Aku dan Literasi

 


Hubungan kami bermula dari lembaran-lembaran majalah anak-anak yang menemani masa kecilku. Rasa penasaran membuatku menjelajahi lembah dan gunung huruf-huruf, menelusuri setiap rangkaiannya, hingga akhirnya aku fasih memaknai kalimat demi kalimat. Oh, jangan tanya bagaimana caranya. Aku hanya seorang anak kecil yang tidak sabar menunggu orang dewasa membacakan cerita dari majalah kesukaanku. 

Hubungan kami berlanjut semakin serius saat aku menggandrungi kisah Lima Sekawan: Julian, Dick, Anne, Georgina, dan Timmy si anjing. Aku lupa dari mana asal mulanya, tetapi yang jelas aku membawa pulang semua buku koleksi sepupu yang berusia lima belas tahun lebih tua dariku dan melahap setiap halaman yang sudah menguning. 

Tidak hanya Lima Sekawan, berkat sepupuku itu aku juga mengenal Sapta Siaga dan ... Lupus! Mulai dari Lupus, Lupus ABG, Lupus Kecil, Olga, Vanya, Lulu, Vladd, sampai Luyut bertengger di rak bukuku. Aku merawatnya dengan kasih. Tidak boleh ada lipatan, coretan, apalagi robekan. Pernah suatu waktu, seorang tetangga sebaya meminjam satu bukuku. Saat dia kembalikan, buku itu sudah … ah, buruk rupa. Ada bekas lipatan di sampul depan, sudut buku pun aus. Langsung kuboikot dia dari daftar peminjam bukuku. 

Makin besar, hubungan kami menemukan bentuk yang baru. Aku banyak membaca majalah Annida. Darinya aku mengenal penulis-penulis wanita dengan karya-karyanya yang bernafas Islam. Helvy Tiana Rosa, Asma Nadia, dan Afifah Afra adalah tiga di antaranya. Koleksiku ikut beralih menjadi novel atau kumpulan cerpen Islami. 

Di bangku kuliah hubungan kami kembali mengeja makna, tetapi yang jelas makin kaya. Saat cenderung menekuni literatur ilmiah, aku mendapatkan pandangan baru tentang dunia--bahwa pemikiran. pengetahuan, serta penemuan seharusnya dituliskan sebagai sumbangsih kita untuk kemajuan peradaban dan sebagai bentuk syukur kita atas nikmat akal pikiran. 

Di seputaran waktu yang sama, seorang dosen bercerita tentang sebuah novel yang sarat nilai antropologi sebagaimana mata kuliah yang diampunya. Tak lama kemudian, novel ini menjadi best seller dan disebut-sebut sebagai novel fenomenal. Beberapa sekuel terbit setelahnya. Ada yang bisa menebak? Aku beri petunjuk: nama salah satu tokoh utamanya adalah Ikal. Berkat dosen tersebut aku merasa beruntung menjadi pembaca generasi pertama--kalaupun ada istilah demikian. 

Selepas itu, hubungan kami naik turun hingga hari ini. Hubungan kami benar-benar bertransformasi seiring pilihanku untuk ketiga anak kecilku dan kini, pilihan mereka sendiri. Kemudian koleksiku berganti menjadi buku karton, buku kata-kata pertama, buku cerita bergambar, sampai buku lift-the-flap. Di manakah pilihan untuk diriku sendiri? Ada, kok, hanya menunggu waktu yang tepat untuk disentuh lagi. 

Ah, bagaimanapun hubunganku dan literasi, seberapa pernah eratnya kami hingga kini dengan rupa yang baru, kami tidak pernah benar-benar berpisah. Buktinya? Ya, tulisan yang sedang kamu baca ini. 



Post a Comment

0 Comments