak berkaitan erat dengan isu lingkungan, food waste masuk dalam daftar 15 masalah lingkungan terbesar pada 2024 versi Deena Robinson dalam situs earth.org. Berikut alasannya:

Emisi gas rumah kaca

Produksi makanan dianggap sebagai salah satu biang kerok pemanasan global dari emisi gas rumah kaca yang timbul sepanjang tahap rantai pasok makanan. Besarnya mencapai seperempat dari total emisi gas rumah kaca yang dihasilkan manusia per tahun.

Makanan yang terbuang pada tahap akhir rantai memiliki beban emisi paling besar karena menanggung beban emisi tahap-tahap sebelumnya. Dengan kata lain, membuang nasi lebih berdosa dibandingkan dengan membuang gabah, hehehe.

Gas rumah kaca, terutama gas karbon, yang terperangkap di atmosfer akan menghalangi panas matahari terpantul keluar Bumi. Akibatnya, Bumi makin panas! Seperti efek domino, peningkatan suhu Bumi menyebabkan es di kutub mencair, air laut naik, daerah pesisir banjir.

Masih ingat tornado di Rancaekek beberapa waktu silam? Biasanya tornado terjadi Amerika Tengah yang didominasi dataran rendah dengan padang rumput yang luas. Jika bisa terjadi di Indonesia, mungkin fenomena ini adalah contoh dari kekacauan pola cuaca dan iklim yang dikaitkan dengan menghangatnya suhu global.

Penyia-nyiaan sumber daya alam

Dengan membuang makanan, itu sama saja kita menyia-nyiakan sumber daya alam yang digunakan untuk menghasilkan makanan, yaitu air, energi, dan bahan bakar. Air berperan penting dalam pertanian dan peternakan/perikanan, baik dalam bentuk irigasi, penyiraman tanaman, maupun minum ternak dan habitat ikan.

Energi digunakan langsung dalam peralatan pertanian, manajemen air, irigasi, penanaman, dan pemanenan. Selanjutnya, energi terlibat pula dalam pemrosesan makanan, penyimpanan, dan distribusi ke pasar. Secara tidak langsung, energi terdapat dalam pupuk mineral, pestisida kimia, insektisida, dan herbisida.

Bahan bakar dipakai untuk menggerakkan mesin pertanian, misalnya traktor. Selain itu, juga dipakai dalam proses distribusi komoditas ke pasar, misalnya mobil pengangkut hasil panen.

Degradasi lahan dan ancaman bagi biodiversitas

Pertanian identik dengan pembukaan lahan dan penebangan hutan. Pertanian monokultur terutama akan berakibat pada penurunan kualitas tanah dan mengancam keanekaragaman hayati.


Kita Bisa Apa?

Penyelesaian masalah food loss and waste membutuhkan pendekatan komprehensif dari hulu ke hilir. Mulai dari peningkatan efisiensi proses operasional di tahap produksi, pemanfaatan surplus produk pangan di tahap pascapanen, hingga perubahan perilaku di tahap konsumsi.

Kita sebagai konsumen–notabene adalah tahap terakhir dari rantai pasok makanan–memiliki andil besar dalam menyumbang sampah makanan di Indonesia. Di sisi lain, beban emisi gas rumah kaca kita paling besar. Jadi, apa yang harus kita lakukan untuk jadi bagian dari solusi, bukan masalah? Berikut adalah beberapa aksi mudah yang disarankan oleh Food and Agriculture Organization (FAO):
  • Seperti Aa Gym sering bilang, mulai dari diri sendiri dulu. Beli bahan makanan secukupnya agar tidak ada yang terbuang karena busuk/layu. Kalau perlu, buat meal plan dan daftar belanja, lalu dilarang membeli yang lain-lain (jleb jleb bagian ini).
  • Simpan makanan dengan baik. Terapkan aturan first in first out (FIFO) dengan mengonsumsi makanan lebih lama lebih dahulu. Jika sudah dibuka, gunakan wadah bertutup rapat agar tetap segar/renyah dan tidak dimasuki binatang.
  • Makan dalam porsi kecil di rumah atau berbagi porsi besar di restoran. Ini mencegah makanan tersisa karena telanjur kenyang. Untungnya saya dan suami satu suara dalam hal ini. Makan harus tandas.
  • Masak dalam porsi yang sekiranya cukup untuk satu kali makan (atau lebih). Jika berlebih, simpan di kulkas dalam wadah tertutup alih-alih langsung dibuang. Kita bisa memakannya lagi lain waktu atau menggunakannya untuk masakan lain.
  • Pilih sayur dan buah yang sudah kurang prima (dengan catatan, dikonsumsi segera, ya). Biasanya ada potongan harga untuk sayur dan buah yang kualitasnya dinilai menurun. Saya pernah sengaja membeli pisang yang kematangan–karenanya didiskon 30%–untuk dibuat bolu pisang.
  • Pilih produk makanan lokal. Makin pendek jarak tempuh antara kita dan produsen bahan makanan, makin sedikit energi dan bahan bakar yang digunakan. Makin sedikit pula emisi gas rumah kaca yang dilepas ke lingkungan. Dengan begini, kita juga mendukung petani dan bisnis lokal.
  • Pahami istilah kadaluarsa (best before, expired date) terutama untuk makanan kaleng. Jika lewat tanggal best before, tetapi masih layak konsumsi (kaleng tidak menggembung, rasa/warna/bau masih bagus) biasanya tidak saya buang. Untuk roti/kue pun sama, selama belum berjamur artinya masih oke untuk dikonsumsi. Kalau pun baru muncul jamur, asal belum berspora, saya cukup membuang sedikit yang ada jamur, lalu memakan sisanya.
  • Beli produk makanan yang didiskon menjelang jam tutup toko. Dengan begini kita bisa menyelamatkan makanan sisa sebelum dibuang. Semangat ini yang diterapkan dalam aplikasi Surplus. Kita dapat membeli produk makanan sisa produksi restoran/kafe/UMKM yang sekiranya akan dibuang dengan harga miring. Sayangnya di Bandung, tenant yang berpartisipasi baru sedikit dan tidak bertambah signifikan sejak saya menginstal Surplus pertengahan tahun lalu. Pada level Horeka, makanan sisa bisa didonasikan melalui lembaga seperti Foodbank of Indonesia. Makanan kemudian akan disortir dan diolah dan disalurkan ke pihak-pihak yang membutuhkan. 
  • Jadikan kompos alih-alih membuang ke tempat sampah. Ini win-win solution antara kita dan Bumi. Bumi mendapat manfaat kembali dari apa yang sudah kita petik darinya.

Penutup

Di saat kondisi dunia yang morat-marit, di saat banyak yang kelaparan, rasanya bersalah banget jika kita sampai membuang makanan. Maka dari itu, yuk, kita lebih peduli, lebih mindful dalam membeli dan mengonsumsi makanan. Mulai dari diri dan keluarga kita saja dulu, sambil sedikit-sedikit menularkan kebiasaan baik kepada lingkungan sekitar. 

Post a Comment

7 Comments

  1. Bener ya, kebiasaan menghabiskan makanan dan piring harus bersih itu penting sekali dilatih ke anak-anak. Anakku yang besar tipe yang selalu piringnya bersih, sementara anak kedua selalu banyak buang makanan.

    ReplyDelete
  2. Wow teh, keren penjabaran datanya. Selama ini cuma tau kita banyak bgt menghasilkan food waste, tapi baru tau angka detailnya. Fakta ternyata 44% makanan yg terbuang itu masih layak makan itu sedih bgt gak sih.

    ReplyDelete
  3. Yes yes, mulai dari diri dan keluarga kita dulu. Semoga bisa menular ke sekitar kita dan lebih luas lagi. Semangaaattt 🔥

    ReplyDelete
  4. aku kalau ke minimarket ind*mar*t itu kadang suka dijual pisang sunpride yang agak lama ya. aku malah suka sih karena pisang makin matang makin manis. bisa diolah jadi bahan makanan kue atau pancake gitu

    ReplyDelete
  5. Mamah Mutiara, keren. Bisa konsisten dan menjadikan kebiasaan baik untuk tidak ikut andil meningkatkan food waste.

    Merasa bersalah karena belum total bisa ngabisin makanan. Setiap harinya, masih sering ada sisa makanan sekeluarga yang saya buang. :(.

    Terima kasih sudah ngasi tau langkah2 yang bisa dilakukan ya, Muti. One at a time. Semoga kami bisa total.

    ReplyDelete
  6. Setujuu teh. Paling banyak sampah makanan itu dari aktivitas setelah produksi, alias di meja makan kita. Jadi mari kita galakkan makan habis selalu sampai tandas tanpa sebutir nasipun tersisa

    ReplyDelete
  7. Ibu2 adalah kunci ga sih teh. Teringat ibu2 kita dulu bawel soal HEMAT, MAKAN HABISKAN, BELI YANG BUTUH. Secara tdk sadar menanamkan budaya menghargai barang, sumber daya yang ternyata berdampak Baik ke bumi.

    Kalau skrg org2 scra ekonomi lbh Makmur atau dipaksa terlihat kaya krn gengsi. Ibunya udah ga punya prinsip2 hemat dan bijak, malah suka pamer dan boros. Alhasil anak2nya yaa kurang lebih..

    ReplyDelete