Pengganggu Ketenangan Hidup (Bagian 1)

 

Sepanjang hidup sebelum pertama kali merantau untuk kuliah di Bandung, saya tidak merasa punya hubungan spesial dengan hewan, baik peliharaan—yang tidak pernah saya miliki—maupun bukan. Justru setelah jauh dari rumah, saya jadi memiliki beberapa cerita berkesan terkait makhluk yang satu itu. Tidak ada hubungannya dengan jurusan Biologi yang saya pilih, lo, karena ini murni faktor ketidakberuntungan belaka. Waktu mengalami sih, boro-boro lucu. Yang ada malah perasaan takut, geuleuh, kesal. Namun, kalau diingat-ingat lagi dan diceritakan ke orang lain, kok saya malah tertawa, ya? Hahaha … berarti kejadian itu menghibur, setidaknya buat saya. Penasaran, 'kan? Penasaran, dong! #maksa


Cilukba!

Selama berkuliah di Bandung, saya sempat tiga kali berpindah kos-kosan. Yang paling lama adalah di Jl. Pelesiran yang dekat Jl. Taman Sari. Sekadar informasi, Jl. Pelesiran ini panjang sekali, satu ujungnya ada Jl. Cihampelas, satu lagi di Jl. Taman Sari. Kamar kos saya ada di lantai dua; dindingnya hanya berlubang kecil untuk ventilasi. Untungnya rumah di sebelah kanan tidak bertingkat sehingga kamar saya bisa mendapatkan udara segar dari luar. Malangnya saat hujan, seringkali air masuk melalui lubang, belum ditambah air dari sambungan atap-dinding yang tidak kedap. Alhasil kamar saya sering kebanjiran bila turun hujan deras, apalagi jika terbawa angin kencang. 


Dari lubang ini, hewan-hewan kecil juga bisa masuk. Salah satunya adalah musuh bebuyutan saya: kecoak! Jangan tanya bagaimana reaksi saya kalau melihat hewan kecil cokelat bersungut panjang ini. Pasti saya akan berteriak keras, mengambil jarak aman, berharap dia pergi sendiri—yang mana ini hampir mustahil—atau ada orang lain yang melenyapkannya alias memukulnya sampai mati. Intinya, saya antikecoak garis keras!


Sepertinya kecoak punya indera perasa yang tajam. Mereka bisa mengetahui siapa yang termasuk kaum antikecoak ini. Dari semua kamar kos, sepertinya kamar saya yang paling sering disambangi kecoak. Pernah saya menemukan kecoak mati di bawah meja setelah saya tinggal mudik beberapa hari. Pernah juga kecoak melintas di lantai kamar dengan tenangnya. Saat saya berteriak kaget, dia juga ikut kaget dan kabur entah ke mana. 


Kecoak, si musuh bebuyutan (Sumber: Tartila di freepik.com)

Puncaknya ada di suatu malam. 


Eh, sebelumnya saya mau klarifikasi dulu, nih. Walau biasanya kehadiran kecoak berbanding lurus dengan kejorokan, (asli, suer!) kamar saya rapi dan bersih, lo. Sebagai gambaran, saya selalu merapikan kasur dan melipat selimut di luar waktu tidur. No kasur berantakan. Saya menyapu dan mengepel lantai seminggu sekali (malah saking rajin dan tidak mau ada debu di lantai, saya sapu lagi setelah lantai kering). Saya juga menata setiap barang dengan rapi, tidak banyak barang yang ditaruh di lantai. Namun, tetap saja kecoak lebih senang bertandang ke kamar saya. Bzzzz …. 😪


(Mari lanjut lagi).


Puncaknya ada di suatu malam. Saya sudah sangat mengantuk dan bersiap tidur. Setelah merebahkan diri di atas kasur dan menaruh kepala di bantal, saya menarik selimut sampai ke leher. Tepat saat itu, saya mencium bau aneh, indescribable, tetapi mirip bau sangit. Belum sampai otak ini mencerna sumber baunya, cilukba! Kedua mata saya beradu pandang dengan mata majemuk kecoak yang sedari tadi bersembunyi di dalam selimut, lengkap dengan kedua antenanya yang bergerak-gerak! 


Deg.


OMG! Dia dan (muka) saya cuma terpaut satu jengkal! Jantung saya serasa copot, melorot hingga ke lantai.


Spontan saya lempar selimut dan lari ngibrit keluar kamar sambil berteriak, "Aaaaa …! Kecoaaaak!" Teman sekos yang belum tidur pun sampai keluar dari kamarnya, heran melihat air muka pucat saya. Dia berbaik hati menjadi garda terdepan menghadapi si kecoak. Sayangnya, sekalipun dia menyingkap selimut dan mengibas-ngibasnya, si kecoak sudah kabur menyelinap entah di mana, menanti kesempatan bagus untuk kembali menghantui saya.


Hihihihihihihi …. 👻



Harakiri

Mahasiswa Kampus Gajah pasti tahu deretan kios penjual makanan di Jl. Gelap Nyawang. Di kantin semi outdoor ini kita bisa merasakan udara sejuk kota Bandung sembari menikmati hidangan yang sudah kita pesan. Kelebihan lainnya, variasi jenis makanan yang bisa kita pilih lebih banyak dengan harga yang masih masuk ke dalam budget mahasiswa seperti saya. Mau ala western? Ada. Mau menu khas daerah? Ada. Mau versi fusion? Ada. Jika kita membuat rotasi menu dalam seminggu, dijamin kita tidak akan bosan.  


Favorit saya adalah soto Betawi. Kiosnya berada di dekat warung nasi Padang yang berbatasan dengan kios buku. Biasanya saya memesan isian daging supaya agak bergizi sedikit, meski tetap saja lebih berlimpah kuah daripada dagingnya. Yah, namanya juga harga mahasiswa; ada harga, ada rupa, lah.


Siang itu saya makan di sana sendiri. Seingat saya suasananya tidak begitu ramai, mungkin karena bukan tepat jam istirahat siang. Saya baru memulai makan. Seporsi nasi pun masih terbilang utuh. Tak lama seekor lalat terbang di sekitar saya. Nah, ini salah satu poin minus konsep kantin setengah terbuka: hewan tak diundang (terutama lalat dan kucing) bebas berseliweran selama kita makan. Kalau sedang beruntung, mereka bisa ikut mengisi perut berkat kebaikan—dalam arti sebenarnya atau bertanda petik—pengunjung kantin. 


Lalat, si pengintai makanan (Sumber: brgfx di freepik.com)

Saya yang sedang khusyuk makan tidak menepis kehadiran si lalat karena jelas-jelas dia tidak (atau belum) mengincar makanan saya. Posisinya masih agak tinggi dari piring nasi dan mangkok soto. Kecuekan saya berbicara, Ah, mungkin dia hanya numpang lewat, biarin aja. Ternyata adegan selanjutnya akan menjadi sebuah tragedi besar dalam sejarah persotoan saya. 


Lalat tersebut berhenti terbang … tepat … di atas mangkok soto Betawi saya! Aaaaak!


(Kaget).

(Untungnya tidak sampai pingsan).

(Cuma sempat berhenti napas sedetik dua detik).


Dia memilih untuk harakiri dengan menjatuhkan diri di dalam kubangan kuah soto. Apakah saya dianggap musuh bebuyutan olehnya? Padahal saya sama sekali tidak menghalaunya dengan kibasan tangan. 


Oh, lalat, kau tega sekali! Soto itu baru mulai aku nikmati; kau nodai dengan tubuhmu yang terkulai mati. 


Setelah berhasil menarik napas dan menguasai diri kembali, saya lalu berpikir logis (ala mahasiswa Kampus Gajah, dong #kibasjilbab). Mau saya apakan soto itu? Kalau saya buang, sayang banget, kan masih banyak isinya. Saya juga ogah rugi kalau harus membeli makanan baru. Akhirnya saya membuat keputusan fenomenal berpedoman hadis Rasulullah (ya Allah, alhamdulillah waktu itu saya ingat), yakni mencelupkan kedua sayap plus seluruh badan lalat ke dalam kuah. Tuh, lalat, sekalian basah semua. Setelahnya, saya buang bangkainya, lalu melanjutkan makan sambil berharap tidak muntah di tengah-tengah. Untungnya rasa kuah soto masih sama, bukan rasa lalat. 


Huek …! 🤢


***


Sebenarnya masih ada cerita seru lain terkait hewan-hewan pengganggu ketenangan hidup saya, tetapi nanti, deh. Saya simpan dulu untuk Bagian 2. Aheeey …. 


Semoga dua cerita (yang mudah-mudahan) lucu saya tadi dapat menjadi setitik pereda ketegangan dan kecemasan teman-teman di tengah situasi pandemi yang tidak menentu ini, ya. Setidaknya begitu tujuan pemilihan tema Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan ini. Tetap jaga kesehatan fisik dan mental. Semoga kita bisa bersama-sama melewati terpaan badai bernama pandemi Covid-19 ini. Amin. 





Post a Comment

10 Comments

  1. aduh...kebayang ituuuuu
    kalo aku jadi kamu pun pasti kumakan juga itu soto, hahaha **ogah rugi juga

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wkwkwk... Toss dulu,Teh, sebagai sesama anggota tim ogah rugi 🙌🏻

      Delete
  2. Ehehehehe. Aduh kasian sekali Mutiara. Saya bisa membayangkan paniknya kalau 'ketemu' dengan hewan yang sangat tidak disukai.

    Lalu bagaimana dengan sekarang? Masiy anti kecoa? Ehehe.

    Btw saya dulu kost nya juga di area situ, dan ya, saya juga merasa aneh, kamar saya yg selalu rapih dan bersih, plus semprot wangi2an pengharum ruangan, kok ya masiy dikunjungi kecoa. Mereka doyan banget ya berkeliling area Tamansari ehehe.

    Wah pingin saya pitak tu lalat ngegodain Mutiara, nymplung di soto Mutiara, wkwkwkwk. Owaalah teenyata begitu ya caranya, kalau ada lalat nyemplung, malah dicelupin seluruhnya, lalu bisa dimakan kembali sotonya?? Saya baru tahu ini ehehe. Jadi penasaran pingin mencari jurnal penelitiannya.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sayangnya masih, Teeeh.. entah bisa hilang atau ga itu, udah semacam fobia level rendah deh, kayaknya #lebay.
      Iyaa, ada hadis nabi yang inti isinya begitu. Kalo ada lalat nyemplung, kita celupkan juga sebelah sayapnya. Makanan/minumannya ga harus dibuang. Tapi saya belum pernah cari jurnal yang menjelaskan secara ilmiah soal itu. Menarik juga buat dicari ya..

      Delete
  3. Anak-anakku juga nih paling ribut sama kecoak. Padahal kubilang ada juga kecoaknya yang takut sama kita yang besar. Dia itu lagi bingung nyari mamanya, jadi jangan diteriakin. Apalagi ditimpukin sampai gepeng. Kan kesian. Ha..ha...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Untuk kasus saya nanti, mungkin anak-anak yang akan lebih berani daripada mamanya, haha... Sayangnya sekarang mereka masih kecil dan di sini (alhamdulillaah) ga ada kecoak, jadi belum terbukti, hehe..

      Delete
  4. Kalau adik saya pernah tatapannya sama tikus, heuheu...
    Duh jadi kangen jajan di gelap nyawang... Ayam cola, soto padang, nasi bakar :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Teeh, saya juga pernah hadap2an sama tikus #spoilerbagian2, tapi bukan tikus kayak di Indonesia yang besar. Tikus di sini mungil dan menggemaskan, bahkan lebih kecil daripada mencit. Walau begitu, tetep aja namanya tikus ....

      Delete
  5. Dari sekian blog yang diunggulkan, baru yang ini saya bisa tertawa.
    Selamat, blog ini akan kupilih dalam voting.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Waah, terima kasih untuk apresiasinya, Teh.. Saya terharuuu beneran ada yang ketawa karena baca cerita saya

      Delete