Sunday, February 6, 2022
{Ulasan Buku} Anak-Anak Paling Bahagia di Dunia
Berpuluh purnama belakangan aku payah banget soal membaca buku (buku anak nggak dihitung 😆). Dibandingkan menamatkannya, aku lebih sering berhenti di tengah. Padahal hasrat untuk membeli buku baru nggak pernah padam. Dengan kecepatan keduanya yang nggak seimbang, alhasil ada tumpukan buku yang bahkan sebagian masih terbungkus plastik 😌. Ada yang sama?Untuk menyalahkan keadaan rasanya enggan karena di luar sana pasti banyak ibu dengan kondisi serupa (anak lebih dari satu, tanpa ART, merantau) bisa membaca sampai selesai. Mungkin aku aja yang nggak pandai mengelola waktu sehingga selalu merasa nggak ada kesempatan untuk membaca dengan tenang.Dulu pernah ada masa aku membawa novel ke kampus karena penasaran dengan kelanjutan ceritanya. Malangnya, novel itu menjadi korban air minum yang tumpah di dalam tas 😭. Rasanya sedih bukan main. Kertasnya yang seperti kertas buram jadi bergelombang permanen meski aku sudah berusaha mengeringkannya lembar per lembar.Untungnya, aku dan buku nggak pernah benar-benar berpisah ❤️. Selalu ada keinginan untuk kembali masyuk berdua-duaan tanpa ada gangguan. Seiring dengan kembalinya aku ke dunia tulis-menulis tahun lalu, dorongan untuk membaca pun menguat. Konon jika ingin menjadi penulis hebat, jadilah pembaca yang baik. Jika ingin menjadi pencerita yang hebat, jadilah penonton yang baik. Gimana bisa lancar menuangkan pikiran, kalau kita nggak punya bank kosa kata yang melimpah, serta rasa berbahasa yang kaya?
Tentang buku
Topik-topik yang Belanda banget
Rahasianya bermula bahkan sebelum anak lahir
Kesederhanaan melahirkan kebahagiaan
“In Moet Kunnen, Herman Pleij typifies the Dutch as doodgewone mensen (dead-normal people). There is a strong urge to keep everyone on the same level.” (Hal. 190)
Mirip dengan anak Indonesia
Pandangan tentang teen sex
“Simon Kuper wrote a perceptive article for the Financial Times … ‘Dutch parents treat teen sex much as Dutch society treats drugs or prostitutions: permit it, hug it close, control it.’” (Hal. 255)
Yang saya suka dan kurang suka dari buku ini
… teenage boys, as well as girls, now shave off their pubic hair. (I can’t wait for Ben to get his first Brazilian.) (hal. 260, “Dutch Teenagers Don’t Rebel”)
Nilai
Penutup
Wednesday, June 30, 2021
Nanti Kita Cerita tentang Hari Ini: Belajar tentang Keterbukaan dalam Keluarga
Rasanya sudah berabad lamanya saya tidak menonton film. Sebenarnya dulu saya sangat menggemari serial drama Jepang (bukan Korea), tetapi sekarang waktu 24 jam seperti kurang saja. Tahu-tahu hari sudah malam dan badan yang lelah menuntut istirahat. Makanya waktu ulasan film bergenre keluarga atau yang bercerita tentang keluarga (genre bebas) menjadi tema Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog (MGN) bulan ini, saya merasa diuji untuk bisa menyisihkan waktu untuk menonton (untungnya dalam konteks menyenangkan, hehe ...). Percaya atau tidak, saya sampai membeli gift card Netflix, lo. Niat paripurna, haha ....
Di antara jutaan (lebai, tetapi bisa jadi betul) film yang ada di Netflix, sebenarnya saya bimbang antara dua judul, yang satu film Hollywood keluaran baru, satu lagi film Indonesia yang diadaptasi dari serial terkenal era 90-an. Namun, akhirnya pilihan saya berlabuh pada satu film drama keluarga Indonesia keluaran tahun 2020 berjudul "Nanti Kita Cerita tentang Hari Ini" (NKCTHI). Ternyata, keputusan saya tepat!
![]() |
Satu kalimat sinopsis film NKCTHI versi Netflix |
Sinopsis
Film ini bercerita tentang tiga bersaudara, yakni Angkasa (Rio Dewanto), Aurora (Sheila Dara Aisha), dan Awan (Rachel Amanda) yang hidup bersama dalam keluarga yang tampak bahagia: ayah dan ibu yang perhatian dan mendukung pilihan anak-anaknya serta saudara sekandung yang rukun dan saling menyayangi. Sampai suatu hari Awan mengalami kegagalan pertama ketika dipecat dari pekerjaannya. Ia yang sedang sedih dan kecewa bertemu dengan Kale (Ardhito Pramono), seorang manajer grup band yang kemudian banyak memberikan banyak pengaruh kepada Awan. Kale membuka pikiran Awan tentang patah, bangkit, gagal, takut, kehilangan, juga membuka dunia baru yang belum pernah disinggahi Awan sebelumnya.
Perubahan perilaku Awan lantas memicu ketegangan antara Awan dan ayah Narendra (Donny Damara). Layaknya bom waktu, ketegangan itu akhirnya meledak dan malah menyebabkan perlawanan dari ketiga bersaudara, sekaligus membuka rahasia yang telah disimpan selama 21 tahun. Luka yang timbul setelahnya mengoyak keutuhan keluarga tersebut. Sosok ibu Ajeng (Susan Bachtiar) lalu hadir sebagai pelekat keluarga.
Peristiwa ini menjadi titik balik bagi Narendra untuk mengubah keyakinan dan prinsipnya selama ini sebagai kepala keluarga. Di akhir cerita, Angkasa, Aurora, dan Awan mendapatkan kepercayaan dari Narendra untuk melakukan apa yang mereka cita-citakan selama ini.
Ulasan
Film berdurasi 2 jam 1 menit ini sukes mengaduk emosi saya sebagai penonton. Ide cerita yang tertuang dalam film ini--potret seorang ayah yang menginginkan yang terbaik untuk keluarganya--sangat dekat dengan keseharian kita. Harapan ayah ini diwujudkan dalam perhatian, perlindungan, dan fasilitas yang sayangnya seiring dengan waktu dirasakan berbeda oleh anak-anaknya. Awan si bungsu menganggap ayah terlalu melindungi dan selalu menyediakan jaring pengaman di saat dia gagal. Aurora si tengah merasa kurang berarti di mata ayahnya, bahkan saat dia berprestasi. Angkasa si sulung didoktrin sejak kecil untuk selalu menjaga dan melindungi adik-adik, tanpa pernah ditanya bagaimana perasaannya terhadap hal itu. Ibu yang sepanjang film digambarkan tidak banyak bicara justru adalah orang yang paling kuat dan menjadi penyelamat keutuhan keluarga di akhir cerita.
"Tak pernah terbersit di hati ayah, untuk mengekang kamu, kamu, dan kamu. Ini semata-mata ayah lakukan karena ayah takut kehilangan kalian, anak-anak ayah." --Narendra kepada Angkasa, Aurora, dan Awan saat pertemuan keluarga--
Pesan yang ingin disampaikan oleh film ini sangat dalam menurut saya. Kehangatan sebuah keluarga tidak cukup hanya dibangun dengan kasih sayang dan perhatian. Segala bentuk emosi, sepahit apapun itu, sangat perlu untuk disampaikan dan dibicarakan, bukan malah dihindari atau disembunyikan. Di dalam film ini ayah berusaha membuat keluarganya bahagia dan tidak mengizinkan kesedihan hadir. Alasan inilah yang membuat ayah (dan ibu) merahasiakan kematian saudara kembar Awan saat lahir dari Aurora dan Awan (ups, jadi spoiler, deh). Walaupun Angkasa sudah mengerti saat peristiwa itu terjadi, dia tidak pernah diajak untuk berbicara dari hati ke hati soal perasaannya mengenai kehilangan tersebut. Rahasia ini di kemudian hari menguji hubungan antaranggota keluarga Narendra. Untungnya di film kita bisa membuat resolusi konflik yang positif. Bagaimana jika di dunia nyata, yang terjadi malah sebaliknya? Bisa jadi kehancuran keluarga adalah ujungnya.
"Hidup kita masih panjang. Kita harus punya cara untuk bertahan. Nangis enggak akan ada gunanya. Mereka enggak perlu tahu tentang kesedihan ini. Cukup di kita. Ini kesedihan terakhir di keluarga kita. Ya ...?" --Narendra kepada Ajeng setelah peristiwa kehilangan salah satu bayi kembar mereka--
Yang menarik, waktu tahu film ini diangkat dari sebuah buku dengan judul yang sama karya Marchella FP, saya mengira buku ini adalah novel seperti pada umumnya. Ternyata buku "Nanti Kita Cerita tentang Hari Ini"--bisa cek akun Instagram @nkcthi juga, lo--berisi kumpulan quotes yang merupakan isi surat dari Awan kepada anak cucunya di masa depan. Quotes ini tersebar di dalam dialog sepanjang cerita. Sutradara sekaligus penulis skenario Angga Dwimas Sasongko bersama Jenny Jusuf dan Melarissa Sjarief berhasil menerjemahkan dan mengembangkan ide buku menjadi cerita yang utuh.
![]() |
Salah satu isi surat dari Awan untuk anaknya di masa depan |
Untuk penonton awam seperti saya, aktor dan aktris dalam film ini berperan sangat baik, bahkan untuk pemeran Angkasa, Aurora, dan Awan muda. Karakter kuat dari setiap tokoh tercermin dari gestur, mimik, dan pengucapan dialog yang sesuai dengan adegan dan emosi yang ingin ditampilkan. Tidak ada ketimpangan, semuanya seimbang dan saling berpadu manis. Tidak heran, film ini didukung oleh deretan aktor dan aktris kawakan yang kemampuan aktingnya tidak diragukan lagi. Oka Antara (Narendra muda) menjadi pemenang kategori pemeran pria pendukung terbaik dan Ardhito Pramono (Kale) memenangkan kategori pendatang baru terfavorit di Indonesian Movie Actors Awards 2020.
Selain ide cerita, unsur yang paling saya sukai dari film produksi Visinema Pictures ini adalah sinematografinya. Sudut pengambilan gambarnya cantik dan variatif. Beberapa adegan juga ditambah dengan pencahayaan yang dramatis. Pantas jika film ini mendapatkan penghargaan Maya Awards tahun 2020 untuk kategori sinematografi terbaik. Selain itu, perpindahan adegan antara masa sekarang dan masa lalu mulus dan tidak dipaksakan menunjukkan kualitas editing yang ciamik. FYI, film ini berlatar belakang tahun 1990-an, 2000-an, dan masa sekarang (2019).
Untuk tata musik, Ardhito Pramono mendapatkan penghargaan sebagai penyanyi lagu jazz kontemporer terbaik di Indonesian Music Awards dan penulis lagu tema terbaik di Indonesian Film Festival tahun 2020 untuk lagu soundtrack "Fine Today". Di antara lagu pendukung lain adalah "Untuk Hati yang Terluka"(Isyana Sarasvati), Rehat (Kunto Aji), dan Lagu Pejalan (Sisir Tanah).
Kalaupun ada poin minus yang perlu disorot dari film ini, mungkin saya akan menyebut wajah pemeran anak-anak dan dewasa yang tidak mirip. Penting enggak ya? Hehe .…
![]() |
Angkasa, Aurora, dan Awan kecil (Sumber: movieden.net) |
Pesan moral
Sebagai orang tua, saya banyak bercermin pada karakter dalam keluarga Narendra.
Ada beberapa pesan moral yang saya tangkap dari film ini:
- Orang tua harus adil terhadap setiap anak. Jangan sampai ada anak yang merasa disisihkan/dikucilkan, walau orang tua tidak bermaksud demikian.
- Anak pertama (apalagi laki-laki) bukan yang harus memikul tanggung jawab terhadap adik-(adiknya). Dia tidak memilih terlahir sebagai anak pertama, 'kan?
- Semua bentuk emosi harus diterima dan dihadapi, bukan dihindari, termasuk kesedihan. Akan lebih baik jika emosi tersebut bisa diungkapkan dan dibicarakan kepada orang lain.
- Jujur, bicara dari hati ke hati itu penting, meski kenyataan yang harus dihadapi sangat getir.
- Anak harus diberi kepercayaan yang sesuai dengan umur dan kapasitasnya.
- Jangan pelit untuk memuji. Kelima tangki cinta anak-anak perlu untuk dipenuhi setiap hari.
- Semua keluarga punya rahasia, jika memang perlu. Namun, persiapkan diri dengan kemungkinan konsekuensinya saat terbuka (dengan sengaja atau tidak).
Kesimpulan
Meski rating-nya hanya 7.5 di IMDb, saya memberi nilai 9/10, sebuah nilai yang saya pikir sangat pantas untuk film yang mendapatkan Golden Goblet Award di Festival Film Internasional Shanghai tahun 2020 ini. Apalagi jika ditonton bersama dengan pasangan (ini rencana saya, hehe ..., semoga bapak suami mau). Makanya, segera masukkan film "Nanti Kita Cerita tentang Hari Ini" ke dalam daftar film pilihan kalian, ya!
Sumber:
One Day We'll Talk about Today. https://en.wikipedia.org/wiki/One_Day_We%27ll_Talk_About_Today. Diakses tanggal 29 Juni 2021.
Friday, April 30, 2021
Mom's Me Time Diary: Buku Ringan, Tetapi Sarat Makna
Akhirnya saya beralih ke buku yang ditulis oleh kawan SMA saya, Ayu Kinanti Dewi yang berjudul "Mom's Me Time Diary". Buku ini lumayan tipis dengan ukuran tulisan yang sedang dan paragraf yang renggang. Pas untuk dibaca dalam waktu singkat karena ringan untuk dikunyah. Namun, bagaimana dengan isinya? Apakah juga ringan?
Sampul Buku
Sebelum kita membahas isinya, kita lihat dulu sampulnya, ya. Warna putih menjadi warna dasar sampul, dihiasi dengan ilustrasi pohon di bagian tengah kulit buku membuat sampul depan dan belakang menjadi satu kesatuan. Pemilihan warna merah muda untuk judul seolah ingin memberi kesan bahwa buku ini ditujukan kepada kaum hawa. Tipe tulisan yang dipakai juga mendukung keseluruhan desain yang girly.Isi Buku
Buku ini terdiri dari 21 bab yang berdiri sendiri. Kita bisa memilih untuk mulai membaca dari bab yang mana saja tanpa harus khawatir kehilangan benang merah dari inti keseluruhan cerita. Tema-tema yang disajikan tentu seputar peran ibu sesuai dengan judulnya. Selayaknya diari, setiap bab dari buku ini adalah catatan dan refleksi penulis tentang masalah-masalah yang biasanya timbul dan dirasakan oleh para ibu. Ditulis dengan gaya santai dan mengalir, penulis seperti sedang berbincang akrab dengan pembaca. Jarak antara penulis dan pembaca melebur dengan penggunaan kata sapaan "Bu".Personal penulis yang dekat dengan Islam tercermin dalam setiap bahasan. Penulis senantiasa mengaitkan setiap topik dengan Islam. Bagaimana semua yang kita pikirkan, rasakan, lakukan itu seharusnya dikembalikan kepada tujuan utama, yakni beribadah kepada Allah Swt. Meski persoalan terlihat sederhana, ternyata jika kita telaah lagi hikmahnya sangatlah dalam.
Tulisan berjudul "Biar Lelah jadi Lillah", misalnya. Di awal penulis menyebutkan berbagai keluhan yang sadar atau tidak, sering terlontar dari mulut seorang ibu. Kemudian penulis membahas bahwa agar kelelahan ibu menjadi pahala (lillah berarti "untuk Allah"), pertama kali ibu harus menata niat: semua adalah dalam rangka mencari rida Allah Swt. Poin berikutnya adalah ibu harus membingkai aktivitas dengan zikir dan doa, lalu meminta pertolongan dengan sabar dan salat, juga meluangkan waktu untuk membaca Al-Qur'an.
Berbekal latar belakang psikologi, di bab-bab akhir penulis membahas tentang manajemen energi, waktu, dan emosi ibu. Selain itu juga membahas tentang karakter, pengelolaan emosi, dan komunikasi efektif dengan balita. Tentunya tetap dengan landasan Islam sesuai nafas buku ini.
Kelebihan Buku
Di luar sana tulisan mengenai ibu dan bertujuan untuk memotivasi para ibu dalam menjalani perannya mungkin sudah banyak. Akan tetapi menurut saya, ada dua hal ekstra yang menarik dari buku ini:Pertama, adanya selipan beberapa lembar mewarnai. Mewarnai diyakini sebagai salah satu media relaksasi karena kita dituntut untuk fokus sekaligus mengasah jiwa seni lewat warna. Itu sebabnya akhir-akhir ini banyak lembar mewarnai khusus dewasa yang dijual di pasaran. Seluruh ilustrasi merupakan hasil kerja sama dengan @orygiri;
Kedua, adanya halaman khusus di akhir setiap bab yang bisa digunakan pembaca untuk menuliskan refleksi pribadinya setelah membaca bab yang bersangkutan. Penulis terlebih dahulu mengarahkan pembaca dengan pertanyaan. Misalnya untuk bab "Biar Lelah menjadi Lillah di atas, penulis memberi pertanyaan "Apa saja tantangan yang sedang Ibu hadapi? Bagaimana strategi yang akan Ibu lakukan untuk menghadapinya?"
Kekurangan Buku
Kalau ada yang kurang dari buku ini, mungkin ada di banyaknya penggunaan bahasa Inggris, baik yang berdiri sendiri dalam bentuk kata dan kalimat, maupun yang digabung dengan awalan me- atau di-, contohnya me-recharge. Meski demikian penyunting konsisten menuliskannya dengan cetak miring. Hal ini bisa dimaklumi karena konsep buku yang serupa diari memang memberi ruang yang luas untuk ragam percakapan, kata tidak baku, atau kata bahasa asing.Kesimpulan
Akhirnya saya bisa menilai buku ini ringan dari segi bahasa dan penyampaian, tetapi berat dari segi makna. Buku ini membahas hal-hal yang seringkali luput atau dianggap enteng sehingga kita lalai memaknainya lebih dalam. Buku ini mengajak kita untuk melibatkan Allah Swt. dalam setiap aktivitas sehari-hari sebagai ibu. Buku ini menyadarkan kita akan perlunya menjaga semangat, menyiapkan stok sabar yang banyak saat mengasuh, dan mengelola diri dengan bijak. Buku ini cocok bagi yang sedang mencari teman perjalanan ringan nan berisi, maupun bagi para ibu yang tidak punya banyak waktu lagi untuk membaca (termasuk saya).Penilaian
Tiga bintang setengah saya berikan untuk buku ini. Semoga kamu tertarik untuk membacanya juga!Identitas Buku
Judul: Mom's Me Time DiaryPenulis: Ayu Kinanti Dewi
Illustrator: @orygiri
Penerbit: CV. Pinilih Linuwih
Tempat terbit: Yogyakarta
Tahun terbit: 2018