Friday, April 30, 2021
Mom's Me Time Diary: Buku Ringan, Tetapi Sarat Makna
Perdana saya ikut tantangan Mamah Gajah Ngeblog (MGN), nih! Setelah dua setengah bulan ikut tantangan MaGaTa di grup Mamah Gajah Bercerita, akhirnya saya memutuskan untuk ikut grup Mamah Gajah Ngeblog, sama-sama subgrup ITB Motherhood, yang menghimpun para mamah blogger. Meski belum merasa layak disebut blogger, setidaknya saya sudah memenuhi syarat minimal untuk bergabung di grup ini karena memiliki blog hahaha ….
Anyway, tantangan MGN di bulan April adalah mengulas buku perempuan inspiratif, bisa tentang karakter/kisah atau yang ditulis oleh perempuan inspiratif. Berhubung saya hanya membawa beberapa buku bahasa Indonesia ke sini dan hanya ada tiga di antaranya yang ditulis oleh penulis perempuan, seharusnya tidak sulit bagi saya untuk memilih, dong. Nyatanya toh, saya sempat berganti buku.
Awalnya saya ingin mengulas buku berjudul "99 Cahaya di Langit Eropa" karya Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Mahendra. Namun, waktu yang hanya tinggal beberapa hari tidak cukup buat saya menyelesaikan satu novel hingga habis. Saya baru membaca setengah dari buku tersebut lalu terhenti. Demi mendapat keutuhan cerita, saya ingin membaca ulang dari awal. Sayang seribu sayang, keinginan itu harus dikalahkan oleh aktivitas lain dan tenggat waktu.
Akhirnya saya beralih ke buku yang ditulis oleh kawan SMA saya, Ayu Kinanti Dewi yang berjudul "Mom's Me Time Diary". Buku ini lumayan tipis dengan ukuran tulisan yang sedang dan paragraf yang renggang. Pas untuk dibaca dalam waktu singkat karena ringan untuk dikunyah. Namun, bagaimana dengan isinya? Apakah juga ringan?
Sampul Buku
Sebelum kita membahas isinya, kita lihat dulu sampulnya, ya. Warna putih menjadi warna dasar sampul, dihiasi dengan ilustrasi pohon di bagian tengah kulit buku membuat sampul depan dan belakang menjadi satu kesatuan. Pemilihan warna merah muda untuk judul seolah ingin memberi kesan bahwa buku ini ditujukan kepada kaum hawa. Tipe tulisan yang dipakai juga mendukung keseluruhan desain yang girly.Isi Buku
Buku ini terdiri dari 21 bab yang berdiri sendiri. Kita bisa memilih untuk mulai membaca dari bab yang mana saja tanpa harus khawatir kehilangan benang merah dari inti keseluruhan cerita. Tema-tema yang disajikan tentu seputar peran ibu sesuai dengan judulnya. Selayaknya diari, setiap bab dari buku ini adalah catatan dan refleksi penulis tentang masalah-masalah yang biasanya timbul dan dirasakan oleh para ibu. Ditulis dengan gaya santai dan mengalir, penulis seperti sedang berbincang akrab dengan pembaca. Jarak antara penulis dan pembaca melebur dengan penggunaan kata sapaan "Bu".Personal penulis yang dekat dengan Islam tercermin dalam setiap bahasan. Penulis senantiasa mengaitkan setiap topik dengan Islam. Bagaimana semua yang kita pikirkan, rasakan, lakukan itu seharusnya dikembalikan kepada tujuan utama, yakni beribadah kepada Allah Swt. Meski persoalan terlihat sederhana, ternyata jika kita telaah lagi hikmahnya sangatlah dalam.
Tulisan berjudul "Biar Lelah jadi Lillah", misalnya. Di awal penulis menyebutkan berbagai keluhan yang sadar atau tidak, sering terlontar dari mulut seorang ibu. Kemudian penulis membahas bahwa agar kelelahan ibu menjadi pahala (lillah berarti "untuk Allah"), pertama kali ibu harus menata niat: semua adalah dalam rangka mencari rida Allah Swt. Poin berikutnya adalah ibu harus membingkai aktivitas dengan zikir dan doa, lalu meminta pertolongan dengan sabar dan salat, juga meluangkan waktu untuk membaca Al-Qur'an.
Ibu harus meyakini bahwa hanya Allah Swt. yang mampu membayar setiap pekerjaan yang dilakukan dengan ikhlas. Kelelahan ibu tidak sebanding dengan lelahnya ibu-ibu pejuang di Suriah, Palestina, maupun Somalia. Penulis juga mengangkat kisah Sa'ad bin Mu'adz yang tangannya dicium oleh Rasulullah karena bekerja keras sepanjang hari. Bab ini ditutup dengan kalimat "Semoga segala kelelahan kita mendapat ridho-Nya dan jadi jalan ke surga-Nya."
Berbekal latar belakang psikologi, di bab-bab akhir penulis membahas tentang manajemen energi, waktu, dan emosi ibu. Selain itu juga membahas tentang karakter, pengelolaan emosi, dan komunikasi efektif dengan balita. Tentunya tetap dengan landasan Islam sesuai nafas buku ini.
Berbekal latar belakang psikologi, di bab-bab akhir penulis membahas tentang manajemen energi, waktu, dan emosi ibu. Selain itu juga membahas tentang karakter, pengelolaan emosi, dan komunikasi efektif dengan balita. Tentunya tetap dengan landasan Islam sesuai nafas buku ini.
Kelebihan Buku
Di luar sana tulisan mengenai ibu dan bertujuan untuk memotivasi para ibu dalam menjalani perannya mungkin sudah banyak. Akan tetapi menurut saya, ada dua hal ekstra yang menarik dari buku ini:Pertama, adanya selipan beberapa lembar mewarnai. Mewarnai diyakini sebagai salah satu media relaksasi karena kita dituntut untuk fokus sekaligus mengasah jiwa seni lewat warna. Itu sebabnya akhir-akhir ini banyak lembar mewarnai khusus dewasa yang dijual di pasaran. Seluruh ilustrasi merupakan hasil kerja sama dengan @orygiri;
Kedua, adanya halaman khusus di akhir setiap bab yang bisa digunakan pembaca untuk menuliskan refleksi pribadinya setelah membaca bab yang bersangkutan. Penulis terlebih dahulu mengarahkan pembaca dengan pertanyaan. Misalnya untuk bab "Biar Lelah menjadi Lillah di atas, penulis memberi pertanyaan "Apa saja tantangan yang sedang Ibu hadapi? Bagaimana strategi yang akan Ibu lakukan untuk menghadapinya?"
Kekurangan Buku
Kalau ada yang kurang dari buku ini, mungkin ada di banyaknya penggunaan bahasa Inggris, baik yang berdiri sendiri dalam bentuk kata dan kalimat, maupun yang digabung dengan awalan me- atau di-, contohnya me-recharge. Meski demikian penyunting konsisten menuliskannya dengan cetak miring. Hal ini bisa dimaklumi karena konsep buku yang serupa diari memang memberi ruang yang luas untuk ragam percakapan, kata tidak baku, atau kata bahasa asing.Kesimpulan
Akhirnya saya bisa menilai buku ini ringan dari segi bahasa dan penyampaian, tetapi berat dari segi makna. Buku ini membahas hal-hal yang seringkali luput atau dianggap enteng sehingga kita lalai memaknainya lebih dalam. Buku ini mengajak kita untuk melibatkan Allah Swt. dalam setiap aktivitas sehari-hari sebagai ibu. Buku ini menyadarkan kita akan perlunya menjaga semangat, menyiapkan stok sabar yang banyak saat mengasuh, dan mengelola diri dengan bijak. Buku ini cocok bagi yang sedang mencari teman perjalanan ringan nan berisi, maupun bagi para ibu yang tidak punya banyak waktu lagi untuk membaca (termasuk saya).Penilaian
Tiga bintang setengah saya berikan untuk buku ini. Semoga kamu tertarik untuk membacanya juga!Identitas Buku
Judul: Mom's Me Time DiaryPenulis: Ayu Kinanti Dewi
Illustrator: @orygiri
Penerbit: CV. Pinilih Linuwih
Tempat terbit: Yogyakarta
Tahun terbit: 2018
Jumlah halaman: 105 halaman
Monday, April 26, 2021
Internet dan Perempuan Berdaya
Kalau saja R.A. Kartini masih hidup, mungkin beliau akan iri dengan kita sekarang. Gagasan-gagasannya tentang perempuan Indonesia yang merdeka, mandiri, dan penuh perjuangan semakin mewujud. Istilah kerennya: perempuan berdaya.
Sebelum kita membahas lebih jauh, sebenarnya apa sih, yang dimaksud dengan perempuan berdaya? Apalagi pemerintah Indonesia sampai membentuk kementerian khusus mengurusi soal pemberdayaan perempuan. Jujur saja yang terbayang pertama kali di benak adalah sekelompok wanita desa yang diajari kemampuan baru atau diberikan fasilitas baru agar mereka mampu meningkatkan perekonomian keluarga. Benarkah begitu?
Kata "berdaya" menurut aplikasi KBBI memiliki dua arti, tapi saya kira makna kedua lebih tepat untuk menggambarkan frase "perempuan berdaya", yakni perempuan yang memiliki akal, cara, dan sebagainya untuk mengatasi sesuatu. Bila ditilik lebih dalam lagi, perempuan Indonesia yang berdaya mengacu pada kaum perempuan yang mampu mengambil peran dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini karena adanya perhatian dan pengakuan akan keberadaan perempuan di berbagai aspek kehidupan. Perempuan memiliki akses dan kontrol atas sumber daya, ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Bila diberi ruang gerak, perempuan Indonesia dipercaya akan mampu memecahkan masalah, meningkatkan kualitas hidupnya secara mandiri, malahan mampu menjadi agen penggerak dan perubahan. Dengan begitu, perempuan akan memiliki kesempatan yang sama dengan laki-laki untuk ikut serta dalam pembangunan.
Mengacu pada pengertian tersebut, maka ya, bayangan saya tentang sekelompok wanita desa memang termasuk contoh perempuan berdaya. Namun, ternyata tidak hanya seputar kemandirian ekonomi. Spektrum keberdayaan perempuan antara lain juga ada di ranah kebebasan berkreasi dan berinovasi, kemerdekaan berpikir dan berpendapat di ruang publik, kesempatan untuk tampil di panggung politik dan pengambilan kebijakan, keleluasaan untuk membantu sesama yang membutuhkan, ataupun kemudahan untuk berjuang menjaga lingkungan. Artinya, perempuan memiliki banyak pintu untuk menjadi berdaya.
Beruntunglah perempuan yang hidup di era digital seperti sekarang karena pintu kesempatan tersebut semakin terbuka lebar. Apalagi kalau bukan imbas dari kemajuan teknologi digital bernama internet. Internet memungkinkan kita menembus ruang dan waktu, juga menghilangkan jarak fisik atau batas kota dan desa. Internet memungkinkan perempuan untuk memberdayakan dirinya sendiri tanpa perlu menunggu uluran tangan orang lain. Internet memungkinkan perempuan untuk memegang kendali sepenuhnya atas keputusan akan menjadi seberapa berdaya dirinya. Internet mendukung perempuan untuk menjadi berdaya.
Di balik berbagai keterbatasan gerak yang disebabkan pandemi Covid-19, sesungguhnya ada hikmah yang tersurat. Banyak perempuan baru menyadari peluang emas yang dibawa internet dan akhirnya memfungsikannya sebagai jalan untuk pemberdayaan diri. Sebut saja fenomena peningkatan angka penjualan produk dan jasa berbasis daring, maraknya kampanye sosial, politik, dan lingkungan lewat internet, atau giatnya pengutaraan ide, kreasi, dan opini lewat akun media sosial.
Pandemi Covid-19 juga yang membuat penyelenggaraan berbagai acara lewat platform pertemuan daring bertransformasi dari sesuatu yang asing menjadi hal yang lumrah. Tentu perempuan tidak mau kalah dalam pemanfaatannya untuk meningkatkan kapasitas diri lewat seminar, kelas, atau kuliah daring. Bagaimanapun ilmu adalah kunci penting dalam mewujudkan perempuan berdaya seperti yang diungkapkan R.A. Kartini dalam suratnya:
Anak perempuan yang pikirannya telah dicerdaskan serta pandangannya telah diperluas tidak akan sanggup lagi hidup dalam dunia nenek moyangnya. (Halaman 93)
Dengan kemudahan-kemudahan yang kita rasakan tersebut, sebenarnya kita sebagai perempuan sudah tidak punya alasan lagi untuk tidak menjadi perempuan berdaya. Minimal untuk menyuarakan pendapat melalui tulisan seperti yang sedang saya lakukan. Bisa jadi di luar sana ada yang tergerak untuk menata diri menjadi perempuan berdaya setelah membaca tulisan kita, bukan?
Jika R.A. Kartini masih hidup, tentu beliau akan tersenyum melihat mimpinya dulu adalah kenyataan saat ini.
Monday, April 19, 2021
Kisah Tiga Puluh Tahun Lalu
Aroma karbol tersisa dari lantai beranda belakang bangsal anak. Pintu-pintu berkaca bening kususuri. Pandanganku lurus ke depan, tak berani melirik. Tanpa suara, aku bergegas melangkah hingga menemukan kamar yang kutuju.
Kubuka pintu, mengucap salam. Sosok itu menjawabnya. Ah, sudah berapa hari kita tidak bertemu, ya? Rindu rasanya. Namun, ibu tampak sibuk mengurusi keperluan adik yang sedang duduk di ranjang putih rumah sakit.
Aku lantas mengambil tempat. Kukeluarkan selembar karton dan bahan lainnya. Sebagian sudah kukerjakan di rumah. Aku berharap ibu membantuku dengan tugas sekolah seperti biasa, tapi ku tak sampai hati untuk meminta.
Sesak dada menahan bulir air mata. Setetes dua tetes akhirnya membasahi pipi. Lekas kusapu agar ibu tidak tahu. Kepada siapa aku dapat mengadu?
Tidak banyak yang aku pahami. Aku hanya tahu ibu dan adik sudah lama tidak di rumah. Kukunjungi tempat ini setiap akhir pekan sehingga kuhafal setiap lurus dan belokannya, setiap tangga dan liftnya, setiap penunjuk arahnya. Ku pun tidak lagi menggunakan pintu depan layaknya pengunjung lain.
Bukan yang pertama seperti ini. Kadang sebulan lebih rumah sepi tanpa ibu dan adik. Yang terlama adalah tiga bulan sehingga ibu harus menitipkanku di rumah kakakmu agar kegiatan sekolahku tidak terganggu.
Engkau melewatkan hari pertama sekolahku saat TK karena menunggui adik di rumah sakit. Tanpa aku paham bahwa saat itu adalah awal dari perjalanan panjang ibu berjuang bersama adik. Sebuah perlawanan sengit terhadap penyakit mematikan yang bernama: leukimia.
Hari ini aku berusaha memaknai penggalan kisah hidup tiga puluh tahun yang lalu. Fragmen-fragmen kesedihan, kehampaan berbalut ketabahan, kesabaran, dan kekuatan berseliweran. Jika ada mesin waktu, ingin aku bertanya kepadamu. Bagaimana perasaanmu saat itu? Adakah yang bisa kulakukan untuk membantumu? Perlukah ibu tempat berbagi?
Kupandangi lekat-lekat ketiga anakku yang sedang bermain dari kejauhan. Usia anak keduaku tiga tahun, sama seperti waktu ibu menerima hasil pemeriksaan darah adik. Kubisa bayangkan duniamu runtuh menindih setiap tulang dan sendi tubuhmu. Rasa takut kehilangan pastinya menyeruak, tapi kewarasanmu harus tetap kau jaga.
Aku yang sekarang mungkin tidak akan sekuat dan setangguh ibu dulu. Ibu menerima suratan takdir dengan ikhlas, tidak menyerah sampai Allah Swt. menetapkan bahwa perjuangan itu sudah cukup. Cukup bagimu dan adik. Cukup juga bagiku dan Ayah.
Hari ini aku menyadari bahwa sesungguhnya guru kehidupan yang paling dekat adalah ibu. Sesuatu yang baru bisa kumengerti setelah tiga anak kulahirkan dari rahimku. Darimu kubelajar juga tentang penerimaan, pengharapan, kepasrahan, keyakinan akan pertolongan Allah Swt. melalui doa-doa panjangmu.
Aku bersyukur kepada Allah Swt. karena telah menjadikan ibu sebagai Ibuku.
Monday, April 12, 2021
Perkara Cuping Telinga Tak Berlubang

Kamu pasti tahu betapa tidak enaknya saat ada secuil makanan terselip di gigi. Kamu memang masih bisa menjalani hidup dengan normal tapi selalu ada yang menggelayuti pikiran. Kamu gatal ingin mengenyahkannya langsung dengan tangan atau dengan bantuan tusuk gigi. Kamu berusaha mencongkelnya sampai tak bersisa sehingga timbul perasaan lega tanpa ganjalan lagi di hati.
Persis, begitulah hubungan saya dengan lubang di cuping telinga.
Bagi sebagian orang tua menindik bayi perempuannya merupakan keharusan meski sebenarnya hal ini adalah bagian dari tradisi semata. Dalam agama Islam memang tidak ada larangan untuk menindik dan memakai anting, tetapi bukan juga menjadi tugas orang tua terhadap bayi baru lahir. Apalagi pengkhususan tugas untuk bayi berjenis kelamin tertentu, tidak ada sama sekali.
Agaknya itulah alasan mengapa ibu memutuskan untuk membiarkan telinga saya apa adanya sejak lahir. Beliau pun mendapat perlakuan yang sama dari ayahnya. Saya tumbuh bahagia tanpa tindik. Tidak ada masalah perihal itu hingga saat saya bersekolah di TK.
Suatu waktu saya dan teman-teman mengikuti lomba menari di TMII. Saya yang tidak diantar oleh orang tua hanya pasrah saat didandani dengan baju daerah berikut perlengkapannya. Masalah timbul begitu saya harus memakai anting gantung di cuping telinga. Harus ditusukkan di mana?
Akhirnya demi keseragaman dengan teman-teman lain, anting tersebut ditempelkan ke cuping telinga menggunakan selotip transparan. Jangan tanya bagaimana perasaan saya waktu itu. Sedihnya masih terekam hingga sekarang. Bingung, kecewa bercampur jadi satu.
Perkara anting ini terus mengganjal setiap saya harus berdandan di kesempatan formal, khususnya saat harus berseragam. Selalu saja timbul masalah karena rupanya tidak bertindik bagi perempuan seperti melawan kewajaran. Bukan sekali dua kali saya menyesali keputusan ibu untuk tidak menindik cuping saya sejak lahir. Namun untuk meminta tindik saya ciut, takut akan rasa sakit saat prosesnya.
Akhirnya di berbagai acara, anting jepit adalah solusi. Saya tetap bisa memakai anting walau tanpa tindik. Apakah masalahnya selesai? Oh, tidak. Anting jepit memberi tekanan yang kuat terhadap cuping telinga. Akibatnya saya sangat merasa terganggu selama memakainya, bahkan tidak jarang tekanan tersebut menimbulkan sakit kepala.
Duh, mengapa perihal anting saja membuat hidup saya tidak tenang?
Kemudian semua permasalahan terkait tindik dan anting lenyap tak berbekas seiring dengan datangnya hidayah dari Allah Swt. untuk memakai kerudung saat kelas 1 SMA. Ternyata jalan keluarnya sangat sederhana! Dengan berkerudung saya tidak perlu lagi repot-repot mengkhawatirkan soal anting dan perhiasan lainnya yang menempel di bagian aurat tubuh. Alhamdulillah, betapa syariat Islam sangat memudahkan.
Selamat tinggal anting jepit!
Lantas berkaca pada pengalaman masa kecil seperti itu, apakah saya menindik cuping anak perempuan saya? Yang menjawab "Ya", sayang sekali kamu salah. Haha .... Saya memilih untuk tidak repot memikirkan tradisi dan menghiraukan keingintahuan orang, sama seperti ibu saya. Beruntungnya sampai sekarang berumur lima tahun, dia tidak mengalami perkara anting dalam hidupnya. Mungkin juga karena saat ini kami berdomisili di luar Indonesia, ya. Tidak ada orang yang mengusik soal itu.
Suami saya bercerita bahwa di suatu negara Skandinavia tempatnya bersekolah dulu keputusan soal tindik-menindik cuping adalah hak anak. Jika anak tidak ingin ditindik, orang tua tidak boleh memaksa. Begitupun sebaliknya. Saking mereka berpegang pada prinsip tidak boleh ada yang melakukan sesuatu terhadap tubuh seseorang tanpa izin yang bersangkutan.
Yah, semoga saja saat nanti kami kembali ke tanah air, hubungan anak saya dengan anting layaknya suasana alam di pegunungan. Damai dan tenang, tanpa berisik yang tidak perlu.
Subscribe to:
Posts (Atom)