Meredefinisi Makna Hubungan Sosial (kita)

Terkadang hidup itu lucu, ya. Saat saya bingung bagaimana cara mengelaborasi tema tantangan MaGaTa pekan ini tentang "hubungan sosial sejak pandemi", tidak sengaja saya menemukan satu video singkat di Instagram. Langsung saya membatin, kok, pas banget, sih. Saking pasnya, saya sampai merasa tidak perlu berpanjang lebar menuliskannya lagi. Hehehe ....

Saya pikir kita semua sependapat bahwa pandemi Covid-19 yang telah memasuki tahun kedua ini mengubah tatanan hidup secara signifikan. Bagaimana tidak? Dari yang tadinya kita bebas bertatap muka, berkumpul, dan bercengkerama, seketika terpaksa harus memenuhi banyak aturan dalam hal interaksi sosial. Bahkan jika bukan untuk urusan (maha) penting, kita dianjurkan untuk berdiam diri di rumah saja. Saat butuh untuk keluar, kita harus mematuhi lima prinsip protokol kesehatan: memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak, menjauhi kerumunan, dan membatasi mobilitas dan interaksi. 

Sebagai makhluk sosial yang senantiasa membutuhkan interaksi antarmanusia, keadaan ini luar biasa menantang--mungkin sampai menyiksa bagi sebagian orang, terutama yang ekstrover. Kita dipaksa untuk meredefinisi makna interaksi sosial itu sendiri. Karena pertemuan fisik tidak bisa menjadi pilihan, pertemuan maya adalah jalan keluar. Berjabat tangan--dan cium pipi kanan kiri seperti biasa kita lakukan dengan keluarga dan teman dekat--diganti dengan menangkupkan kedua telapak di depan dada. Mengobrol santai dengan berdiri berjauhan menjadi lazim karena menjaga jarak aman minimal 1,5 m. Bagi saya semua itu masih relatif mudah untuk dijalankan. 

Yang lebih mengkhawatirkan, menurut saya, dari perubahan hubungan sosial sejak pandemi adalah menipisnya garis antara waspada dan curiga terhadap orang lain. Setiap melihat orang batuk atau bersin, alarm kita langsung menyala dan diikuti oleh self talk yang beruntun. Kok, dia batuk terus, sih. Jangan-jangan kena Covid-19. Duh, ga peka banget. Bukannya diam di rumah, malah keluyuran. Jatuhnya malah kita banyak berprasangka, padahal belum tentu dia batuk karena Covid-19, 'kan? Terlebih lagi kita tidak tahu urusan apa yang membuatnya sampai keluar rumah, mungkin sepenting kalau-tidak-keluar-keluarga-tidak-bisa-makan. Nah, lo. Apakah kita pantas untuk menghakimi orang lain? 

Meski demikian, pandemi tidak melulu identik dengan memburuknya hubungan sosial. Di sisi lain, keadaan sulit akibat pandemi justru memberi ruang bagi masyarakat untuk berempati. Masih hangat dalam ingatan contoh warga yang suka rela memberikan sejumlah kantong berisi bahan makanan bagi siapa saja yang butuh dan kebetulan lewat di depan rumahnya. Model ini kemudian dicontoh di daerah lain oleh perkumpulan warga yang bergotong royong menyumbangkan sembako. Contoh lain adalah koordinasi bantuan makanan oleh warga bagi tetangganya yang harus menjalani isolasi mandiri karena positif Covid-19. Semuanya menghangatkan hati dan menimbulkan perasaan optimis bahwa pandemi tidak lantas mematikan hubungan yang telah lama hadir sosial kita. 

Penutup

Memang, mau tidak mau, suka tidak suka, tahun kedua pandemi ini membuat semua perubahan yang semula terasa berat perlahan beralih menjadi hal lumrah. Istilahnya, kenormalan baru. Kita telanjur nyaman dengan keadaan sekarang dan mungkin akan memilih untuk tetap begini, alih-alih kembali kepada kebiasaan lama. Walau begitu, saya yakin, kok, kita pasti bisa menemukan bentuk baru dari interaksi sosial tanpa melupakan unsur-unsur esensial, seperti saling menghormati dan menghargai, empati, dan peduli. Toh, kita sudah melihat buktinya setahun ke belakang. 

Karena itu, jangan jadikan pandemi sebagai alasan untuk menjadi orang yang antisosial, ya. Yang termasuk di dalam protokol kesehatan dari WHO, kan, physical distancing, bukan social distancing. Meski terpisah raga, kita masih bisa berhubungan (sosial), kok #eaa. 


Post a Comment

0 Comments