Monday, May 31, 2021

Me Time, Mama Time


(Ilustrasi)

"Sayang, Sabtu ini aku mau me time ke salon, yaa…."

"Oke, Sayang. Nanti aku ajak anak-anak ke luar, deh."

***

Bicara tentang me time, saya pikir setiap perempuan yang sudah menjadi mama pasti mengalami perubahan besar dalam hidupnya, termasuk urusan prioritas. Setuju, enggak? 

Dulu waktu masih sendiri, secara umum, prioritas utama kita adalah diri sendiri, baik untuk memenuhi kebutuhan maupun kesenangan pribadi. Setelah menikah otomatis prioritas bergeser kepada keluarga, terlebih ada pasangan yang harus diperhatikan. Prioritas kembali berubah saat anak hadir. Sepasang orang tua baru tidak lagi bisa berbicara hanya untuk berdua. Malah lebih sering anak yang menempati prioritas pertama. Segalanya untuk anak. 

Bagi saya perubahan prioritas ini terasa terlalu cepat. Tiga bulan setelah menikah, saya mengandung anak pertama. Prioritas pun berubah dan semakin bergeser seiring dengan lahirnya anak kedua dan ketiga. Terlebih lagi mereka lahir di saat kami sedang merantau jauh dari keluarga yang bisa dititipi selama mama me time #eh

Maka kemudian seringnya prioritas diri untuk melakukan yang disukai terselip di antara timbunan baju kotor, jemuran baju kering yang belum dilipat (fyi, sudah berdekade lamanya saya tidak menyetrika), atau di tumpukan piring bekas makan. Sampai-sampai saya perlu berpikir lama untuk menemukan di sebelah mana dari waktu harian, mingguan, atau bulanan saya yang bisa dikatakan sebagai me time. Meski konteksnya adalah waktu luang, agaknya ilustrasi dari @by.puty di bawah juga bisa mewakili kondisi saya--dan banyak mama lain di luar sana-- yang prioritas waktu hariannya berubah. 

Ilustrasi oleh @byputy

Persoalan me time ini lantas membuat saya merenung. Mungkin sebenarnya saya yang perlu memaknai ulang me time ini. Me time bukan lagi waktu yang saya dedikasikan khusus untuk melakukan yang disenangi, sendiri tanpa anak-anak. Me time menjadi waktu saat kesadaran saya sedang penuh. Saat itu saya bisa berdialog dengan diri, menambah ilmu, juga melihat sekeliling dan mendapatkan hikmah, meski anak-anak tetap terlihat selemparan batu. 

Kapankah itu? Dalam sehari, me time saya adalah saat mencuci piring dan perabot masak serta memasak. Sembari bekerja, saya bisa mendengarkan video kajian, webinar, kelas, siniar, atau murottal Al-Qur'an. Bila anak-anak bermain, saya bisa mendapatkan me time setidaknya setengah jam. Namun, sering juga mereka menyela karena butuh sesuatu. Itu bukan masalah untuk saya. 

Dalam seminggu, me time saya adalah pergi ke pasar pekanan setiap hari Jumat. Di sana saya bisa memilih buah, sayur, ikan, dan kegemaran saya yang terbaru: bunga potong. Biasanya anak-anak senang bila diajak berbelanja di pasar. Mereka bisa membawakan tas belanja sambil mengamati suasana sekitar. Berbelanja ke supermarket juga menjadi me time saya. Saya sering menemukan produk-produk unik saat memiliki waktu lebih untuk melihat-lihat, walau konsekuensinya saya jadi berbelanja di luar daftar, haha …. 

Sebenarnya ada satu lagi me time saya. Yang ini dua mingguan: pengajian ibu-ibu Delft. Pengajian rutin ini ditujukan untuk muslimah yang tinggal di Delft dan sekitarnya. Lokasinya berpindah-pindah dari satu rumah ke rumah lain. Selain tilawah Al-Qur'an dan tahsin, kami juga berbagi tugas untuk menceritakan sirah nabi Muhammad saw. dan merenungi ayat atau hadis tertentu (tadabur). Sayangnya pandemi membuat kami tidak bisa bertatap muka dan melingkar luring. Walaupun pertemuan tetap diadakan secara daring, tidak ada yang bisa menggantikan pahala dari setiap langkah menuju majelis dan indahnya menatap wajah saudara seiman secara langsung. 

Dulu seringkali suami saya bersedia menjaga anak-anak selama saya pergi mengaji. Jika cuaca bagus, mereka juga ikut pergi jalan-jalan bersepeda atau sekadar ke taman. Kalau sudah begini, saya sejenak merasa seperti gadis kembali, haha …. 

Bagaimana dengan kamu? Bagikan cerita me time-mu setelah menjadi mama di bawah, ya!



Monday, May 10, 2021

Doa di Sepenggalan Ramadan


Ramadan tinggal sepenggalan. Alih alih kendur, justru ikat pinggang dikencangkan. Di malam-malam sepertiga sisa, doa-doa dipanjatkan. Naik ke langit berkejaran. Menembus lapis-lapis, mengetuk pintu sekalian. Berharap Sang Maha berkenan mengabulkan.

Wahai Sang Pemilik Hati,
Engkaulah yang paling mengetahui. 
Saat janji setia terucap, saat itu pula hatiku berharap. Lelaki pujaan akan menjadi suami impian, yang romantis juga puitis. Meski kutahu diri, ia tak akan sesempurna Muhammad yang mulia ataupun Ali yang pemberani.

Hari demi hari, bulan, tahun kulewati tanpa manis ucapan, bait puisi ciptaan, maupun hadiah kejutan. Namun, kecupan, perhatian, dan dukungan rupanya adalah caranya untuk menyatakan. Bahwa aku berarti untuknya. Membuatku merasa dicintainya. Aku adalah belahan jiwanya. 

Tak jarang kami berbeda pandang, walau tak sampai berperang. Wajar, kami hanyalah dua insan yang dengan izin-Mu berpaut berkelindan. Sepenuhnya kami sadar bahwa pernikahan adalah selamanya wahana belajar. Berdamai dengan diri, berpaham bahasa cinta, berkata dengan bijaksana. 

Satu yang pasti, kami menaiki perahu yang sama. Mengarungi lautan dunia menuju keabadian setelah fana. Maka ia nakhoda dan aku juru peta. Berdua menjaga bahtera agar selamat sejahtera. Berkumpul kembali di surga, sebuah cita-cita. 

Di malam-malam sepertiga sisa Ramadan, asa digantungkan, harapan dilambungkan. Pada Sang Maha kusampaikan.

Ya Rabb, jaga selalu suamiku dalam ketaatan kepada-Mu. Teguhkan ia pada jalan Rasul-Mu dan orang-orang beriman sebelum kami. Lembutkan hatinya untuk mudah menerima kebenaran agama-Mu. Mampukan ia untuk menjadi imam dalam keluarga kami. Serta, kumpulkan kami bersama anak keturunan kami di surga-Mu kelak. 

Duhai Sang Pemilik Jiwa,
Engkaulah yang paling mendengar hamba. 
Terimalah doa-doa lirih di malam Ramadan yang tinggal sepenggalan.


Schiedam, 28 Ramadan 1442 H





Monday, May 3, 2021

Ibu, Pendidik Utama Keluarga

 


Selamat Hari Pendidikan Nasional!

Saat bicara tentang Hari Pendidikan Nasional yang diperingati setiap tanggal 2 Mei, tentu kita langsung mengingat Ki Hajar Dewantara, bapak pendidikan nasional Indonesia. Beliau menentang kebijakan pemerintah Hindia Belanda yang hanya membolehkan anak orang kaya dan anak keturunan Belanda untuk bersekolah, hingga akhirnya diasingkan ke negeri Belanda. Setelah kembali ke Indonesia, beliau mendirikan Taman Siswa yang menjadi cikal bakal Sekolah Rakyat, sekolah bagi kaum lapis menengah ke bawah yang sebelumnya tidak bisa menikmati bangku pendidikan. Sepak terjang beliau kemudian yang menjadikan pemerintah Indonesia menetapkan hari kelahirannya sebagai Hari Pendidikan Nasional. 

Pada tanggal yang sama puluhan tahun kemudian lahir pula seorang pendidik. Meski hanya memiliki dua murid, justru tidak ada yang bisa menggantikan jasa pendidik ini. Tidak ada jam sekolah maupun buku teks khusus yang dipakai, tetapi ajarannya melekat membekas hingga sekarang. Pastilah namanya tidak mungkin disejajarkan dengan Ki Hajar Dewantara. Walau begitu, sosoknya berperan penting dalam proses pendewasaan dan pemanusiaan diriku, bermula jauh sebelum aku mengenal sekolah. 

Siapakah dia? Dia adalah ibuku, pendidik nomor satu di dalam keluarga. Lewat didikannya, aku mengenal Allah, Rasulullah, dan agamaku. Lewat ajarannya, aku mengenal abjad dan angka, bentuk dan warna, sains dan matematika. Lewat tuntunannya, aku mengenal cara membawa dan menempatkan diri dalam pergaulan. Lewat contoh darinya, aku mengenal cara berempati kepada sesama. 

Ibu adalah pusat di dalam keluarga. Ibu adalah sekolah pertama bagi anak-anaknya, al-ummu madrosatul ula. Dialah tangan pertama yang akan menanamkan akar karakter seorang anak. Akar yang kuat akan mampu menyangga batang ilmu yang kokoh, juga cabang dan ranting pengalaman yang menyebar. Darinya tumbuh daun kerja sama dan persaudaraan yang rimbun serta bunga amal kebaikan yang indah. Pada akhirnya buah kebahagiaan yang manis akan bisa dinikmati di dunia dan akhirat*.  

Tugas ini sangatlah berat. Oleh karena itu, sudah semestinya seorang perempuan memiliki bekal yang mumpuni agar bisa menjalankan peran alaminya kelak sebagai ibu dengan baik. Adapun bekal tersebut tidak bisa lepas dari pendidikan yang dienyam sedari kecil, pendidikan yang membentuk karakter baik yang tertanam kuat. Hal inilah yang dicurahkan Kartini dalam suratnya:

Ibu adalah pusat kehidupan rumah tangga. Kepada mereka dibebankan tugas besar mendidik anak-anaknya, pendidikan akan membentuk budi pekertinya. Berilah pendidikan yang baik bagi anak-anak perempuan. Siapkanlah dia masak-masak untuk menjalankan tugasnya yang berat. (Halaman 386)

Sekolah saja tidak cukup untuk membentuk pikiran dan perasaan manusia, rumah pun harus turut mendidik. (Halaman 565)

Dan tidak ada usaha mendidik yang lebih baik selain daripada contoh yang baik, teladan yang patut ditiru orang. (Halaman 480)

Tentu di samping bekal pendidikan, seorang ibu juga harus senantiasa meningkatkan kapasitas keilmuan dan keahlian. Apalagi di era digital seperti sekarang, tantangannya semakin besar dan berat. Ibu yang tidak melek teknologi akan kesulitan dalam membersamai anak-anak dalam mengembangkan potensi dan menemukan peran peradabannya di dunia.   

Maka dari itu, di Hari Pendidikan Nasional ini marilah kita kembali menyadari bahwa pendidikan sejatinya berawal dari rumah. Rumah adalah lingkungan pertama bagi seorang anak sebelum ia keluar dan berinteraksi sosial, sebelum ia berkenalan dengan institusi pendidikan bernama sekolah. Selain itu juga kembali menyadari bahwa ibu memegang peran sentral dalam pendidikan keluarga. Maka jadilah ibu yang cerdas agar lahir generasi yang cerdas pula. 

مَا نَحَلَ وَالِدٌ وَلَدًا مِنْ نَحْلٍ أَفْضَلَ مِنْ أَدَبٍ حَسَنٍ
 
"Tiada suatu pemberian yang lebih utama dari orang tua kepada anaknya selain pendidikan yang baik. (HR. Al-Hakim)

__________

*Terinspirasi dari pemikiran Prof. Dr. Arif Rachman, M.Pd.:

Pohon pendidikan itu...
Berakar moral, agama, dan falsafah Bangsa
Berbatang ilmu dan pengalaman,
Beranting amal yang sholeh,
Berdaun silaturahmi dan semangat kerja sama
Serta berbuah kebahagiaan dunia dan keselamatan akhirat.