Warga Dunia dari Purwokerto

Daaan terjadi lagi kemarin. Saya terdiam beberapa detik waktu ditanya, "Asalnya dari mana, Bu?"

Biasanya saya akan menjawab versi panjang dengan menjelaskan daerah asal orang tua, setelah lebih dulu mengatakan bahwa saya lahir dan besar di ibu kota tanpa setetes darah Betawi. Namun, kali ini saya tidak punya cukup energi. Akhirnya saya menjawab singkat, "Dulu, sih, saya di Jakarta, Pak."

Pertanyaan soal daerah asal ini memang pelik bagi saya. Ayah saya keturunan Jawa Tengah, tetapi numpang lahir di Jakarta, lalu merantau kembali di sana setelah lulus kuliah. Eyang dan adik-adik Ayah semua tinggal di Semarang, tetapi bukan asli sana.

Ibu saya keturunan Aceh, tetapi sudah lahir di Jakarta setelah kakek saya kabur dari kejaran Belanda. Nenek–saya tidak pernah bertemu kakek–dan semua anaknya ada di tanah Jawa.




Bukan dari mana-mana?

Saya merasa kehilangan identitas. Mau mengaku orang Jawa, tetapi tidak bisa bahasa Jawa. Wajah pun tidak mendukung. Biasanya orang menebak saya orang Sumatera. Well, it's half true, tho.

Sayangnya, saya juga tidak bisa bahasa Aceh. Lebih parah daripada bahasa Jawa yang masih bisa saya cerna sedikit-sedikit saat orang bercakap-cakap. Prestasi paling tinggi cuma "i u" yang artinya "air kelapa".

Dari nama, saya sempat dikira orang Bali gara-gara nama belakang yang diambil dari nama belakang Ayah. Sampai-sampai dosen pembimbing saya dulu (beliau dosen baru waktu itu) kaget waktu tahu saya memakai kerudung. Padahal kalau lihat dari nama tengah, menurut saya itu Jawa banget, deh.

Trah Soeparno Atmasanta

Kegalauan saya (agak) berkurang setelah menghadiri acara pertemuan keluarga dari pihak Ayah sehabis lebaran lalu. Di sana berkumpul keturunan dari orang tua Eyang Kakung. Eyang saya berikut kakak adiknya sudah wafat, juga beberapa pakde dan bude, termasuk Ayah. 

Pakde, bude, om, tante yang masih hidup berinisiatif untuk merunut kembali garis keturunan, sekaligus memperkenalkan keluarga masing-masing. Maklum, namanya juga sudah beranak pinak, pasti sudah berpencar kemana-mana.

Eyang buyut saya, Soeparno Atmasanta, asli Banyumas. Sekarang Banyumas adalah nama kabupaten di Jawa Tengah yang beribu kota di Purwokerto. Namun, pada masa Hindia-Belanda wilayah administratifnya–disebut dengan Karesidenan–mencakup area yang lebih luas, yakni Kabupaten Banyumas, Kabupaten Cilacap, Kabupaten Purbalingga, dan Kabupaten Banjarnegara.

Sebagian koleksi foto Trah Soeparno (dokumentasi keluarga)

Eyang Soeparno dan istrinya dimakamkan di Komplek Pemakaman Banjarmulya Purwokerto. Di sana terdapat pula makam Eyang Kakung, Eyang Putri (saya memanggilnya "Mami/Eyang Mami"), dan beberapa kerabat lain. Meski kebanyakan sudah merantau keluar daerah, masih ada keluarga Trah Soeparna yang bermukim di sana.

Mami juga sebenarnya asli Purwokerto. Satu kakak dan dua adiknya tinggal di sana hingga wafat.

Kalau begitu, seharusnya saya bisa menyebut Banyumas, khususnya Purwokerto, sebagai daerah asal, dong?

Purwokerto, dulu dan sekarang

Purwokerto bagi saya identik dengan kota tenang. Denyut kota ini terasa lambat. Tidak heran bila Purwokerto disebut kota pensiunan. Sejarahnya memang kota ini bukanlah kota industri atau pusat perdagangan.

Hal paling membekas dari Purwokerto adalah rumah keluarga Mami yang terletak sangat dekat dengan stasiun Purwokerto. Dari rumah, suara kereta terdengar jelas.

Dulu bahkan ada jalan tikus yang menembus tembok pembatas stasiun. Kami tidak pernah melewati pintu depan karena malah jadi lebih jauh. Dari peron kami tinggal jalan mendaki jalan tikus itu dan langsung keluar di jalan depan rumah. Sayangnya sekarang privilege itu tinggal kenangan karena tembok pembatas sudah diperbaiki.

Eyang dan Mami (dokumentasi keluarga)


Waktu saya kecil, Eyang dan Mami pernah membuat liburan keluarga besar pakai bus wisata dari Semarang. Kami mengunjungi Baturaden, wilayah di Purwokerto yang berhawa sejuk karena berada di dataran tinggi. Di sana (seingat saya) kami mengunjungi Pancuran Pitu dan Gua Lawa, lalu mandi air belerang.

Kuliner

Berkunjung ke Purwokerto artinya makan mendoan otentik. Mengapa saya bilang otentik? Karena di daerah lain, banyak yang mengklaim jualan mendoan, padahal tempe goreng tepung. Berbeda dari tempe biasa yang dijual dalam bentuk blok, tempe untuk mendoan dibuat satuan, tipis, lebar, dan dibungkus dengan daun pisang.

Mendoan dibuat dengan cara membalut tempe dengan adonan tepung dan daun bawang, lalu menggorengnya setengah matang (mendo=setengah matang). Karena lembek, dia hanya bisa ditumpuk, bukan diberdirikan. Warnanya pun putih. Biasanya mendoan dimakan bersama kecap dan cabe rawit.

Wajib coba mendoan bila ke Purwokerto (foto: Wikimedia)

Selain mendoan, tidak afdal kalau tidak makan Sroto Sokaraja. Dari Purwokerto, kita harus berkendara ke arah timur, tepatnya ke Kecamatan Sokaraja. Sroto Sokaraja khas dengan tambahan bumbu kacang dan ketupat. Kuahnya tanpa santan sehingga segar di mulut.

Pulang dari Sokaraja, biasanya kami membeli gethuk goreng–saya lebih suka versi basahnya, sih–yang dikemas dalam besek.

Dibanding keripik tempe yang biasanya menjadi oleh-oleh khas Purwokerto, saya lebih suka nopia. Makanan ini berwarna putih, terbuat dari tepung terigu, diisi gula merah. Ada versi normal dan mini. Yang mini lebih enak karena kulitnya tidak tebal dan mudah digigit.

Orang terkenal

Menurut Pakde Wiki, Purwokerto banyak melahirkan orang terkenal di Indonesia. Di urutan atas ada Jenderal Soedirman yang namanya diambil menjadi nama universitas negeri di sana, Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed). Kemudian, ada Jenderal Gatot Soebroto. Nama keduanya bahkan diabadikan menjadi nama dua jalan protokol di Jakarta.

Selain itu ada dua pendiri bank yang sekarang menjadi bank utama, yakni Raden Mas Margono Djojohadikusumo, pendiri Bank Negara Indonesia, dan Raden Bei Aria Wirjaatmadja, pendiri Bank Rakyat Indonesia. Karenanya kita dapat menjumpai Museum BRI di Purwokerto. Nama-nama terkenal lainnya ada di bidang sastra, seni, olahraga, politik, maupun militer. Mulai dari Ahmad Tohari hingga Mayangsari. 

Ngapak

Tidak dipungkiri, dalam strata bahasa Jawa, bahasa Banyumas tergolong kasar. Masih ingat film Jin dan Jun? Bukan jebakan umur, lo #ehem. Saya cuma mau bilang jin yang gemuk selalu menggunakan kata “inyong” sebagai kata ganti orang pertama, berikut logatnya yang medok. Seperti itulah bahasa Banyumas: ngapak.

Bukannya itu logat Tegal? Ya, kan, dulu Tegal termasuk Karesidenan Banyumas. Bahasa Banyumas juga dipakai di Tegal.

Ke-ngapak-an ini selalu membuat saya tersenyum dalam hati saat mendengar percakapan dalam bahasa Banyumas. Lucu, hehehe. Eh, tapi bagi orang Banyumas asli, ngapak itu jadi identitas sekaligus kebanggaan, lo. Setidaknya begitu yang saya lihat dari lingkungan keluarga dan pertemanan Ayah dulu. 

Ora ngapak ora kepenak (foto: tirto.id)

Penutup

Purwokerto yang sekarang berbeda dari Purwokerto dalam ingatan masa kecil saya. Yang kentara, saat terakhir ke sana sekitar awal 2017, Purwokerto makin panas, seperti halnya orang bilang Bandung sekarang panas. Suasananya lebih "kota" seiring dengan pembangunan hotel berbintang lima dan mal. Mahasiswa yang berdatangan dari luar kota turut menambah keramaian dan kepadatan kota. 

Meski Purwokerto selalu ada di hati sebab di sana garis keturunan saya berasal, tampaknya saya tetap akan menjawab seperti biasanya, "lahir dan besar di Jakarta". Saya lebih suka mengidentifikasi diri sebagai orang Indonesia, bagian dari warga dunia. Kalau ternyata yang bertanya masih penasaran, bersiaplah untuk mendengar versi panjangnya, hihihi



Dibuat untuk menjawab Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog Juli 2023 "Tentang Daerah Asal"

Post a Comment

7 Comments

  1. Teh Muti ...
    Jadi inget adikku yang kuliah di Unsoed trus nikah sama orang Purwokerto. Tinggal di sana, kerja di BII hingga wafatnya dan dimakamkan juga di Purwokerto.
    Aku pernah ke Batu Raden sekali saja he3 ... Kalo makan mendoan sering banget dan sekarang jadi makanan kesukaan Teteh, belinya di resto Tong Ji, gak tau deh otentik atau gak ya?

    ReplyDelete
  2. Baru tahu mendo = 1/2 matang. Aku suka tuh 1 aja kenyang, karena lebar...hehe...Di sini suka diledekin, dari mana? dari Puerto Rico = Purwokerto. Btw, aku belum pernah. Dari Bandung ada ga ya KA ke Puerto Rico...eh Purwokerto. Hehe...

    ReplyDelete
  3. Habis baca ini, aku auto ngidam mendoan euy. Baru tahu itu khas sana. Kupikir mendoan itu otentik punya Jawa Barat.

    ReplyDelete
  4. Jadi bener-bener mbandingin bahasa Jawanya Solo/Jogja vs Jawa ngapak, lihat diagram yang diposting di sini. Menarik. 😊

    ReplyDelete
  5. Purwokerto mencetak banyak 'manusia terpilih' untuk kemajuan Indonesia ya Teh Muti. Masya Allah. :)

    Dan saya baru tahu kalau tempe mendoan adalah asli Purwokerto. Kalau tempe mendoan bisa ditanya, pastilah ku akan bertanya padanya, "Aslinya mana?", karena di mana-mana ada. Ehehehe.

    Betah berlama-lama melihat foto-foto lamanya, Teh. Apalagi menatap lekat dandanan perempuan Jawa yang digelung dan berkebaya. Priceless banget. :)

    ReplyDelete
  6. Tulisan ini memvalidasi bahwa mendoan memang semestinya adalah tempe yang digoreng dengan baluran tepung dalam keadaan setengah matang. Soalnya aku sama suami suka debat gemes gitu soal mendoan mestinya matang atau gak. Duh jadi kepengen mendoan nih. hehe...

    Melihat foto jadulnya membuat nostalgia sama masa dulu.. Toss lah teh kita sama-sama mengidentifikasi diri sebagai orang Indonesia, kecuali orang nanya lebih detail baru dijawab (kalo lagi niat jawab lama)

    ReplyDelete
  7. Sebenernya transliterasi bahasa jawa solo/jogja di ilustrasi kurang tepat sih. Karena bunyi a murni di bahasa jawa hanya ada di awal kalimat. Selain itu antara a dan o. Nah, kan, susah deskripsiinnya! Hahaha. Makanya untuk mempermudah ditulis o. Padahal bunyi o beda lagi. Misalnya lara=sakit dan loro=dua. Dan seperti semua pembaca tulisan ini, aku jadi pengin mendoan! 😋😋

    ReplyDelete