Posts with the label Ulasan
Showing posts with label Ulasan. Show all posts
Showing posts with label Ulasan. Show all posts

Sunday, February 6, 2022

{Ulasan Buku} Anak-Anak Paling Bahagia di Dunia

Apa targetmu tahun ini?

Salah satu target saya adalah membaca buku: satu bulan satu buku. Enggak muluk-muluk. Setelah tahun lalu nyaris enggak menamatkan satu buku pun—meski banyak buku yang dibaca sebagian—sepertinya ini target paling masuk akal yang masih bisa saya raih. Mudah-mudahan tahun depan jika kebiasaan baik ini sudah ajek, saya bisa meningkatkannya menjadi … 20 buku setahun mungkin? Yah, pokoknya kerjakan yang sekarang saja dulu, deh. One step at a time.

Mengapa akhirnya tahun ini saya membuat target membaca? Saya pernah curhat di akun Instagram. Bunyinya begini:
Berpuluh purnama belakangan aku payah banget soal membaca buku (buku anak nggak dihitung 😆). Dibandingkan menamatkannya, aku lebih sering berhenti di tengah. Padahal hasrat untuk membeli buku baru nggak pernah padam. Dengan kecepatan keduanya yang nggak seimbang, alhasil ada tumpukan buku yang bahkan sebagian masih terbungkus plastik 😌. Ada yang sama?

Untuk menyalahkan keadaan rasanya enggan karena di luar sana pasti banyak ibu dengan kondisi serupa (anak lebih dari satu, tanpa ART, merantau) bisa membaca sampai selesai. Mungkin aku aja yang nggak pandai mengelola waktu sehingga selalu merasa nggak ada kesempatan untuk membaca dengan tenang.

Dulu pernah ada masa aku membawa novel ke kampus karena penasaran dengan kelanjutan ceritanya. Malangnya, novel itu menjadi korban air minum yang tumpah di dalam tas 😭. Rasanya sedih bukan main. Kertasnya yang seperti kertas buram jadi bergelombang permanen meski aku sudah berusaha mengeringkannya lembar per lembar.

Untungnya, aku dan buku nggak pernah benar-benar berpisah ❤️. Selalu ada keinginan untuk kembali masyuk berdua-duaan tanpa ada gangguan. Seiring dengan kembalinya aku ke dunia tulis-menulis tahun lalu, dorongan untuk membaca pun menguat. Konon jika ingin menjadi penulis hebat, jadilah pembaca yang baik. Jika ingin menjadi pencerita yang hebat, jadilah penonton yang baik. Gimana bisa lancar menuangkan pikiran, kalau kita nggak punya bank kosa kata yang melimpah, serta rasa berbahasa yang kaya?
Jawabannya karena saya mulai aktif menulis kembali! Memang, sih, untuk membaca enggak perlu punya alasan yang berhubungan dengan dunia kepenulisan. Membaca karena suka membaca? Boleh banget. Namun, jika memiliki ketertarikan dengan aktivitas menulis, alangkah baiknya juga disertai dengan kegiatan membaca supaya tulisan kita bernas (enggak kayak kerupuk putih yang besar, tapi ringan, atau kerupuk kulit yang gendut, tapi kopong).

Sebagai bentuk refleksi, saya akan mengulas setiap buku yang saya baca. Sebenarnya saya sudah menuliskan beberapa di antaranya di akun Instagram (go check @mutilaksmi), tetapi di sini saya akan membuat versi lengkapnya. Uhuy!


Tentang buku

Buku pertama yang saya baca tahun ini berjudul The Happiest Kids in the World: Bringing Up Children the Dutch Way karya Rina Mae Acosta dan Michele Hutchinson. Keduanya adalah ekspatriat yang menikah dengan pria Belanda dan menetap di Low Countries (sebutan untuk negeri yang berada di bawah permukaan laut ini). Rina adalah wanita keturunan Filipina yang lahir dan besar di Amerika Serikat, sedangkan Michele berasal dari Inggris.

Keduanya menceritakan pengalaman, pandangan, dan hasil wawancara tentang hal-hal yang (mungkin) menjadi penyebab anak-anak Belanda dinobatkan sebagai yang paling bahagia di dunia. Banyak hal berbeda, bahkan bertentangan dengan apa yang mereka temui di negara asal (AS dan Inggris) atau dengan cara mereka dibesarkan dulu. Hal tersebut otomatis mempengaruhi cara mereka mendidik dan membesarkan anak. Di buku ini mereka bercerita bagaimana pendekatan yang kemudian mereka ambil sebagai orang tua.

Topik-topik yang Belanda banget

Buku ini terdiri dari 13 bab ditambah dengan 1 bab kesimpulan. Topik-topiknya menarik dan sangat “Belanda”. Sebagai contoh, penulis bercerita tentang pengalaman bersepeda dengan sepeda bergerobak (bakfiets) yang umum ditemui di Belanda di bab “Biking through the Rain”. Selain itu, ada bab “It’s All about the Hagelslag” tentang kebiasaan anak-anak makan meses untuk sarapan dan pentingnya berkumpul bersama saat waktu makan.

Rahasianya bermula bahkan sebelum anak lahir

Bab “Mothering the Mother” berisi tentang pengalaman penulis sekaligus cara pandang orang Belanda tentang proses melahirkan dan perawatan pascamelahirkan. Sebagai yang punya pengalaman dua kali melahirkan di Belanda, I can relate with this so much. Karena proses hamil dan melahirkan dipandang secara proses alamiah, pendekatan yang diambil pun humanis. enggak heran bila homebirth adalah pilihan yang lazim.

Cara pandang ini juga yang menyebabkan kebijakan ibu hamil ditangani oleh bidan, alih-alih dokter Sp.OG seperti di Indonesia. Dokter Sp.OG hanya menangani ibu hamil dengan keluhan medis. Itu pun atas rekomendasi bidan atau dokter umum. Kapan-kapan saya mau cerita soal ini, ah.

Selain itu ada yang namanya kraamzorg, yaitu fasilitas khusus untuk ibu dan bayi baru lahir (dan ikut dinikmati seluruh keluarga) yang dibiayai asuransi. Pengalaman Rina soal kraamzorg mirip dengan pengalaman saya dulu. Ada seseorang untuk membantu mengurus bayi dan melakukan pekerjaan domestik meski hanya beberapa jam, itu luar biasa, apalagi bagi saya yang enggak dikelilingi support system selain suami waktu itu. Menurut saya kraamzorg adalah hadiah dari negara untuk setiap ibu di Belanda.

Kesederhanaan melahirkan kebahagiaan

Kemudian, di bab “The Simple Life” penulis mengemukakan hasil pengamatannya terhadap kebiasaan orang Belanda yang senang berkemah dan berpesiar dengan perahu pribadi bersama keluarga. Ternyata itu berakar dari sifat dasar orang Belanda yang irit, sederhana, dan enggak neko-neko. Irit, lo, bukan pelit (walau bedanya tipisss).
“In Moet Kunnen, Herman Pleij typifies the Dutch as doodgewone mensen (dead-normal people). There is a strong urge to keep everyone on the same level.” (Hal. 190)
Di Belanda, ada kecenderungan untuk menjaga setiap orang pada level yang sama, enggak ada yang kelihatan mentereng banget dan enggak ada yang kelihatan miskin banget. Ini bahkan tercermin dari perdana menterinya yang sering tertangkap kamera bersepeda ke kantor. Beneran merakyat, bukan mengundang juru kamera demi pencitraan . #ups

Mirip dengan anak Indonesia

Pada bab "A Childhood of Freedom" saya menemukan hal yang mirip dengan anak-anak Indonesia. Di Belanda anak-anak usia sekolah boleh bermain di luar rumah tanpa pengawasan orang tua, tentunya dengan kesepakatan jam kembali ke rumah, ya. Ini sama banget, kan, dengan di Indonesia? Siapa yang dulu suka keluyuran? Meski begitu, meningkatnya angka kejahatan di Indonesia, terutama di kota besar, belakangan ini mau enggak mau membuat orang tua khawatir untuk melepas anaknya bermain sendiri. Tampaknya saya pun akan begitu, deh, nanti.

Oh iya, menurut Michele, bukan berarti di Belanda enggak ada kejahatan. Kejahatan ada di mana-mana, tetapi media di Belanda enggak memberikan perhatian berlebihan dan enggak melebih-lebihkan (seperti di Inggris, negara asal Michele). Masyarakat enggak disuguhi berita-berita horor setiap saat sehingga rasa aman pun terbangun dan orang tua lebih rileks untuk melepas anak-anaknya di luar rumah. 

Pandangan tentang teen sex

Yang membuat saya tercengang.adalah bab "Dutch Teenagers Don’t Rebel". Mengapa? Karena isinya berlawanan dengan aturan dan nilai-nilai yang saya anut, misalnya, soal having (first) sex under your parents roof. Pendekatan yang sama berlaku untuk drugs dan prostitusi (ingat Red Light District Amsterdam?).
“Simon Kuper wrote a perceptive article for the Financial Times … ‘Dutch parents treat teen sex much as Dutch society treats drugs or prostitutions: permit it, hug it close, control it.’” (Hal. 255)
Saya jadi ingat cerita Ust. Bendri di salah satu kajian. Beliau pernah menginap di rumah seseorang saat sedang safari dakwah di luar negeri (saya lupa negara apa). Katanya ada anak laki-laki yang lewat dan sikapnya menarik perhatian beliau. Saat ditanya kepada tuan rumah, ternyata anak tersebut bukan anaknya melainkan teman laki-laki anaknya. Tuan rumah enggak bisa menolak atau mengusir karena takut berurusan dengan aparat hukum setempat. Hmm ....

Yang saya suka dan kurang suka dari buku ini

Karena buku ini adalah hasil kolaborasi dari dua penulis, kita akan menemukan dua sudut pandang yang berbeda dalam setiap bab. Uniknya, font yang dipakai untuk menuliskan bagian Michele dipilih yang lebih tebal. Kita akan dengan mudah mengenali perpindahan sudut pandang walau di beberapa judul subbab sudah tertera nama Rina atau Michele.

Yang saya suka, keduanya tidak hanya menuliskan pengalaman pribadi dan pengamatan mereka pribadi, tetapi juga memperkayanya dengan mewawancarai pihak-pihak yang berkompeten dan mengutip literatur lain. Hal ini bertujuan untuk memvalidasi teori soal penyebab kebahagiaan anak-anak Belanda. Kalau dipikir-pikir, buku ini seperti tesis riset kualitatif yang disajikan dalam bentuk santai dan naratif. Mantap!

Hal menarik lain adalah di setiap bab ada kotak berisi info, tips atau pengalaman khusus terkait topik bab yang diselipkan di antara teks isi. Ini memberikan warna sekaligus menyegarkan. Sebagai contoh, di bab "The Real Happiest Babies on the Block" ada info tentang Bugaboo. Merk stroller premium ini ternyata didesain oleh orang Belanda, lo!

Membaca lembar demi lembar buku ini sama sekali enggak membosankan. Salah satu penyebabnya adalah bumbu-bumbu humor yang dituliskan Rina dan Michele. Humornya cerdas, meski beberapa membutuhkan pengetahuan tambahan. Misalnya begini,
… teenage boys, as well as girls, now shave off their pubic hair. (I can’t wait for Ben to get his first Brazilian.) (hal. 260, “Dutch Teenagers Don’t Rebel”)
Karena saya tahu tentang Brazilian wax (ini juga setelah menikah!), saya jadi bisa paham humor ini. Untuk yang enggak tahu, pasti enggak nyambung, deh.

Kalaupun ada yang kurang saya sukai, mungkin saya harus berdamai dengan bahasa Inggris-nya. Ha-ha-ha. Banyak istilah baru yang belum saya tahu dan saya harus bolak-balik mengetiknya di Google Translate (bukan membuka kamus fisik lagi) untuk bisa memahami konteks kalimat. Yah, ini memang karena saya sudah lama enggak membaca buku berbahasa Inggris, sih. Jadi, habis ini hunting buku di Amazon, deh. #eh

Nilai

Saya memberi 4.5/5 bintang. Setengah bintang kurang dari sempurna karena kesempurnaan hanya milik Allah. He-he-he.

Penutup

Untuk saya yang sekarang tinggal di Belanda, isi buku ini sangat berhubungan dengan yang saya alami dan amati sehari-hari. I can relate much with this book. Saya banyak menganggukkan kepala saat membacanya, bahkan saya jadi tahu lebih dalam tentang hal-hal yang selama ini baru saya ketahui permukaannya saja. Membaca buku ini bagi saya seperti sedang belajar antropologi saja. Saya jadi punya cara pandang baru terhadap kehidupan di Belanda.

Bagi yang belum pernah tinggal di Belanda, membaca buku ini membuka wawasan tentang filosofi hidup dan cara pandang orang Belanda yang mungkin menjadi penyebab anak-anak Belanda dinobatkan sebagai anak-anak paling bahagia di dunia. Secara umum, kita bisa belajar untuk kemudian merefleksikannya pada kehidupan yang kita jalani sekarang. Ambil hal-hal positif yang sejalan dengan nilai kita dan bisa kita tiru. Siapa, sih, yang enggak mau punya anak bahagia? Ya, kan?

Meski begitu, saya merasa perlu mengingatkan di awal. Sebelum membaca buku ini (dan buku apa pun), kosongkan gelas kita dulu. Ambil sikap netral sehingga kita akan mendapatkan banyak hikmah, ide, pencerahan, pengetahuan dari buku ini. Jika tidak, kita akan mudah menghakimi yang tidak sesuai dengan nilai yang kita anut.

Sayangnya, setahu saya buku ini belum diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Kamu bisa mendapatkan versi bahasa Inggris di Amazon. Enggak harus baru karena punya saya pun buku second, €5 saja!

Kalau kamu, sudah baca buku apa bulan ini? Share di kolom komentar, ya!



{Ulasan Buku} Anak-Anak Paling Bahagia di Dunia

Sunday, February 6, 2022

Wednesday, June 30, 2021

Nanti Kita Cerita tentang Hari Ini: Belajar tentang Keterbukaan dalam Keluarga

 

Rasanya sudah berabad lamanya saya tidak menonton film. Sebenarnya dulu saya sangat menggemari serial drama Jepang (bukan Korea), tetapi sekarang waktu 24 jam seperti kurang saja. Tahu-tahu hari sudah malam dan badan yang lelah menuntut istirahat. Makanya waktu ulasan film bergenre keluarga atau yang bercerita tentang keluarga (genre bebas) menjadi tema Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog (MGN) bulan ini, saya merasa diuji untuk bisa menyisihkan waktu untuk menonton (untungnya dalam konteks menyenangkan, hehe ...). Percaya atau tidak, saya sampai membeli gift card Netflix, lo. Niat paripurna, haha ....

Di antara jutaan (lebai, tetapi bisa jadi betul) film yang ada di Netflix, sebenarnya saya bimbang antara dua judul, yang satu film Hollywood keluaran baru, satu lagi film Indonesia yang diadaptasi dari serial terkenal era 90-an. Namun, akhirnya pilihan saya berlabuh pada satu film drama keluarga Indonesia keluaran tahun 2020 berjudul "Nanti Kita Cerita tentang Hari Ini" (NKCTHI). Ternyata, keputusan saya tepat!


Satu kalimat sinopsis film NKCTHI versi Netflix


Sinopsis

Film ini bercerita tentang tiga bersaudara, yakni Angkasa (Rio Dewanto), Aurora (Sheila Dara Aisha), dan Awan (Rachel Amanda) yang hidup bersama dalam keluarga yang tampak bahagia: ayah dan ibu yang perhatian dan mendukung pilihan anak-anaknya serta saudara sekandung yang rukun dan saling menyayangi. Sampai suatu hari Awan mengalami kegagalan pertama ketika dipecat dari pekerjaannya. Ia yang sedang sedih dan kecewa bertemu dengan Kale (Ardhito Pramono), seorang manajer grup band yang kemudian banyak memberikan banyak pengaruh kepada Awan. Kale membuka pikiran Awan tentang patah, bangkit, gagal, takut, kehilangan, juga membuka dunia baru yang belum pernah disinggahi Awan sebelumnya.

Perubahan perilaku Awan lantas memicu ketegangan antara Awan dan ayah Narendra (Donny Damara). Layaknya bom waktu, ketegangan itu akhirnya meledak dan malah menyebabkan perlawanan dari ketiga bersaudara, sekaligus membuka rahasia yang telah disimpan selama 21 tahun. Luka yang timbul setelahnya mengoyak keutuhan keluarga tersebut. Sosok ibu Ajeng (Susan Bachtiar) lalu hadir sebagai pelekat keluarga.

Peristiwa ini menjadi titik balik bagi Narendra untuk mengubah keyakinan dan prinsipnya selama ini sebagai kepala keluarga. Di akhir cerita, Angkasa, Aurora, dan Awan mendapatkan kepercayaan dari Narendra untuk melakukan apa yang mereka cita-citakan selama ini. 



Ulasan

Film berdurasi 2 jam 1 menit ini sukes mengaduk emosi saya sebagai penonton. Ide cerita yang tertuang dalam film ini--potret seorang ayah yang menginginkan yang terbaik untuk keluarganya--sangat dekat dengan keseharian kita. Harapan ayah ini diwujudkan dalam perhatian, perlindungan, dan fasilitas yang sayangnya seiring dengan waktu dirasakan berbeda oleh anak-anaknya. Awan si bungsu menganggap ayah terlalu melindungi dan selalu menyediakan jaring pengaman di saat dia gagal. Aurora si tengah merasa kurang berarti di mata ayahnya, bahkan saat dia berprestasi. Angkasa si sulung didoktrin sejak kecil untuk selalu menjaga dan melindungi adik-adik, tanpa pernah ditanya bagaimana perasaannya terhadap hal itu. Ibu yang sepanjang film digambarkan tidak banyak bicara justru adalah orang yang paling kuat dan menjadi penyelamat keutuhan keluarga di akhir cerita. 

"Tak pernah terbersit di hati ayah, untuk mengekang kamu, kamu, dan kamu. Ini semata-mata ayah lakukan karena ayah takut kehilangan kalian, anak-anak ayah." --Narendra kepada Angkasa, Aurora, dan Awan saat pertemuan keluarga--

Pesan yang ingin disampaikan oleh film ini sangat dalam menurut saya. Kehangatan sebuah keluarga tidak cukup hanya dibangun dengan kasih sayang dan perhatian. Segala bentuk emosi, sepahit apapun itu, sangat perlu untuk disampaikan dan dibicarakan, bukan malah dihindari atau disembunyikan. Di dalam film ini ayah berusaha membuat keluarganya bahagia dan tidak mengizinkan kesedihan hadir. Alasan inilah yang membuat ayah (dan ibu) merahasiakan kematian saudara kembar Awan saat lahir dari Aurora dan Awan (ups, jadi spoiler, deh). Walaupun Angkasa sudah mengerti saat peristiwa itu terjadi, dia tidak pernah diajak untuk berbicara dari hati ke hati soal perasaannya mengenai kehilangan tersebut. Rahasia ini di kemudian hari menguji hubungan antaranggota keluarga Narendra. Untungnya di film kita bisa membuat resolusi konflik yang positif. Bagaimana jika di dunia nyata, yang terjadi malah sebaliknya? Bisa jadi kehancuran keluarga adalah ujungnya. 

"Hidup kita masih panjang. Kita harus punya cara untuk bertahan. Nangis enggak akan ada gunanya. Mereka enggak perlu tahu tentang kesedihan ini. Cukup di kita. Ini kesedihan terakhir di keluarga kita. Ya ...?" --Narendra kepada Ajeng setelah peristiwa kehilangan salah satu bayi kembar mereka--

Yang menarik, waktu tahu film ini diangkat dari sebuah buku dengan judul yang sama karya Marchella FP, saya mengira buku ini adalah novel seperti pada umumnya. Ternyata buku "Nanti Kita Cerita tentang Hari Ini"--bisa cek akun Instagram @nkcthi juga, lo--berisi kumpulan quotes yang merupakan isi surat dari Awan kepada anak cucunya di masa depan. Quotes ini tersebar di dalam dialog sepanjang cerita. Sutradara sekaligus penulis skenario Angga Dwimas Sasongko bersama Jenny Jusuf dan Melarissa Sjarief berhasil menerjemahkan dan mengembangkan ide buku menjadi cerita yang utuh. 


Salah satu isi surat dari Awan untuk anaknya di masa depan


Untuk penonton awam seperti saya, aktor dan aktris dalam film ini berperan sangat baik, bahkan untuk pemeran Angkasa, Aurora, dan Awan muda. Karakter kuat dari setiap tokoh tercermin dari gestur, mimik, dan pengucapan dialog yang sesuai dengan adegan dan emosi yang ingin ditampilkan. Tidak ada ketimpangan, semuanya seimbang dan saling berpadu manis. Tidak heran, film ini didukung oleh deretan aktor dan aktris kawakan yang kemampuan aktingnya tidak diragukan lagi. Oka Antara (Narendra muda) menjadi pemenang kategori pemeran pria pendukung terbaik dan Ardhito Pramono (Kale) memenangkan kategori pendatang baru terfavorit di Indonesian Movie Actors Awards 2020.  

Selain ide cerita, unsur yang paling saya sukai dari film produksi Visinema Pictures ini adalah sinematografinya. Sudut pengambilan gambarnya cantik dan variatif. Beberapa adegan juga ditambah dengan pencahayaan yang dramatis. Pantas jika film ini mendapatkan penghargaan Maya Awards tahun 2020 untuk kategori sinematografi terbaik. Selain itu, perpindahan adegan antara masa sekarang dan masa lalu mulus dan tidak dipaksakan menunjukkan kualitas editing yang ciamik. FYI, film ini berlatar belakang tahun 1990-an, 2000-an, dan masa sekarang (2019).

Untuk tata musik, Ardhito Pramono mendapatkan penghargaan sebagai penyanyi lagu jazz kontemporer terbaik di Indonesian Music Awards dan penulis lagu tema terbaik di Indonesian Film Festival tahun 2020 untuk lagu soundtrack "Fine Today". Di antara lagu pendukung lain adalah "Untuk Hati yang Terluka"(Isyana Sarasvati), Rehat (Kunto Aji), dan Lagu Pejalan (Sisir Tanah).

Kalaupun ada poin minus yang perlu disorot dari film ini, mungkin saya akan menyebut wajah pemeran anak-anak dan dewasa yang tidak mirip. Penting enggak ya? Hehe .


Angkasa, Aurora, dan Awan kecil (Sumber: movieden.net)

Pesan moral

Sebagai orang tua, saya banyak bercermin pada karakter dalam keluarga Narendra.
Ada beberapa pesan moral yang saya tangkap dari film ini:

  • Orang tua harus adil terhadap setiap anak. Jangan sampai ada anak yang merasa disisihkan/dikucilkan, walau orang tua tidak bermaksud demikian. 
  • Anak pertama (apalagi laki-laki) bukan yang harus memikul tanggung jawab terhadap adik-(adiknya). Dia tidak memilih terlahir sebagai anak pertama, 'kan?
  • Semua bentuk emosi harus diterima dan dihadapi, bukan dihindari, termasuk kesedihan. Akan lebih baik jika emosi tersebut bisa diungkapkan dan dibicarakan kepada orang lain. 
  • Jujur, bicara dari hati ke hati itu penting, meski kenyataan yang harus dihadapi sangat getir. 
  • Anak harus diberi kepercayaan yang sesuai dengan umur dan kapasitasnya.
  • Jangan pelit untuk memuji. Kelima tangki cinta anak-anak perlu untuk dipenuhi setiap hari. 
  • Semua keluarga punya rahasia, jika memang perlu. Namun, persiapkan diri dengan kemungkinan konsekuensinya saat terbuka (dengan sengaja atau tidak).   


Kesimpulan

Meski rating-nya hanya 7.5 di IMDb, saya memberi nilai 9/10, sebuah nilai yang saya pikir sangat pantas untuk film yang mendapatkan Golden Goblet Award di Festival Film Internasional Shanghai tahun 2020 ini. Apalagi jika ditonton bersama dengan pasangan (ini rencana saya, hehe ..., semoga bapak suami mau). Makanya, segera masukkan film "Nanti Kita Cerita tentang Hari Ini" ke dalam daftar film pilihan kalian, ya! 



Sumber:

One Day We'll Talk about Today. https://en.wikipedia.org/wiki/One_Day_We%27ll_Talk_About_Today. Diakses tanggal 29 Juni 2021.










Nanti Kita Cerita tentang Hari Ini: Belajar tentang Keterbukaan dalam Keluarga

Wednesday, June 30, 2021

Friday, April 30, 2021

Mom's Me Time Diary: Buku Ringan, Tetapi Sarat Makna



Perdana saya ikut tantangan Mamah Gajah Ngeblog (MGN), nih! Setelah dua setengah bulan ikut tantangan MaGaTa di grup Mamah Gajah Bercerita, akhirnya saya memutuskan untuk ikut grup Mamah Gajah Ngeblog, sama-sama subgrup ITB Motherhood, yang menghimpun para mamah blogger. Meski belum merasa layak disebut blogger, setidaknya saya sudah memenuhi syarat minimal untuk bergabung di grup ini karena memiliki blog hahaha ….


Anyway, tantangan MGN di bulan April adalah mengulas buku perempuan inspiratif, bisa tentang karakter/kisah atau yang ditulis oleh perempuan inspiratif. Berhubung saya hanya membawa beberapa buku bahasa Indonesia ke sini dan hanya ada tiga di antaranya yang ditulis oleh penulis perempuan, seharusnya tidak sulit bagi saya untuk memilih, dong. Nyatanya toh, saya sempat berganti buku. 

Awalnya saya ingin mengulas buku berjudul "99 Cahaya di Langit Eropa" karya Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Mahendra. Namun, waktu yang hanya tinggal beberapa hari tidak cukup buat saya menyelesaikan satu novel hingga habis. Saya baru membaca setengah dari buku tersebut lalu terhenti. Demi mendapat keutuhan cerita, saya ingin membaca ulang dari awal. Sayang seribu sayang, keinginan itu harus dikalahkan oleh aktivitas lain dan tenggat waktu.

Akhirnya saya beralih ke buku yang ditulis oleh kawan SMA saya, Ayu Kinanti Dewi yang berjudul "Mom's Me Time Diary". Buku ini lumayan tipis dengan ukuran tulisan yang sedang dan paragraf yang renggang. Pas untuk dibaca dalam waktu singkat karena ringan untuk dikunyah. Namun, bagaimana dengan isinya? Apakah juga ringan?

Ulasan buku, Buku, Tantangan MGN, Motivasi, Ibu

Sampul Buku

Sebelum kita membahas isinya, kita lihat dulu sampulnya, ya. Warna putih menjadi warna dasar sampul, dihiasi dengan ilustrasi pohon di bagian tengah kulit buku membuat sampul depan dan belakang menjadi satu kesatuan. Pemilihan warna merah muda untuk judul seolah ingin memberi kesan bahwa buku ini ditujukan kepada kaum hawa. Tipe tulisan yang dipakai juga mendukung keseluruhan desain yang girly.

Isi Buku

Buku ini terdiri dari 21 bab yang berdiri sendiri. Kita bisa memilih untuk mulai membaca dari bab yang mana saja tanpa harus khawatir kehilangan benang merah dari inti keseluruhan cerita. Tema-tema yang disajikan tentu seputar peran ibu sesuai dengan judulnya. Selayaknya diari, setiap bab dari buku ini adalah catatan dan refleksi penulis tentang masalah-masalah yang biasanya timbul dan dirasakan oleh para ibu. Ditulis dengan gaya santai dan mengalir, penulis seperti sedang berbincang akrab dengan pembaca. Jarak antara penulis dan pembaca melebur dengan penggunaan kata sapaan "Bu". 

Personal penulis yang dekat dengan Islam tercermin dalam setiap bahasan. Penulis senantiasa mengaitkan setiap topik dengan Islam. Bagaimana semua yang kita pikirkan, rasakan, lakukan itu seharusnya dikembalikan kepada tujuan utama, yakni beribadah kepada Allah Swt. Meski persoalan terlihat sederhana, ternyata jika kita telaah lagi hikmahnya sangatlah dalam. 

Tulisan berjudul "Biar Lelah jadi Lillah", misalnya. Di awal penulis menyebutkan berbagai keluhan yang sadar atau tidak, sering terlontar dari mulut seorang ibu. Kemudian penulis membahas bahwa agar kelelahan ibu menjadi pahala (lillah berarti "untuk Allah"), pertama kali ibu harus menata niat: semua adalah dalam rangka mencari rida Allah Swt. Poin berikutnya adalah ibu harus membingkai aktivitas dengan zikir dan doa, lalu meminta pertolongan dengan sabar dan salat, juga meluangkan waktu untuk membaca Al-Qur'an. 

Ibu harus meyakini bahwa hanya Allah Swt. yang mampu membayar setiap pekerjaan yang dilakukan dengan ikhlas. Kelelahan ibu tidak sebanding dengan lelahnya ibu-ibu pejuang di Suriah, Palestina, maupun Somalia. Penulis juga mengangkat kisah Sa'ad bin Mu'adz yang tangannya dicium oleh Rasulullah karena bekerja keras sepanjang hari. Bab ini ditutup dengan kalimat "Semoga segala kelelahan kita mendapat ridho-Nya dan jadi jalan ke surga-Nya."

Berbekal latar belakang psikologi, di bab-bab akhir penulis membahas tentang manajemen energi, waktu, dan emosi ibu. Selain itu juga membahas tentang karakter, pengelolaan emosi, dan komunikasi efektif dengan balita. Tentunya tetap dengan landasan Islam sesuai nafas buku ini. 

Kelebihan Buku

Di luar sana tulisan mengenai ibu dan bertujuan untuk memotivasi para ibu dalam menjalani perannya mungkin sudah banyak. Akan tetapi menurut saya, ada dua hal ekstra yang menarik dari buku ini:

Pertama, adanya selipan beberapa lembar mewarnai. Mewarnai diyakini sebagai salah satu media relaksasi karena kita dituntut untuk fokus sekaligus mengasah jiwa seni lewat warna. Itu sebabnya akhir-akhir ini banyak lembar mewarnai khusus dewasa yang dijual di pasaran. Seluruh ilustrasi merupakan hasil kerja sama dengan @orygiri;

Kedua, adanya halaman khusus di akhir setiap bab yang bisa digunakan pembaca untuk menuliskan refleksi pribadinya setelah membaca bab yang bersangkutan. Penulis terlebih dahulu mengarahkan pembaca dengan pertanyaan. Misalnya untuk bab "Biar Lelah menjadi Lillah di atas, penulis memberi pertanyaan "Apa saja tantangan yang sedang Ibu hadapi? Bagaimana strategi yang akan Ibu lakukan untuk menghadapinya?"

Ulasan buku, Buku, Tantangan MGN, Motivasi, Ibu

Kekurangan Buku

Kalau ada yang kurang dari buku ini, mungkin ada di banyaknya penggunaan bahasa Inggris, baik yang berdiri sendiri dalam bentuk kata dan kalimat, maupun yang digabung dengan awalan me- atau di-, contohnya me-recharge. Meski demikian penyunting konsisten menuliskannya dengan cetak miring. Hal ini bisa dimaklumi karena konsep buku yang serupa diari memang memberi ruang yang luas untuk ragam percakapan, kata tidak baku, atau kata bahasa asing.

Kesimpulan

Akhirnya saya bisa menilai buku ini ringan dari segi bahasa dan penyampaian, tetapi berat dari segi makna. Buku ini membahas hal-hal yang seringkali luput atau dianggap enteng sehingga kita lalai memaknainya lebih dalam. Buku ini mengajak kita untuk melibatkan Allah Swt. dalam setiap aktivitas sehari-hari sebagai ibu. Buku ini menyadarkan kita akan perlunya menjaga semangat, menyiapkan stok sabar yang banyak saat mengasuh, dan mengelola diri dengan bijak. Buku ini cocok bagi yang sedang mencari teman perjalanan ringan nan berisi, maupun bagi para ibu yang tidak punya banyak waktu lagi untuk membaca (termasuk saya).

Penilaian

Tiga bintang setengah saya berikan untuk buku ini. Semoga kamu tertarik untuk membacanya juga! 

Identitas Buku

Judul: Mom's Me Time Diary
Penulis: Ayu Kinanti Dewi
Illustrator: @orygiri
Penerbit: CV. Pinilih Linuwih
Tempat terbit: Yogyakarta
Tahun terbit: 2018
Jumlah halaman: 105 halaman

Mom's Me Time Diary: Buku Ringan, Tetapi Sarat Makna

Friday, April 30, 2021