Posts with the label Cerita
Showing posts with label Cerita. Show all posts
Showing posts with label Cerita. Show all posts
Wednesday, April 20, 2022
Sepenggal Kenangan dalam Sekeping Magnet
Waktu kecil, kisaran kelas enam SD, saya senang mengumpulkan barang yang hits pada zamannya. Ada tiga macam yang saya koleksi: kertas surat, kertas fail bergambar, dan perangko. Beberapa teman perempuan sekelas juga memiliki kesenangan yang sama. Jadilah kami sering bertukar koleksi kertas surat dan kertas fail bergambar. Ada kepuasan tersendiri saat memandangi kertas yang lucu-lucu itu.
Berbeda halnya untuk koleksi perangko. Saya mendapat hibah beberapa buku koleksi milik tante (iya, perangkonya sejadul itu!). Sisanya saya beli di toko buku atau ambil dari surat yang datang. Sama seperti dua koleksi lain, rasanya puas melihat deretan perangko aneka ukuran, warna, bentuk, serta gambar bercirikan negara bersangkutan atau momen khusus.
Selepas SD, hobi mengoleksi barang mulai saya tinggalkan. Meski begitu, sampai sekarang semuanya masih ada, lo. Mau dibuang, kok, sayang. Kalau Bu Marie Kondo tahu, mungkin dia akan geleng-geleng kepala. He-he-he.
Suatu hari saat berkunjung ke rumah teman, saya melihat magnet-magnet ditempel di pintu kulkasnya. Ih, kok lucu? Saya memang sudah punya satu dua magnet hasil berkunjung ke tempat wisata, tetapi belum terpikir sama sekali untuk mengoleksinya.
Nah, sejak satu malam sekitar 2010 itu, magnet mengeluarkan pesonanya. Koleksi magnet menjadi barang berharga bagi saya hingga saat ini. Setiap berkunjung ke suatu tempat, pasti saya sempatkan diri untuk mencari suvenir magnet. Sampai-sampai suami dan anak-anak saya sudah paham tentang kebiasaan ini. Ha-ha-ha.
Sayangnya tidak semua tempat wisata menyediakan suvenir berupa magnet. Ada juga yang menjual satu macam saja sehingga saya tidak punya pilihan selainnya—dan yang satu ini tidak cukup bagus menurut saya untuk dibeli. Kalau sudah begini, biasanya saya lebih memilih macam suvenir yang lain.
Sebenarnya selama tinggal di Belanda saya tidak mengumpulkan banyak magnet. Jumlahnya tidak sebanding dengan lamanya kami bermukim. Penyebab utamanya tentu adalah pandemi yang mengurangi frekuensi jalan-jalan secara drastis. Meski begitu, bila diminta untuk memilih yang paling favorit, tetap saja saya kesulitan. Saya suka magnet bertulisan ITALIA yang unik dengan gantungan kecil berbentuk ciri khas negara tersebut. Saya juga suka magnet tengkorak T-rex yang mirip fosil betulan. Roarrr ....
Apakah ada yang rusak? Oh, tentu. Ada yang sudutnya terkelupas sedikit, plastik pelapisnya lepas sebagian (dan akhirnya sekalian saya lepas semua), melengkung, patah, bahkan yang teranyar, pecah. Hiks. Mau menangis, kok, rasanya terlalu receh, tetapi yang jelas hati periiih. Untung yang pecah adalah magnet Nijntje dari Museum Nijntje yang bisa kami kunjungi lagi. Coba kalau yang pecah yang dibeli di luar negeri, masa harus balik lagi ke sana? Ini alasan yang sering saya sampaikan kepada anak-anak agar mereka paham pentingnya menjaga koleksi magnet Mama. Ha-ha-ha.
Dari semuanya, magnet bergambar lumba-lumba adalah yang paling berkesan di hati. Saya membelinya di kios suvenir setelah menonton pertunjukan lumba-lumba di Varna, Bulgaria. Pertunjukannya, sih, sesuai harapan. Kisah pendukungnyalah yang membuatnya istimewa.
Waktu itu, saya mencari hiburan yang sesuai untuk anak-anak sambil menunggu suami yang mengikuti workshop dan menemukan pertunjukan lumba-lumba, masih di kota Varna. Dari hotel, saya dan anak-anak naik taksi. Kalau dipikir sekarang, saya nekat juga waktu itu: bawa dua anak, stroller, dan gendongan, naik taksi di negeri asing.
Setelah berbelok dari jalan utama menuju lokasi, saya baru tahu kalau gedungnya jauh dari jalan raya dan sepiii. Setelah menunggu sebentar sampai jam pertunjukan dimulai, kami naik ke tribun penonton dan menikmati pertunjukan. Tidak banyak yang datang, mungkin karena bukan hari libur.
Setelah selesai, saya berburu magnet di kios suvenir, tepat di lobi utama. Saat itu saya mulai bingung, bagaimana kami akan kembali ke hotel? Tidak ada taksi yang menunggu penumpang atau yang bisa dipanggil langsung. Akhirnya saya bertanya kepada ibu penunggu kios (yang bisa berbahasa Inggris—ini super penting!) sebab saya tidak punya nomor kontak perusahaan taksi. Alih-alih memberikan nomor telepon, beliau malah memesankan taksi untuk kami. Alhamdulillah, Allah memberi bantuan lewat ibu itu. Untuk membalas kebaikan hati beliau, sambil menunggu taksi saya membelikan anak saya boneka lumba-lumba yang bisa berbunyi. Bagaimana lagi saya bisa membalasnya, selain menambah penjualannya hari itu, kan?
Moral of the story:
Meski menyukai prinsip simple living, di sisi lain saya juga suka membawa sepenggal kenangan dari masa lalu sebagai pengingat dan bahan cerita kepada anak-anak. Things that spark joy, kalau versi Marie Kondo. Karena itu, bagi saya, mengoleksi magnet seperti win-win solution. Ukurannya relatif kecil dan mudah dipindah-pindah sehingga tidak butuh banyak ruang penyimpanan. Saya tidak merasa terbebani secara pikiran dengan mengoleksi magnet. Lagi pula, biasanya saya hanya membeli satu magnet dari setiap tempat yang saya kunjungi.
Semoga cerita soal hobi mengoleksi magnet saya dapat menginspirasi Mamah untuk punya aktivitas favorit dan menceritakannya juga, ya! Eh, tapi kalau mau ikut Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog, sih, hari ini kesempatan terakhir untuk setor. Hi-hi-hi.
Berbeda halnya untuk koleksi perangko. Saya mendapat hibah beberapa buku koleksi milik tante (iya, perangkonya sejadul itu!). Sisanya saya beli di toko buku atau ambil dari surat yang datang. Sama seperti dua koleksi lain, rasanya puas melihat deretan perangko aneka ukuran, warna, bentuk, serta gambar bercirikan negara bersangkutan atau momen khusus.
Selepas SD, hobi mengoleksi barang mulai saya tinggalkan. Meski begitu, sampai sekarang semuanya masih ada, lo. Mau dibuang, kok, sayang. Kalau Bu Marie Kondo tahu, mungkin dia akan geleng-geleng kepala. He-he-he.
Suatu hari saat berkunjung ke rumah teman, saya melihat magnet-magnet ditempel di pintu kulkasnya. Ih, kok lucu? Saya memang sudah punya satu dua magnet hasil berkunjung ke tempat wisata, tetapi belum terpikir sama sekali untuk mengoleksinya.
Nah, sejak satu malam sekitar 2010 itu, magnet mengeluarkan pesonanya. Koleksi magnet menjadi barang berharga bagi saya hingga saat ini. Setiap berkunjung ke suatu tempat, pasti saya sempatkan diri untuk mencari suvenir magnet. Sampai-sampai suami dan anak-anak saya sudah paham tentang kebiasaan ini. Ha-ha-ha.
Sayangnya tidak semua tempat wisata menyediakan suvenir berupa magnet. Ada juga yang menjual satu macam saja sehingga saya tidak punya pilihan selainnya—dan yang satu ini tidak cukup bagus menurut saya untuk dibeli. Kalau sudah begini, biasanya saya lebih memilih macam suvenir yang lain.
![]() |
Koleksi magnet pramerantau ke Belanda |
Magnet favorit
Adalah wajar bila dari sekian banyak benda koleksi, seseorang memiliki yang paling favorit. Alasannya bisa karena bentuknya yang unik, warnanya seperti warna kesukaan, cara mendapatkannya yang sulit, atau ya … karena suka aja. Kadangkala tak perlu logika untuk menyukai sesuatu. #azeek.Sebenarnya selama tinggal di Belanda saya tidak mengumpulkan banyak magnet. Jumlahnya tidak sebanding dengan lamanya kami bermukim. Penyebab utamanya tentu adalah pandemi yang mengurangi frekuensi jalan-jalan secara drastis. Meski begitu, bila diminta untuk memilih yang paling favorit, tetap saja saya kesulitan. Saya suka magnet bertulisan ITALIA yang unik dengan gantungan kecil berbentuk ciri khas negara tersebut. Saya juga suka magnet tengkorak T-rex yang mirip fosil betulan. Roarrr ....
![]() |
Koleksi magnet selama tinggal di Belanda. Mana yang paling Mamah suka? |
Insiden (tak) berdarah
Meski anak-anak sudah tahu, magnet yang tertempel di kulkas adalah punya Mama dan mereka tidak boleh bermain dengannya, mereka sesekali minta (baca: berinisiatif mengambil kursi dan mengambilnya sendiri) untuk memegangnya. Tentu ini terjadi saat kebetulan saya ada di dapur. Jika tidak, bisa saja mereka tertangkap basah sedang bermain dengan magnet-magnet itu di luar dapur.Apakah ada yang rusak? Oh, tentu. Ada yang sudutnya terkelupas sedikit, plastik pelapisnya lepas sebagian (dan akhirnya sekalian saya lepas semua), melengkung, patah, bahkan yang teranyar, pecah. Hiks. Mau menangis, kok, rasanya terlalu receh, tetapi yang jelas hati periiih. Untung yang pecah adalah magnet Nijntje dari Museum Nijntje yang bisa kami kunjungi lagi. Coba kalau yang pecah yang dibeli di luar negeri, masa harus balik lagi ke sana? Ini alasan yang sering saya sampaikan kepada anak-anak agar mereka paham pentingnya menjaga koleksi magnet Mama. Ha-ha-ha.
Magnet: mesin waktu kenangan
Alasan membeli suvenir pastinya berbeda bagi setiap orang. Bagi saya, suvenir ibarat mesin waktu yang membawa ingatan saya kembali kepada tempat tertentu. Setiap melihat koleksi magnet, saya ingat waktu, tempat, dan suasana terkait, lalu cerita pun mengalir ibarat adegan film yang diputar ulang.Dari semuanya, magnet bergambar lumba-lumba adalah yang paling berkesan di hati. Saya membelinya di kios suvenir setelah menonton pertunjukan lumba-lumba di Varna, Bulgaria. Pertunjukannya, sih, sesuai harapan. Kisah pendukungnyalah yang membuatnya istimewa.
![]() |
Menonton lumba-lumba beraksi di Dolphinarium Varna |
Waktu itu, saya mencari hiburan yang sesuai untuk anak-anak sambil menunggu suami yang mengikuti workshop dan menemukan pertunjukan lumba-lumba, masih di kota Varna. Dari hotel, saya dan anak-anak naik taksi. Kalau dipikir sekarang, saya nekat juga waktu itu: bawa dua anak, stroller, dan gendongan, naik taksi di negeri asing.
Setelah berbelok dari jalan utama menuju lokasi, saya baru tahu kalau gedungnya jauh dari jalan raya dan sepiii. Setelah menunggu sebentar sampai jam pertunjukan dimulai, kami naik ke tribun penonton dan menikmati pertunjukan. Tidak banyak yang datang, mungkin karena bukan hari libur.
Setelah selesai, saya berburu magnet di kios suvenir, tepat di lobi utama. Saat itu saya mulai bingung, bagaimana kami akan kembali ke hotel? Tidak ada taksi yang menunggu penumpang atau yang bisa dipanggil langsung. Akhirnya saya bertanya kepada ibu penunggu kios (yang bisa berbahasa Inggris—ini super penting!) sebab saya tidak punya nomor kontak perusahaan taksi. Alih-alih memberikan nomor telepon, beliau malah memesankan taksi untuk kami. Alhamdulillah, Allah memberi bantuan lewat ibu itu. Untuk membalas kebaikan hati beliau, sambil menunggu taksi saya membelikan anak saya boneka lumba-lumba yang bisa berbunyi. Bagaimana lagi saya bisa membalasnya, selain menambah penjualannya hari itu, kan?
Moral of the story:
- Cari info yang detail di Google Maps tentang lokasi tempat yang belum pernah kita datangi.
- Jangan ragu untuk bertanya dan kalau perlu, meminta bantuan. Kita tidak tahu, orang baik ada di mana-mana.
- Nekat itu tidak mengapa, asal jangan sering-sering. Ha-ha-ha.
Penutup
Hobi mengoleksi barang terlihat tidak sesuai dengan prinsip simple living. Instead of reducing possessions, we add more and more. Sebenarnya ini bisa dipahami karena dengan memiliki sedikit barang, otomatis beban pikiran kita juga akan berkurang. Hidup kita akan lebih ringan. Namun, sisi sentimentil yang menyertai suatu barang seringkali membuat kita menjauhi simple living.Meski menyukai prinsip simple living, di sisi lain saya juga suka membawa sepenggal kenangan dari masa lalu sebagai pengingat dan bahan cerita kepada anak-anak. Things that spark joy, kalau versi Marie Kondo. Karena itu, bagi saya, mengoleksi magnet seperti win-win solution. Ukurannya relatif kecil dan mudah dipindah-pindah sehingga tidak butuh banyak ruang penyimpanan. Saya tidak merasa terbebani secara pikiran dengan mengoleksi magnet. Lagi pula, biasanya saya hanya membeli satu magnet dari setiap tempat yang saya kunjungi.
Semoga cerita soal hobi mengoleksi magnet saya dapat menginspirasi Mamah untuk punya aktivitas favorit dan menceritakannya juga, ya! Eh, tapi kalau mau ikut Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog, sih, hari ini kesempatan terakhir untuk setor. Hi-hi-hi.
Friday, March 25, 2022
Pengalaman Memperbarui Paspor di Belanda
Paspor adalah dokumen penting yang wajib disimpan dengan baik, apalagi bagi WNI yang bertempat tinggal di luar wilayah Indonesia. Selain itu, penting pula untuk memperhatikan masa berlaku paspor, yakni lima tahun untuk paspor hijau. Karena paspor Milie dan saya akan habis dalam waktu dekat, sekalian saja saya mendaftarkan nama kami berdua untuk memperpanjang paspor di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Den Haag.
Sebelum saya bercerita tentang pengalaman memperpanjang paspor di Belanda, kita bahas dulu tentang proses yang ada di Indonesia, yuk. Kebetulan orang tua baru selesai membuat paspor setelah yang sebelumnya kedaluwarsa tanpa diperpanjang. Ternyata sekarang ada yang berubah, lo!
Membuat paspor di Indonesia
Lima tahun lalu kami harus datang pagi-pagi ke kantor imigrasi untuk mengambil nomor antrean. Orang-orang datang sebelum jam operasional kantor dan sudah berdiri mengular, bahkan pada pukul 7 pagi! Sungguh perjuangan luar biasa dan tentunya tidak mudah. Untungnya ada prioritas untuk anak-anak dan lansia sehingga antrean pelayanan relatif lebih pendek—tetapi yang di luar sih, sama saja.
Sekarang sistemnya sudah diganti. Pendaftaran permohonan paspor harus dilakukan melalui APAPO (Aplikasi Pendaftaran Antrean Permohonan Paspor secara Online). Antrean hanya dibuka setiap Jumat pukul 16.00 untuk mendapatkan nomor antrean pekan berikutnya (Senin—Jumat). Mau tidak mau, kita harus sigap. Jika kehabisan kuota, kita harus menunggu satu pekan dan mencoba peruntungan di Jumat berikutnya.
![]() |
APAPO di Playstore |
Namun, menurut pengalaman orang tua, prioritas untuk anak-anak dan lansia tetap ada. Hanya saja, mereka tidak perlu mendaftar lewat aplikasi, melainkan harus datang langsung ke lokasi untuk mendapatkan nomor antrean. Ibu saya kehabisan jatah lansia yang cuma 10 orang setiap hari meski sudah datang pukul 06.30 pagi. Sepertinya orang lain datang benar-benar sehabis subuh, deh. Luar biasa.
Kok, kesannya, baik mendaftar lewat aplikasi, maupun datang langsung karena termasuk golongan yang mendapatkan prioritas sama-sama repot, ya? Mengingat ini adalah pelayanan publik, seharusnya prosesnya dibuat sederhana dan transparan. Kalau memang ingin tetap ada antrean prioritas untuk anak-anak dan lansia, buat saja sistemnya di dalam aplikasi yang sama. Dengan begitu, mereka tidak perlu datang esok harinya (atau esok dan esoknya lagi) bila kehabisan kuota di hari itu.
Memperpanjang paspor di Belanda
Pendaftaran yang mudah
Bagaimana dengan proses pembuatan paspor di Belanda? Tentu kondisinya berbeda setelah pandemi. Pada 2018 dan 2020 kami sempat membuat paspor baru untuk dua anak yang lahir di Belanda. Sistemnya sedikit berbeda, tetapi yang sekarang malah lebih baik. Bravo!
Dulu kami bisa datang kapan saja di waktu yang telah ditentukan untuk pembuatan paspor. Setelah melapor di pos jaga, kami mendapat nomor antrean, lalu menunggu dipanggil untuk pemeriksaan berkas. Setelah diperiksa, kami langsung difoto dan membayar. Paspor baru dapat diambil pada tanggal dan jam yang tertera di kuitansi pembayaran.
![]() |
Gedung KBRI Den Haag, tetapi bukan untuk urusan imigrasi. Untuk urusan tersebut, kita masuk melalui pintu terpisah tepat di samping pintu pagar gedung ini (foto: dokumentasi pribadi). |
Sekarang kita harus membuat janji dulu di situs KBRI Den Haag. Setelah mengisi kolom-kolom yang ada, kita akan mendapatkan konfirmasi melalui surel, berikut formulir permohonan yang sudah diisi rapi oleh komputer dalam bentuk PDF, tanpa perlu mengisi manual seperti dulu. Di dalam surel tersebut juga ada beberapa persyaratan yang harus kita bawa saat datang ke KBRI, yaitu (1) paspor lama, (2) formulir permohonan, (3) satu lembar foto paspor, (4) kutipan buku nikah/akte kelahiran/ijazah, dan (5) izin tinggal.
Sehari sebelum waktunya tiba, sebuah surel lain datang untuk mengingatkan. Di bagian bawah ada pilihan seandainya kita akan membatalkan janji untuk esok hari. Terus terang terobosan ini di luar ekspektasi saya tentang sebuah institusi pemerintah Indonesia. Sewaktu di Indonesia saya tidak ingat pernah mendapatkan surel semacam ini. Karena itu, waktu membaca judul dan isinya, saya terperangah sekaligus salut. Namun, dibandingkan SMS—di Belanda pengingat biasa dikirimkan melalui SMS dua hari atau sehari sebelumnya—pengingat melalui surel lebih besar kemungkinannya untuk tidak terbaca. Meski sudah mengeset push notification, tidak ada notifikasi apa pun yang masuk ke ponsel saya. Untungnya saya membuka surel hari itu. Kalau tidak, ya, tidak mengapa sebab saya sudah menuliskannya di agenda. He-he-he.
Hari H yang banyak kejutan
Pada hari H kami datang tepat sesuai waktu perjanjian. Setelah melapor, kami dipersilakan untuk masuk dan langsung menuju aula di bagian belakang gedung. Di sana tersedia kursi-kursi yang disusun berjarak satu dengan yang lain. Suasananya sepi saat itu, mungkin efek dari penyebaran pengunjung berdasarkan waktu kedatangan.
![]() |
Aula tempat mengajukan permohonan dan pengambilan paspor (foto: dokumentasi pribadi). |
Karena tidak diberi nomor antrean, saya duduk saja di salah satu kursi sambil menunggu orang yang sedang dilayani selesai. Agak tricky memang karena staf tidak bisa mengetahui siapa yang datang lebih dulu. Benar saja, berselang sedikit setelah saya ada ibu dan anaknya datang. Belum sempat mereka mengambil tempat duduk, salah satu staf yang loketnya sudah kosong bertanya ke arah kami, “Ibu sudah dibantu?” Sambil setengah bingung (padahal dia sempat menoleh ke arah saya!), dia menjawab, “Belum” dan langsung menuju ke arah meja loket. Pedih!
Entah mengapa KBRI tidak menyediakan nomor antrean. Saat saya sudah menyelesaikan semua urusan, hal serupa terjadi juga antara seorang ibu dan bapak. Si ibu yang merasa berhak dilayani duluan akhirnya menang, lagi pula perempuan selalu benar, kan? Ha-ha-ha.
![]() |
Pohon sakura sedang mekar sempurna di depan gedung KBRI (foto: dokumentasi pribadi). |
Giliran saya tiba untuk pemeriksaan berkas. Saya dan Milie duduk di depanku staf yang bertugas. Dengan sigap semua dokumen saya serahkan. Eng ing eng … ternyata ada yang kurang, Saudara-Saudara, padahal saya merasa yakin sudah membawa semuanya, sampai saya double check sebelum berangkat. Bukan punya saya yang kurang, melainkan punya Milie. Di dalam surel yang saya terima, persyaratan untuk saya (dewasa) dan Milie (anak-anak) sama saja, tetapi begitu di loket saya dimintai salinan paspor ayah, kutipan surat nikah orang tua, dan salinan izin tinggal ayah karena baik Milie maupun suami adalah WNI. Untung (alhamdulillah!) suami saya ada di rumah, sehingga semua dokumen tambahan bisa dikirim via WA lalu saya teruskan ke alamat surel KBRI. Staf yang lain lantas mencetaknya di tempat.
Agak aneh, ya. Menurut beliau persyaratan ini ada di situs KBRI, tetapi saya tidak merasa membacanya. Alhamdulillah bapak staf itu tidak menyalahkan, tidak memburu-buru, dan sangat kooperatif sehingga setelah semua persyaratan lengkap, permohonan kami bisa diproses.
Berikutnya adalah panggilan untuk foto, pengecekan ulang nama dan tanggal lahir, serta pembayaran dengan kartu. Bahkan sebelum pandemi, KBRI sudah menerapkan pembayaran tanpa uang kontan. Semua proses ini dilayani oleh ibu staf yang sangat ramah. Jadwal pengambilan paspor tertera di kuitansi, yakni 10 hari kerja, jauh lebih lama daripada proses di Indonesia yang memakan waktu empat hari kerja saja.
![]() |
Foyer gedung KBRI khusus untuk urusan imigrasi (foto: dokumentasi pribadi). |
Pengambilan paspor
Slot waktu pengambilan paspor ada di siang hari, sedangkan permohonan paspor di pagi hari. Waktu saya datang untuk mengambil paspor, saya tidak lagi perlu menulis data diri di buku tamu, melainkan dipersilakan langsung masuk ke aula. Suasananya bahkan lebih sepi daripada sesi pagi hari.
Setelah menyerahkan kuitansi, bapak staf mencari paspor saya dan Milie di kotak. Yeay, kami punya paspor baru! Paspor lama pun ikut dikembalikan. Lumayan untuk koleksi paspor dan visa. He-he-he.
Oh iya, soal persyaratan dokumen untuk perpanjangan paspor anak, sesaat lalu saya cek lagi di situs KBRI dan hasilnya masih nihil. Eh, jangan-jangan ada di bagian ‘Membuat paspor pertama untuk anak”? Jeng … jeng … benar ada, dong! Seharusnya persyaratan tambahan khusus untuk anak juga ditulis di bagian “Memperbaharui atau mengganti paspor” agar tidak ada kejadian seperti yang saya alami.
Penutup
Membuat paspor di KBRI Belanda jauh lebih simpel daripada di Indonesia, khususnya soal pendaftaran. Dengan pemilihan waktu kedatangan yang bisa dilakukan kapan saja, kami tidak perlu mantengin aplikasi plus deg-degan berharap dapat jatah nomor antrean.
Namun, meski ada perbaikan positif oleh KBRI, bukan berarti semua prosesnya sudah sempurna. Semoga setiap lembaga yang melayani publik terus mengevaluasi diri dan berbenah secara berkala agar dapat memberikan pelayanan yang optimal kepada masyarakat.
Tuesday, January 25, 2022
Serunya Bergabung di WAG Ngeblog dari Nol
Kilas balik setitik dulu, ya. Waktu masih muda (sekarang juga masih berjiwa muda, sih 😁) saya suka menulis di blog. Tentu waktu itu isinya lebih banyak tentang pengalaman sehari-hari atau curahan hati. Setelah menikah dan memiliki anak, rasanya 24 jam sehari itu sudah habis untuk urusan domestik dan mengurus anak. Kebiasaan menulis pun dengan sendirinya tersisihkan.
Namun, seperti yang saya ceritakan di sini, sejak mengikuti grup Mamah Gajah Bercerita, saya (yang memang tertarik dengan dunia tulis menulis) mulai terpapar dengan segala sesuatu yang berkaitan dengan literasi baca tulis. Layaknya semesta mendukung, suatu hari promosi kelas blogging muncul di feed Instagram saya. Saya baru ingat, saya punya blog yang tentunya sudah menjadi tempat laba-laba bersarang 😆.
“Oke, ini menarik. Saya mau ikut, ah!”
Awalnya sesederhana itu (dan memang pencapaian besar kadang bermula dari alasan simpel). Saya membuka kembali blog, mengganti namanya, mengubah tampilannya, mempelajari fungsi-fungsi pengaturannya. Singkat kata, saya mulai berbenah. Tulisan-tulisan yang saya buat dalam rangka memenuhi tantangan pekanan grup pun mulai memenuhi blog. Makin hari, saya makin tertarik dengan kegiatan mengeblog.
Bertemu komunitas IIDN
Melalui Instagram, saya mengikuti akun satu akun komunitas bloger ke akun lain, hingga akhirnya saya bertemu dengan komunitas Ibu-Ibu Doyan Nulis (IIDN). Kebetulan waktu itu buku “Ngeblog dari Nol” karya para maestro blog IIDN baru akan diluncurkan. Bersamaan dengannya, dibuka kesempatan untuk masuk ke grup WhatsApp Ngeblog dari Nol. Wow, tanpa pikir panjang, saya segera mendaftar. Alhamdulillah saya masih mendapat tempat di grup pertama.
Bergabung di WAG Ngeblog dari Nol
Sesuai namanya, aktivitas di WAG Ngeblog dari Nol, ya, seputar blog dan mengeblog (ya iya, lah … 😜). Para mentor yang sudah berpengalaman di dunia blog benar-benar membimbing anggota grup untuk mulai mengeblog dari nol. Bisa dibilang, misi dari grup ini adalah melahirkan lebih banyak bloger berkualitas. Keren banget, kan?
Walau bukan anggota yang aktif, bahkan termasuk silent reader, sampai saat ini saya belum (dan semoga tidak) berniat untuk beranjak dari WAG Ngeblog dari Nol. Mau tahu alasannya?
Ini dia, nih, enam hal yang membuat WAG Ngeblog dari Nol istimewa bagi saya.
1. Dibimbing mentor berpengalaman
Buku Ngeblog dari Nol ditulis oleh Mbak Widyanti Yuliandari, Mbak Alfa Kurnia, dan Mbak Nunu Amir. Beliau bertiga jugalah yang menjadi mentor kami. Para mentor dengan baik hati berbagi ilmu, menyuntikkan semangat, dan menjawab pertanyaan yang dilontarkan sewaktu-waktu.
2. Materi terstruktur dan bersahabat untuk newbie
Kalau boleh mengajukan revisi nama, sepertinya judul Ngeblog dari Minus lebih tepat. Bagaimana tidak? Kami dibimbing dari poin yang paling penting sebelum memulai aktivitas apa pun, termasuk ngeblog. Apalagi kalau bukan tentang motivasi/niat. Dalam Islam, bab niat inilah yang menjadi penentu satu aktivitas bernilai ibadah atau tidak.
Setelah itu, kami diminta untuk menentukan lingkup topik yang akan diusung oleh blog masing-masing. Para mentor tak segan mengajari kami untuk membuat blog berbasis Blogspot, lalu mendorong kami untuk praktik menulis di blog. Materi-materi berikutnya pun sudah dijadwalkan secara rapi. Hebatnya, ini semua tanpa biaya, lo. Gratis bukan berarti tidak serius, kan?
Menulis blog itu susah-susah gampang (ilustrasi: Freepik). |
3. Bertabur info
Enaknya bergabung di komunitas adalah kita bisa ikut belajar dari pertanyaan teman dan jawaban mentor. Begitu juga saya. Dari percakapan di grup, saya memungut dua info yang super berharga.
Pertama, soal clear formatting. Saya biasa menulis draf di aplikasi lain, bukan di editor Blogspot. Saat menyalin tempel, ada saja format teks yang berubah. Cara menyiasatinya adalah dengan memilih opsi clear formatting setelah menyalin tempel. Baru setelah itu, saya memformat ulang tulisan sesuai keinginan, termasuk heading, subheading, dan lainnya.
Kedua, soal penyedia template. Waktu masih memakai domain blogspot.com saya memakai template gratis dari gooyaabitemplates. Namun, untuk blog TLD saya ingin mengganti tampilan agar lebih segar. Info tentang Etsy saya dapat dari mentor di grup Ngeblog dari Nol. Jadilah blog bernuansa pink yang masih saja membuat kepincut setiap kali membukanya.
4. Ada agenda blogwalking
Sepertinya tidak afdal, jika komunitas bloger tidak punya agenda saling mengunjungi blog (blogwalking). Dengan blogwalking, kita bisa belajar, mendapat sudut pandang baru, memantik ide untuk menulis, sambil meningkatkan traffic untuk blog kita sendiri. Ikut blogwalking di grup Ngeblog dari Nol adalah target saya ke depan, bergantian dengan agenda serupa di komunitas lain.
Selain menyalurkan hobi dan berbagi ilmu dan pengalaman, kita juga bisa berjejaring lewat ngeblog (ilustrasi: Freepik). |
5. Ada umpan balik tentang kualitas pos
Dari mana kita tahu kualitas tulisan kita sudah baik atau belum jika tidak ada umpan balik? Di sinilah peran mentor untuk membuat mentee naik kelas. Umpan balik yang diberikan oleh mentor di grup Ngeblog dari Nol untuk tulisan-tulisan teman-teman menjadi catatan bagi saya untuk juga memperbaiki kualitas tulisan yang saya pos di blog. Kehadiran mentor yang lebih dulu terjun di dunia blog sangat membantu kami untuk naik setahap demi setahap. Terima kasih!
6. Banyak program pendukung yang keren
Selain bimbingan di grup, para mentor juga berbagi ilmu melalui sesi-sesi Instagram Live di akun IIDN @ibuibudoyannulis. Ada juga webinar dengan tema terkait blogging untuk pemula. Kami bisa memanfaatkan fasilitas yang ada untuk meningkatkan kapasitas diri sebagai bloger.
Kemudian, di awal tahun ini IIDN membuka kelas 2022 Blogging Goals for Newbie. Wah, ini kesempatan emas yang tidak boleh terlewat. Makanya, artikel ini saya tulis sebagai syarat pendaftaran. Semoga setelah lulus dari kelas ini, saya makin mantap untuk menjadi mom blogger. Aamiin.
Penutup
Komunitas IIDN terbilang baru untuk saya. Meski begitu, saya terkesan dengan keaktifan dan kerapian kerja pengurusnya. Semoga komunitas ini, khususnya WAG Ngeblog dari Nol, dapat menjadi wadah yang tepat bagi saya untuk tumbuh dan berkembang di dunia kepenulisan, terutama blogging.
Kalau kamu, ikut komunitas sesuai minat juga? Ceritakan di kolom komentar, ya!
Tuesday, January 4, 2022
Menjadi Blog TLD dengan Blogspot (2)
Catatan:
Pos ini adalah bagian kedua cerita transformasi dari blog lama mutilaksmi.blogspot.com ke muttimuti.com. Untuk yang belum membaca bagian pertama, bisa langsung klik di sini.
Kali ini, saya akan berbagi pengalaman tentang tiga hal teknis yang saya lakukan sehingga menjadi blog TLD seperti yang kamu lihat. Semoga bisa menginspirasi, ya!
Nama blog
Sebenarnya sembari menimbang dua pilihan antara tetap memakai Blogspot atau beralih ke self-hosted, saya memiliki kegalauan kedua: menentukan nama! Urusan ini tidak boleh dianggap remeh. Rasanya seperti saat memikirkan nama anak: dilarang salah. Sekali tertulis di akte kelahiran, sulit untuk mengubahnya lagi.
Nama itu mahapenting karena merupakan bagian dari citra blog/situs kita. Karenanya, sebelum menentukan nama, akan lebih baik jika kita memikirkan beberapa hal terlebih dahulu.
- Sesuai citra. Gambaran apa yang kita ingin orang lain dapatkan saat membaca nama blog kita? Bisa jadi itu terkait dengan niche blog. Sebagai contoh, blog yang berisi artikel tentang parenting akan memakai kata “mama”, “mom”, “baby”, “kids”, “anak”, “keluarga”, dan lainnya. Kita bisa juga menggunakan nama sendiri jika memang niche blog kita adalah personal and lifestyle. Syaratnya, nama kita memenuhi tiga poin di bawah.
- Mudah disebutkan dan mudah diingat. Karena kita berbahasa Indonesia, nama dengan bahasa Indonesia akan lebih mudah diucapkan. Namun, bukan berarti kita tidak boleh memakai bahasa lain, misalnya bahasa Inggris, selama tidak mengundang kesalahan penyebutan. Hindari pula nama yang lewah huruf, contohnya “khakhisemoet”. Orang akan sulit mengingat, yang benar ”khakhi”, “khaki”, “kakhi”, atau “kaki”? “Semoet”, “semot”, “semet”, atau “semut”? Selain itu, jangan memakai angka di nama blog karena lagi-lagi itu membuat nama blog sulit untuk diingat.
- Singkat lebih baik. Berbeda dengan nama anak yang tidak punya batasan karakter, nama blog yang terlalu panjang rentan salah saat ditulis di browser. Menurut saya, satu hingga tiga kata pendek untuk nama blog/situs sudah paling pas, misalnya “detik”, “keluargakita”, “thesaltedmamas”. Rumusnya mirip, lah, dengan nama majalah/koran yang umumnya hanya memakai satu hingga dua kata.
- Unik alias tidak pasaran. Nama yang unik akan stand out dan mudah dibedakan dari nama blog/situs lain. Contohnya, “pohontomat” yang salah satu Instagram posnya (@pohontomat) menjadi inspirasi saya menulis perihal syarat nama ini. Super unik, kan?
Dengan mempertimbangkan empat poin di atas, saya memikirkan beberapa kemungkinan nama. Pertama, meneruskan nama yang sudah ada: mutilaksmi. Nama ini sama dengan nama akun Instagram yang lebih dulu eksis. Yang saya pernah dengar, menyamakan nama blog dengan nama yang dipakai di media sosial lain itu penting untuk personal branding (padahal saya juga belum tahu mau mencitrakan diri seperti apa). Namun, saya merasa kurang sreg jika memakai nama ini untuk blog baru. Alasannya lebih karena ingin menghindari penggunaan nama pribadi.
Lah, nama yang sekarang, kan, pakai nama pribadi?
Tunggu dulu, ceritanya belum sampai situ.
Karena preferensi tersebut, tercetuslah ide untuk memakai kata dalam bahasa Belanda. Niatnya sebagai penanda titik awal perjalanan blog baru sebab ia lahir saat saya masih tinggal di Belanda, begitu. Beberapa pilihan nama terpikir, mulai dari gezin (keluarga), gezellig (nyaman), sampai hagelslag (meses)—kami penggemar berat meses dengan berbagai varian. Saya coba memasukkan satu per satu ke dalam kotak pencari nama di situs perusahaan penyewaan hosting dan domain. Ada yang masih tersedia; ada juga yang tidak. Namun, saya masih terus mencari kemungkinan nama lain karena rasanya belum ada yang benar-benar pas di hati.
Sampai pada akhirnya … terbitlah ilham untuk memakai nama muttimuti, out of nowhere. It was like an Aha! moment for me. Namanya singkat, mudah diingat, unik karena berima, dan yang terpenting: mewakili citra saya sebagai ibu (mutti berarti ibu dalam bahasa Jerman) yang ingin saya gunakan di blog. Memang nama tersebut menggunakan nama pribadi, tetapi, ah, saya rela, kok. I'm in love with the name.
Blog name, checked!
Sewa domain
Seperti saya sebutkan di pos bagian satu, kita bisa upgrade domain, baik Blogspot maupun WordPress.com, langsung di dashboard. Untuk Blogspot, caranya mudah.
- Pilih Settings;
- Cari bagian Publishing;
- Pilih Custom Domain;
- Klik Buy A Domain;
- Masukkan nama blog;
- Pilih domain yang diinginkan;
- Lakukan proses pembayaran;
- Blog TLD siap digunakan.
Pilih Buy A Domain untuk membeli domain langsung di Blogspot |
Walau dalam Euro biayanya hanya €1/bulan (seharga satu kotak susu 1 l), ternyata itu masih lebih mahal dibandingkan harga sewa dari penyedia layanan hosting dan domain di Indonesia, contohnya, Niagahoster, Hostinger, Sahabat Hosting, Dewaweb, dan DomaiNesia. Duh, jiwa emak-emak saya meronta. Saya pun mencari harga dari beberapa perusahaan dan menjatuhkan pilihan pada salah satunya. Kita bisa menyewa domain per satu tahun atau lebih, kemudian memperpanjang kontrak setelahnya. Tentu makin lama masa sewa, biayanya akan makin murah—tipis, sih, tetapi lumayan untuk jajan semangkuk bakso.
Singkat cerita, dibantu dengan panduan yang jelas, resmilah blog saya berubah menjadi muttimuti.com. Alhamdulillah. Galaunya lama, prosesnya sebentar. Dasar wanita!
Domain, checked!
Template gratis atau premium?
Tampilan juga merupakan perkara penting. Sebenarnya sah saja jika kita mau memakai template bawaan Blogspot. Namun, agar terlihat lebih estetis, kita bisa memakai template gratis, misalnya yang disediakan oleh gooyaabitemplates.com—blog lama saya, mutilaksmi.blogspot.com, menggunakan salah satu template dari sini—dan memasukkan kode HTML-nya ke bagian Theme-Customize-Edit HTML di dashboard. Ini adalah salah satu keunggulan Blogspot dibandingkan WordPress.com. Untuk yang paham bahasa pemrograman, kode ini bisa diutak-atik lagi. Saya, sih, sudah mengibarkan bendera putih duluan. Ha-ha-ha.
Sayangnya sependek pengetahuan saya, semua (atau setidaknya sebagian besar) template gratis yang ada memiliki homepage layout yang standar. Artinya, halaman pertama blog langsung berisi daftar tulisan terakhir dan profil di sidebar kanan atau kiri. Meski ada yang ditambah variasi slider di bagian atas halaman, format selebihnya tetap sama. Saya ingin layout yang berbeda. Lagipula dengan meniadakan pengeluaran untuk sewa hosting, saya bisa mengalihkan sedikit modal untuk membeli template premium. He-he-he.
Berkat info dari grup WA Ibu-Ibu Doyan Nulis (IIDN), saya mulai browsing template Blogspot di Etsy dengan memasukkan kata kunci blogspot template. Untuk yang belum familiar dengan Etsy, ini adalah marketplace global untuk produk-produk unik dan kreatif. Saya sudah lama mengenal Etsy, tetapi baru tahu kalau beragam template/desain dijual di sana.
Sebelum mulai pilah pilih, ada sedikit tips dari saya.
- Pasang filter harga dulu sebelum terlanjur patah hati dengan harga satu template. Waktu itu saya mematok budget maksimal €25. Walau kenyataannya, saya hanya menengok yang di bawah €15. Hi-hi-hi.
- Lihat tanggal update terakhir. Makin baru tanggalnya, makin baik. Artinya, kita akan mendapat versi terakhir dari template tersebut. Tambahan lagi, tanggal update menunjukkan keaktifan desainer dalam meningkatkan performa template.
- Cek tampilan melalui alamat URL live demo yang tersedia di deskripsi produk. Kita bisa klik setiap page yang mau kita lihat, serta melihat font yang dipakai (jenis, ukuran, tipe heading, subheading, bullet, numbering), tampilan quotes, dan tautan. Selain itu, ada juga alamat URL untuk melihat responsive pages jika blog kita dibuka di berbagai jenis ponsel dan tablet.
- Baca ulasan pembeli, baik untuk template tertentu maupun untuk template lain yang dijual oleh toko tersebut. Dari sini kita bisa menilai kualitas layanan yang diberikan oleh penjual. Jika menemukan kesulitan saat pemasangan, kita bisa mendapatkan bantuan dan solusi dari penjual dengan cepat dan ramah.
- Cek cara pembayaran yang tersedia. Karena Etsy adalah marketplace global, sistem pembayaran yang tersedia juga yang bersifat global. Kita tidak bisa membayar via transfer bank lokal, transfer ATM, apalagi e-wallet lokal, seperti GoPay, ShopeePay, atau OVO. Pilihan untuk pembeli yang berlokasi di Indonesia hanya ada dua: PayPal dan kartu kredit. Saya beruntung karena untuk pelanggan Eropa ada pilihan iDeal yang terhubung ke rekening bank (milik suami tentunya).
- Pantau harga setiap hari. Sebenarnya tips terakhir ini karena saya mendapat harga diskon secara tidak sengaja. Dari awal saya browsing template, harganya berubah-ubah. Harga asli template yang saya pakai ini ada di kisaran €13, kemudian beberapa hari setelahnya berubah menjadi €9-an. Langsung saja saya masukkan ke dalam keranjang, tetapi saya tidak langsung check out karena masih ingin melihat-lihat yang lain (dasar!). Eh, di hari-hari penghujung 2021, harganya turun lagi menjadi €7-an! Rezeki memang tidak akan ke mana-mana. Tanpa pikir panjang, saya check out saat itu juga. Now or never, khawatir hari Senin harga naik lagi.
Template, checked!
Meski sudah menyelesaikan ketiganya, saya masih memiliki tugas tersisa: mengganti blog banner di setiap pos lama. Karena ganti template berarti ganti tampilan, di template baru ini tulisan pada banner lama tertumpuk oleh tulisan judul pos. Agar lebih nyaman dilihat, saya merasa harus menggantinya dengan desain yang baru (dan merepotkan diri sendiri!). Beberapa pos terakhir (yang muncul di homepage) sudah saya ubah. Namun, sisanya masih banyaaak. #ketawamiris #lapkeringat
Ya, sudah, lah, woles saja dulu sambil selonjoran. Ganti sisanya kapan-kapan. Yang penting, homepage sudah rapi jali. Ha-ha-ha.
Penutup
Sepanjang perjalanan saya ngeblog, baru kali ini saya membuat keputusan besar. Semoga dengan berbagi cerita di baliknya, saya jadi memiliki alasan kuat untuk tetap ngeblog. Bila suatu saat malas melanda, saya bisa membuka dua pos ini untuk kemudian memecut diri untuk kembali ke jalur yang benar: menulis.
Kalau kamu, apa peristiwa terbesarmu selama ngeblog?
Sunday, January 2, 2022
Menjadi Blog TLD dengan Blogspot (1)
Pertama-tama, selamat tahun baru 2022! Semoga kita menjadi diri yang lebih baik lagi tahun ini. Aamiin.
Dengan semangat tahun baru, akhirnya blog baru saya resmi diluncurkan. Yeay! Setelah jadi beban pikiran selama berminggu-minggu (tidak bermaksud lebai, tapi memang begitu kenyataannya), akhirnya sebelum tahun 2021 berganti, blog lama mutilaksmi.blogspot.com berubah wujud menjadi muttimuti.com. Rasanya seperti pecah bisul (walau saya belum pernah punya bisul, sih, dan jangan sampai). He-he-he. Bisa dibilang, ini adalah penutup tahun yang manis karena sekarang saya memiliki rumah yang cantik untuk tulisan-tulisan saya.
Karena lumayan berliku, saya mau cerita tentang perjalanan menuju bintang blog bernuansa merah muda ini. Semoga cerita saya bisa membantu teman-teman yang siapa tahu sedang gundah gulana dalam meningkatkan kasta blog masing-masing, ya!
Pilih Blogspot, WordPress.com, atau WordPress.org?
Dulu waktu pertama kali ngeblog, saya sama sekali tidak mengerti perbedaan ketiganya. Sampai akhirnya memilih Blogspot pun, it's totally random. WordPress tidak pernah saya lirik—meski banyak yang bilang ngeblog di WordPress lebih enak—karena sudah merasa nyaman dengan fakta bahwa Blogspot adalah anak perusahaan Google. Dengan menggunakan akun yang sama dengan surel, saya bisa langsung masuk ke dashboard Blogspot dan tidak perlu membuat akun lagi. Praktis!
Nah, gara-gara bergabung di Mamah Gajah Ngeblog tahun lalu dan menjadi kontributor lepas untuk situsnya (yang menggunakan WordPress.org), saya jadi tahu dan sadar bahwa Blogspot itu ternyata … sederhana sekali. Ha-ha-ha. Karenanya, saya serius menimbang untuk pindah platform, (ceritanya) demi rumah yang lebih nyaman. Saya bahkan mencoba membuat akun di WordPress.com untuk mencicipi beragam fasilitas yang memudahkan dalam membangun blog yang ciamik.
Di grup Mamah Gajah Ngeblog pula saya pernah melempar pertanyaan soal mana yang lebih unggul, Blogspot, WordPress.com, atau WordPress.org (self hosted). Ternyata masing-masing ada pro kontranya. Keputusan terakhir kembali lagi kepada kebutuhan dan kondisi keuangan setiap orang.
Gratis: WordPress.com dan Blogspot
Untuk pecinta produk gratisan, ada dua platform yang bisa dipilih: WordPress.com dan Blogspot. Seperti sudah disebutkan di atas, WordPress lebih unggul dari sisi fitur dashboard dibandingkan Blogspot. Di sisi lain, Blogspot unggul dari segi template yang fleksibel untuk diganti-ganti. Caranya adalah dengan menyesuaikan kode HTML di bagian Theme. Banyak template gratis yang bisa kita pakai, misalnya seperti yang tersedia di gooyaabitemplates.com. Di WordPress.com, kita hanya bisa memakai template yang tersedia, dengan beberapa kemungkinan variasi saja, di antaranya header, font, dan warna latar.
Kita bisa ubah tampilan dengan menyunting kode HTML |
Kelebihan Blogspot lainnya adalah kapasitas penyimpanannya. Kapasitas Blogspot (15 GB) jauh melewati jatah yang diberikan WordPress.com, yakni 3 GB saja. Konon sebenarnya kapasitas sebesar ini cukup, asal setiap foto yang kita posting harus di bawah 100 KB. Ya … memang jadi agak repot untuk resize, sih.
Sayangnya, dua kekurangan Blogspot berikut mengurangi kenyamanan saat menulis di editor dan membuat saya tergoda untuk ganti platform ke WordPress.
1. Ukuran font suka berganti sendiri. Walaupun saat menulis draf, kita sudah mengeset ukuran tertentu, di preview ukurannya bisa berubah sendiri secara acak di paragraf tertentu, kalimat tertentu, bahkan di sebagian kalimat. It makes me frustrated. Saya sudah mengikuti tips clear formatting setelah menempel teks dari aplikasi lain—biasanya saya menulis di Gdocs, tetapi masalah ini masih saja muncul.
2. Posisi gambar tidak sesuai dengan keinginan. Kalau kita memasukkan gambar belakangan setelah menulis teks, gambar suka muncul bukan di lokasi yang kita maksud. Kadang dia muncul di permulaan badan teks, seringnya muncul di akhir badan teks. This also makes me frustrated.
Berbayar: WordPress.org
Untuk yang ingin blognya bisa didesain sendiri, serta ditambah fitur-fitur pendukung, WordPress.org adalah pilihan terbaik. Kekurangannya, jargon "ada harga, ada rupa" berlaku. Biaya sewa hosting plus sewa domain lumayan menguras pos keuangan dan memangkas pos jajan. Setahun angkanya bisa mencapai Rp400 ribuan untuk paket yang sesuai bagi blog pribadi. Makanya, yang mengambil pilihan ini harus menyiapkan budget khusus per periode sewa. Salah satu cara menyiasatinya adalah dengan mencari promo sewa hosting, biasanya per tiga atau empat tahun. Dengan begini, selain menghemat, kita bisa mendapatkan spesifikasi paket yang lebih lengkap.
Sebagai informasi, hosting ibarat bangunan rumah, domain itu seperti alamat rumah. Dengan menyewa hosting, kita bisa membangun dan menghias rumah kita sendiri.
Top Level Domain (TLD)
Istilah "Top Level Domain" (TLD) baru saya akrabi semenjak mengikuti kelas blogging pada Maret tahun lalu. Dari sana, saya yang mulai terekspos dengan info tentang lomba blog banyak menemukan syarat "blog harus sudah TLD". Apakah ini pertanda untuk saya agar lebih serius ngeblog? He-he-he.
Apa itu TLD? Ringkasnya, blog TLD bisa dibedakan dari alamatnya. Bila masih berujung wordpress.com atau blogspot.com (atau .co.id), blog tersebut belum memiliki TLD. TLD sendiri tidak terbatas pada akhiran .com. Sekarang banyak akhiran lain yang bisa dipilih, antara lain .net, .info, .org, .co, dan .id. Sebagai tambahan, ada juga akhiran yang umum kita temui seperti .or.id, .sch.id, biz.id, .web.id dan ada juga yang unik, seperti .xyz dan .my.id. Yang terakhir mulai banyak dipilih karena harga sewanya yang sangat terjangkau.
Nah, dalam hal transformasi dari blog gratisan ke blog TLD, Blogspot lebih unggul daripada WordPress.com. Mengapa? Sebenarnya baik Blogspot maupun WordPress.com menyediakan fasilitas upgrade ke TLD. Namun, Blogspot mematok harga yang jauh lebih murah daripada WordPress.com. Sebagai perbandingan dalam Euro, biaya di Blogspot adalah €12/tahun, sedangkan WordPress.com €48/tahun, empat kali lipatnya! Oleh karena itu, pilihan saya tinggal dua: 1) terus memakai Blogspot dan membeli domain saja, atau 2) beralih ke WordPress.org, menyewa hosting, sekaligus membeli domain.
Akhirnya tetap di Blogspot
Sejujurnya, opsi kedua sangat menggiurkan. Saya bisa mendesain sendiri dan memakai fitur/plug-in sesuai dengan kebutuhan, juga terbebas dari dua masalah teknis seperti yang saya sebutkan di atas. Namun, biaya yang besar membuat saya ragu-ragu. Alhasil, setelah berlarut-larut dalam kegalauan, saya memutuskan untuk mengambil opsi pertama. Alasannya:
1. Menghemat biaya. Tidak dipungkiri, aspek biaya adalah faktor utama. Apakah saya bisa menutup modal setiap tahun dengan hadiah dari lomba blog, misalnya? Mengingat pada awalnya niat saya menulis di blog adalah untuk menuangkan pemikiran dan berbagi pengalaman, saya tidak (atau belum) memandangnya sebagai pekerjaan yang mendatangkan penghasilan. Well, untuk menuju ke sana setidaknya saya sudah menempuh langkah pertama: blog TLD!
2. Mengukur konsistensi. Semua orang pasti sepakat dengan pernyataan “menjadi konsisten itu berat”, tetapi di saat yang sama tidak ada yang menolak ungkapan “salah satu kunci sukses adalah konsistensi”. Blog saya mulai terisi berkat mengikuti tantangan rutin di Mamah Gajah Bercerita dan Mamah Gajah Ngeblog, tetapi di luar itu saya masih berjuang untuk mencari waktu yang tepat untuk menulis secara konsisten.
Dulu saya merasa sebagai night owl. Namun, seiring dengan waktu, saya lebih mudah lelah di malam hari setelah beraktivitas seharian. Siapa bilang jadi ibu penuh waktu (apalagi yang tidak memiliki ART dan tinggal di tanah rantau alias si saya) itu mudah? Maka dari itu, saya mencoba menjadi early bird meski sebenarnya bukan gue banget. Saya berusaha bangun lebih pagi untuk bekerja, termasuk menulis. Tidak setiap pagi semuanya berjalan mulus. Jika sedang apes, semua rencana akan bubar akibat bayi yang bangun terlalu pagi. Wakwaw.
Tidak muluk-muluk, salah satu target saya tahun ini adalah menulis dengan konsisten di blog. Ya … seminggu minimal dua pos, deh. Sayang, dong, blog sudah bagus, tetapi isinya jarang diperbarui? #ihiy #pasangikatkepala
Penutup
Untuk (setidaknya) setahun ini sepertinya saya harus berdamai dengan kesederhanaan dan kekurangan Blogspot. Untungnya, perasaan kurang nyaman itu terkompensasi dengan tampilan blog yang manis dan feminin. Secara umum, saya bahagia dengan perubahan yang ada. Alhamdulillah. #startsyukur
Rencananya setelah satu atau dua tahun saya akan kembali melihat kemungkinan untuk pindah boyongan ke WordPress.org meski ada konsekuensi “semua dimulai dari nol” lagi. Mungkin pada saat itu saya akan lebih mantap dan percaya diri untuk menyematkan titel “bloger” atau “mom blogger” di profil diri. Siapa tahu, kan? Untuk sekarang, mari rayakan blog baru ini dengan suka cita!
*****
Baca juga bagian kedua yang berisi detail teknis hingga blog ini bisa berwajah seperti yang kamu lihat, ya!
Tuesday, November 30, 2021
Tahun 2021-ku
Tahun 2021 dibuka dengan kuncitara total di Belanda. Toko-toko nonesensial tutup. Fasilitas umum tutup. Sekolah libur. Jumlah tamu yang berkunjung ke rumah dibatasi. Perjalanan yang tidak penting harus dihindari. Jam malam diberlakukan.
Kami bertanya-tanya kapan kuncitara akan selesai karena setiap mendekati tanggal yang ditetapkan sebagai akhir periode kuncitara, pemerintah mengumumkan perpanjangan. Kuncitara berlangsung dari yang awalnya satu bulan, diperpanjang menjadi dua bulan, lalu diperpanjang lagi menjadi tiga bulan. Kebijakan kuncitara diperlonggar menginjak bulan Maret sampai akhirnya pada bulan Juni pemerintah Belanda tidak lagi membatasi acara kumpul-kumpul. Jarak 1.5 m pun tidak berlaku. Penduduk Belanda bisa menikmati musim panas dengan gembira.
Apakah kisahnya berhenti sampai di situ, happily ever after? Oh, tentu tidak. Saat ini kami kembali berada di masa kuncitara parsial karena angka positif Covid-19 di Belanda meningkat drastis. Semoga saja keadaannya tidak separah di awal tahun.
Menjelang bulan Desember, mari kita kilas balik tahun 2021 dan mengambil pelajaran hidup darinya. Ya saya tahu, memang biasanya orang melakukan itu di bulan terakhir, tetapi demi Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog, saya rela melakukannya lebih awal (uhuk ...). Ini dia lima pelajaran hidup saya tahun ini yang tidak diurutkan berdasarkan waktu kejadian.
Waktu itu baru anak sulung saya sudah bersekolah TK. Seharusnya adiknya mulai masuk kelompok bermain, tetapi tertunda oleh kuncitara. Situasi belajar dari rumah--di sini tidak ada istilah khusus semacam PJJ--membuat saya tahu materi (bahasa dan matematika) yang dipelajari anak sesuai kelasnya. Hal ini tentu lebih sulit saat anak bersekolah normal. Saya hanya menerima hasil berupa prakarya atau lembar kerja setiap periode tertentu. Pada pertemuan orang tua dan guru pun yang dibahas adalah perkembangan kemampuan anak di kelas.
Sepertinya ini adalah hikmah kuncitara bagi A. Dia melihat kesulitan sebagai tantangan dan mampu mengubahnya menjadi kesempatan. Cara berpikir ini tentu berlaku umum, tidak hanya dalam perkara bisnis. Namun, tidak semua orang mau dan mampu melakukannya. Kalau kamu gimana? Masih suka meratapi kesulitan atau memilih untuk membalikkannya jadi peluang?
Tambahan:
Saya termasuk yang senang dengan adanya toko daring A. Berkatnya, kami mendapatkan stroller dengan harga murah, tetapi berkualitas baik, untuk si bayi. Bravo A!
Kami bukannya tidak pernah melaporkan perihal ini kepada pihak penyewa--kami tidak bisa memperbaiki sendiri karena tinggal di apartemen. Beberapa kali suami saya mengirimkan surel, tetapi responnya lambat sekali. Waktu akhirnya ada seseorang yang datang untuk mengecek kondisi, kami senang dan berharap ada solusi. Sayangnya setelah itu tidak ada tindakan apa-apa, nihil. Dua kali begitu. Sampai pandemi datang, kondisi di toilet dan wastafel masih sama.
Melihat situasi pandemi mereda, pada pertengahan tahun suami saya kembali menghubungi pihak penyewa. Sebelumnya kami tidak menanyakan kelanjutan inspeksi karena enggan ada orang asing masuk ke dalam rumah. Akhirnya ada orang yang datang untuk (lagi-lagi) memeriksa kondisi. Kami tidak mau memasang ekspektasi tinggi agar tidak kecewa seperti dulu.
Tiba-tiba di hari Jumat tiga pekan lalu suami saya mendapat telepon bahwa akan ada perbaikan pipa pada hari Senin pekan depannya. Alhamdulillah! Bye-bye bocor! Tidak hanya pipa yang diganti, tetapi seperangkat kloset dan wastafelnya. Dua-duanya gres.
Saya jadi berpikir apakah ini rezeki kami atau sebenarnya kami hanya terciprat rezeki orang lain?
Yang mana pun jawabannya, saya jadi menyadari bahwa apa yang kita nikmati bukan selalu murni rezeki kita. Bisa jadi ada rezeki orang lain di dalamnya (contohnya, zakat/sedekah) atau malah kita yang “menumpang” di dalam rezeki orang lain. Ingatlah untuk selalu bersyukur dan bersyukur terus, ya!
Pada bulan berikutnya saya mengikuti kelas blog. Kalau tidak salah ingat, awalnya saya iseng mengeklik satu tautan akun Instagram di IG Story. Ternyata pemilik akun tersebut membuka berbagai kelas, salah satunya kelas blog. Boleh juga, nih, pikir saya. Biayanya hanya seperdua-puluh dari kelas blog milik narablog asal AS yang saya minati di awal tahun. Keputusan saya mengikuti kelas blog menjadi penyebab blog saya bangkit dari mati suri dan pendorong saya bergabung di MGN.
Meski sudah mengikuti tantangan menulis pekanan di MaGaTa dan bulanan di MGN, saya masih tertarik dengan cerita anak. Mungkin karena di Belanda saya menemui beragam buku cerita anak dengan tema dan alur yang unik dan nyeleneh, mulai dari perceraian orang tua hingga feses binatang. Ha-ha-ha. Karena itu, beberapa kali saya mengikuti webinar dan kelas cerita anak. Ternyata membuat cerita anak itu menyenangkan, lo, meski tidak mudah.
Saya yakin banyak kondisi yang membuat kita berpikir sebelum mengambil keputusan. Apa pendapat orang lain bila saya melakukan ini? Apakah saya (tetap) akan diterima oleh mereka? Sebaliknya, apakah saya malah akan dihakimi tanpa ditanya alasan saya melakukan ini? Pikiran-pikiran tersebut, jujur, sangat melelahkan. Kita akan hidup untuk menyenangkan orang lain, untuk memenuhi harapan orang lain. Kita takut untuk berbeda, untuk mengambil jalan yang tidak umum.
Berita baiknya, pikiran seperti itu bukan sepenuhnya salah kita, melainkan peran sistem sosial. Layaknya bell curve yang menggambarkan distribusi normal dalam statistik, mayoritas orang berada di area tengah. Hanya sedikit yang berada di ujung kiri atau kanan. Artinya, memang secara alamiah kita akan cenderung mengikuti kebiasaan masyarakat di tempat kita berada. Biarpun begitu, bukan berarti selamanya kita tidak bisa menjadi berbeda, bukan? Nah, pertanyaan berikutnya adalah kapan kita lebih baik mengikuti harapan masyarakat dan kapan kita mempertahankan pilihan kita yang (mungkin) berbeda? Jawabannya boleh ditulis di kolom komentar, ya! He-he-he.
Tidak saya sangka sebelumnya, ternyata peristiwa kecil nan sederhana mengandung hikmah yang bisa dipetik. Itu mengapa perlu refleksi akhir tahun, ya (baru ngeh). Semoga pelajaran yang saya ambil dari peristiwa yang terjadi tahun ini juga menjadi pelajaran bagi para pembaca. Semoga di tahun depan dan tahun-tahun berikutnya kita menjadi semakin bijak dalam berpikir, berbicara, dan bertindak. Aamiin.
Selamat berefleksi diri di akhir tahun!
Kami bertanya-tanya kapan kuncitara akan selesai karena setiap mendekati tanggal yang ditetapkan sebagai akhir periode kuncitara, pemerintah mengumumkan perpanjangan. Kuncitara berlangsung dari yang awalnya satu bulan, diperpanjang menjadi dua bulan, lalu diperpanjang lagi menjadi tiga bulan. Kebijakan kuncitara diperlonggar menginjak bulan Maret sampai akhirnya pada bulan Juni pemerintah Belanda tidak lagi membatasi acara kumpul-kumpul. Jarak 1.5 m pun tidak berlaku. Penduduk Belanda bisa menikmati musim panas dengan gembira.
Apakah kisahnya berhenti sampai di situ, happily ever after? Oh, tentu tidak. Saat ini kami kembali berada di masa kuncitara parsial karena angka positif Covid-19 di Belanda meningkat drastis. Semoga saja keadaannya tidak separah di awal tahun.
Menjelang bulan Desember, mari kita kilas balik tahun 2021 dan mengambil pelajaran hidup darinya. Ya saya tahu, memang biasanya orang melakukan itu di bulan terakhir, tetapi demi Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog, saya rela melakukannya lebih awal (uhuk ...). Ini dia lima pelajaran hidup saya tahun ini yang tidak diurutkan berdasarkan waktu kejadian.
01. There's a bright side in everything.
Seperti saya sebutkan di atas, pemerintah menutup sekolah pada awal tahun 2021. Itu artinya semua kegiatan belajar dilakukan di rumah. Pihak sekolah memberikan materi harian yang perlu dipelajari anak dan orang tua tinggal mengikuti instruksinya.Waktu itu baru anak sulung saya sudah bersekolah TK. Seharusnya adiknya mulai masuk kelompok bermain, tetapi tertunda oleh kuncitara. Situasi belajar dari rumah--di sini tidak ada istilah khusus semacam PJJ--membuat saya tahu materi (bahasa dan matematika) yang dipelajari anak sesuai kelasnya. Hal ini tentu lebih sulit saat anak bersekolah normal. Saya hanya menerima hasil berupa prakarya atau lembar kerja setiap periode tertentu. Pada pertemuan orang tua dan guru pun yang dibahas adalah perkembangan kemampuan anak di kelas.
![]() |
(Jadilah ibu yang sabar dalam mendampingi anak saat belajar dari rumah. Foto: gpointstudio di Freepik) |
Salah satu yang membuat saya terpukau adalah materi pengajaran bahasa. Anak-anak belajar tentang rima melalui buku cerita bergambar dan benda sehari-hari. Sampai sekarang si sulung masih melakukan permainan rima bersama adiknya. Pengalaman ini saya kembangkan menjadi opini dan bisa dibaca di situs web Mamah Gajah Ngeblog (MGN), lo.
Walau banyak orang tua mengeluhkan kesulitan mereka mendampingi anak-anak belajar di rumah, hal tersebut tidak melulu negatif, kok. Semua tergantung cara pandang kita. Hal seburuk apa pun, yang membuat tidak nyaman sekali pun, bisa kita ambil sisi positifnya. Justru sikap seperti ini akan membuat hidup kita lebih ringan dan lebih kaya. Benar, ‘nggak?
Namun, rupanya serangan negara api di awal tahun membuat A berpikir ulang. Enggak bisa kayak begini terus. Bisa bangkrut kita. Karena termasuk toko nonesensial, A harus tutup selama kuncitara. A yang sebelumnya mengandalkan pembelian luring di toko harus memutar otak dan mengubah strategi bisnisnya agar dapat tetap bertahan.
Walau banyak orang tua mengeluhkan kesulitan mereka mendampingi anak-anak belajar di rumah, hal tersebut tidak melulu negatif, kok. Semua tergantung cara pandang kita. Hal seburuk apa pun, yang membuat tidak nyaman sekali pun, bisa kita ambil sisi positifnya. Justru sikap seperti ini akan membuat hidup kita lebih ringan dan lebih kaya. Benar, ‘nggak?
02. What doesn't kill you makes you stronger.
Di Belanda ada satu toko retail besar (sebut saja “A”) yang menjual aneka barang. Jaringannya luas hingga ke delapan negara Eropa lain. Yang unik adalah walau besar, A tidak memiliki toko daring! Jika membuka situsnya, kita hanya menemukan deretan produk dengan harga masing-masing, tanpa ada pilihan “masukkan ke keranjang belanja”. Di era digital yang serba daring, biasanya pebisnis memasukkan toko daring sebagai salah satu strategi bisnisnya. Kita pun menjadi akrab dengan teriakan “paket!” (ayo, ngaku!).Namun, rupanya serangan negara api di awal tahun membuat A berpikir ulang. Enggak bisa kayak begini terus. Bisa bangkrut kita. Karena termasuk toko nonesensial, A harus tutup selama kuncitara. A yang sebelumnya mengandalkan pembelian luring di toko harus memutar otak dan mengubah strategi bisnisnya agar dapat tetap bertahan.
Perubahan ini terlihat saat saya melewati depan toko A semasa kuncitara masih berlangsung. Ada sebuah meja panjang dan tulisan “titik pengambilan”. Karena penasaran, saya membuka situsnya dan benar saja, A memutuskan untuk membuka toko daring! Wow, what a surprise!
![]() |
(Jangan terus-menerus merasa terkurung. Siapa tahu sebenarnya ada pemandangan indah di luar sana. Gambar: bedneyimages di Freepik) |
Sepertinya ini adalah hikmah kuncitara bagi A. Dia melihat kesulitan sebagai tantangan dan mampu mengubahnya menjadi kesempatan. Cara berpikir ini tentu berlaku umum, tidak hanya dalam perkara bisnis. Namun, tidak semua orang mau dan mampu melakukannya. Kalau kamu gimana? Masih suka meratapi kesulitan atau memilih untuk membalikkannya jadi peluang?
Tambahan:
Saya termasuk yang senang dengan adanya toko daring A. Berkatnya, kami mendapatkan stroller dengan harga murah, tetapi berkualitas baik, untuk si bayi. Bravo A!
03. Ada rezeki orang lain di dalam rezeki kita.
Dari awal kami menempati sepetak rumah ini pada tahun 2018, sudah ada kebocoran pipa air di toilet kami. Akibatnya setiap kali kami menyiram kloset, pasti ada air yang keluar. Tepat di bawah titik bocor tersebut ada wadah yang ditaruh oleh penghuni sebelumnya. Setelah beberapa waktu berselang titik bocor kedua muncul di pipa wastafel. Anehnya, tidak seperti pipa di toilet, air menetes terus-menerus meski keran sudah ditutup.Kami bukannya tidak pernah melaporkan perihal ini kepada pihak penyewa--kami tidak bisa memperbaiki sendiri karena tinggal di apartemen. Beberapa kali suami saya mengirimkan surel, tetapi responnya lambat sekali. Waktu akhirnya ada seseorang yang datang untuk mengecek kondisi, kami senang dan berharap ada solusi. Sayangnya setelah itu tidak ada tindakan apa-apa, nihil. Dua kali begitu. Sampai pandemi datang, kondisi di toilet dan wastafel masih sama.
Melihat situasi pandemi mereda, pada pertengahan tahun suami saya kembali menghubungi pihak penyewa. Sebelumnya kami tidak menanyakan kelanjutan inspeksi karena enggan ada orang asing masuk ke dalam rumah. Akhirnya ada orang yang datang untuk (lagi-lagi) memeriksa kondisi. Kami tidak mau memasang ekspektasi tinggi agar tidak kecewa seperti dulu.
Tiba-tiba di hari Jumat tiga pekan lalu suami saya mendapat telepon bahwa akan ada perbaikan pipa pada hari Senin pekan depannya. Alhamdulillah! Bye-bye bocor! Tidak hanya pipa yang diganti, tetapi seperangkat kloset dan wastafelnya. Dua-duanya gres.
Saya jadi berpikir apakah ini rezeki kami atau sebenarnya kami hanya terciprat rezeki orang lain?
![]() |
(Count your blessings, not your problems. Gambar: Gordon Johnson di Pixabay) |
Kami berencana untuk meninggalkan rumah ini pada pertengahan tahun depan. Seorang teman yang baru memulai studi doktoralnya berminat untuk melanjutkan sewa rumah seperti halnya kami empat tahun lalu. Dia sudah tahu soal kebocoran pipa sewaktu berkunjung untuk melihat-lihat kondisi rumah. Tak dinyana nanti dia tidak perlu melakukan rutinitas membuang air hasil tampungan karena sudah tidak ada lagi yang bocor.
Yang mana pun jawabannya, saya jadi menyadari bahwa apa yang kita nikmati bukan selalu murni rezeki kita. Bisa jadi ada rezeki orang lain di dalamnya (contohnya, zakat/sedekah) atau malah kita yang “menumpang” di dalam rezeki orang lain. Ingatlah untuk selalu bersyukur dan bersyukur terus, ya!
04. Temukan potensi dengan belajar hal baru.
Hal baru yang saya lakukan tahun ini memiliki satu benang merah: menulis. Mulanya adalah saat saya bergabung dengan komunitas Mamah Gajah Bercerita (MaGaTa) pada tahun 2020, lalu mencoba mengikuti tantangan menulis pekanan sejak Februari 2021. Pada periode yang sama saya mengambil peluang yang ditawarkan seorang teman untuk mengikuti proyek antologi cerpen anak. Saya banyak belajar, termasuk berkenalan dengan PUEBI dan KBBI.Pada bulan berikutnya saya mengikuti kelas blog. Kalau tidak salah ingat, awalnya saya iseng mengeklik satu tautan akun Instagram di IG Story. Ternyata pemilik akun tersebut membuka berbagai kelas, salah satunya kelas blog. Boleh juga, nih, pikir saya. Biayanya hanya seperdua-puluh dari kelas blog milik narablog asal AS yang saya minati di awal tahun. Keputusan saya mengikuti kelas blog menjadi penyebab blog saya bangkit dari mati suri dan pendorong saya bergabung di MGN.
Meski sudah mengikuti tantangan menulis pekanan di MaGaTa dan bulanan di MGN, saya masih tertarik dengan cerita anak. Mungkin karena di Belanda saya menemui beragam buku cerita anak dengan tema dan alur yang unik dan nyeleneh, mulai dari perceraian orang tua hingga feses binatang. Ha-ha-ha. Karena itu, beberapa kali saya mengikuti webinar dan kelas cerita anak. Ternyata membuat cerita anak itu menyenangkan, lo, meski tidak mudah.
![]() |
(Keluar dari zona nyaman, yuk! Mencoba hal baru itu menyenangkan. lo! Gambar: macrovector di Freepik) |
Satu lagi, tahun ini saya belajar tentang penyuntingan. Berangkat dari kesenangan saya memperbaiki kesalahan berbahasa, serta memperhatikan detail, saya mengambil posisi sebagai editor di tim media dan dakwah di sebuah komunitas sejak Juni 2021. Kemudian, bulan ini saya mengikuti kelas edit naskah. Wah, ternyata profesi editor itu ibarat dokter bedah, lo. Bedanya, yang menjadi pasien adalah naskah penulis, baik orang lain, maupun karya sendiri.
Dari belajar banyak hal baru saya jadi sadar minat dan potensi saya di bidang tulis-menulis. Seandainya tidak mencoba, belum tentu saya tahu. Kalaupun akhirnya tahu, jalannya akan lebih panjang.
Banyak orang memilih untuk tetap berada di dalam zona nyaman dan enggan belajar hal baru. Saya tidak mengatakan itu salah. Namun, dengan mencobanya kita akan dapat membedakan mana yang kita suka dan tidak suka, mampu dan tidak mampu kerjakan. Lagi pula hal baru akan membuat hidup lebih berwarna. Jadi, hal baru apa yang mau kamu coba tahun depan?
Chilblains biasanya terjadi di musim dingin sebagai reaksi terhadap udara dingin. Saya tidak mengerti mengapa gejala ini baru muncul pada tiga tahun terakhir, padahal saya sudah pernah merasakan beberapa kali musim dingin (dengan suhu yang lebih rendah). Apakah karena faktor U alias usia? #sensitif
Dari belajar banyak hal baru saya jadi sadar minat dan potensi saya di bidang tulis-menulis. Seandainya tidak mencoba, belum tentu saya tahu. Kalaupun akhirnya tahu, jalannya akan lebih panjang.
Banyak orang memilih untuk tetap berada di dalam zona nyaman dan enggan belajar hal baru. Saya tidak mengatakan itu salah. Namun, dengan mencobanya kita akan dapat membedakan mana yang kita suka dan tidak suka, mampu dan tidak mampu kerjakan. Lagi pula hal baru akan membuat hidup lebih berwarna. Jadi, hal baru apa yang mau kamu coba tahun depan?
05. Tidak perlu selalu mempertimbangkan pendapat orang lain.
Ini musim dingin ketiga jari-jari tangan dan kaki saya bengkak dan memerah (bahkan sampai biru). Awalnya di bagian buku, lalu merambat ke sendi. Rasanya? Tentu saja nyeri saat disentuh, apa lagi ditekan. Selain itu, saya merasakan sensasi terbakar dan gatal di bagian tersebut. Setelah bertanya kepada Paman Google, ternyata saya terkena chilblains.Chilblains biasanya terjadi di musim dingin sebagai reaksi terhadap udara dingin. Saya tidak mengerti mengapa gejala ini baru muncul pada tiga tahun terakhir, padahal saya sudah pernah merasakan beberapa kali musim dingin (dengan suhu yang lebih rendah). Apakah karena faktor U alias usia? #sensitif
Biasanya chilblains mereda setelah beberapa minggu. Caranya adalah dengan menjaganya tetap hangat. Walau suhu di luar masih di atas 10°C (dan saya masih merasa tidak butuh pelindung apa-apa), saya harus tetap menutupi tangan dengan sarung tangan. Sempat terpikir, apa kata orang lain saat melihat saya pakai sarung tangan? Apakah saya akan dianggap aneh? Pikiran itu saya tepis sendiri, tapi, kan, mereka tidak tahu masalah dan kebutuhan saya. Untuk apa saya memusingkan pendapat orang lain?
(Kita akan bersinggungan dengan banyak pendapat orang dalam hidup kita. Seberapa jauh kita mau mempertimbangkannya? Gambar: rawpixel.com di freepik.com) |
Saya yakin banyak kondisi yang membuat kita berpikir sebelum mengambil keputusan. Apa pendapat orang lain bila saya melakukan ini? Apakah saya (tetap) akan diterima oleh mereka? Sebaliknya, apakah saya malah akan dihakimi tanpa ditanya alasan saya melakukan ini? Pikiran-pikiran tersebut, jujur, sangat melelahkan. Kita akan hidup untuk menyenangkan orang lain, untuk memenuhi harapan orang lain. Kita takut untuk berbeda, untuk mengambil jalan yang tidak umum.
Berita baiknya, pikiran seperti itu bukan sepenuhnya salah kita, melainkan peran sistem sosial. Layaknya bell curve yang menggambarkan distribusi normal dalam statistik, mayoritas orang berada di area tengah. Hanya sedikit yang berada di ujung kiri atau kanan. Artinya, memang secara alamiah kita akan cenderung mengikuti kebiasaan masyarakat di tempat kita berada. Biarpun begitu, bukan berarti selamanya kita tidak bisa menjadi berbeda, bukan? Nah, pertanyaan berikutnya adalah kapan kita lebih baik mengikuti harapan masyarakat dan kapan kita mempertahankan pilihan kita yang (mungkin) berbeda? Jawabannya boleh ditulis di kolom komentar, ya! He-he-he.
Penutup
Kok, cuma lima pelajaran hidup? Karena tenggat waktu pengumpulan tautan tulisan tinggal 1,5 jam lagi, Saudara-Saudara, padahal daftar yang sudah saya buat masih berderet (ehem ...). Apakah itu artinya perlu ada bagian kedua? Ha-ha-ha.Tidak saya sangka sebelumnya, ternyata peristiwa kecil nan sederhana mengandung hikmah yang bisa dipetik. Itu mengapa perlu refleksi akhir tahun, ya (baru ngeh). Semoga pelajaran yang saya ambil dari peristiwa yang terjadi tahun ini juga menjadi pelajaran bagi para pembaca. Semoga di tahun depan dan tahun-tahun berikutnya kita menjadi semakin bijak dalam berpikir, berbicara, dan bertindak. Aamiin.
Selamat berefleksi diri di akhir tahun!
Subscribe to:
Posts (Atom)