Perlukah siswa SD belajar bahasa Inggris?



Gerah juga membaca komentar-komentar terhadap artikel yang ditulis oleh Prof. Bill Watson di The Jakarta Globe tanggal 23 Oktober 2012 berjudul 'Indonesian Goverment is Right to Change Curriculum'. Mungkin karena saya mengenal sang penulis secara pribadi, namun bila kita coba kaitkan isi artikel dengan komentar yang diberikan, dengan objektif saya katakan, "Semua komentar yang diberikan adalah omong kosong!". Terlalu keras? Saya pikir tidak. 

Ada yang hanya menyoroti latar belakang penulis demi mengejeknya tidak berkompeten terhadap masalah pendidikan dasar. Ada yang mempertanyakan sudah berapa lama penulis ada di Indonesia dan sudah pernahkah dia menginjakkan kaki di sekolah di Indonesia. Yang lain berpendapat bahwa kebijakan pemerintah untuk menghilangkan bahasa Inggris dari kurikulum SD adalah salah besar (dengan menceritakan anaknya sebagai contoh). Selain itu karena penulis adalah orang Inggris, wajar jika anak-anak di sana tidak belajar bahasa kedua hingga mereka masuk SMP. Yang paling parah adalah komentar tentang pendidikan agama untuk siswa SD yang berbentuk indoktrinasi. Apa hubungannya dengan substansi artikel?

Pada awalnya saya tidak setuju dengan kebijakan pemerintah mengenai penghapusan bahasa Inggris (dan sains) dari kurikulum SD mulai tahun 2013. Bisa dibilang, saya adalah produk sukses dari pengajaran bahasa Inggris sejak usia dini. Bukan dari sekolah memang. Saya mulai belajar bahasa kedua sejak kelas 1 SD di lembaga bahasa Inggris dekat rumah. Secara formal, saya mendapatkan Bahasa Inggris mulai kelas 4 SD dan waktu itu kemampuan bahasa Inggris saya otomatis sudah di atas teman-teman. Hingga SMA, saya merasa pelajaran Bahasa Inggris sangatlah mudah. Dengan pengalaman tersebut, saya kesulitan membayangkan jika sama sekali tidak ada pengajaran bahasa Inggris bagi siswa SD. 

Pendapat saya kemudian goyah setelah mendengarkan langsung penjelasan Pak Bill tentang alasan beliau setuju dengan kebijakan pemerintah tersebut. Pertama, saat ini beban anak-anak untuk belajar bahasa sudah terlalu berat. Selain bahasa Indonesia formal, mereka juga harus belajar bahasa daerah, bahasa Inggris, dan sebagian juga belajar bahasa Arab. Empat bahasa dalam satu waktu! Bukannya sanggup menguasai semuanya dengan baik, lebih besar kemungkinan mereka tidak akan menguasai satu pun dengan benar. Kalau ada pendapat, bahasa daerah bisa dipelajari di rumah, sepupu saya harusnya tidak mendapatkan nilai 5 untuk bahasa Jawa padahal di rumahnya bahasa Jawa juga digunakan untuk percakapan sehari-hari. Dengan demikian, menghilangkan bahasa Inggris berarti mengurangi satu beban bagi anak-anak. 

Pak Bill menekankan pada pengajaran bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu pada siswa SD. Tidak sampai mereka menguasai bahasa Indonesia dengan baik dan benar, mereka belajar bahasa kedua, dalam hal ini, bahasa Inggris. Jika hal ini diabaikan, hasilnya adalah orang Indonesia yang tidak bisa berbahasa Indonesia. Di samping masih banyak kita temui orang yang lebih nyaman menggunakan bahasa daerah saat berbincang, belakangan ini saya amati pengetahuan bahasa Indonesia tentang hal sesederhana penggunaan di sebagai kata depan dan imbuhan juga makin parah. 
It certainly seems to make sense that the earlier you start, the longer you will have to learn, and the more progress you will make compared with someone who started later. However, there is evidence that this is not the case, if the second language comes to take the place of the first language, which has never been allowed to develop properly. Scovel (1999) talks of the dangers of double semi-lingualism for early learners of a second language; i.e. the child does not develop full proficiency in either of the two languages.
Kedua, anak bilingual berbeda dengan anak yang belajar bahasa kedua secara formal di sekolah. Anak-anak bilingual tumbuh dalam keluarga dengan dua bahasa berbeda yang digunakan secara bersamaan dan setara oleh kedua orangtua. Mereka belajar dua bahasa sejak pertama kali mereka bisa mengerti kata-kata sehingga kemampuan berbahasa diperoleh secara alami. Tidak ada masalah untuk anak-anak seperti itu. Lain halnya dengan anak yang belajar bahasa kedua di sekolah. Mereka mengenal yang namanya grammar, tenses, pola kalimat, dll melalui proses kognitif. Di rumah, mereka juga tidak berbicara dalam bahasa kedua tersebut. Bahasa kedua bukanlah bahasa sehari-hari. Intinya, kalau ada yang menggunakan istilah bilingual untuk masalah ini, itu berarti dia tidak mengerti apa yang dia ucapkan.  

Ketiga dan ini yang paling menohok saya, Pak Bill bertanya berapa persen dari anak Indonesia yang memerlukan bahasa Inggris untuk bekerja nantinya. Indonesia bukan hanya Jakarta, Bandung, atau perkotaan lain, tapi juga pedesaan, daerah terpencil mulai dari Sabang sampai Merauke. Jika anak-anak di pelosok sana harus menanggung beban pelajaran yang sama dengan anak-anak di kota, padahal kebutuhan mereka berbeda, justru ketidak adilanlah yang terjadi. Saya mungkin sanggup belajar bahasa Inggris sejak umur 6 tahun, tapi apakah anak-anak lain juga? Bagi saya yang lebih sering berpikir kota-sentris, argumen Pak Bill yang terakhir ini mengajarkan saya untuk berpikir holistik tentang Indonesia. 

Jika demikian, sebenarnya kapan waktu paling baik bagi seseorang untuk mulai belajar bahasa kedua? Pak Bill mengatakan setidaknya tiga tahun pertama di SD, anak-anak harus belajar hanya bahasa ibu. Hal ini sejalan dengan kesimpulan yang diperoleh Virginia P. Collier dalam penelitiannya 'The Effect of Age on Acquisition of a Second Language for School' (1987).
When schooled only in the second language, students in the 8-12 age range on arrival may be the most advantaged acquirers of school skills in the second language, since they have some first language skills to transfer and they still have time to make up the years of academic instruction lost while acquiring basic second language skills and beginning to acquire school skills in the second language. Even though adolescents can acquire second language school skills at a fast pace, they have less time to make up lost years of academic instruction easily.  

Jawabannya adalah di antara umur 8-12 tahun atau mulai kelas 3 atau 4 SD. Persis seperti saya dulu. Jika SD sekarang masih mengikuti pola 20 tahun yang lalu, apakah berarti yang berperan dalam rendahnya penguasaan bahasa Indonesia di kalangan anak SMA hingga orang dewasa bukanlah pengajaran bahasa Inggris yang terlalu dini? Bukan tidak mungkin, sejatinya pengajaran bahasa Indonesialah yang harus diperbaiki. Tidak semata menitik beratkan pada tata bahasa dan struktur kalimat yang membosankan, tapi juga pemahaman akan karya sastra Indonesia. Sastra sebaiknya tidak lagi disatukan dengan Bahasa Indonesia dan lebih baik menjadi bagian dari mata pelajaran Seni dan Budaya untuk sekolah menengah (dan itu artinya pemerintah harus merombak mata pelajaran Seni). Mengapa? Melalui sastra Indonesia, anak-anak akan memahami keindahan bahasa Indonesia, membuat mereka menghargai sejarah, dan memperkuat identitas diri mereka sebagai bangsa Indonesia. 

Apakah kebijakan pemerintah kali ini salah sasaran? Bahwa sebenarnya pengajaran bahasa Inggris sejak kelas 4 SD itu sudah benar. Saya tidak berani mengklaim demikian. Selama kebijakan tersebut diambil berdasarkan hasil penelitian yang bisa dipertanggung jawabkan, mungkin itulah yang terbaik, atau setidaknya dianggap terbaik. Tidak sekedar mengubah kurikulum, tapi juga memperbaiki cara ajar agar tujuan perbaikan penguasaan bahasa Indonesia bagi siswa SD dapat tercapai.

Memang banyak yang perlu dibenahi dari sistem pendidikan Indonesia. Semoga kebijakan apapun yang akan diterapkan di masa depan, itu semua dalam rangka mencapai Indonesia sejahtera. Amin. 


References:

Image is from here.

Post a Comment

0 Comments