Monday, December 31, 2012

end-of-year note 2012


Wow! Time flew so fast! It's already been a year since my 2011 end-of-year note. Though I didn't post many this year, my days were, believe me, not dull at all. Actually my life has transformed in a way I couldn't predict when I entered 2012. Also to imagine how I would end it was also not in my mind. 

I say this year (and so will the next 2 years) as a year of reorientation. If you have read my previous posts, you might know what I'm talking about. 

I set my life to be a research scientist. Even in junior high, I imagined myself wearing a white coat, working around laboratory benches. Though I didn't know name of the profession, the vision was clear. Yet, I didn't have any clue how I would achieve it. 

Then the path began to shape. At high school, I competed in the selection for International Biology Olympiad team representing Indonesia. I managed to pass until the last round in which I eventually failed. Nonetheless, I became a biology admirer and decided to take it as my major in university. In brief, yes, I was accepted as a student majoring Biology and enjoyed what I did very much. I even took my master in Biology (microbiology, errr, no, more to chemistry actually).

That was when the doubt came. Silently. 

Well, you can read the story here, so I won't waste my time explaining (that if, you're interested to know anyway :p). My INFJ personality is getting clearer. My idealism is getting stronger. Though the goal is still the same, I'm choosing different path. There are many ways to Rome indeed.

The fact that I'm feeling richer now than ever before IS the main thing I'm grateful for this year. I learn to wear many hats, to see from many sides. To have wider, and in the same time, deeper view. To be a complete individual. And by that, I know I will be wiser. 

This year means a lot in my journey of life. The romance part also, of course. 

I had a short (only two weeks) acquaintance with my friend's friend. Very weird story I can tell, but his unique past made me realize that my life so far was 'ordinary'. The ups and downs were just the usual dynamics of life. It was never far from the baseline, which I'm also grateful for.

I don't know whether this also a romance story or not. But, I fell in love with an author at the moment I read his book. Sounds ridiculous, uh? Despite his good looking (should I say handsome instead? :D), his way of thinking and the values he holds attracted me the most. I felt like I have found the other me. Even some of his words were the words I wrote before in this blog.

"Love" maybe too much since I haven't met him in person. He even doesn't know I'm exist. But, hey, it's worth the prayer right?

What else? O yeah, I made some new good friends while still in contact with the old ones. Friends are everywhere. Let your heart choose those who will be your good mates. The rule is if you want to be good, be friends with good people. They will make you closer to God and not afraid to criticize your wrongdoings. 

I almost forgot. This year marked the first time in my history of life that I had to be hospitalized because of typhoid (and a kind of unknown virus). 6-days at hospital plus a week at home were more than enough. Very valuable lesson to always take care of my health. Hope there will be no second time. 

The Mayan prediction has been proven wrong. 2013 is already around the corner. It IS going to come. Just like tomorrow after today, night after day, new year is actually a mere daily certainty. Nothing is more special because tomorrow is always special. It says hope and optimism, of course, if we are ready to face it. If not, it will fade away and bring no difference in our life as the sun sets at the end of the day. 

In the upcoming year, I do hope for happiness for my parents, for myself, for my friends, for my teachers, for all muslims and betterment for Islam, for Indonesia, and for the world. A hope to be part of the fortunates whose tomorrow is better than today.  

Let us prepare ourselves for any surprises tomorrow will bring.  


P.S.: Now I'm more active in Twitter (@mutiarasidharta) than Facebook. I guess, that's also news, eh? :D


[Image is from here]

Monday, November 12, 2012

Guru Indonesia: Berguru kepada Finlandia




Dalam sebuah seminar tentang Ekonomi berlandaskan Pengetahuan (Knowledge-based Economy) di Aula Timur ITB, Duta Besar Finlandia, H.E. Mr. Kai Sauer, berkata inovasi tumbuh bila tiga unsur terpenuhi: pola pikir (can do or die ala Finlandia), software (intelektual), dan hardware (fasilitas dan infrastruktur). Software, apalagi hardware, relatif mudah untuk dicapai, tetapi tidak untuk pola pikir. Apakah resep sukses Finlandia yang bisa diterapkan di Indonesia? Dengan lugas Mr. Sauer menjawab, “Pendidikan.”


Guru: Profesi menarik di Finlandia
Menarik saat Mr. Sauer mengatakan bahwa masyarakat Finlandia sangat menghargai pendidikan, tepatnya berorientasi kepada pendidikan (education-oriented). Di sana, semua guru harus lulusan S2, baik guru sekolah dasar maupun menengah. Selain itu, pelatihan mengenai pedagogi diberikan untuk para calon guru.

Menjadi guru bukanlah pilihan terakhir, melainkan profesi idaman banyak lulusan SMA. Persaingan untuk masuk ke sistem pendidikan guru sekolah dasar sangatlah ketat; hanya 10% dari total pelamar yang lulus seleksi. Tentunya yang terbaiklah yang dipilih.

Gaji guru yang berada di atas rata-rata OECD (Organisation for Economic Co- operation and Development) membuat para guru bekerja dengan performa terbaik mereka, tanpa harus memikirkan kesejahteraan diri dan keluarga. Hal ini juga membuat profesi guru sangat menarik dan menjanjikan.


Standar kualifikasi guru di Indonesia: Satu langkah lebih baik
Menurut Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI No.16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru, guru sekolah dasar dan menengah harus memiliki kualifikasi akademik minimum diploma empat (D-IV) atau sarjana (S1). Peraturan ini merupakan langkah maju untuk meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia. Hanya saja dalam tataran pelaksanaan, dibutuhkan komitmen dan konsistensi dari pemerintah. Sampai saat ini baru 25% guru SD yang memenuhi kualifikasi tersebut.  

Kuliah reguler di lembaga pendidikan dan tenaga kependidikan (LPTK) atau di Universitas Terbuka (UT) yang jadwalnya lebih fleksibel menjadi pilihan. Meskipun demikian, kendala dihadapi oleh guru yang tidak bisa meninggalkan tugas mengajar. Kebijakan pengakuan pengalaman kerja dan hasil belajar (PPKHB) merupakan solusi yang disediakan pemerintah untuk mempercepat kualifikasi. Melalui kebijakan ini, pengalaman kerja dan hasil diklat guru diperhitungkan sebagai SKS sehingga nantinya beban SKS saat guru berkuliah di di LPTK/UT bisa dikurangi.

Meski pemerintah telah merancang mekanisme pelaksanaan PerMen No.16 Tahun 2007 tersebut, sesungguhnya yang menentukan mutu guru adalah mutu pendidikan guru itu sendiri, bukan pemilikan titel diploma-IV atau sarjana S1. Pemerintah harus memastikan bahwa proses yang ditempuh untuk mencapai kualifikasi yang ditentukan – termasuk di antaranya kualitas LPTK dan UT – benar-benar mampu meningkatkan kualitas guru. Kita pasti sudah mafhum, proses yang instan biasanya berujung pada hasil yang kurang optimal. Apalah artinya gelar diploma-IV atau sarjana S1 bila tidak ada perubahan yang berarti dalam pengajaran di kelas.


Minat menjadi guru: Berkorelasi positif dengan gaji?
Seperti berita yang dilansir oleh kompas.com, Rektor Universitas Negeri Jakarta (UNJ) menyatakan ada peningkatan jumlah peserta ujian tulis SNMPTN tahun 2012 sejumlah 200 ribu orang. Hal ini berimplikasi pada bertambahnya jumlah mahasiswa baru UNJ menjadi sekitar 2,171 mahasiswa dari tahun sebelumnya, yakni 1,793 mahasiswa. Program studi Pendidikan Guru SD (PGSD) termasuk yang terfavorit, di samping Psikologi. Hal serupa juga dialami oleh Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka (Uhamka). Jumlah mahasiswa baru tahun 2011 bertambah 600 ribu menjadi 2,105 orang.

Kebutuhan akan guru SD menyebabkan mahasiswa PGSD sudah “dipesan” sebelum lulus. Mereka diminta untuk mengisi lowongan di berbagai daerah. Dekan FKIP Uhamka mengakui banyaknya peminat terkait dengan Undang-Undang No.14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Selain itu, Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan mengharuskan guru SD merupakan lulusan dari PGSD karena guru SD adalah guru kelas yang harus mampu menguasai semua bidang, berbeda dengan guru sekolah menengah.

Meningkatnya minat untuk menjadi guru SD tentu perlu diapresiasi secara positif. Dengan begitu, logikanya persaingan untuk masuk program studi PGSD akan semakin ketat, standarnya naik, sehingga kualitas masukan (input) semakin tinggi pula. Bila diasumsikan tidak ada perubahan pada kurikulum pendidikan guru, idealnya mutu calon guru lulusan PGSD akan semakin baik.

Sayangnya, peningkatan minat ini ada kemungkinan didorong oleh motif pemenuhan kebutuhan finansial. Menurut Dekan FKIP Uhamka, calon mahasiswa memilih program studi PGSD karena sekarang guru SD bisa cepat menjadi PNS, mendapat tunjangan daerah, hingga sertifikasi. Gaji (take home pay) guru bahkan bisa mencapai Rp 6 juta per bulan.

Memang tidak ada yang salah bila ketertarikan menjadi guru dipengaruhi oleh tersedianya jaminan kesejahteraan bagi diri dan keluarga. Justru jaminan tersebut diharapkan akan membuat guru lebih fokus dalam bekerja, seperti di Finlandia. Yang perlu dikhawatirkan adalah saat ‘finansial’ menjadi alasan utama. Idealisme untuk mencerdaskan bangsa bisa jadi akan ternodai oleh motivasi untuk memenuhi kebutuhan hidup. Percuma saja menaikkan gaji guru bila kualitas pendidikan di Indonesia tidak juga terdongkrak.


Menuju sistem pendidikan nasional yang lebih baik
Saya yakin kita semua mengharapkan peningkatan mutu pendidikan di Indonesia. Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index) yang dikeluarkan oleh UNDP tahun 2011 menempatkan Indonesia pada posisi ke-124, di bawah Filipina (112), Thailand (103), Malaysia (61), apalagi Singapura (26). Finlandia bahkan lebih unggul di posisi ke-22. Indeks ini membandingkan usia harapan hidup, literasi, pendidikan, dan standar hidup 185 negara di dunia.

Tertinggal dari negara-negara di kawasan ASEAN, Indonesia harus terus-menerus melakukan perbaikan di berbagai bidang, termasuk pendidikan. Kualitas guru hanyalah satu aspek dari sistem pendidikan nasional. Kualitas kurikulum, infrastruktur sekolah, hingga pemerataan pendidikan sampai ke daerah terujung di Indonesia juga membutuhkan reformasi nyata.

Finlandia sebagai salah satu negara dengan kualitas pendidikan terbaik di dunia telah banyak dijadikan rujukan perbaikan sistem pendidikan oleh negara-negara lain. Belajar dari Finlandia bukan berarti menganggap mereka tanpa cela. Bagaimanapun kita harus menyesuaikan kebijakan pendidikan mereka dengan situasi dan kondisi yang ada di Indonesia saat ini, serta menyelaraskannya dengan arah dan tujuan pendidikan nasional. 

Yang perlu kita cermati adalah Finlandia telah memulai reformasi pendidikan di negaranya sejak tahun 1970-an. Hasil yang kita lihat sekarang merupakan buah dari program jangka panjang yang konsisten dan sistematis selama 30 tahun. Apakah pemerintah Indonesia dapat meniru kegigihan pemerintah Finlandia? Semoga dengan mengambil hikmah dari keberhasilan Finlandia, Indonesia semakin mantap dalam menapaki jalan menuju sistem pendidikan nasional yang lebih baik. 



Referensi:

Gambar diambil dari sini.

*Tulisan ini diikutsertakan dalam Blog Competition 2012 yang diselenggarakan oleh Gerakan Indonesia Berkibar.



Summers and Autumns

9 Summers 10 Autumns

My rating: 3 of 5 stars

This book is filled with stories of hard work and persistence, fueled by warmth and strength of a family of 7. It is inspiring indeed to read about the struggle of a boy brought up in Batu, Malang in reaching his dream in education. When finally he got his way to attend university and graduate, all the efforts that his family made were paid off. He was hired by a good company in Jakarta, moved once, but then recruited again by his first office, which is a US-based company, to work in New York. What seems to be a dream-come-true journey for the readers is clearly had to be exchanged with tears and sweat on the process.

It is interesting when the chapters start with a scene, which introduce the presence of a little boy in a typical Indonesian elementary school uniform, white shirt and red short trousers. I immediately guessed he is the childhood version of the current adult character. Both of them interacts intensively throughout the book until the end. However, this imaginary, yet true, character is not defined strong enough. My father, who also read the book, even asked me who the little boy is and what his significancy is in the stories.

The writer, Iwan Setyawan, uses the interaction as a prologue and epilogue in most chapters, squeezing the main story in the center. While the idea of it is flawless, the bridges between the opening-closing and the 'real' content are not smooth. I felt like I had to jump from one part to another and then back to where I started because of different nuances brought by each parts. It was disturbing, I have to say.

Despite the above critics, I still like the overall stories of how the main character fight for a better future. It brings spirit for the readers to be able to achieve what he/she dreams of. Just as the writer hopes, I suppose.


Friday, October 26, 2012

Perlukah siswa SD belajar bahasa Inggris?



Gerah juga membaca komentar-komentar terhadap artikel yang ditulis oleh Prof. Bill Watson di The Jakarta Globe tanggal 23 Oktober 2012 berjudul 'Indonesian Goverment is Right to Change Curriculum'. Mungkin karena saya mengenal sang penulis secara pribadi, namun bila kita coba kaitkan isi artikel dengan komentar yang diberikan, dengan objektif saya katakan, "Semua komentar yang diberikan adalah omong kosong!". Terlalu keras? Saya pikir tidak. 

Ada yang hanya menyoroti latar belakang penulis demi mengejeknya tidak berkompeten terhadap masalah pendidikan dasar. Ada yang mempertanyakan sudah berapa lama penulis ada di Indonesia dan sudah pernahkah dia menginjakkan kaki di sekolah di Indonesia. Yang lain berpendapat bahwa kebijakan pemerintah untuk menghilangkan bahasa Inggris dari kurikulum SD adalah salah besar (dengan menceritakan anaknya sebagai contoh). Selain itu karena penulis adalah orang Inggris, wajar jika anak-anak di sana tidak belajar bahasa kedua hingga mereka masuk SMP. Yang paling parah adalah komentar tentang pendidikan agama untuk siswa SD yang berbentuk indoktrinasi. Apa hubungannya dengan substansi artikel?

Pada awalnya saya tidak setuju dengan kebijakan pemerintah mengenai penghapusan bahasa Inggris (dan sains) dari kurikulum SD mulai tahun 2013. Bisa dibilang, saya adalah produk sukses dari pengajaran bahasa Inggris sejak usia dini. Bukan dari sekolah memang. Saya mulai belajar bahasa kedua sejak kelas 1 SD di lembaga bahasa Inggris dekat rumah. Secara formal, saya mendapatkan Bahasa Inggris mulai kelas 4 SD dan waktu itu kemampuan bahasa Inggris saya otomatis sudah di atas teman-teman. Hingga SMA, saya merasa pelajaran Bahasa Inggris sangatlah mudah. Dengan pengalaman tersebut, saya kesulitan membayangkan jika sama sekali tidak ada pengajaran bahasa Inggris bagi siswa SD. 

Pendapat saya kemudian goyah setelah mendengarkan langsung penjelasan Pak Bill tentang alasan beliau setuju dengan kebijakan pemerintah tersebut. Pertama, saat ini beban anak-anak untuk belajar bahasa sudah terlalu berat. Selain bahasa Indonesia formal, mereka juga harus belajar bahasa daerah, bahasa Inggris, dan sebagian juga belajar bahasa Arab. Empat bahasa dalam satu waktu! Bukannya sanggup menguasai semuanya dengan baik, lebih besar kemungkinan mereka tidak akan menguasai satu pun dengan benar. Kalau ada pendapat, bahasa daerah bisa dipelajari di rumah, sepupu saya harusnya tidak mendapatkan nilai 5 untuk bahasa Jawa padahal di rumahnya bahasa Jawa juga digunakan untuk percakapan sehari-hari. Dengan demikian, menghilangkan bahasa Inggris berarti mengurangi satu beban bagi anak-anak. 

Pak Bill menekankan pada pengajaran bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu pada siswa SD. Tidak sampai mereka menguasai bahasa Indonesia dengan baik dan benar, mereka belajar bahasa kedua, dalam hal ini, bahasa Inggris. Jika hal ini diabaikan, hasilnya adalah orang Indonesia yang tidak bisa berbahasa Indonesia. Di samping masih banyak kita temui orang yang lebih nyaman menggunakan bahasa daerah saat berbincang, belakangan ini saya amati pengetahuan bahasa Indonesia tentang hal sesederhana penggunaan di sebagai kata depan dan imbuhan juga makin parah. 
It certainly seems to make sense that the earlier you start, the longer you will have to learn, and the more progress you will make compared with someone who started later. However, there is evidence that this is not the case, if the second language comes to take the place of the first language, which has never been allowed to develop properly. Scovel (1999) talks of the dangers of double semi-lingualism for early learners of a second language; i.e. the child does not develop full proficiency in either of the two languages.
Kedua, anak bilingual berbeda dengan anak yang belajar bahasa kedua secara formal di sekolah. Anak-anak bilingual tumbuh dalam keluarga dengan dua bahasa berbeda yang digunakan secara bersamaan dan setara oleh kedua orangtua. Mereka belajar dua bahasa sejak pertama kali mereka bisa mengerti kata-kata sehingga kemampuan berbahasa diperoleh secara alami. Tidak ada masalah untuk anak-anak seperti itu. Lain halnya dengan anak yang belajar bahasa kedua di sekolah. Mereka mengenal yang namanya grammar, tenses, pola kalimat, dll melalui proses kognitif. Di rumah, mereka juga tidak berbicara dalam bahasa kedua tersebut. Bahasa kedua bukanlah bahasa sehari-hari. Intinya, kalau ada yang menggunakan istilah bilingual untuk masalah ini, itu berarti dia tidak mengerti apa yang dia ucapkan.  

Ketiga dan ini yang paling menohok saya, Pak Bill bertanya berapa persen dari anak Indonesia yang memerlukan bahasa Inggris untuk bekerja nantinya. Indonesia bukan hanya Jakarta, Bandung, atau perkotaan lain, tapi juga pedesaan, daerah terpencil mulai dari Sabang sampai Merauke. Jika anak-anak di pelosok sana harus menanggung beban pelajaran yang sama dengan anak-anak di kota, padahal kebutuhan mereka berbeda, justru ketidak adilanlah yang terjadi. Saya mungkin sanggup belajar bahasa Inggris sejak umur 6 tahun, tapi apakah anak-anak lain juga? Bagi saya yang lebih sering berpikir kota-sentris, argumen Pak Bill yang terakhir ini mengajarkan saya untuk berpikir holistik tentang Indonesia. 

Jika demikian, sebenarnya kapan waktu paling baik bagi seseorang untuk mulai belajar bahasa kedua? Pak Bill mengatakan setidaknya tiga tahun pertama di SD, anak-anak harus belajar hanya bahasa ibu. Hal ini sejalan dengan kesimpulan yang diperoleh Virginia P. Collier dalam penelitiannya 'The Effect of Age on Acquisition of a Second Language for School' (1987).
When schooled only in the second language, students in the 8-12 age range on arrival may be the most advantaged acquirers of school skills in the second language, since they have some first language skills to transfer and they still have time to make up the years of academic instruction lost while acquiring basic second language skills and beginning to acquire school skills in the second language. Even though adolescents can acquire second language school skills at a fast pace, they have less time to make up lost years of academic instruction easily.  

Jawabannya adalah di antara umur 8-12 tahun atau mulai kelas 3 atau 4 SD. Persis seperti saya dulu. Jika SD sekarang masih mengikuti pola 20 tahun yang lalu, apakah berarti yang berperan dalam rendahnya penguasaan bahasa Indonesia di kalangan anak SMA hingga orang dewasa bukanlah pengajaran bahasa Inggris yang terlalu dini? Bukan tidak mungkin, sejatinya pengajaran bahasa Indonesialah yang harus diperbaiki. Tidak semata menitik beratkan pada tata bahasa dan struktur kalimat yang membosankan, tapi juga pemahaman akan karya sastra Indonesia. Sastra sebaiknya tidak lagi disatukan dengan Bahasa Indonesia dan lebih baik menjadi bagian dari mata pelajaran Seni dan Budaya untuk sekolah menengah (dan itu artinya pemerintah harus merombak mata pelajaran Seni). Mengapa? Melalui sastra Indonesia, anak-anak akan memahami keindahan bahasa Indonesia, membuat mereka menghargai sejarah, dan memperkuat identitas diri mereka sebagai bangsa Indonesia. 

Apakah kebijakan pemerintah kali ini salah sasaran? Bahwa sebenarnya pengajaran bahasa Inggris sejak kelas 4 SD itu sudah benar. Saya tidak berani mengklaim demikian. Selama kebijakan tersebut diambil berdasarkan hasil penelitian yang bisa dipertanggung jawabkan, mungkin itulah yang terbaik, atau setidaknya dianggap terbaik. Tidak sekedar mengubah kurikulum, tapi juga memperbaiki cara ajar agar tujuan perbaikan penguasaan bahasa Indonesia bagi siswa SD dapat tercapai.

Memang banyak yang perlu dibenahi dari sistem pendidikan Indonesia. Semoga kebijakan apapun yang akan diterapkan di masa depan, itu semua dalam rangka mencapai Indonesia sejahtera. Amin. 


References:

Image is from here.

Friday, September 21, 2012

Free-heart


Last week, I finally decided to do some room rearrangement. Moved the wardrobe to other side of the room, the bed from left side to right side, thus leaving enough space for placing my computer and books. I stored my clothes in the wardrobe, instead of keeping it inside to luggage as I did all this time. I therefore can store the luggage at the corner, standing compactly. In consequent, all papers, documents, and books had to be removed out. I also bought plastic boxes for food and small things, but not for the papers and books yet. 

Actually, how you arrange your house (or even just a room like me) shows how you arrange your life. If your house is a mess, your life is a mess too. Your daily life condition psychologically affects you. Believe me. What are the signs?

If your house in a mess, do you tend to have bad emotions? Do you feel like something heavy is clinging on you? Put some weight on your shoulder? Those are what I meant. Your not 'free'. It's your heart that isn't free. 

In Oprah Show, there was an episode of a house full of unnecessary items, piled and cluttered everywhere, at every corner. Even made the family couldn't easily walk inside the house. What a disaster! I was barely able to imagine how it would be like to live in a home like that. The family was already in a point where they felt they need a huge change in their life. So, Oprah sent an expert to help them take out all those clutter. I forgot how many containers they need to pack all those things, but obviously more than one. 

The expert then rearranged the family's house. Open spaces replaces the piles. Everything were neatly and properly placed. The result? They felt much more better. A huge burden had been lifted from their shoulders. Their quality of life had been improved. 

After they had their new life, Oprah challenged them to see whether they can maintain the tidiness or not. You know, when piling things has already become a habit, it won't last long until you go back doing the same thing again. So, the next year, Oprah's crew revisited the house. Amazingly, the condition was exactly the same as when the crew left it a year ago. It was still neat and tidy! They said, "We don't want to go back to the old time". 

That is exactly what I was doing last week: rearrange my room in order to remove all the unnecessary burden from my shoulder. To free my heart. Since I believe it will affect me emotionally, increase my productivity. So, there won't be any more excuse for me to be lazy. Hopefully.






[Image is from here]

Friday, September 14, 2012

Point your finger to yourself!


Sebelum kelas dimulai, seperti biasa Pak Bill Watson, dosen mata kuliah Research Methodology, bertanya kepada kami apakah kami sudah membaca koran Pikiran Rakyat hari itu. Seperti biasa pula kami menggelengkan kepala dan membuat Pak Bill (sekali lagi) mengeluhkan betapa malasnya kami. "I can't believe it. Reading the newspaper should be the first thing you do in the morning!", katanya. 

Menurutnya, kolom Opini di koran adalah bagian yang paling penting. Hari itu dia membacakan satu opini tentang posisi Indonesia di indeks daya saing global (global competitiveness index). Disebutkan di sana, Indonesia berada pada peringkat 50 dari 144 negara, turun 4 peringkat dari tahun sebelumnya; di bawah Malaysia (25), Brunei Darussalam (28), dan Thailand (38), serta kalah telak dibandingkan Singapura di posisi 2. Indonesia hanya unggul sedikit dari Filipina (65). Miris? Tentu. Namun, bukan Pak Bill namanya kalau tidak memacu mahasiswanya untuk berpikir kritis. 

Beliau meminta kami untuk mendiskusikan alasan yang membuat Indonesia berperingkat rendah. Ide bermunculan. Dua poin besar beliau garisbawahi: inefficient bureaucracy dan corruption. Semua orang paham bahwa birokrasi di Indonesia berbelit-belit. Untuk suatu urusan yang mudah, diperlukan waktu yang lama untuk mengurusnya. Teman saya bercerita, di Singapura, pengurusan izin pendirian perusahaan baru hanya butuh 3 hari, sedangkan di Indonesia butuh 60 hari! Selain karena proses belum terintegrasi dalam satu atap, sistemnya itu sendiri belum efisien. Bisa karena tanda tangan yang tidak perlu, berkas terlalu lama mengendap di satu bagian, atau alasan lain. 

Bicara tentang korupsi di Indonesia, semua orang juga paham. Paham karena umum terjadi di lingkungan sekitar atau karena pernah menjadi korban. Mungkin paham karena termasuk salah satu pelakunya. Astaghfirullaahal'aziim. Meski sudah bertahun-tahun pemberantasan korupsi digaungkan pemerintah, koq ya masih ada juga? Tanyakan saja pada rumput yang bergoyang. Bagaimana bisa bersih kalau kita menyapu kotoran dengan sapu yang kotor? Jangan juga kita menambah kotor, meski jelas sudah kotor. Setiap kontribusi kita ada yang mencatat. Paham?

Nah, di antara poin-poin yang tersebutkan, ada frase low productivity. Lantas Pak Bill bertanya, "Apa yang menyebabkan produktivitas rendah?". Jawaban seperti rendahnya motivasi (karena jumlah insentif kurang), lambat, primordialisme, etnosentrik keluar dari mulut beberapa dari kami, namun tidak membuat Pak Bill puas. Beliau memberikan petunjuk dengan bertanya lagi, "Apakah pekerja Singapura lebih pintar daripada pekerja Indonesia?". "Tidak", jawab kami. "Apakah pekerja Singapura memiliki kebutuhan yang berbeda dibandingkan pekerja Indonesia?". "Tidak". "Lalu apa yang membuat keduanya berbeda?", tanya beliau sambil setengah berteriak karena gemas melihat kami yang masih saja tidak mampu melihat masalah.

Pak Bill akhirnya meledak. "From all your answers, I can't believe you think everyone is guilty except YOU! You blame the workers. You said they have poor motivation, they are slow. It's not their fault. Low productivity is because of POOR MANAGEMENT. Since you'll become manager, it's YOUR fault. It's the manager's fault, not the workers'. Maybe they want to change, they want to be productive, but they don't know how. If you place Indonesian workers in factory in Singapore, perhaps the productivity is the same."

Sejujurnya, saya merasa tertohok. Dalam. Ketidakmampuan menganalisis masalah membuat kami semua hanya melihat permukaan saja, bukan intinya. Parahnya, itu membuat kami terus menyalahkan orang lain, dalam hal ini para pekerja, kaum buruh. Mereka selalu dalam posisi yang tidak kuat, memiliki daya tawar yang lemah terhadap perusahaan tempat mereka bekerja. Apalagi di saat angka pengangguran tinggi, banyak yang mengincar tempat mereka seandainya mereka keluar. Perusahaan tinggal merekrut pekerja baru. Pilihannya jadi sulit: bertahan dengan upah sesuai UMR atau kehilangan pekerjaan. 

Dengan posisi yang lemah itu, kaum buruh juga kerap dijadikan tumbal saat produktivitas rendah. Padahal sebenarnya, kesalahan ada pada buruknya manajemen perusahaan. Tindakan seperti kurang mendengarkan dan menghargai pekerja, luput memberikan pujian dan motivasi, berkata dan bertindak kasar, dan mengeksploitasi pekerja akan berujung pada produktivas yang rendah. 

Manajemen yang baik tidak bergantung pada input pekerja. Buktinya, perusahaan sekelas Nike atau GAP berani untuk membangun pabrik di negara Asia, misal Vietnam, India, Cina, atau Indonesia demi mengambil manfaat dari upah buruh yang murah. Toh, kualitas produk yang mereka peroleh sama saja. Mengapa? Karena mereka menerapkan standar dan manajemen seperti di negara asal, Amerika Serikat.  

Terakhir Pak Bill menyebutkan tentang buruknya infrastruktur sebagai penyebab rendahnya peringkat Indonesia dalam indeks daya saing global. Di dalam poin ini tercakup pendidikan, transportasi, komunikasi, dll. Orang Jakarta pasti mengerti benar bahwa dibutuhkan setengah hari untuk pergi dari ujung kota yang satu ke ujung yang lain. Suatu kesia-siaan yang terjadi karena buruknya transportasi umum di ibukota. 

Saya setuju dengan Pak Bill (juga dengan penulis opini), sambil menyalahkan diri sendiri yang masih belum bisa berpikir dari sudut pandang manajemen. I guess I need more time to adapt.


[Image is from here.]

Saturday, August 18, 2012

Syukurku tahun ini


Allaahuakbar Allaahuakbar Allaahuakbar 
Laailaahaillaahu Allaahuakbar
Allaahuakbar wa Lillaahil hamd


Suara takbir bersahut-sahutan dari satu masjid ke masjid lain. Dari satu mobil bak terbuka ke mobil bak terbuka lain, lengkap dengan beduk bertalu-talu. Semuanya bergembira menyambut Idul Fitri, hari kemenangan.

Alhamdulillaah, setelah 3 tahun terdampar di negeri orang, melaksanakan shaum Ramadhan dan merayakan Idul Fitri dengan sahabat seperjuangan, tahun ini saya bisa menikmati keduanya di tanah air tercinta. Tidak selamanya di negeri asing itu tidak enak, sebagaimana tidak selamanya di negeri sendiri itu enak. 

Indonesia dengan 80% persen penduduk beragama Islam memang menyediakan atmosfer yang kondusif untuk beribadah di bulan Ramadhan. Pada siang hari, justru aneh kalau kita melihat orang makan minum di tempat umum. Restoran-restoran memasang tirai untuk menghalangi pandangan orang berpuasa dari pengunjung yang sedang menikmati hidangan. Stasiun televisi menyajikan acara-acara bertema Ramadhan, mulai dari ceramah agama sampai kuis saat sahur. Orang-orang serempak menjadi alim, berbusana (lebih) sopan. 

Tentu suasana seperti itu mustahil untuk dialami di negeri rantau. Azan saja hanya bisa didengar di dalam masjid karena pengeras suara tidak bisa dipasang di luar bangunan, khawatir mengganggu tetangga sekitar. Siang hari semua orang beraktivitas seperti biasa. Bahkan Ramadhan yang jatuh di musim panas justru memberikan cobaan tambahan berupa lama waktu shaum yang lebih panjang (17-18 jam), suhu udara yang tinggi, serta gadis-gadis berpakaian minim. 

Namun demikian, tetap saja ada hal yang membuatku rindu dengan Ramadhan di tanah seberang. Mengenang pengalaman dulu, saya berkicau sedikit di Twitter:

Pengalaman Ramadhan di negeri asing membuat saya memahami artinya persaudaraan sesama Muslim. Banyak beda, tapi bicara bahasa yang sama: Islam.
Cara beribadah yang beda bukan untuk jadi pembeda. Di sana ada lahan untuk meluaskan hati dalam menerima perbedaan. Juga kesempatan untuk belajar kebudayaan.
Yang jelas, pengalaman untuk mencicipi ragam masakan khas negara lain membuat saya bisa menentukan mana yang cucok dan jadi favorit, hehe.. :D
Tapi, yang paling berkesan adala tarawih. 1 malam, 1 juz. Meski hanya 8 rakaat. Imamnya hafiz pula. Rindu. 

Selalu ada hikmah yang bisa diambil selama kita mampu melihat dan menyikapi lingkungan kita dengan pandangan positif serta memiliki keluasan hati untuk menerima hal baru. Selalu ada ruang untuk bersyukur.

Tahun ini Allah swt kembalikan saya ke Bandung setelah 4 tahun berpisah. Bandung menyimpan romantisme masa kuliah, saat saya mulai memaknai fungsi masjid yang sesungguhnya. Hati ini sudah lama jatuh cinta dengan masjid Salman dan mengunjunginya selalu menerbitkan perasaan 'kembali ke rumah'. Comfortable. Alhamdulillaah. Bisa ber-i'tikaf di masjid juga suatu kenikmatan tersendiri. Seakan kita berlomba dengan jamaah lain untuk memperoleh ampunan dan rahmat-Nya di malam-malam Ramadhan. Hanya melihatnya pun sudah indah. 

Namun, sadarkah kita bahwa segala kemudahan yang Allah swt berikan tersebut di satu sisi bisa melenakan? Terkondisikannya keadaan sekeliling bisa mengaburkan atau melemahkan niat ibadah kita. Kita puasa karena orang-orang di sekitar kita puasa. Kita sholat tarawih karena diajak teman ke masjid. I'tikaf karena ikut-ikutan. Saat lingkungan kita tidak lagi sekondusif itu, kita akan kehilangan pegangan dan bingung. Galau, istilah gaul sekarang. Tentu hal ini tidak akan terjadi jika kita paham tentang hukum suatu ibadah beserta maknanya sehingga seperti apa pun lingkungan kita, keimanan kita tetap teguh. InsyaAllah..

Berkumpul dengan orang tua dan saudara adalah hal yang paling saya syukuri di Idul Fitri tahun ini, meski tanpa kehadiran nenek tercinta (miss you, nek). Sejatinya, di mana pun kita berada, selalu ada hal yang bisa kita syukuri, sebab di sanalah tersembunyi hikmah bagi hamba-Nya yang mampu bersyukur. Wallaahu'alam bishshawab. 


Selamat Idul Fitri 1433 H 
Taqabbalallaahu minnaa wa minkum shiyaamanaa wa shiyaamakum
Semoga Allah swt menerima shaum, shalat, qiyam, sedekah, amal ibadah kita yang lain
Semoga kita bertemu lagi dengan Ramadhan tahun depan
Aamiin yaa Rabbal 'Aalamiin


[Image from here]

Saturday, June 23, 2012

Pilihan Ibu, Sentuhan Pengasuh

Saya merasa terusik dengan iklan yang belakangan ini muncul di televisi. Produk baru tampaknya, khusus untuk bayi. Baru ada dua versi iklan untuk dua produk berbeda. Satu krim anti-ruam, satu lagi cairan pencuci piring (bisa juga untuk mencuci buah dan sayur). Saya tidak menyoroti soal produknya, melainkan bintang iklannya.

Dalam kedua iklan tersebut, ada dua tokoh orang dewasa, ibu dan pengasuh bayi. Dari mana saya tahu pengasuh? Lewat seragam yang dipakainya, mirip perawat. Nah, di iklan krim anti-ruam, si ibu bertanya (dan terkesan menyalahkan) kepada pengasuh, mengapa di kulit bayinya banyak ruam. Lantas si ibu memberi saran agar si pengasuh menggunakan krim anti-ruam tersebut. Si pengasuh (tentu saja) menampilkan mimik wajah seakan berkata, "Oh, begitu ya, Bu? Saya baru tahu.".

Berikutnya, di iklan cairan pencuci piring, si ibu (orang berbeda) memergoki pengasuh (orang berbeda pula) saat mencuci botol susu bayi. Dia bertanya mengapa busanya banyak. Si pengasuh beralasan busa banyak lebih baik untuk membersihkan botol susu. Seperti bisa ditebak, si ibu menyalahkan pengasuh dan menyodorkan cairan pencuci piring yang aman (food grade). Lagi-lagi si pengasuh bermimik seakan baru tahu. 

Kedua iklan tersebut seperti biasa saja. Toh, di kehidupan sehari-hari kita sering melihat pengasuh bayi dalam keluarga muda, biasanya berseragam dari yayasan penyalurnya. Namun, terlepas dari performa mereka, sesungguhnya untuk urusan iklan, fenomena biasa menjadi punya nilai tersendiri. Bukan semata-mata karena terjadi di dunia nyata, kita bisa memasukkannya sebagai materi iklan. Iklan punya norma sendiri sebab dia ditonton oleh segala jenis pemirsa tanpa pandang bulu. Iklan tidak boleh menyinggung masalah SARA atau menampilkan kekerasan, misalnya. Pemasang iklan hanya bisa mengatur slot waktu tayang saja. 

Dalam hal dua iklan yang tadi saya sebutkan, hadirnya tokoh pengasuh patut untuk dicermati. Apakah peran ibu sudah sedemikian bergesernya dalam pengasuhan anak? Tentu khususnya di kota besar. Meski (mungkin) pembuat iklan ingin menyampaikan bahwa tetap ibulah yang 'tahu' apa yang terbaik bagi buah hatinya, eksekutornya adalah si pengasuh tadi. Apa jadinya jika makin banyak anak Indonesia yang makin jarang disentuh oleh tangan ibu sendiri? Mereka akan lebih mengenal pengasuhnya daripada wanita yang melahirkan mereka. Jangan sampai pengasuh akan lebih disayangi, lebih dirindu, dan lebih dicari saat sakit. Jika demikian, maka penyesalanlah ujungnya. 

Kalau saya ditanya, jika nanti saya memiliki anak, apakah saya akan memakai pengasuh? Jawaban saya, sepertinya tidak. Tidak sanggup bayar juga, hehe.. Sedih hati ini saat melihat bayi/balita yang lengket dengan pengasuhnya, padahal sang ibu berada tak jauh. Mom's there, but she's not there. Hal ini membuat saya bertekad untuk mengurus anak saya nanti dengan tangan saya sendiri. I want to get my hands dirty by taking care of my children. Semoga Allah swt mengizinkan saya untuk itu. 

Kembali ke iklan, meski iklan (komersial) sendiri intinya untuk memasarkan produk dan menarik konsumen untuk membeli, dia juga mengemban peran tersembunyi sebagai agen penyebar dan pembentuk opini, sikap, dan ideologi. Jadilah pemirsa yang cerdas, yang mampu memilah dan memilih informasi yang benar dan baik untuk diserap, kemudian diolah. Untuk para pembuat iklan, rancanglah iklan yang cerdas dan mencerdaskan bangsa. 

Untuk Indonesia jaya!


[Gambar dari sini.]

Friday, June 22, 2012

Back to school


Though I'm not officially a grad student yet, yes, I'm going back to school again!

Taking a PhD? Nope, I'm taking my second Master, something I've never imagined before. And guess where? Master of Science in Management School of Business and Management ITB!

Oh God, what have I done with my life? To myself? *O*

To take a second Master means another 2 years (though it's a 18-months program) before PhD. Then why on earth did I decide to take this? 

E~verybody gives me that question. Only God knows the ultimate answer. To be honest, even now, I can't say that I'm ready 100% to study about science management since I have to reset my 'life science' orientation to another field which is new for me. I doubt myself and I don't know for how much longer I will feel like this. 

Part of me is still engaged to laboratory research, but another part wants freedom. Yes, there were times when I felt so much under-pressured during my last research, which drove me to search info about career alternatives in science. I found a nice booklet on ScienceMag titled "Careers Away from the Bench" which brought new insight about world outside laboratory. Science provides broader spectrum of career than, simply said, research scientist. "So my life in science won't end just because I want to get out from the lab", inspired. 

Then the vision got blurred. I went back home and applied for several PhD position related to microbial secondary metabolite, but... failed (God's plan? Must be.). At the same time, I got hooked with technology transfer (because of reading newspaper everyday) and felt that perhaps I can play my role there. Lack of adequate knowledge made me think, "Should I take another Master?". 

As you might guess, the transition is not that easy. There's a feeling of insecurity and fear to lose what I have enjoyed for all these years. I do love microbiology research work, thus wanted to be an expert in that field. However, on the other side I don't want to be a mere scientist whose work won't eventually bring any benefit to the society. Worse thing is that's exactly the weakest point in Indonesia. Results from university research mostly end in the library, without any effort to make it real and useful for the society and environment. I see it as a consequence of the absence of a firm cooperation between university, business, and government. 

How can I take part to change the situation?

By having knowledge in management, I hope to find the right key to help solving the condition bit by bit, to promote research as a strong support to build Indonesia. In this country, research has never been taken into account when it comes to make one decision, either in the government or industries. Research is still seen as a time-consuming and high-cost process, thus placed in the least priority. Sad. Without research, this nation will always be consumer, because it can't produce any invention or innovation. 

Likely my part will not be in the lab research anymore, but more as a facilitator for research scientist to increase their bargaining position in the triple helix  scheme (academia, industry, and government). Someone needs to open the way, right? So that, lab researches have greater chance to be taken into realization and bring benefit the society and environment.

Sounds ideal? Well, it's my nature to be an idealist person. LOL. Of course a dream must be ideal because it becomes your vision, your goal, your driving force. Something that can pull you to get closer to your destination. Without an ideal figure, you won't achieve something spectacular. Perhaps you'll never able to optimize your true ability. 

Enough with idealism. Back to reality. Now, I'm already in my second week of matriculation class. Still adapting though, but giving my best. Yosh! Science management, wait for me to conquer you!


[Image from here.]


         


Wednesday, May 9, 2012

Walk with style



Yippie! I got a pair of Dutch klompen as souvenir! Well, actually it's my mom who got it from her friend. And you might already be able to guess that the klompen is merely a miniature (my mom's palm does emphasize that :D ). 


On my mom's palm :)
Originally consist of wooden sole and leather top or strap tacked to the wood [1], the shape of klompen evolved to what we know today - shoes made from entirely wood and protect whole foot -. For centuries, the wooden shoes were worn by Dutch farmers, fishermen and workmen to protect their feet and also keep them dry while working in muddy fields or on boats and docks. Even more preferred than boots.


No doubt that klompen has been part of Dutch culture, even become an iconic feature of the Netherlands. You may find it painted or carved, besides the plain one which workers in the past usually wore. Today, 3 million wooden shoes are still produced annually, for many of them are purchased as souvenirs [2].

However, do you notice that for all those years, klompen had maintained its traditional shape the way it was?

Fall 2007 Ready-to-Wear show became a witness when culture meets innovation. Heel was lifted from the ground as Dutch designers Viktor and Rolf brought into reality: high-heeled klomp [3]. Don't question the quality because the high-heeled wooden shoes were crafted by actual craftspeople and decorated by unique technique and pattern. A layer of silicone inside the shoe provides stability and helps cushion the ball of the foot. Unfortunately the shoes are not on market, although there’s rumor that it was for sale once.


High-heeled klomp by Viktor and Rolf

If it is really for sale, can you imagine a young lady with fancy dress and high-heeled klomp walking elegantly on streets of Amsterdam? You might first have to erase the image of traditional klompen worn as footwear - paired with Dutch traditional costumes -, to agree that the new era of klompen may start soon enough. Still decorated with traditional pattern, high-heeled klomp may become a fresh identity of young Dutch people who are proud of their nation without giving up their young spirit.


Dutch traditional costumes [4]

Innovation, in this case, transforms into a bridge between tradition and modern life. Actually, not all innovations in this field are accepted. In a traditional society, innovations are hardly welcomed. I’m pretty sure, not in the Netherlands where innovations are highly appreciated.


So, if high-heeled klompen are really on sale, would you have them as one of your collection?


** To be submitted to Kompetiblog 2012. Wish me luck :) **