Wednesday, April 20, 2022

Sepenggal Kenangan dalam Sekeping Magnet

Waktu kecil, kisaran kelas enam SD, saya senang mengumpulkan barang yang hits pada zamannya. Ada tiga macam yang saya koleksi: kertas surat, kertas fail bergambar, dan perangko. Beberapa teman perempuan sekelas juga memiliki kesenangan yang sama. Jadilah kami sering bertukar koleksi kertas surat dan kertas fail bergambar. Ada kepuasan tersendiri saat memandangi kertas yang lucu-lucu itu.

Berbeda halnya untuk koleksi perangko. Saya mendapat hibah beberapa buku koleksi milik tante (iya, perangkonya sejadul itu!). Sisanya saya beli di toko buku atau ambil dari surat yang datang. Sama seperti dua koleksi lain, rasanya puas melihat deretan perangko aneka ukuran, warna, bentuk, serta gambar bercirikan negara bersangkutan atau momen khusus.

Selepas SD, hobi mengoleksi barang mulai saya tinggalkan. Meski begitu, sampai sekarang semuanya masih ada, lo. Mau dibuang, kok, sayang. Kalau Bu Marie Kondo tahu, mungkin dia akan geleng-geleng kepala. He-he-he.

Suatu hari saat berkunjung ke rumah teman, saya melihat magnet-magnet ditempel di pintu kulkasnya. Ih, kok lucu? Saya memang sudah punya satu dua magnet hasil berkunjung ke tempat wisata, tetapi belum terpikir sama sekali untuk mengoleksinya.


Nah, sejak satu malam sekitar 2010 itu, magnet mengeluarkan pesonanya. Koleksi magnet menjadi barang berharga bagi saya hingga saat ini. Setiap berkunjung ke suatu tempat, pasti saya sempatkan diri untuk mencari suvenir magnet. Sampai-sampai suami dan anak-anak saya sudah paham tentang kebiasaan ini. Ha-ha-ha.

Sayangnya tidak semua tempat wisata menyediakan suvenir berupa magnet. Ada juga yang menjual satu macam saja sehingga saya tidak punya pilihan selainnya—dan yang satu ini tidak cukup bagus menurut saya untuk dibeli. Kalau sudah begini, biasanya saya lebih memilih macam suvenir yang lain.

Koleksi magnet pramerantau ke Belanda

Magnet favorit

Adalah wajar bila dari sekian banyak benda koleksi, seseorang memiliki yang paling favorit. Alasannya bisa karena bentuknya yang unik, warnanya seperti warna kesukaan, cara mendapatkannya yang sulit, atau ya … karena suka aja. Kadangkala tak perlu logika untuk menyukai sesuatu. #azeek.

Sebenarnya selama tinggal di Belanda saya tidak mengumpulkan banyak magnet. Jumlahnya tidak sebanding dengan lamanya kami bermukim. Penyebab utamanya tentu adalah pandemi yang mengurangi frekuensi jalan-jalan secara drastis. Meski begitu, bila diminta untuk memilih yang paling favorit, tetap saja saya kesulitan. Saya suka magnet bertulisan ITALIA yang unik dengan gantungan kecil berbentuk ciri khas negara tersebut. Saya juga suka magnet tengkorak T-rex yang mirip fosil betulan. Roarrr ....

Koleksi magnet selama tinggal di Belanda. Mana yang paling Mamah suka?

Insiden (tak) berdarah

Meski anak-anak sudah tahu, magnet yang tertempel di kulkas adalah punya Mama dan mereka tidak boleh bermain dengannya, mereka sesekali minta (baca: berinisiatif mengambil kursi dan mengambilnya sendiri) untuk memegangnya. Tentu ini terjadi saat kebetulan saya ada di dapur. Jika tidak, bisa saja mereka tertangkap basah sedang bermain dengan magnet-magnet itu di luar dapur.

Apakah ada yang rusak? Oh, tentu. Ada yang sudutnya terkelupas sedikit, plastik pelapisnya lepas sebagian (dan akhirnya sekalian saya lepas semua), melengkung, patah, bahkan yang teranyar, pecah. Hiks. Mau menangis, kok, rasanya terlalu receh, tetapi yang jelas hati periiih. Untung yang pecah adalah magnet Nijntje dari Museum Nijntje yang bisa kami kunjungi lagi. Coba kalau yang pecah yang dibeli di luar negeri, masa harus balik lagi ke sana? Ini alasan yang sering saya sampaikan kepada anak-anak agar mereka paham pentingnya menjaga koleksi magnet Mama. Ha-ha-ha
.

Magnet: mesin waktu kenangan

Alasan membeli suvenir pastinya berbeda bagi setiap orang. Bagi saya, suvenir ibarat mesin waktu yang membawa ingatan saya kembali kepada tempat tertentu. Setiap melihat koleksi magnet, saya ingat waktu, tempat, dan suasana terkait, lalu cerita pun mengalir ibarat adegan film yang diputar ulang.

Dari semuanya, magnet bergambar lumba-lumba adalah yang paling berkesan di hati. Saya membelinya di kios suvenir setelah menonton pertunjukan lumba-lumba di Varna, Bulgaria. Pertunjukannya, sih, sesuai harapan. Kisah pendukungnyalah yang membuatnya istimewa.

Menonton lumba-lumba beraksi di Dolphinarium Varna

Waktu itu, saya mencari hiburan yang sesuai untuk anak-anak sambil menunggu suami yang mengikuti workshop dan menemukan pertunjukan lumba-lumba, masih di kota Varna. Dari hotel, saya dan anak-anak naik taksi. Kalau dipikir sekarang, saya nekat juga waktu itu: bawa dua anak, stroller, dan gendongan, naik taksi di negeri asing.

Setelah berbelok dari jalan utama menuju lokasi, saya baru tahu kalau gedungnya jauh dari jalan raya dan sepiii. Setelah menunggu sebentar sampai jam pertunjukan dimulai, kami naik ke tribun penonton dan menikmati pertunjukan. Tidak banyak yang datang, mungkin karena bukan hari libur.

Setelah selesai, saya berburu magnet di kios suvenir, tepat di lobi utama. Saat itu saya mulai bingung, bagaimana kami akan kembali ke hotel? Tidak ada taksi yang menunggu penumpang atau yang bisa dipanggil langsung. Akhirnya saya bertanya kepada ibu penunggu kios (yang bisa berbahasa Inggris—ini super penting!) sebab saya tidak punya nomor kontak perusahaan taksi. Alih-alih memberikan nomor telepon, beliau malah memesankan taksi untuk kami. Alhamdulillah, Allah memberi bantuan lewat ibu itu. Untuk membalas kebaikan hati beliau, sambil menunggu taksi saya membelikan anak saya boneka lumba-lumba yang bisa berbunyi. Bagaimana lagi saya bisa membalasnya, selain menambah penjualannya hari itu, kan?

Moral of the story:
  • Cari info yang detail di Google Maps tentang lokasi tempat yang belum pernah kita datangi.
  • Jangan ragu untuk bertanya dan kalau perlu, meminta bantuan. Kita tidak tahu, orang baik ada di mana-mana.
  • Nekat itu tidak mengapa, asal jangan sering-sering. Ha-ha-ha.

Penutup

Hobi mengoleksi barang terlihat tidak sesuai dengan prinsip simple living. Instead of reducing possessions, we add more and more. Sebenarnya ini bisa dipahami karena dengan memiliki sedikit barang, otomatis beban pikiran kita juga akan berkurang. Hidup kita akan lebih ringan. Namun, sisi sentimentil yang menyertai suatu barang seringkali membuat kita menjauhi simple living.

Meski menyukai prinsip simple living, di sisi lain saya juga suka membawa sepenggal kenangan dari masa lalu sebagai pengingat dan bahan cerita kepada anak-anak. Things that spark joy, kalau versi Marie Kondo. Karena itu, bagi saya, mengoleksi magnet seperti win-win solution. Ukurannya relatif kecil dan mudah dipindah-pindah sehingga tidak butuh banyak ruang penyimpanan. Saya tidak merasa terbebani secara pikiran dengan mengoleksi magnet. Lagi pula, biasanya saya hanya membeli satu magnet dari setiap tempat yang saya kunjungi.

Semoga cerita soal hobi mengoleksi magnet saya dapat menginspirasi Mamah untuk punya aktivitas favorit dan menceritakannya juga, ya! Eh, tapi kalau mau ikut Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog, sih, hari ini kesempatan terakhir untuk setor. Hi-hi-hi.