Sunday, February 27, 2022

Tips Tetap Waras bagi Ibu Rumah Tangga

Ibu rumah tangga rentan terjangkit kejenuhan akibat rutinitas harian dalam mengurus rumah, serta membersamai suami dan anak-anak. Selama pandemi, anjuran #dirumahsaja bisa jadi membuat ibu rumah tangga yang pada dasarnya menjadikan rumah sebagai area utama untuk beraktivitas merasa makin terkungkung. Karenanya, ibu rumah tangga perlu memutar otak agar tetap waras meski tidak punya banyak kesempatan untuk keluar rumah. 

Bagaimana caranya? Yuk, simak tips berikut ini! 

1. Tetap terkoneksi dengan dunia luar

Anjuran #dirumahsaja memang membatasi gerak semua orang, apalagi yang memang berperan sebagai ibu rumah tangga. Namun, itu tidak berarti ibu terisolasi dari dunia luar. Dengan kemajuan teknologi saat ini, ibu dapat tetap terhubung dengan keluarga dan teman melalui telepon, video call, obrolan grup, atau sekadar menyapa di media sosial. 

Walaupun demikian, tetap saja interaksi dengan dunia nyata tidak tergantikan.  Ibu bisa sejenak keluar rumah untuk menghirup udara segar dan beraktivitas lainnya asalkan tetap mengikuti prosedur kesehatan, ya! Bila ingin pergi ke tempat umum, sebaiknya ibu memilih waktu-waktu sepi agar tidak bertemu terlalu banyak orang sehingga meningkatkan resiko tertular penyakit. 

2. Ubah suasana rumah

Kejenuhan berada di dalam rumah dapat disebabkan ibu melihat pemandangan yang sama setiap hari: mainan anak yang berserakan di lantai, tumpukan baju kotor yang meronta minta dicuci, atau rak yang berdebu setelah belasan purnama tidak dilap. Rasanya waktu 24/7 tidak cukup untuk mewujudkan rumah secantik katalog Ikea, tetapi kalau terus dibiarkan, suasana hati ibu bisa ikut mendung sepanjang hari. Kewarasan ibu pun berkurang.

Untuk mengatasinya, ibu dapat mencoba untuk mengubah suasana rumah, lo. Tidak perlu sampai merenovasi atau mengecat ulang dinding. Langkah sederhana saja sudah cukup, kok, untuk memberi warna baru bagi rumah. 

Letakkan vas bunga (tentu berikut bunganya) di meja makan, di samping televisi, atau di atas rak bersama sederet pigura dan suvenir yang ibu pajang. Gantung hiasan dinding yang senada dengan warna dan gaya furnitur yang sudah ada. Kalau ingin yang no budget, ubah saja tata letak ruangan dengan menggeser furnitur di salah satu ruangan di rumah, misalnya kamar tidur, ruang tengah, atau ruang makan.

3. Temukan kesenangan baru

Coba sebutkan apa saja aktivitas yang identik dengan ibu rumah tangga? Pasti jawaban kita tidak jauh dari memasak, menyapu, mencuci, dan berbagai aktivitas domestik lain. Namun, bagaimana jika ibu rumah tangga juga menekuni bisnis, menjadi content creator, atau mengisi kelas macrame

Banyak berada di rumah sebenarnya adalah kelebihan ibu rumah tangga. Ibu  memiliki (cukup) waktu untuk mencoba hal baru sesuai minat. Jika ditekuni dengan serius, ini bisa menjadi sumber penghasilan tambahan, bahkan utama, lo. 

Makanya, menjadi ibu rumah tangga bukan akhir dari segalanya. Ada banyak pintu kesempatan baru di luar sana yang menunggu untuk dibuka. Yang ibu perlukan hanya kemauan untuk mencari yang paling ibu senangi dan minati. 

Penutup

Peran sebagai ibu rumah tangga dipilih secara sadar oleh sebagian perempuan. Sebagian yang lain menjalaninya karena tuntutan keadaan. Yang mana pun alasannya, peran ibu rumah tangga tidak kalah pentingnya daripada profesi lain. Ia menjaga keseimbangan dan keutuhan keluarganya. Jika ibu oleng, anggota keluarga lain akan ikut oleng. Karena itu, kewarasan ibu rumah tangga harus tetap terjaga. 


Jika kamu juga ibu rumah tangga seperti saya, poin mana yang paling "kamu banget"?


Bonus tips (yang mungkin jadi paling favorit): 


4. Hubungi jasa pesan antar makanan, beli makanan jadi, pesan katering, atau makan di luar. Intinya tidak masak sendiri!

Kadang ibu rumah tangga bosan dengan hasil masakannya sendiri, apalagi bila melihat dapur berantakan dan tumpukan alat masak kotor di bak cuci piring. Sebagai penyegar suasana, sekaligus rehat sejenak dari rutinitas memasak, ibu rumah tangga sangat boleh untuk memakai jasa outsource, lo. Kegiatan ini bisa menjadi agenda rutin keluarga selama disesuaikan dengan budget bulanan tentunya, ya. 

Saturday, February 19, 2022

Menjadi Ibu Bahagia demi Anak yang Bahagia

Memiliki anak mengubah banyak hal pada diri ibu, termasuk prioritas yang diberikan. Bila sebelum menikah, pusatnya adalah diri sendiri, setelah menikah, ia bergeser menjadi berdua. Namun, begitu memiliki anak, timbangannya menjadi timpang. Anak adalah yang utama, bahkan ada prinsip semuanya akan diberikan demi kebahagiaan anak. Karena itu, tidak heran altruisme dekat dengan sosok ibu.


Altruisme

Singkatnya altruisme berkebalikan dengan egoisme. Namun, sebenarnya paham ini jauh lebih dalam dibandingkan sekadar lebih memperhatikan dan mengutamakan kepentingan orang lain. Dalam altruisme, individu yang melakukannya—meski sudah memberikan segalanya—tidak mengharapkan balasan atau imbalan dari pihak lain, seperti kasih ibu kepada anaknya.

Sayangnya, paham ini berpotensi membuat ibu tidak bahagia. Ibu merasa kehilangan arah karena fokus dan prioritasnya tidak lagi pada dirinya, tetapi pada anaknya. Ini belum ditambah oleh imbas kesibukan menjalankan rutinitas sehari-hari, baik di dalam maupun di luar rumah. Seakan-akan ibu tidak lagi punya waktu dan ruang untuk dirinya sendiri. Bagi ibu, bisa jadi kebahagiaan dan kepuasan diri telah kehilangan definisinya.

Ibu bahagia, anak bahagia

Kemudian, keduanya menjadi kontradiktif. Ibu selalu ingin memastikan anaknya bahagia, tetapi sudahkah ibu memastikan dirinya bahagia? Ibu memberikan segalanya agar anaknya bahagia, tetapi dirinya belum tentu juga bahagia. Hal ini menimbulkan pertanyaan, mungkinkah anak bahagia jika ibu tidak bahagia?

Setiap ibu mendambakan anak yang bahagia (ilustrasi: Pixabay)

Sebuah penelitian di Inggris menyimpulkan bahwa ibu yang bahagia akan lebih cenderung mempertahankan keutuhan keluarganya dibandingkan ibu yang tidak bahagia atau ayah yang bahagia. Ibu yang bahagia juga cenderung memiliki dampak lebih besar terhadap kesehatan mental anak saat ia remaja dibandingkan ayah yang bahagia. Dengan kata lain, kebahagiaan ibu berperan besar bagi kebahagiaan keluarga, khususnya anak. Anak bahagia jika ibunya bahagia!

Agar ibu bahagia

Hasil ini menuntun kita pada pertanyaan lain: bagaimana cara menjadi ibu yang bahagia? Anna Mathur, psikoterapis dan penulis buku Mind over Mother, memberikan lima saran agar kita bisa menjadi ibu yang bahagia.

1. Merawat diri

Menjadi ibu seringkali membuatnya abai terhadap kebutuhan diri sendiri, padahal seperti halnya anak, kebutuhan, keinginan, perasaan, ataupun pendapat ibu juga perlu diakui. Setelahnya, ibu perlu menghargai diri atas pilihan yang diambil untuk memenuhi atau memvalidasinya.

Tidak perlu berpikir yang rumit. Tidur cukup dan berolahraga adalah contoh kegiatan merawat diri. Bahkan sesimpel minum dan makan agar tetap waras juga termasuk di dalamnya. Di samping itu, ibu perlu memberikan hadiah kepada diri (self-reward) atas pencapaian-pencapaian kecil. Ini akan membuat ibu merasa dirinya tetap berarti.

Rutin melakukan perawatan wajah juga termasuk merawat diri (ilustrasi: Freepik)

2. Berhenti membandingkan diri dengan orang lain

Setiap individu cenderung senang membandingkan dirinya dengan orang lain. Tak terkecuali ibu. Meski tak selamanya buruk, hal ini dapat menurunkan kepercayaan diri dan kebahagiaan ibu dalam mendampingi anak. Karena itu, lebih baik ibu fokus dengan apa yang ada di dalam rumah daripada terus melihat keluar jendela.

Namun, kalaupun terjadi dan ibu merasakan sesuatu setelahnya, perasaan tersebut harus disadari dan divalidasi, misalnya dengan menuliskannya. Setelah itu, biarkan ia lepas agar hati ibu lebih lapang dan bahagia.

3. Tidak perlu merasa selalu kuat

Istilah “super mom” biasanya dipakai untuk ibu serba bisa. Namun, ibu juga manusia dengan berbagai keterbatasan. Dengan menyadari ini, tidak menjadi masalah (dan ibu tidak perlu merasa gagal dan bersalah) bila ibu meminta bantuan kepada pihak lain. Tidak pula salah bila ibu merasa rapuh sehingga membutuhkan sokongan dari keluarga atau sahabat dekat. Karena itu, penting bagi ibu untuk mempunyai orang-orang terdekat yang dapat memberikan perhatian dan respon hangat kepadanya.

4. Berlatih untuk terus bersyukur

Bersyukur adalah salah satu kunci kebahagiaan. Dengan bersyukur, ibu akan fokus pada apa yang ada saat ini, bukan pada yang belum ada. Bersyukur akan membuat ibu bisa menerima keadaan apa pun meski tidak enak atau tidak diinginkan.

5. Berhenti berpikir dan khawatir berlebihan

Berpikir dan khawatir berlebihan tidaklah sama dengan bersiap menghadapi kemungkinan terburuk. Keduanya hanya akan memenuhi diri dengan ketakutan tak berdasar sehingga ibu tidak lagi bisa menikmati hari. Karenanya, ibu harus mampu menyadari tanda-tanda kemunculannya agar segera dapat diatasi.

Penutup

Kebahagiaan anak dan ibu adalah dua hal yang sama pentingnya. Adalah penting bagi ibu untuk mencari titik keseimbangannya agar kebahagiaan kedua pihak bisa tercapai. Ibu yang bahagia akan membesarkan anak yang bahagia pula. Bukankah itu yang kita sebagai ibu inginkan?




Sumber:
Benson, H. 2019. Mom’s Happiness and Family Well-Being. https://ifstudies.org/blog/moms-happiness-and-family-well-being, diakses pada 18 Februari 2022.
Psychologies. 2020. 5 Tips for a Happier Motherhood. https://www.psychologies.co.uk/5-tips-happier-motherhood, diakses pada 18 Februari 2022.

Sunday, February 6, 2022

{Ulasan Buku} Anak-Anak Paling Bahagia di Dunia

Apa targetmu tahun ini?

Salah satu target saya adalah membaca buku: satu bulan satu buku. Enggak muluk-muluk. Setelah tahun lalu nyaris enggak menamatkan satu buku pun—meski banyak buku yang dibaca sebagian—sepertinya ini target paling masuk akal yang masih bisa saya raih. Mudah-mudahan tahun depan jika kebiasaan baik ini sudah ajek, saya bisa meningkatkannya menjadi … 20 buku setahun mungkin? Yah, pokoknya kerjakan yang sekarang saja dulu, deh. One step at a time.

Mengapa akhirnya tahun ini saya membuat target membaca? Saya pernah curhat di akun Instagram. Bunyinya begini:
Berpuluh purnama belakangan aku payah banget soal membaca buku (buku anak nggak dihitung 😆). Dibandingkan menamatkannya, aku lebih sering berhenti di tengah. Padahal hasrat untuk membeli buku baru nggak pernah padam. Dengan kecepatan keduanya yang nggak seimbang, alhasil ada tumpukan buku yang bahkan sebagian masih terbungkus plastik 😌. Ada yang sama?

Untuk menyalahkan keadaan rasanya enggan karena di luar sana pasti banyak ibu dengan kondisi serupa (anak lebih dari satu, tanpa ART, merantau) bisa membaca sampai selesai. Mungkin aku aja yang nggak pandai mengelola waktu sehingga selalu merasa nggak ada kesempatan untuk membaca dengan tenang.

Dulu pernah ada masa aku membawa novel ke kampus karena penasaran dengan kelanjutan ceritanya. Malangnya, novel itu menjadi korban air minum yang tumpah di dalam tas 😭. Rasanya sedih bukan main. Kertasnya yang seperti kertas buram jadi bergelombang permanen meski aku sudah berusaha mengeringkannya lembar per lembar.

Untungnya, aku dan buku nggak pernah benar-benar berpisah ❤️. Selalu ada keinginan untuk kembali masyuk berdua-duaan tanpa ada gangguan. Seiring dengan kembalinya aku ke dunia tulis-menulis tahun lalu, dorongan untuk membaca pun menguat. Konon jika ingin menjadi penulis hebat, jadilah pembaca yang baik. Jika ingin menjadi pencerita yang hebat, jadilah penonton yang baik. Gimana bisa lancar menuangkan pikiran, kalau kita nggak punya bank kosa kata yang melimpah, serta rasa berbahasa yang kaya?
Jawabannya karena saya mulai aktif menulis kembali! Memang, sih, untuk membaca enggak perlu punya alasan yang berhubungan dengan dunia kepenulisan. Membaca karena suka membaca? Boleh banget. Namun, jika memiliki ketertarikan dengan aktivitas menulis, alangkah baiknya juga disertai dengan kegiatan membaca supaya tulisan kita bernas (enggak kayak kerupuk putih yang besar, tapi ringan, atau kerupuk kulit yang gendut, tapi kopong).

Sebagai bentuk refleksi, saya akan mengulas setiap buku yang saya baca. Sebenarnya saya sudah menuliskan beberapa di antaranya di akun Instagram (go check @mutilaksmi), tetapi di sini saya akan membuat versi lengkapnya. Uhuy!


Tentang buku

Buku pertama yang saya baca tahun ini berjudul The Happiest Kids in the World: Bringing Up Children the Dutch Way karya Rina Mae Acosta dan Michele Hutchinson. Keduanya adalah ekspatriat yang menikah dengan pria Belanda dan menetap di Low Countries (sebutan untuk negeri yang berada di bawah permukaan laut ini). Rina adalah wanita keturunan Filipina yang lahir dan besar di Amerika Serikat, sedangkan Michele berasal dari Inggris.

Keduanya menceritakan pengalaman, pandangan, dan hasil wawancara tentang hal-hal yang (mungkin) menjadi penyebab anak-anak Belanda dinobatkan sebagai yang paling bahagia di dunia. Banyak hal berbeda, bahkan bertentangan dengan apa yang mereka temui di negara asal (AS dan Inggris) atau dengan cara mereka dibesarkan dulu. Hal tersebut otomatis mempengaruhi cara mereka mendidik dan membesarkan anak. Di buku ini mereka bercerita bagaimana pendekatan yang kemudian mereka ambil sebagai orang tua.

Topik-topik yang Belanda banget

Buku ini terdiri dari 13 bab ditambah dengan 1 bab kesimpulan. Topik-topiknya menarik dan sangat “Belanda”. Sebagai contoh, penulis bercerita tentang pengalaman bersepeda dengan sepeda bergerobak (bakfiets) yang umum ditemui di Belanda di bab “Biking through the Rain”. Selain itu, ada bab “It’s All about the Hagelslag” tentang kebiasaan anak-anak makan meses untuk sarapan dan pentingnya berkumpul bersama saat waktu makan.

Rahasianya bermula bahkan sebelum anak lahir

Bab “Mothering the Mother” berisi tentang pengalaman penulis sekaligus cara pandang orang Belanda tentang proses melahirkan dan perawatan pascamelahirkan. Sebagai yang punya pengalaman dua kali melahirkan di Belanda, I can relate with this so much. Karena proses hamil dan melahirkan dipandang secara proses alamiah, pendekatan yang diambil pun humanis. enggak heran bila homebirth adalah pilihan yang lazim.

Cara pandang ini juga yang menyebabkan kebijakan ibu hamil ditangani oleh bidan, alih-alih dokter Sp.OG seperti di Indonesia. Dokter Sp.OG hanya menangani ibu hamil dengan keluhan medis. Itu pun atas rekomendasi bidan atau dokter umum. Kapan-kapan saya mau cerita soal ini, ah.

Selain itu ada yang namanya kraamzorg, yaitu fasilitas khusus untuk ibu dan bayi baru lahir (dan ikut dinikmati seluruh keluarga) yang dibiayai asuransi. Pengalaman Rina soal kraamzorg mirip dengan pengalaman saya dulu. Ada seseorang untuk membantu mengurus bayi dan melakukan pekerjaan domestik meski hanya beberapa jam, itu luar biasa, apalagi bagi saya yang enggak dikelilingi support system selain suami waktu itu. Menurut saya kraamzorg adalah hadiah dari negara untuk setiap ibu di Belanda.

Kesederhanaan melahirkan kebahagiaan

Kemudian, di bab “The Simple Life” penulis mengemukakan hasil pengamatannya terhadap kebiasaan orang Belanda yang senang berkemah dan berpesiar dengan perahu pribadi bersama keluarga. Ternyata itu berakar dari sifat dasar orang Belanda yang irit, sederhana, dan enggak neko-neko. Irit, lo, bukan pelit (walau bedanya tipisss).
“In Moet Kunnen, Herman Pleij typifies the Dutch as doodgewone mensen (dead-normal people). There is a strong urge to keep everyone on the same level.” (Hal. 190)
Di Belanda, ada kecenderungan untuk menjaga setiap orang pada level yang sama, enggak ada yang kelihatan mentereng banget dan enggak ada yang kelihatan miskin banget. Ini bahkan tercermin dari perdana menterinya yang sering tertangkap kamera bersepeda ke kantor. Beneran merakyat, bukan mengundang juru kamera demi pencitraan . #ups

Mirip dengan anak Indonesia

Pada bab "A Childhood of Freedom" saya menemukan hal yang mirip dengan anak-anak Indonesia. Di Belanda anak-anak usia sekolah boleh bermain di luar rumah tanpa pengawasan orang tua, tentunya dengan kesepakatan jam kembali ke rumah, ya. Ini sama banget, kan, dengan di Indonesia? Siapa yang dulu suka keluyuran? Meski begitu, meningkatnya angka kejahatan di Indonesia, terutama di kota besar, belakangan ini mau enggak mau membuat orang tua khawatir untuk melepas anaknya bermain sendiri. Tampaknya saya pun akan begitu, deh, nanti.

Oh iya, menurut Michele, bukan berarti di Belanda enggak ada kejahatan. Kejahatan ada di mana-mana, tetapi media di Belanda enggak memberikan perhatian berlebihan dan enggak melebih-lebihkan (seperti di Inggris, negara asal Michele). Masyarakat enggak disuguhi berita-berita horor setiap saat sehingga rasa aman pun terbangun dan orang tua lebih rileks untuk melepas anak-anaknya di luar rumah. 

Pandangan tentang teen sex

Yang membuat saya tercengang.adalah bab "Dutch Teenagers Don’t Rebel". Mengapa? Karena isinya berlawanan dengan aturan dan nilai-nilai yang saya anut, misalnya, soal having (first) sex under your parents roof. Pendekatan yang sama berlaku untuk drugs dan prostitusi (ingat Red Light District Amsterdam?).
“Simon Kuper wrote a perceptive article for the Financial Times … ‘Dutch parents treat teen sex much as Dutch society treats drugs or prostitutions: permit it, hug it close, control it.’” (Hal. 255)
Saya jadi ingat cerita Ust. Bendri di salah satu kajian. Beliau pernah menginap di rumah seseorang saat sedang safari dakwah di luar negeri (saya lupa negara apa). Katanya ada anak laki-laki yang lewat dan sikapnya menarik perhatian beliau. Saat ditanya kepada tuan rumah, ternyata anak tersebut bukan anaknya melainkan teman laki-laki anaknya. Tuan rumah enggak bisa menolak atau mengusir karena takut berurusan dengan aparat hukum setempat. Hmm ....

Yang saya suka dan kurang suka dari buku ini

Karena buku ini adalah hasil kolaborasi dari dua penulis, kita akan menemukan dua sudut pandang yang berbeda dalam setiap bab. Uniknya, font yang dipakai untuk menuliskan bagian Michele dipilih yang lebih tebal. Kita akan dengan mudah mengenali perpindahan sudut pandang walau di beberapa judul subbab sudah tertera nama Rina atau Michele.

Yang saya suka, keduanya tidak hanya menuliskan pengalaman pribadi dan pengamatan mereka pribadi, tetapi juga memperkayanya dengan mewawancarai pihak-pihak yang berkompeten dan mengutip literatur lain. Hal ini bertujuan untuk memvalidasi teori soal penyebab kebahagiaan anak-anak Belanda. Kalau dipikir-pikir, buku ini seperti tesis riset kualitatif yang disajikan dalam bentuk santai dan naratif. Mantap!

Hal menarik lain adalah di setiap bab ada kotak berisi info, tips atau pengalaman khusus terkait topik bab yang diselipkan di antara teks isi. Ini memberikan warna sekaligus menyegarkan. Sebagai contoh, di bab "The Real Happiest Babies on the Block" ada info tentang Bugaboo. Merk stroller premium ini ternyata didesain oleh orang Belanda, lo!

Membaca lembar demi lembar buku ini sama sekali enggak membosankan. Salah satu penyebabnya adalah bumbu-bumbu humor yang dituliskan Rina dan Michele. Humornya cerdas, meski beberapa membutuhkan pengetahuan tambahan. Misalnya begini,
… teenage boys, as well as girls, now shave off their pubic hair. (I can’t wait for Ben to get his first Brazilian.) (hal. 260, “Dutch Teenagers Don’t Rebel”)
Karena saya tahu tentang Brazilian wax (ini juga setelah menikah!), saya jadi bisa paham humor ini. Untuk yang enggak tahu, pasti enggak nyambung, deh.

Kalaupun ada yang kurang saya sukai, mungkin saya harus berdamai dengan bahasa Inggris-nya. Ha-ha-ha. Banyak istilah baru yang belum saya tahu dan saya harus bolak-balik mengetiknya di Google Translate (bukan membuka kamus fisik lagi) untuk bisa memahami konteks kalimat. Yah, ini memang karena saya sudah lama enggak membaca buku berbahasa Inggris, sih. Jadi, habis ini hunting buku di Amazon, deh. #eh

Nilai

Saya memberi 4.5/5 bintang. Setengah bintang kurang dari sempurna karena kesempurnaan hanya milik Allah. He-he-he.

Penutup

Untuk saya yang sekarang tinggal di Belanda, isi buku ini sangat berhubungan dengan yang saya alami dan amati sehari-hari. I can relate much with this book. Saya banyak menganggukkan kepala saat membacanya, bahkan saya jadi tahu lebih dalam tentang hal-hal yang selama ini baru saya ketahui permukaannya saja. Membaca buku ini bagi saya seperti sedang belajar antropologi saja. Saya jadi punya cara pandang baru terhadap kehidupan di Belanda.

Bagi yang belum pernah tinggal di Belanda, membaca buku ini membuka wawasan tentang filosofi hidup dan cara pandang orang Belanda yang mungkin menjadi penyebab anak-anak Belanda dinobatkan sebagai anak-anak paling bahagia di dunia. Secara umum, kita bisa belajar untuk kemudian merefleksikannya pada kehidupan yang kita jalani sekarang. Ambil hal-hal positif yang sejalan dengan nilai kita dan bisa kita tiru. Siapa, sih, yang enggak mau punya anak bahagia? Ya, kan?

Meski begitu, saya merasa perlu mengingatkan di awal. Sebelum membaca buku ini (dan buku apa pun), kosongkan gelas kita dulu. Ambil sikap netral sehingga kita akan mendapatkan banyak hikmah, ide, pencerahan, pengetahuan dari buku ini. Jika tidak, kita akan mudah menghakimi yang tidak sesuai dengan nilai yang kita anut.

Sayangnya, setahu saya buku ini belum diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Kamu bisa mendapatkan versi bahasa Inggris di Amazon. Enggak harus baru karena punya saya pun buku second, €5 saja!

Kalau kamu, sudah baca buku apa bulan ini? Share di kolom komentar, ya!