Sunday, January 30, 2022

Menjadi Mama untuk yang Pertama Kali

Dear my first born,

Ini surat pertama yang Mama tulis untukmu. Juga yang pertama sejak … kapan, ya? Mama nggak ingat momen terakhir Mama menulis surat panjang.

Dulu waktu Mama dan Papa belum menikah, kami pun cuma bertukar kabar lewat email yang to the point. Nggak ada surat-surat romantis layaknya sepasang muda-mudi yang sedang pdkt. No flowery words. Sampai sekarang Papa masih begitu. Bunga untuk Mama cuma hadir setahun sekali setiap ulang tahun pernikahan. Itu pun Mama yang minta. Terlepas dari itu, Mama merasa beruntung karena dari pernikahan Mama dan Papalah kamu lahir.

Mama menyadari kehadiran kamu di perut Mama tiga bulan setelah menikah. Wah, rasanya nggak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Bahagia, takjub, khawatir, gelisah bercampur aduk menjadi satu. Kami akan punya anak pertama!



Seperti ibu hamil lainnya, Mama juga merasa mual di beberapa pekan pertama. Bedanya, bukan morning sickness yang Mama alami, tapi night sickness. Alhamdulillah nggak sampai muntah. Mama tetap paksakan diri untuk makan supaya kamu nggak kekurangan nutrisi untuk tumbuh.

Momen favorit Mama adalah saat kamu mulai bergerak. Bentuk perut pun jadi nggak karuan, bahkan sudah nggak ada nama yang tepat. Kadang di sebelah kanan menonjol, kadang di sebelah kiri, kadang keduanya (ini yang paling sakit), kadang gerakannya bergelombang. Mama suka elus-elus bagian yang bergerak, berharap kamu bisa merasakan belaian Mama. It felt like touching your delicate skin (though actually it was my fortunately-no-stretch-mark belly).

Lewat layar monitor dokter, Mama melihatmu. Masya Allah, kamu kecil sekali. Mama dan Papa lega saat mendengar jantungmu berdetak normal. Kamu tahu ungkapan "cinta pada pandangan pertama"? Seperti itulah perasaan kami terhadapmu. Mungkin sebenarnya "we've loved you before we met you" lebih tepat, ya.

Cinta Mama dan Papa mulai tumbuh sejak kamu sebesar kacang hijau di perut Mama dan terus bersemi sampai sekarang kamu berusia …. Ah, Mama belum tahu kapan kamu akan membaca surat ini. Kalau usiamu masih belum cukup untuk mengerti semua yang Mama ungkapkan, kamu bisa membacanya lagi nanti. Yang jelas, kelak saat kamu mengandung anak pertamamu, kamu akan merasakan sendiri apa yang Mama rasakan. Dan kamu mungkin akan membuka kembali surat ini.

My precious,

Masuk bulan ketujuh, dokter mendeteksi adanya masalah padamu. Katanya pertumbuhanmu nggak sesuai dengan kurva. Hati Mama gundah seketika. Apa artinya itu semua? Apa yang terjadi denganmu?

Dokter meminta Mama makan banyak es krim supaya kamu back on track. Tapi takdir Allah berkata lain. Satu bulan setelahnya Mama batuk nggak kunjung sembuh. Akibatnya, sampai waktunya kamu lahir, beratmu masih kurang dari seharusnya. Maafkan Mama, ya.

Untungnya dokter membolehkan Mama bersalin di Bumi Ambu, klinik Tante Okke yang baik hati. Tante menerima kita karena terakhir kali diperiksa beratmu sudah masuk range normal walau masih di batas bawah. Ternyata setelah lahir perkiraan itu meleset, kurang 200 g! Allahuakbar.

Mungkin memang kamu yang memilih untuk lahir di atas tempat tidur biasa di ruangan bersalin berwarna pink yang kemudian adalah warna kesukaanmu. Berkat aromaterapi, ruangan itu menjadi harum dan menenangkan. Lampu ruangannya pun temaram, bukan menyilaukan seperti di rumah sakit—salah satu alasan Mama menghindari bersalin di sana, selain induksi.

Schatje,

Meski Mama sudah dua hari merasakan kontraksi, sepertinya kamu masih ingin tinggal lebih lama di perut Mama, ya? Kata Tante Okke, Mama boleh pulang dulu, tapi Mama nggak mau ambil resiko. Ini adalah pengalaman pertama Mama. Mama nggak mau melahirkan di rumah atau di mobil!

Lagi-lagi Tante Okke mengizinkan Mama menginap di klinik saja. Mungkin kalau di rumah sakit, dokter sudah memberi Mama cairan induksi agar kamu lekas keluar. Di Bumi Ambu, caranya berbeda. Tante Okke, Tante Dani, dan Tante Hany dengan sabar menunggu kamu keluar. Ada sesi hipnoterapi khusus untuk Mama. Apa yang kamu rasakan waktu itu, sayang?

Sepertinya kamu ingin Mama punya tenaga dulu untuk mengantarmu keluar. Kamu masih ingat gerakan lambung Mama yang baru diisi sebungkus nasi Padang? Sayang kamu nggak sempat ikut menikmatinya karena gymball Mama telanjur basah oleh air ketuban. Setengah panik Papa segera memanggil Tante Okke. Tante menyuruh Mama naik ke kasur karena proses persalinan dimulai. Akhirnya kamu siap keluar dari rumah hangat yang telah kamu huni selama 38 minggu!

Tante Okke, Tante Dani, dan Tante Hany memandu Mama dalam mengatur nafas. Tante Okke lalu menyuruh Mama untuk memegang kantung ketuban yang muncul dari ujung jalan lahir. Masya Allah! Lucu, deh. "Enyoy … enyoy," kata Tante Okke. Ternyata kantung yang melindungimu masih utuh dan baru pecah bersamaan dengan keluarnya kepalamu ke dunia. La haula wa la quwwata illa billah.

Tangis pertamamu pecah diiringi ucapan syukur kami. Selamat datang di dunia, anakku sayang. Perasaan pertama kali melihatmu begitu dekat di dada, mendekapmu, membiarkanmu bergerak meraih sumber air susu sungguh tak terlupakan dan tak tergantikan oleh apa pun.

Mama terpesona oleh rambutmu yang panjang dan hitam, mata dan hidungmu yang kecil, tubuhmu yang ringkih. Satu hal yang Mama tahu: sejak saat itu Mama bukanlah orang yang sama lagi. Ada kamu yang akan Mama cintai, sayangi, dan rawat sepenuh hati. Ada kamu yang sekarang menjadi tanggung jawab Mama (dan Papa).

Kesayangan Mama,

Cerita lahir berbalut surat ini Mama tulis sebagai pengingat bahwa kita pernah berjuang bersama. Meski Mama sudah ingin menuliskannya sejak lama, baru sekarang bisa terwujud, berkat Nulis Kompakan Mamah Gajah Ngeblog. Semoga akan ada surat-surat berikutnya yang Mama tulis untukmu, tapi sepertinya lebih baik lewat email saja, ya, soalnya ssst ... kalau di sini, banyak orang ikut membaca. 

(baca: Mama)


PS: Nggak perlu khawatir jika nanti suamimu bukan orang yang romantis. Percayalah, ada seribu cara untuk menunjukkan cinta.

Tuesday, January 25, 2022

Serunya Bergabung di WAG Ngeblog dari Nol

Kilas balik setitik dulu, ya. Waktu masih muda (sekarang juga masih berjiwa muda, sih 😁) saya suka menulis di blog. Tentu waktu itu isinya lebih banyak tentang pengalaman sehari-hari atau curahan hati. Setelah menikah dan memiliki anak, rasanya 24 jam sehari itu sudah habis untuk urusan domestik dan mengurus anak. Kebiasaan menulis pun dengan sendirinya tersisihkan.

Namun, seperti yang saya ceritakan di sini, sejak mengikuti grup Mamah Gajah Bercerita, saya (yang memang tertarik dengan dunia tulis menulis) mulai terpapar dengan segala sesuatu yang berkaitan dengan literasi baca tulis. Layaknya semesta mendukung, suatu hari promosi kelas blogging muncul di feed Instagram saya. Saya baru ingat, saya punya blog yang tentunya sudah menjadi tempat laba-laba bersarang 😆.

“Oke, ini menarik. Saya mau ikut, ah!”

Awalnya sesederhana itu (dan memang pencapaian besar kadang bermula dari alasan simpel). Saya membuka kembali blog, mengganti namanya, mengubah tampilannya, mempelajari fungsi-fungsi pengaturannya. Singkat kata, saya mulai berbenah. Tulisan-tulisan yang saya buat dalam rangka memenuhi tantangan pekanan grup pun mulai memenuhi blog. Makin hari, saya makin tertarik dengan kegiatan mengeblog.

Bertemu komunitas IIDN

Melalui Instagram, saya mengikuti akun satu akun komunitas bloger ke akun lain, hingga akhirnya saya bertemu dengan komunitas Ibu-Ibu Doyan Nulis (IIDN). Kebetulan waktu itu buku “Ngeblog dari Nol” karya para maestro blog IIDN baru akan diluncurkan. Bersamaan dengannya, dibuka kesempatan untuk masuk ke grup WhatsApp Ngeblog dari Nol. Wow, tanpa pikir panjang, saya segera mendaftar. Alhamdulillah saya masih mendapat tempat di grup pertama.

Bergabung di WAG Ngeblog dari Nol

Sesuai namanya, aktivitas di WAG Ngeblog dari Nol, ya, seputar blog dan mengeblog (ya iya, lah … 😜). Para mentor yang sudah berpengalaman di dunia blog benar-benar membimbing anggota grup untuk mulai mengeblog dari nol. Bisa dibilang, misi dari grup ini adalah melahirkan lebih banyak bloger berkualitas. Keren banget, kan?

Walau bukan anggota yang aktif, bahkan termasuk silent reader, sampai saat ini saya belum (dan semoga tidak) berniat untuk beranjak dari WAG Ngeblog dari Nol. Mau tahu alasannya?

Ini dia, nih, enam hal yang membuat WAG Ngeblog dari Nol istimewa bagi saya.


1. Dibimbing mentor berpengalaman

Buku Ngeblog dari Nol ditulis oleh Mbak Widyanti Yuliandari, Mbak Alfa Kurnia, dan Mbak Nunu Amir. Beliau bertiga jugalah yang menjadi mentor kami. Para mentor dengan baik hati berbagi ilmu, menyuntikkan semangat, dan menjawab pertanyaan yang dilontarkan sewaktu-waktu.

2. Materi terstruktur dan bersahabat untuk newbie

Kalau boleh mengajukan revisi nama, sepertinya judul Ngeblog dari Minus lebih tepat. Bagaimana tidak? Kami dibimbing dari poin yang paling penting sebelum memulai aktivitas apa pun, termasuk ngeblog. Apalagi kalau bukan tentang motivasi/niat. Dalam Islam, bab niat inilah yang menjadi penentu satu aktivitas bernilai ibadah atau tidak.

Setelah itu, kami diminta untuk menentukan lingkup topik yang akan diusung oleh blog masing-masing. Para mentor tak segan mengajari kami untuk membuat blog berbasis Blogspot, lalu mendorong kami untuk praktik menulis di blog. Materi-materi berikutnya pun sudah dijadwalkan secara rapi. Hebatnya, ini semua tanpa biaya, lo. Gratis bukan berarti tidak serius, kan?

Menulis blog itu susah-susah gampang (ilustrasi: Freepik).

3. Bertabur info

Enaknya bergabung di komunitas adalah kita bisa ikut belajar dari pertanyaan teman dan jawaban mentor. Begitu juga saya. Dari percakapan di grup, saya memungut dua info yang super berharga.

Pertama, soal clear formatting. Saya biasa menulis draf di aplikasi lain, bukan di editor Blogspot. Saat menyalin tempel, ada saja format teks yang berubah. Cara menyiasatinya adalah dengan memilih opsi clear formatting setelah menyalin tempel. Baru setelah itu, saya memformat ulang tulisan sesuai keinginan, termasuk heading, subheading, dan lainnya.

Kedua, soal penyedia template. Waktu masih memakai domain blogspot.com saya memakai template gratis dari gooyaabitemplates. Namun, untuk blog TLD saya ingin mengganti tampilan agar lebih segar. Info tentang Etsy saya dapat dari mentor di grup Ngeblog dari Nol. Jadilah blog bernuansa pink yang masih saja membuat kepincut setiap kali membukanya.

4. Ada agenda blogwalking

Sepertinya tidak afdal, jika komunitas bloger tidak punya agenda saling mengunjungi blog (blogwalking). Dengan blogwalking, kita bisa belajar, mendapat sudut pandang baru, memantik ide untuk menulis, sambil meningkatkan traffic untuk blog kita sendiri. Ikut blogwalking di grup Ngeblog dari Nol adalah target saya ke depan, bergantian dengan agenda serupa di komunitas lain.

Selain menyalurkan hobi dan berbagi ilmu dan pengalaman, kita juga bisa berjejaring lewat ngeblog (ilustrasi: Freepik).

5. Ada umpan balik tentang kualitas pos

Dari mana kita tahu kualitas tulisan kita sudah baik atau belum jika tidak ada umpan balik? Di sinilah peran mentor untuk membuat mentee naik kelas. Umpan balik yang diberikan oleh mentor di grup Ngeblog dari Nol untuk tulisan-tulisan teman-teman menjadi catatan bagi saya untuk juga memperbaiki kualitas tulisan yang saya pos di blog. Kehadiran mentor yang lebih dulu terjun di dunia blog sangat membantu kami untuk naik setahap demi setahap. Terima kasih!

6. Banyak program pendukung yang keren

Selain bimbingan di grup, para mentor juga berbagi ilmu melalui sesi-sesi Instagram Live di akun IIDN @ibuibudoyannulis. Ada juga webinar dengan tema terkait blogging untuk pemula. Kami bisa memanfaatkan fasilitas yang ada untuk meningkatkan kapasitas diri sebagai bloger.

Kemudian, di awal tahun ini IIDN membuka kelas 2022 Blogging Goals for Newbie. Wah, ini kesempatan emas yang tidak boleh terlewat. Makanya, artikel ini saya tulis sebagai syarat pendaftaran. Semoga setelah lulus dari kelas ini, saya makin mantap untuk menjadi mom blogger. Aamiin.

Penutup

Komunitas IIDN terbilang baru untuk saya. Meski begitu, saya terkesan dengan keaktifan dan kerapian kerja pengurusnya. Semoga komunitas ini, khususnya WAG Ngeblog dari Nol, dapat menjadi wadah yang tepat bagi saya untuk tumbuh dan berkembang di dunia kepenulisan, terutama blogging.

Kalau kamu, ikut komunitas sesuai minat juga? Ceritakan di kolom komentar, ya!



Monday, January 17, 2022

Prinsip CINTA ala Keluarga Kita

Apakah kamu mencintai anakmu? Saya yakin semua orang tua akan memilih “Ya” sebagai jawaban. Memang secara naluriah, orang tua akan mencintai anaknya. Kita bahkan melihatnya pada induk hewan kepada bayinya. Namun, masalahnya adalah apakah cara mencintai kita sudah baik?

Lo, memang ada cara mencintai yang tidak baik?

Ada, dong. Jika berbicara ekstrem, di ujung kiri ada tipe orang tua yang terlalu tegas, kaku, bahkan keras. Mereka mencintai dengan cara memukul, mencubit, menampar, menghukum (fisik) atau mengancam, berteriak (verbal). Walau terkesan "tega" dan "jahat", saya yakin, kok, di lubuk hati yang terdalam mereka melakukan itu karena sayang.

Di ujung satu lagi ada tipe orang tua yang terlalu permisif. Semua yang diinginkan anaknya akan diberikan sebagai (yang dikira) bentuk kasih sayang. I will give anything and everything to my children.

Kalau begitu, bagaimana perwujudan cara mencintai yang ada di tengah-tengah, yang seimbang? Toh, Rasullullah juga, kan, menyuruh umatnya untuk jadi umat pertengahan. Kita juga pasti sepakat bahwa segala sesuatu yang berlebihan itu tidak baik.

Mbak Yulia Indriati, Direktur Keluarga Kita (@keluargakitaid), memaparkan tentang prinsip CINTA agar orang tua dapat mencintai anak-anaknya dengan lebih baik. Beliau adalah salah satu pembicara di Konferensi Ibu Pembaharu yang diselenggarakan oleh Ibu Profesional pada Desember 2021 lalu.

Prinsip pengasuhan ini adalah wujud dari prinsip hubungan reflektif, disiplin positif, dan belajar efektif yang diusung oleh Keluarga Kita. Keluarga Kita percaya bahwa tidak ada orang tua yang sempurna. Selain itu, pengasuhan adalah urusan bersama, bukan hanya keluarga. It takes a village to raise a child.

Nah, apa, sih, yang disebut CINTA? Yuk, kita simak!



C: Cari cara

Parenting is marathon, aim for the future
Sebagai orang tua kita harus terus mencari cara yang baik untuk mengekspresikan cinta kepada anak. Dengan begini, kita tidak mudah menyerah dan malah memilih jalan yang cepat agar anak mengikuti yang kita mau. Kalau tidak, kita akan terjerumus ke salah satu ujung ekstrem, entah terlalu keras atau terlalu lembek.

Contoh yang sering kita alami adalah saat anak tantrum karena ingin sesuatu. Orang tua yang tidak mencari cara akan dengan cepat mengalah dan meluluskan permintaan anak karena tidak tahan mendengar tangisan dan rengekan. Sekali dituruti, anak belajar bahwa perilaku tersebut dengan mudah meluluhkan hati orang tuanya. Alhasil, berikutnya anak akan menggunakan tangisan dan rengekan sebagai senjata untuk mendapatkan keinginannya.

Jadi orang tua memang harus panjang akal. Secara tidak langsung sebetulnya kita sedang mengajari anak bernegosiasi--suatu keahlian yang penting untuk masa depannya kelak. Siap-siap panjang akal dan panjang sabar, ya!

I: Ingat impian tinggi

Expecting the best of them, take a leap of faith
Setiap anak diciptakan lengkap dengan kelebihan masing-masing. Namun, keterbatasan usia membuatnya belum bisa menyadari kekuatan dirinya. Orang dewasa di sekitarlah yang lebih mampu menilai kemampuannya. Karena itu, sebagai orang tua kita harus percaya bahwa anak bisa sebelum dia percaya bahwa dirinya bisa. Dengan begini, anak akan mendapat kekuatan berupa rasa percaya diri untuk melakukan sesuatu.

Jangankan anak-anak, kita yang sudah dewasa pun membutuhkan kepercayaan dari orang lain bahwa kita bisa. Bayangkan perasaan saat mendengar kata-kata, “Coba dulu. Aku yakin kamu bisa.” Pasti keraguan akan lenyap dan berganti menjadi keberanian untuk memulai. Kita akan langsung termotivasi untuk melakukan apa yang sebelumnya urung kita lakukan.

Maka dari itu, yuk, kita biasakan diri untuk memberikan kata-kata penguat kepada anak-anak agar mereka berani untuk mencoba dan terus bersemangat dalam proses menggapai impian. Dalam perjalanan pasti akan ada momen anak lelah dan ingin menyerah. Di sinilah orang tua berperan untuk mengevaluasi dua kemungkinan: anak benar-benar sudah tidak mampu atau dia hanya butuh dorongan untuk bisa maju. Yang jelas, jangan sampai memaksakan impian kita kepada anak, ya!

N: Nerima tanpa drama

Loving the worst of them, unconditionally
Mencintai anak-anak saat mereka sedang manis dan menyenangkan hati pasti jauuuh lebih mudah dibandingkan saat mereka sedang cranky dan menguji kesabaran. Bener, enggak? Padahal mencintai anak-anak (dan pasangan) itu harusnya tanpa syarat. Jadi, rasa cinta saat kondisi terburuk harusnya sama dengan saat kondisi terbaik. Walaupun pasti beraaat, bismillah, kita coba, yuk!

Mencintai tanpa syarat ini juga termasuk menerima anak dalam kondisi apa pun. Ada orang tua yang Allah pilih untuk membesarkan anak berkebutuhan khusus atau anak dengan kelainan bawaan atau anak dengan fisik yang kurang sempurna. Orang tua-orang tua hebat dengan anak-anak istimewa inilah contoh mencintai tanpa syarat yang sesungguhnya. Masya Allah.

T: Tidak takut salah

Mistakes are for learning, parenting is for growing
Memberikan kesempatan bagi anak untuk melakukan kesalahan juga bentuk cinta, lo. Salah itu tidak apa-apa. Dengan prinsip “selalu ada kesempatan kedua, selalu ada ruang perbaikan”, kita akan mampu memaafkan anak saat mereka salah, sekaligus memaafkan diri.


Eh, memaafkan diri? Iya, karena biasanya orang tua ingin anaknya sempurna (dan lupa kalau mereka sedang belajar). Dengan melonggarkan standar kesempurnaan—kesempurnaan hanya milik Allah—kita akan lebih mudah untuk memaafkan diri sendiri saat anak melakukan kesalahan.

Untuk mampu memaafkan diri, kita harus bertanya kepada diri sendiri dulu. Siapkah kita untuk menerima kesalahan anak? Siapkah kita jika kenyataan tidak sesuai ekspektasi? Siapkah kita untuk membiarkan anak mengontrol hidupnya sendiri? Jika menjawab “Siap”, selamat menjadi orang tua yang bertumbuh bersama anak-anak!

A: Asyik main bersama

Parenting is fun, plays are powerful moments
Rutinitas dan kesibukan yang padat sering membuat orang tua lupa untuk bermain dan bergembira bersama anak, padahal bersenang-senang bersama akan menumbuhkan kehangatan yang dibutuhkan dalam hubungan keduanya. Melalui main dan tertawa bersama, orang tua juga bisa menanamkan nilai dan memotivasi anak.

Anak-anak tidak pernah main-main dalam bermain. Mereka selalu bermain dengan sungguh-sungguh. Karena itu, kita juga harus totalitas saat bermain sehingga berada dalam dunia yang sama dengan anak-anak. Ikut lari-lari, ikut loncat-loncat, ikut berkhayal, pokoknya kita harus siap disuruh oleh anak (dan siap jadi korban keisengannya) bila memang itu tuntutan permainannya.

Makanya, jadi orang tua dilarang kaku! Ini, sih, saya yang pertama kali harus dinasihati 😁.

Penutup

Menurut saya, formula CINTA ini singkat, tetapi padat dan lengkap. Setiap poin menjadi PR sekaligus pengingat untuk kami karena bagaimanapun tidak ada orang tua yang sempurna, kan? Yang ada adalah orang tua yang selalu berusaha untuk menjadi lebih baik. Semoga Allah Swt. memberi kemampuan kepada kita sebagai orang tua dalam mendampingi anak-anak menemukan dan menjalani peran peradabannya di dunia. Aamiin.

Saturday, January 15, 2022

Mamah Gajah dan Saya

Pos ini masih tentang blog baru (semoga kamu belum bosan 😁), tepatnya tentang tagline yang saya tulis di bagian header. Itu, tuh, yang ada di bawah judul muttimuti. Yup, "about motherhood and more".

Mengapa saya pilih tagline itu? Tentu alasan paling sederhana adalah karena saya seorang ibu dari tiga anak aktif. It's so obvious that everyone can see it. Namun, haruskah status keibuan saya diperjelas, bahkan dijadikan tagline?

Tema Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog perdana di tahun ini, "Tentang Dirimu, Mamah Gajah", pas sekali untuk membahasnya. Meski mendefinisikan diri itu tidak mudah, ada satu sisi yang sampai sekarang terus saya renungi dan resapi maknanya: saya sebagai ibu, sekaligus ibu rumah tangga.



Beratnya jadi mamah gajah

Bagi sebagian orang, mungkin peralihan status menjadi ibu rumah tangga terasa biasa saja, bahkan dianggap wajar. Menikah, lalu hamil, melahirkan, dan membesarkan anak tanpa diduakan oleh pekerjaan di luar rumah adalah kodrat perempuan yang harus diterima dan dijalani. Namun, lain perkara bila yang berada di posisi tersebut adalah seorang mamah gajah. Persoalan ini jadi rumit karena dulu waktu kuliah terbiasa berpikir yang rumit-rumit, setidaknya di mata saya.

Oh iya, untuk kamu yang belum tahu, mamah gajah itu sebutan untuk alumni (atau calon alumni) perempuan sebuah PTN di Bandung (sebut saja, Kampus Gajah) yang akan/sudah menyandang status mamah. Istilah gajah diambil dari lambangnya yang adalah gajah duduk, bukan karena ukuran tubuh, berat, apalagi wajah para mamah mirip gajah. Awas, nanti ada yang tersinggung 🤫.

Harapan yang diemban alumni Kampus Gajah ini sungguh tinggi. Mungkin penyebabnya adalah sepanjang sejarah sekolah ini hanya menerima mahasiswa peringkat atas dengan nilai superior. Bahkan waktu zaman orang tua saya menjadi mahasiswa baru di sana—iya, mereka alumni Kampus Gajah juga sehingga kami sebenarnya adalah keluarga gajah 🐘🐘🐘; saya dan suami juga membentuk keluarga gajah jilid 2—spanduk penyambutannya bertuliskan: Selamat Datang Putra-Putri Terbaik Bangsa.

Sebelum pandemi, kamu tidak perlu jadi mahasiswa. staf, atau dosen untuk jalan-jalan keliling kampus (foto: Kampus Gajah).

People expect you to be successful just because you're a top university graduate. Padahal kenyataannya, alumni Kampus Gajah juga sama-sama berjuang dari bawah seperti yang lain. Kesuksesan tidak jatuh dari langit, kan?

Harapan (dan tuntutan) ini berlaku sama, untuk laki-laki dan perempuan. Karenanya, alumni perempuan yang kemudian menikah dan memilih (dengan sadar ataupun terdesak oleh keadaan) untuk menjadi ibu rumah tangga kerap mendapat pertanyaan, "Kok, di rumah aja?" atau "Ga sayang, tuh, udah sekolah tinggi-tinggi, tapi jadi ibu rumah tangga doang?" Merendahkan, kepo, kasihan, dan murni bertanya itu memang berbeda tipis, Mah, setipis helaian rambut dibelah tujuh.

Stigma di masyarakat berpotensi membuat ibu rumah tangga minder. Peran sebagai ibu rumah tangga dianggap cuma-cuma: cuma jadi ibu rumah tangga, cuma di rumah, cuma mengurus anak, cuma jadi tukang antar jemput anak sekolah, dan sederet cuma lainnya. Lebih parahnya, karena ibu rumah tangga tidak digaji dan tidak berpenghasilan, negara menganggap ibu rumah tangga sebagai pengangguran terselubung. Diperhitungkan dalam penyumbang GDP? Tentu hanya mimpi. Walaupun faktanya, mungkin saja ibu rumah tangga memiliki usaha sampingan dan menghasilkan pemasukan bulanan lebih besar daripada pegawai kantoran.

Ibu rumah tangga sesungguhnya punya banyak tangan (gambar: Freepik).

Pandangan umum itu menurut saya kontradiktif karena menjadi ibu rumah tangga itu aslinya berat, Mah. Dia sebenarnya adalah manajer keuangan, pengawas kualitas, ahli gizi, koki, supir, body guard, guru, pendongeng, trainer, dan pengasuh anak dalam satu badan yang sama. Pokoknya harus serba bisa! Tidak ada waktu libur bagi ibu rumah tangga; untungnya masih punya waktu tidur (yang berantakan sewaktu anak masih bayi 😌).

Malangnya, ibu rumah tangga tidak diperhitungkan sebagai profesi yang layak untuk dipilih. Tidak ada, tuh, sekolah/pelatihan untuk menjadi ibu rumah tangga yang baik dan benar. Selain itu, tidak ada sertifikasi khusus untuk menyatakan kualifikasi sebagai ibu rumah tangga. Intinya, lulusan universitas yang menjadi ibu rumah tangga harus mencari sendiri cara untuk meningkatkan kualitas dirinya.

Pergulatan batin seorang mamah gajah

Nah, peran sebagai ibu rumah tangga yang multifaset berimbas pada penerimaan diri saya sebagai ibu. I'm lost in the journey of motherhood and I didn't expect it.

Dulu saya memilih untuk menjadi ibu penuh waktu yang bekerja di ranah domestik semata-mata karena merasa itu yang benar. Alasan sederhana sekali, ya? Namun, kenyataan tidaklah semulus kulit artis Korea 🤪.

Ada masa saya tidak menikmati menjadi ibu. Jangan salah sangka. Saya mencintai anak-anak saya, tetapi tetap saja ada yang mengganjal. Jauh di dalam hati, ada bisikan "seharusnya saya tidak di sini, tidak di rumah (saja)" yang membuat saya ingin menanggalkan peran ibu penuh waktu. Namun, untuk melangkah ke luar, ada perasaan bersalah karena itu berarti saya harus rela melepaskan anak dari pengawasan saya. Kaki saya menapak di rumah, tetapi jiwa saya ingin menjelajah. Istilah zaman sekarang: BM (Banyak Mau) 😂.

Momen memegang tangan bayi untuk pertama kali adalah momen berharga bagi seorang ibu (foto: Freepik)

Perasaan ini berlarut-larut, kadang naik, kadang turun. Dia belum benar-benar hilang meski setiap hari saya tetap melakukan segala pekerjaan ibu rumah tangga (yang tidak ada habisnya itu) dan tetap belajar berbagai hal tentang anak dan pengasuhan. Beberapa impian pribadi masih tersimpan, menunggu untuk diwujudkan.

Berulang kali saya mendengarkan nasihat soal ladang amal terbesar bagi perempuan sejatinya ada di rumah: sebagai istri dan ibu. Namun, yang namanya ikhlas mudah untuk diucapkan, sulit untuk dipraktikkan. Walau akal sudah menerima, hati ini belum lapang jua.

Kemudian menjelang kepulangan kami ke Indonesia tahun ini, saya berada pada persimpangan yang mengharuskan saya untuk mulai serius memikirkan wujud peran sebagai ibu. Apakah saya akan menjadi ibu penuh waktu yang bekerja di rumah atau ibu penuh waktu yang juga mengambil peran eksternal? Apakah saya akan kembali ke dunia akademik atau beralih ke yang lain? Jadi bloger, misalnya 😍? Apakah saya akan mengambil peran sebagai home schooler mom atau bekerja sama dengan sekolah dalam mendidik anak?

Pertanyaan-pertanyaan itu menuntut saya untuk tidak lagi menunda proses penerimaan diri sebagai mamah gajah (baca: ibu) seutuhnya. Saya harus segera berdamai dengan diri, dengan keadaan, dengan impian. And it means, now.

Penerimaan diri sebagai mamah gajah

Alhamdulillah kegalauan saya seperti bertemu muaranya Desember lalu, tepatnya di sesi penutup Konferensi Ibu Pembaharu (KIP) yang diselenggarakan oleh Ibu Profesional. Ibu Septi Peni Wulandani (founder Ibu Profesional) membawakan judul yang ngena banget: “Saya ibu rumah tangga dan saya bangga”. Beliau berbagi pengalamannya dalam meningkatkan kapasitas diri sebagai ibu melalui membaca buku, belajar public speaking, menebar kebaikan, juga mengajak ibu lain untuk sama-sama belajar.

Beliau menekankan pentingnya mengubah mindset soal ketidakberdayaan ibu rumah tangga. Everything begins from your mind. Dengan cara berpikir yang baru, ibu rumah tangga akan keluar dari cangkang yang ia ciptakan sendiri. Ia akan bisa melepaskan ikatan yang membelenggu pikirannya. Menjadi ibu rumah tangga bukan berarti berhenti belajar. Menjadi ibu rumah tangga bukan berarti tidak bisa berkarya. Dari ibu-ibu hebat, lahir anak-anak hebat.

Menerima diri adalah salah satu kunci kebahagiaan (gambar: Pixabay).

Meski sebenarnya bukan ide segar, saya menganggap ini cara Allah menguatkan saya. It just came at the right time. Rasanya berbeda karena sekarang saya sedang berbenah diri. Ditambah lagi, pembicara di sesi sebelumnya (juga di KIP) membahas tentang konsep fixed mindset vs growth mindset. Intinya, kita harus punya growth mindset untuk menjadi diri yang lebih baik, dengan kapasitas yang bertambah.

Jadi, apa yang (harus) saya lakukan dalam proses ini? Catatan: saya menulis poin-poin berikut dalam rangka memetakan langkah, bukan merekam pengalaman.
  1. Menanamkan dalam hati bahwa peran sebagai ibu (rumah tangga) adalah takdir Allah yang terbaik. Tidak ada ketentuan-Nya yang salah. Seringnya kekeliruan dalam memahami ada pada diri kita sebagai manusia.
  2. Memandang keluarga sebagai kendaraan yang akan membawa saya ke surga dunia dan akhirat. Menjadi ibu (rumah tangga) adalah bentuk ibadah kepada Allah. Tambahannya, bersyukur! Allah memberikan nikmat berupa keluarga (dengan anak-anak yang sehat) kepada saya.
  3. Memperbaiki niat sebab niat adalah setengah dari ibadah, lalu sering-sering memeriksa kelurusan niat. Lihat rumah berantakan, anak berantem, plus masih harus masak itu berpotensi membuat uring-uringan. Mamah pasti paham banget, deh. Kalau sudah begitu, pasang mode masa bodo dulu 😂.
  4. Mendesain ulang impian. Alih-alih merasa kehilangan impian, saya perlu membuat impian baru sesuai dengan peran sekarang. Mungkin istilah lebih tepatnya, "menyelaraskan impian" sebab seharusnya tidak perlu ada kepentingan baik yang dipertentangkan. Make some time for myself. Finding the right balance is the key.
  5. Mulai sekarang! Ini adalah poin yang paling menohok 😆.

Semoga pada saatnya nanti, saya akan mampu berkata dengan percaya diri, "Saya mamah gajah yang #dirumahaja dan saya bangga".

Penutup

Bagi saya, pergulatan batin dalam menerima diri sebagai ibu dan ibu rumah tangga melewati jalan berliku. Sekarang pun saya masih berproses karena merasa belum 100% ada pada titik menerima seutuhnya. It's okay, I will just take my time as long as I'm walking toward the right direction.

Tagline "about motherhood and more" sebenarnya adalah jangkar peneguh bagi saya selama berproses untuk menerima diri. Saya berharap dengan menuliskan banyak cerita dari sudut pandang ibu yang juga ibu rumah tangga, kaki saya akan makin kuat menjejaki peran ini.

Doakan ya, Mah!



Tuesday, January 4, 2022

Menjadi Blog TLD dengan Blogspot (2)

Catatan:
Pos ini adalah bagian kedua cerita transformasi dari blog lama mutilaksmi.blogspot.com ke muttimuti.com. Untuk yang belum membaca bagian pertama, bisa langsung klik di sini.

Kali ini, saya akan berbagi pengalaman tentang tiga hal teknis yang saya lakukan sehingga menjadi blog TLD seperti yang kamu lihat. Semoga bisa menginspirasi, ya!



Nama blog

Sebenarnya sembari menimbang dua pilihan antara tetap memakai Blogspot atau beralih ke self-hosted, saya memiliki kegalauan kedua: menentukan nama! Urusan ini tidak boleh dianggap remeh. Rasanya seperti saat memikirkan nama anak: dilarang salah. Sekali tertulis di akte kelahiran, sulit untuk mengubahnya lagi.

Nama itu mahapenting karena merupakan bagian dari citra blog/situs kita. Karenanya, sebelum menentukan nama, akan lebih baik jika kita memikirkan beberapa hal terlebih dahulu.

  1. Sesuai citra. Gambaran apa yang kita ingin orang lain dapatkan saat membaca nama blog kita? Bisa jadi itu terkait dengan niche blog. Sebagai contoh, blog yang berisi artikel tentang parenting akan memakai kata “mama”, “mom”, “baby”, “kids”, “anak”, “keluarga”, dan lainnya. Kita bisa juga menggunakan nama sendiri jika memang niche blog kita adalah personal and lifestyle. Syaratnya, nama kita memenuhi tiga poin di bawah. 
  2. Mudah disebutkan dan mudah diingat. Karena kita berbahasa Indonesia, nama dengan bahasa Indonesia akan lebih mudah diucapkan. Namun, bukan berarti kita tidak boleh memakai bahasa lain, misalnya bahasa Inggris, selama tidak mengundang kesalahan penyebutan. Hindari pula nama yang lewah huruf, contohnya “khakhisemoet”. Orang akan sulit mengingat, yang benar ”khakhi”, “khaki”, “kakhi”, atau “kaki”? “Semoet”, “semot”, “semet”, atau “semut”? Selain itu, jangan memakai angka di nama blog karena lagi-lagi itu membuat nama blog sulit untuk diingat.
  3. Singkat lebih baik. Berbeda dengan nama anak yang tidak punya batasan karakter, nama blog yang terlalu panjang rentan salah saat ditulis di browser. Menurut saya, satu hingga tiga kata pendek untuk nama blog/situs sudah paling pas, misalnya “detik”, “keluargakita”, “thesaltedmamas”. Rumusnya mirip, lah, dengan nama majalah/koran yang umumnya hanya memakai satu hingga dua kata.
  4. Unik alias tidak pasaran. Nama yang unik akan stand out dan mudah dibedakan dari nama blog/situs lain. Contohnya, “pohontomat” yang salah satu Instagram posnya (@pohontomat) menjadi inspirasi saya menulis perihal syarat nama ini. Super unik, kan?

Dengan mempertimbangkan empat poin di atas, saya memikirkan beberapa kemungkinan nama. Pertama, meneruskan nama yang sudah ada: mutilaksmi. Nama ini sama dengan nama akun Instagram yang lebih dulu eksis. Yang saya pernah dengar, menyamakan nama blog dengan nama yang dipakai di media sosial lain itu penting untuk personal branding (padahal saya juga belum tahu mau mencitrakan diri seperti apa). Namun, saya merasa kurang sreg jika memakai nama ini untuk blog baru. Alasannya lebih karena ingin menghindari penggunaan nama pribadi.

Lah, nama yang sekarang, kan, pakai nama pribadi?

Tunggu dulu, ceritanya belum sampai situ.

Karena preferensi tersebut, tercetuslah ide untuk memakai kata dalam bahasa Belanda. Niatnya sebagai penanda titik awal perjalanan blog baru sebab ia lahir saat saya masih tinggal di Belanda, begitu. Beberapa pilihan nama terpikir, mulai dari gezin (keluarga), gezellig (nyaman), sampai hagelslag (meses)kami penggemar berat meses dengan berbagai varian. Saya coba memasukkan satu per satu ke dalam kotak pencari nama di situs perusahaan penyewaan hosting dan domain. Ada yang masih tersedia; ada juga yang tidak. Namun, saya masih terus mencari kemungkinan nama lain karena rasanya belum ada yang benar-benar pas di hati.

Sampai pada akhirnya … terbitlah ilham untuk memakai nama muttimuti, out of nowhere. It was like an Aha! moment for me. Namanya singkat, mudah diingat, unik karena berima, dan yang terpenting: mewakili citra saya sebagai ibu (mutti berarti ibu dalam bahasa Jerman) yang ingin saya gunakan di blog. Memang nama tersebut menggunakan nama pribadi, tetapi, ah, saya rela, kok. I'm in love with the name.

Blog name, checked!

Sewa domain

Seperti saya sebutkan di pos bagian satu, kita bisa upgrade domain, baik Blogspot maupun WordPress.com, langsung di dashboard. Untuk Blogspot, caranya mudah.
  1. Pilih Settings;
  2. Cari bagian Publishing;
  3. Pilih Custom Domain;
  4. Klik Buy A Domain;
  5. Masukkan nama blog;
  6. Pilih domain yang diinginkan;
  7. Lakukan proses pembayaran;
  8. Blog TLD siap digunakan.

Pilih Buy A Domain untuk membeli domain langsung di Blogspot

Walau dalam Euro biayanya hanya €1/bulan (seharga satu kotak susu 1 l), ternyata itu masih lebih mahal dibandingkan harga sewa dari penyedia layanan hosting dan domain di Indonesia, contohnya, Niagahoster, Hostinger, Sahabat Hosting, Dewaweb, dan DomaiNesia. Duh, jiwa emak-emak saya meronta. Saya pun mencari harga dari beberapa perusahaan dan menjatuhkan pilihan pada salah satunya. Kita bisa menyewa domain per satu tahun atau lebih, kemudian memperpanjang kontrak setelahnya. Tentu makin lama masa sewa, biayanya akan makin murahtipis, sih, tetapi lumayan untuk jajan semangkuk bakso.

Singkat cerita, dibantu dengan panduan yang jelas, resmilah blog saya berubah menjadi muttimuti.com. Alhamdulillah. Galaunya lama, prosesnya sebentar. Dasar wanita!

Domain, checked!

Template gratis atau premium?

Tampilan juga merupakan perkara penting. Sebenarnya sah saja jika kita mau memakai template bawaan Blogspot. Namun, agar terlihat lebih estetis, kita bisa memakai template gratis, misalnya yang disediakan oleh gooyaabitemplates.comblog lama saya, mutilaksmi.blogspot.com, menggunakan salah satu template dari sinidan memasukkan kode HTML-nya ke bagian Theme-Customize-Edit HTML di dashboard. Ini adalah salah satu keunggulan Blogspot dibandingkan WordPress.com. Untuk yang paham bahasa pemrograman, kode ini bisa diutak-atik lagi. Saya, sih, sudah mengibarkan bendera putih duluan. Ha-ha-ha.

Sayangnya sependek pengetahuan saya, semua (atau setidaknya sebagian besar) template gratis yang ada memiliki homepage layout yang standar. Artinya, halaman pertama blog langsung berisi daftar tulisan terakhir dan profil di sidebar kanan atau kiri. Meski ada yang ditambah variasi slider di bagian atas halaman, format selebihnya tetap sama. Saya ingin layout yang berbeda. Lagipula dengan meniadakan pengeluaran untuk sewa hosting, saya bisa mengalihkan sedikit modal untuk membeli template premium. He-he-he.

Berkat info dari grup WA Ibu-Ibu Doyan Nulis (IIDN), saya mulai browsing template Blogspot di Etsy dengan memasukkan kata kunci blogspot template. Untuk yang belum familiar dengan Etsy, ini adalah marketplace global untuk produk-produk unik dan kreatif. Saya sudah lama mengenal Etsy, tetapi baru tahu kalau beragam template/desain dijual di sana.

Contoh template Blogspot di Etsy

Sebelum mulai pilah pilih, ada sedikit tips dari saya.
  1. Pasang filter harga dulu sebelum terlanjur patah hati dengan harga satu template. Waktu itu saya mematok budget maksimal €25. Walau kenyataannya, saya hanya menengok yang di bawah €15. Hi-hi-hi.
  2. Lihat tanggal update terakhir. Makin baru tanggalnya, makin baik. Artinya, kita akan mendapat versi terakhir dari template tersebut. Tambahan lagi, tanggal update menunjukkan keaktifan desainer dalam meningkatkan performa template.
  3. Cek tampilan melalui alamat URL live demo yang tersedia di deskripsi produk. Kita bisa klik setiap page yang mau kita lihat, serta melihat font yang dipakai (jenis, ukuran, tipe heading, subheading, bullet, numbering), tampilan quotes, dan tautan. Selain itu, ada juga alamat URL untuk melihat responsive pages jika blog kita dibuka di berbagai jenis ponsel dan tablet.
  4. Baca ulasan pembeli, baik untuk template tertentu maupun untuk template lain yang dijual oleh toko tersebut. Dari sini kita bisa menilai kualitas layanan yang diberikan oleh penjual. Jika menemukan kesulitan saat pemasangan, kita bisa mendapatkan bantuan dan solusi dari penjual dengan cepat dan ramah.
  5. Cek cara pembayaran yang tersedia. Karena Etsy adalah marketplace global, sistem pembayaran yang tersedia juga yang bersifat global. Kita tidak bisa membayar via transfer bank lokal, transfer ATM, apalagi e-wallet lokal, seperti GoPay, ShopeePay, atau OVO. Pilihan untuk pembeli yang berlokasi di Indonesia hanya ada dua: PayPal dan kartu kredit. Saya beruntung karena untuk pelanggan Eropa ada pilihan iDeal yang terhubung ke rekening bank (milik suami tentunya).
  6. Pantau harga setiap hari. Sebenarnya tips terakhir ini karena saya mendapat harga diskon secara tidak sengaja. Dari awal saya browsing template, harganya berubah-ubah. Harga asli template yang saya pakai ini ada di kisaran €13, kemudian beberapa hari setelahnya berubah menjadi €9-an. Langsung saja saya masukkan ke dalam keranjang, tetapi saya tidak langsung check out karena masih ingin melihat-lihat yang lain (dasar!). Eh, di hari-hari penghujung 2021, harganya turun lagi menjadi €7-an! Rezeki memang tidak akan ke mana-mana. Tanpa pikir panjang, saya check out saat itu juga. Now or never, khawatir hari Senin harga naik lagi.

Template, checked!

Meski sudah menyelesaikan ketiganya, saya masih memiliki tugas tersisa: mengganti blog banner di setiap pos lama. Karena ganti template berarti ganti tampilan, di template baru ini tulisan pada banner lama tertumpuk oleh tulisan judul pos. Agar lebih nyaman dilihat, saya merasa harus menggantinya dengan desain yang baru (dan merepotkan diri sendiri!). Beberapa pos terakhir (yang muncul di homepage) sudah saya ubah. Namun, sisanya masih banyaaak. #ketawamiris #lapkeringat

Ya, sudah, lah, woles saja dulu sambil selonjoran. Ganti sisanya kapan-kapan. Yang penting, homepage sudah rapi jali. Ha-ha-ha. 

Penutup

Sepanjang perjalanan saya ngeblog, baru kali ini saya membuat keputusan besar. Semoga dengan berbagi cerita di baliknya, saya jadi memiliki alasan kuat untuk tetap ngeblog. Bila suatu saat malas melanda, saya bisa membuka dua pos ini untuk kemudian memecut diri untuk kembali ke jalur yang benar: menulis.

Kalau kamu, apa peristiwa terbesarmu selama ngeblog?



Sunday, January 2, 2022

Menjadi Blog TLD dengan Blogspot (1)

Pertama-tama, selamat tahun baru 2022! Semoga kita menjadi diri yang lebih baik lagi tahun ini. Aamiin.

Dengan semangat tahun baru, akhirnya blog baru saya resmi diluncurkan. Yeay! Setelah jadi beban pikiran selama berminggu-minggu (tidak bermaksud lebai, tapi memang begitu kenyataannya), akhirnya sebelum tahun 2021 berganti, blog lama mutilaksmi.blogspot.com berubah wujud menjadi muttimuti.com. Rasanya seperti pecah bisul (walau saya belum pernah punya bisul, sih, dan jangan sampai). He-he-he. Bisa dibilang, ini adalah penutup tahun yang manis karena sekarang saya memiliki rumah yang cantik untuk tulisan-tulisan saya.

Karena lumayan berliku, saya mau cerita tentang perjalanan menuju bintang blog bernuansa merah muda ini. Semoga cerita saya bisa membantu teman-teman yang siapa tahu sedang gundah gulana dalam meningkatkan kasta blog masing-masing, ya!



Pilih Blogspot, WordPress.com, atau WordPress.org?

Dulu waktu pertama kali ngeblog, saya sama sekali tidak mengerti perbedaan ketiganya. Sampai akhirnya memilih Blogspot pun, it's totally random. WordPress tidak pernah saya lirikmeski banyak yang bilang ngeblog di WordPress lebih enakkarena sudah merasa nyaman dengan fakta bahwa Blogspot adalah anak perusahaan Google. Dengan menggunakan akun yang sama dengan surel, saya bisa langsung masuk ke dashboard Blogspot dan tidak perlu membuat akun lagi. Praktis!

Nah, gara-gara bergabung di Mamah Gajah Ngeblog tahun lalu dan menjadi kontributor lepas untuk situsnya (yang menggunakan WordPress.org), saya jadi tahu dan sadar bahwa Blogspot itu ternyata … sederhana sekali. Ha-ha-ha. Karenanya, saya serius menimbang untuk pindah platform, (ceritanya) demi rumah yang lebih nyaman. Saya bahkan mencoba membuat akun di WordPress.com untuk mencicipi beragam fasilitas yang memudahkan dalam membangun blog yang ciamik.

Di grup Mamah Gajah Ngeblog pula saya pernah melempar pertanyaan soal mana yang lebih unggul, Blogspot, WordPress.com, atau WordPress.org (self hosted). Ternyata masing-masing ada pro kontranya. Keputusan terakhir kembali lagi kepada kebutuhan dan kondisi keuangan setiap orang.

Gratis: WordPress.com dan Blogspot

Untuk pecinta produk gratisan, ada dua platform yang bisa dipilih: WordPress.com dan Blogspot. Seperti sudah disebutkan di atas, WordPress lebih unggul dari sisi fitur dashboard dibandingkan Blogspot. Di sisi lain, Blogspot unggul dari segi template yang fleksibel untuk diganti-ganti. Caranya adalah dengan menyesuaikan kode HTML di bagian Theme. Banyak template gratis yang bisa kita pakai, misalnya seperti yang tersedia di gooyaabitemplates.com. Di WordPress.com, kita hanya bisa memakai template yang tersedia, dengan beberapa kemungkinan variasi saja, di antaranya header, font, dan warna latar.

Kita bisa ubah tampilan dengan menyunting kode HTML

Kelebihan Blogspot lainnya adalah kapasitas penyimpanannya. Kapasitas Blogspot (15 GB) jauh melewati jatah yang diberikan WordPress.com, yakni 3 GB saja. Konon sebenarnya kapasitas sebesar ini cukup, asal setiap foto yang kita posting harus di bawah 100 KB. Ya … memang jadi agak repot untuk resize, sih.

Sayangnya, dua kekurangan Blogspot berikut mengurangi kenyamanan saat menulis di editor dan membuat saya tergoda untuk ganti platform ke WordPress. 

1. Ukuran font suka berganti sendiri. Walaupun saat menulis draf, kita sudah mengeset ukuran tertentu, di preview ukurannya bisa berubah sendiri secara acak di paragraf tertentu, kalimat tertentu, bahkan di sebagian kalimat. It makes me frustrated. Saya sudah mengikuti tips clear formatting setelah menempel teks dari aplikasi lain—biasanya saya menulis di Gdocs, tetapi masalah ini masih saja muncul. 

2. Posisi gambar tidak sesuai dengan keinginan. Kalau kita memasukkan gambar belakangan setelah menulis teks, gambar suka muncul bukan di lokasi yang kita maksud. Kadang dia muncul di permulaan badan teks, seringnya muncul di akhir badan teks. This also makes me frustrated

Berbayar: WordPress.org

Untuk yang ingin blognya bisa didesain sendiri, serta ditambah fitur-fitur pendukung, WordPress.org adalah pilihan terbaik. Kekurangannya, jargon "ada harga, ada rupa" berlaku. Biaya sewa hosting plus sewa domain lumayan menguras pos keuangan dan memangkas pos jajan. Setahun angkanya bisa mencapai Rp400 ribuan untuk paket yang sesuai bagi blog pribadi. Makanya, yang mengambil pilihan ini harus menyiapkan budget khusus per periode sewa. Salah satu cara menyiasatinya adalah dengan mencari promo sewa hosting, biasanya per tiga atau empat tahun. Dengan begini, selain menghemat, kita bisa mendapatkan spesifikasi paket yang lebih lengkap.

Sebagai informasi, hosting ibarat bangunan rumah, domain itu seperti alamat rumah. Dengan menyewa hosting, kita bisa membangun dan menghias rumah kita sendiri. 

Top Level Domain (TLD)

Istilah "Top Level Domain" (TLD) baru saya akrabi semenjak mengikuti kelas blogging pada Maret tahun lalu. Dari sana, saya yang mulai terekspos dengan info tentang lomba blog banyak menemukan syarat "blog harus sudah TLD". Apakah ini pertanda untuk saya agar lebih serius ngeblog? He-he-he.

Apa itu TLD? Ringkasnya, blog TLD bisa dibedakan dari alamatnya. Bila masih berujung wordpress.com atau blogspot.com (atau .co.id), blog tersebut belum memiliki TLD. TLD sendiri tidak terbatas pada akhiran .com. Sekarang banyak akhiran lain yang bisa dipilih, antara lain .net, .info, .org, .co, dan .id. Sebagai tambahan, ada juga akhiran yang umum kita temui seperti .or.id, .sch.id, biz.id, .web.id dan ada juga yang unik, seperti .xyz dan .my.id. Yang terakhir mulai banyak dipilih karena harga sewanya yang sangat terjangkau.

Nah, dalam hal transformasi dari blog gratisan ke blog TLD, Blogspot lebih unggul daripada WordPress.com. Mengapa? Sebenarnya baik Blogspot maupun WordPress.com menyediakan fasilitas upgrade ke TLD. Namun, Blogspot mematok harga yang jauh lebih murah daripada WordPress.com. Sebagai perbandingan dalam Euro, biaya di Blogspot adalah €12/tahun, sedangkan WordPress.com €48/tahun, empat kali lipatnya! Oleh karena itu, pilihan saya tinggal dua: 1) terus memakai Blogspot dan membeli domain saja, atau 2) beralih ke WordPress.org, menyewa hosting, sekaligus membeli domain.

Akhirnya tetap di Blogspot 

Sejujurnya, opsi kedua sangat menggiurkan. Saya bisa mendesain sendiri dan memakai fitur/plug-in sesuai dengan kebutuhan, juga terbebas dari dua masalah teknis seperti yang saya sebutkan di atas. Namun, biaya yang besar membuat saya ragu-ragu. Alhasil, setelah berlarut-larut dalam kegalauan, saya memutuskan untuk mengambil opsi pertama. Alasannya:

1. Menghemat biaya. Tidak dipungkiri, aspek biaya adalah faktor utama. Apakah saya bisa menutup modal setiap tahun dengan hadiah dari lomba blog, misalnya? Mengingat pada awalnya niat saya menulis di blog adalah untuk menuangkan pemikiran dan berbagi pengalaman, saya tidak (atau belum) memandangnya sebagai pekerjaan yang mendatangkan penghasilan. Well, untuk menuju ke sana setidaknya saya sudah menempuh langkah pertama: blog TLD!

2. Mengukur konsistensi. Semua orang pasti sepakat dengan pernyataan “menjadi konsisten itu berat”, tetapi di saat yang sama tidak ada yang menolak ungkapan “salah satu kunci sukses adalah konsistensi”. Blog saya mulai terisi berkat mengikuti tantangan rutin di Mamah Gajah Bercerita dan Mamah Gajah Ngeblog, tetapi di luar itu saya masih berjuang untuk mencari waktu yang tepat untuk menulis secara konsisten.

Dulu saya merasa sebagai night owl. Namun, seiring dengan waktu, saya lebih mudah lelah di malam hari setelah beraktivitas seharian. Siapa bilang jadi ibu penuh waktu (apalagi yang tidak memiliki ART dan tinggal di tanah rantau alias si saya) itu mudah? Maka dari itu, saya mencoba menjadi early bird meski sebenarnya bukan gue banget. Saya berusaha bangun lebih pagi untuk bekerja, termasuk menulis. Tidak setiap pagi semuanya berjalan mulus. Jika sedang apes, semua rencana akan bubar akibat bayi yang bangun terlalu pagi. Wakwaw.

Tidak muluk-muluk, salah satu target saya tahun ini adalah menulis dengan konsisten di blog. Ya … seminggu minimal dua pos, deh. Sayang, dong, blog sudah bagus, tetapi isinya jarang diperbarui? #ihiy #pasangikatkepala

Penutup

Untuk (setidaknya) setahun ini sepertinya saya harus berdamai dengan kesederhanaan dan kekurangan Blogspot. Untungnya, perasaan kurang nyaman itu terkompensasi dengan tampilan blog yang manis dan feminin. Secara umum, saya bahagia dengan perubahan yang ada. Alhamdulillah. #startsyukur

Rencananya setelah satu atau dua tahun saya akan kembali melihat kemungkinan untuk pindah boyongan ke WordPress.org meski ada konsekuensi “semua dimulai dari nol” lagi. Mungkin pada saat itu saya akan lebih mantap dan percaya diri untuk menyematkan titel “bloger” atau “mom blogger” di profil diri. Siapa tahu, kan? Untuk sekarang, mari rayakan blog baru ini dengan suka cita!


*****
Baca juga bagian kedua yang berisi detail teknis hingga blog ini bisa berwajah seperti yang kamu lihat, ya!