Pengalaman Memperbarui Paspor di Belanda

Paspor adalah dokumen penting yang wajib disimpan dengan baik, apalagi bagi WNI yang bertempat tinggal di luar wilayah Indonesia. Selain itu, penting pula untuk memperhatikan masa berlaku paspor, yakni lima tahun untuk paspor hijau. Karena paspor Milie dan saya akan habis dalam waktu dekat, sekalian saja saya mendaftarkan nama kami berdua untuk memperpanjang paspor di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Den Haag.

Sebelum saya bercerita tentang pengalaman memperpanjang paspor di Belanda, kita bahas dulu tentang proses yang ada di Indonesia, yuk. Kebetulan orang tua baru selesai membuat paspor setelah yang sebelumnya kedaluwarsa tanpa diperpanjang. Ternyata sekarang ada yang berubah, lo!


Membuat paspor di Indonesia

Lima tahun lalu kami harus datang pagi-pagi ke kantor imigrasi untuk mengambil nomor antrean. Orang-orang datang sebelum jam operasional kantor dan sudah berdiri mengular, bahkan pada pukul 7 pagi! Sungguh perjuangan luar biasa dan tentunya tidak mudah. Untungnya ada prioritas untuk anak-anak dan lansia sehingga antrean pelayanan relatif lebih pendek—tetapi yang di luar sih, sama saja.

Sekarang sistemnya sudah diganti. Pendaftaran permohonan paspor harus dilakukan melalui APAPO (Aplikasi Pendaftaran Antrean Permohonan Paspor secara Online). Antrean hanya dibuka setiap Jumat pukul 16.00 untuk mendapatkan nomor antrean pekan berikutnya (Senin—Jumat). Mau tidak mau, kita harus sigap. Jika kehabisan kuota, kita harus menunggu satu pekan dan mencoba peruntungan di Jumat berikutnya.

APAPO di Playstore

Namun, menurut pengalaman orang tua, prioritas untuk anak-anak dan lansia tetap ada. Hanya saja, mereka tidak perlu mendaftar lewat aplikasi, melainkan harus datang langsung ke lokasi untuk mendapatkan nomor antrean. Ibu saya kehabisan jatah lansia yang cuma 10 orang setiap hari meski sudah datang pukul 06.30 pagi. Sepertinya orang lain datang benar-benar sehabis subuh, deh. Luar biasa.

Kok, kesannya, baik mendaftar lewat aplikasi, maupun datang langsung karena termasuk golongan yang mendapatkan prioritas sama-sama repot, ya? Mengingat ini adalah pelayanan publik, seharusnya prosesnya dibuat sederhana dan transparan. Kalau memang ingin tetap ada antrean prioritas untuk anak-anak dan lansia, buat saja sistemnya di dalam aplikasi yang sama. Dengan begitu, mereka tidak perlu datang esok harinya (atau esok dan esoknya lagi) bila kehabisan kuota di hari itu.

Memperpanjang paspor di Belanda

Pendaftaran yang mudah

Bagaimana dengan proses pembuatan paspor di Belanda? Tentu kondisinya berbeda setelah pandemi. Pada 2018 dan 2020 kami sempat membuat paspor baru untuk dua anak yang lahir di Belanda. Sistemnya sedikit berbeda, tetapi yang sekarang malah lebih baik. Bravo!

Dulu kami bisa datang kapan saja di waktu yang telah ditentukan untuk pembuatan paspor. Setelah melapor di pos jaga, kami mendapat nomor antrean, lalu menunggu dipanggil untuk pemeriksaan berkas. Setelah diperiksa, kami langsung difoto dan membayar. Paspor baru dapat diambil pada tanggal dan jam yang tertera di kuitansi pembayaran.

Gedung KBRI Den Haag, tetapi bukan untuk urusan imigrasi. Untuk urusan tersebut, kita masuk melalui pintu terpisah tepat di samping pintu pagar gedung ini (foto: dokumentasi pribadi). 

Sekarang kita harus membuat janji dulu di situs KBRI Den Haag. Setelah mengisi kolom-kolom yang ada, kita akan mendapatkan konfirmasi melalui surel, berikut formulir permohonan yang sudah diisi rapi oleh komputer dalam bentuk PDF, tanpa perlu mengisi manual seperti dulu. Di dalam surel tersebut juga ada beberapa persyaratan yang harus kita bawa saat datang ke KBRI, yaitu (1) paspor lama, (2) formulir permohonan, (3) satu lembar foto paspor, (4) kutipan buku nikah/akte kelahiran/ijazah, dan (5) izin tinggal.

Sehari sebelum waktunya tiba, sebuah surel lain datang untuk mengingatkan. Di bagian bawah ada pilihan seandainya kita akan membatalkan janji untuk esok hari. Terus terang terobosan ini di luar ekspektasi saya tentang sebuah institusi pemerintah Indonesia. Sewaktu di Indonesia saya tidak ingat pernah mendapatkan surel semacam ini. Karena itu, waktu membaca judul dan isinya, saya terperangah sekaligus salut. Namun, dibandingkan SMS—di Belanda pengingat biasa dikirimkan melalui SMS dua hari atau sehari sebelumnya—pengingat melalui surel lebih besar kemungkinannya untuk tidak terbaca. Meski sudah mengeset push notification, tidak ada notifikasi apa pun yang masuk ke ponsel saya. Untungnya saya membuka surel hari itu. Kalau tidak, ya, tidak mengapa sebab saya sudah menuliskannya di agenda. He-he-he.

Hari H yang banyak kejutan

Pada hari H kami datang tepat sesuai waktu perjanjian. Setelah melapor, kami dipersilakan untuk masuk dan langsung menuju aula di bagian belakang gedung. Di sana tersedia kursi-kursi yang disusun berjarak satu dengan yang lain. Suasananya sepi saat itu, mungkin efek dari penyebaran pengunjung berdasarkan waktu kedatangan.

Aula tempat mengajukan permohonan dan pengambilan paspor (foto: dokumentasi pribadi).

Karena tidak diberi nomor antrean, saya duduk saja di salah satu kursi sambil menunggu orang yang sedang dilayani selesai. Agak tricky memang karena staf tidak bisa mengetahui siapa yang datang lebih dulu. Benar saja, berselang sedikit setelah saya ada ibu dan anaknya datang. Belum sempat mereka mengambil tempat duduk, salah satu staf yang loketnya sudah kosong bertanya ke arah kami, “Ibu sudah dibantu?” Sambil setengah bingung (padahal dia sempat menoleh ke arah saya!), dia menjawab, “Belum” dan langsung menuju ke arah meja loket. Pedih!

Entah mengapa KBRI tidak menyediakan nomor antrean. Saat saya sudah menyelesaikan semua urusan, hal serupa terjadi juga antara seorang ibu dan bapak. Si ibu yang merasa berhak dilayani duluan akhirnya menang, lagi pula perempuan selalu benar, kan? Ha-ha-ha.

Pohon sakura sedang mekar sempurna di depan gedung KBRI (foto: dokumentasi pribadi).

Giliran saya tiba untuk pemeriksaan berkas. Saya dan Milie duduk di depanku staf yang bertugas. Dengan sigap semua dokumen saya serahkan. Eng ing eng … ternyata ada yang kurang, Saudara-Saudara, padahal saya merasa yakin sudah membawa semuanya, sampai saya double check sebelum berangkat. Bukan punya saya yang kurang, melainkan punya Milie. Di dalam surel yang saya terima, persyaratan untuk saya (dewasa) dan Milie (anak-anak) sama saja, tetapi begitu di loket saya dimintai salinan paspor ayah, kutipan surat nikah orang tua, dan salinan izin tinggal ayah karena baik Milie maupun suami adalah WNI. Untung (alhamdulillah!) suami saya ada di rumah, sehingga semua dokumen tambahan bisa dikirim via WA lalu saya teruskan ke alamat surel KBRI. Staf yang lain lantas mencetaknya di tempat.

Agak aneh, ya. Menurut beliau persyaratan ini ada di situs KBRI, tetapi saya tidak merasa membacanya. Alhamdulillah bapak staf itu tidak menyalahkan, tidak memburu-buru, dan sangat kooperatif sehingga setelah semua persyaratan lengkap, permohonan kami bisa diproses.

Berikutnya adalah panggilan untuk foto, pengecekan ulang nama dan tanggal lahir, serta pembayaran dengan kartu. Bahkan sebelum pandemi, KBRI sudah menerapkan pembayaran tanpa uang kontan. Semua proses ini dilayani oleh ibu staf yang sangat ramah. Jadwal pengambilan paspor tertera di kuitansi, yakni 10 hari kerja, jauh lebih lama daripada proses di Indonesia yang memakan waktu empat hari kerja saja.

Foyer gedung KBRI khusus untuk urusan imigrasi (foto: dokumentasi pribadi).

Pengambilan paspor

Slot waktu pengambilan paspor ada di siang hari, sedangkan permohonan paspor di pagi hari. Waktu saya datang untuk mengambil paspor, saya tidak lagi perlu menulis data diri di buku tamu, melainkan dipersilakan langsung masuk ke aula. Suasananya bahkan lebih sepi daripada sesi pagi hari.

Setelah menyerahkan kuitansi, bapak staf mencari paspor saya dan Milie di kotak. Yeay, kami punya paspor baru! Paspor lama pun ikut dikembalikan. Lumayan untuk koleksi paspor dan visa. He-he-he.

Oh iya, soal persyaratan dokumen untuk perpanjangan paspor anak, sesaat lalu saya cek lagi di situs KBRI dan hasilnya masih nihil. Eh, jangan-jangan ada di bagian ‘Membuat paspor pertama untuk anak”? Jeng … jeng … benar ada, dong! Seharusnya persyaratan tambahan khusus untuk anak juga ditulis di bagian “Memperbaharui atau mengganti paspor” agar tidak ada kejadian seperti yang saya alami.

Penutup

Membuat paspor di KBRI Belanda jauh lebih simpel daripada di Indonesia, khususnya soal pendaftaran. Dengan pemilihan waktu kedatangan yang bisa dilakukan kapan saja, kami tidak perlu mantengin aplikasi plus deg-degan berharap dapat jatah nomor antrean. 

Namun, meski ada perbaikan positif oleh KBRI, bukan berarti semua prosesnya sudah sempurna. Semoga setiap lembaga yang melayani publik terus mengevaluasi diri dan berbenah secara berkala agar dapat memberikan pelayanan yang optimal kepada masyarakat.

Post a Comment

0 Comments