Internet dan Perempuan Berdaya

Rasa, Tantangan MaGaTa, perempuan, perempuan berdaya, kartini

Kalau saja R.A. Kartini masih hidup, mungkin beliau akan iri dengan kita sekarang. Gagasan-gagasannya tentang perempuan Indonesia yang merdeka, mandiri, dan penuh perjuangan semakin mewujud. Istilah kerennya: perempuan berdaya. 

Sebelum kita membahas lebih jauh, sebenarnya apa sih, yang dimaksud dengan perempuan berdaya? Apalagi pemerintah Indonesia sampai membentuk kementerian khusus mengurusi soal pemberdayaan perempuan. Jujur saja yang terbayang pertama kali di benak adalah sekelompok wanita desa yang diajari kemampuan baru atau diberikan fasilitas baru agar mereka mampu meningkatkan perekonomian keluarga. Benarkah begitu?

Kata "berdaya" menurut aplikasi KBBI memiliki dua arti, tapi saya kira makna kedua lebih tepat untuk menggambarkan frase "perempuan berdaya", yakni perempuan yang memiliki akal, cara, dan sebagainya untuk mengatasi sesuatu. Bila ditilik lebih dalam lagi, perempuan Indonesia yang berdaya mengacu pada kaum perempuan yang mampu mengambil peran dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini karena adanya perhatian dan pengakuan akan keberadaan perempuan di berbagai aspek kehidupan. Perempuan memiliki akses dan kontrol atas sumber daya, ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Bila diberi ruang gerak, perempuan Indonesia dipercaya akan mampu memecahkan masalah, meningkatkan kualitas hidupnya secara mandiri, malahan mampu menjadi agen penggerak dan perubahan. Dengan begitu, perempuan akan memiliki kesempatan yang sama dengan laki-laki untuk ikut serta dalam pembangunan.

Mengacu pada pengertian tersebut, maka ya, bayangan saya tentang sekelompok wanita desa memang termasuk contoh perempuan berdaya. Namun, ternyata tidak hanya seputar kemandirian ekonomi. Spektrum keberdayaan perempuan antara lain juga ada di ranah kebebasan berkreasi dan berinovasi, kemerdekaan berpikir dan berpendapat di ruang publik, kesempatan untuk tampil di panggung politik dan pengambilan kebijakan, keleluasaan untuk membantu sesama yang membutuhkan, ataupun kemudahan untuk berjuang menjaga lingkungan. Artinya, perempuan memiliki banyak pintu untuk menjadi berdaya. 

Beruntunglah perempuan yang hidup di era digital seperti sekarang karena pintu kesempatan tersebut semakin terbuka lebar. Apalagi kalau bukan imbas dari kemajuan teknologi digital bernama internet. Internet memungkinkan kita menembus ruang dan waktu, juga menghilangkan jarak fisik atau batas kota dan desa. Internet memungkinkan perempuan untuk memberdayakan dirinya sendiri tanpa perlu menunggu uluran tangan orang lain. Internet memungkinkan perempuan untuk memegang kendali sepenuhnya atas keputusan akan menjadi seberapa berdaya dirinya. Internet mendukung perempuan untuk menjadi berdaya. 

Di balik berbagai keterbatasan gerak yang disebabkan pandemi Covid-19, sesungguhnya ada hikmah yang tersurat. Banyak perempuan baru menyadari peluang emas yang dibawa internet dan akhirnya memfungsikannya sebagai jalan untuk pemberdayaan diri. Sebut saja fenomena peningkatan angka penjualan produk dan jasa berbasis daring, maraknya kampanye sosial, politik, dan lingkungan lewat internet, atau giatnya pengutaraan ide, kreasi, dan opini lewat akun media sosial. 

Pandemi Covid-19 juga yang membuat penyelenggaraan berbagai acara lewat platform pertemuan daring bertransformasi dari sesuatu yang asing menjadi hal yang lumrah. Tentu perempuan tidak mau kalah dalam pemanfaatannya untuk meningkatkan kapasitas diri lewat seminar, kelas, atau kuliah daring. Bagaimanapun ilmu adalah kunci penting dalam mewujudkan perempuan berdaya seperti yang diungkapkan R.A. Kartini dalam suratnya:

Anak perempuan yang pikirannya telah dicerdaskan serta pandangannya telah diperluas tidak akan sanggup lagi hidup dalam dunia nenek moyangnya. (Halaman 93)

Dengan kemudahan-kemudahan yang kita rasakan tersebut, sebenarnya kita sebagai perempuan sudah tidak punya alasan lagi untuk tidak menjadi perempuan berdaya. Minimal untuk menyuarakan pendapat melalui tulisan seperti yang sedang saya lakukan. Bisa jadi di luar sana ada yang tergerak untuk menata diri menjadi perempuan berdaya setelah membaca tulisan kita, bukan?

Jika R.A. Kartini masih hidup, tentu beliau akan tersenyum melihat mimpinya dulu adalah kenyataan saat ini. 




Post a Comment

2 Comments