Mahalnya Harga Kesehatan

"Pah, rumah yang di ujung jalan dijual?"
"Iya, kan istri pemiliknya sakit berat. Butuh biaya buat berobat kayaknya."

Meski hanya ilustrasi, kita pasti familiar dengan situasi demikian. Setidaknya sekali dalam hidup, kita pernah mendengar seseorang terpaksa melepas sebagian (atau seluruh) hartanya demi membiayai pengobatan penyakit. Kita juga sering mendapat pesan berisi ajakan berdonasi untuk pasien yang sedang membutuhkan biaya perawatan di rumah sakit. Jangan-jangan malah kita sendiri yang memiliki pengalaman mengeluarkan uang dalam jumlah besar untuk berobat, bahkan sekadar untuk konsultasi ke dokter.




Akibat sakit

Berdasarkan kenyataan tersebut, wajar bila muncul ungkapan "Sakit itu mahal!". Benarkah? Mari kita ambil contoh tarif pelayanan rawat inap di dua rumah sakit pemerintah, yakni RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta dan RS Hasan Sadikin, Bandung yang saya ambil dari situs masing-masing. Untuk kelas III, kelas terendah, keduanya mematok harga di kisaran Rp300 ribu per hari. Ini belum termasuk obat-obatan.

Biaya rawat inap di RS Cipto Mangunkusumo (sumber: situs web RSCM)


Biaya rawat inap di RS Hasan Sadikin (sumber: situs web RSHS)

Bagi masyarakat berpenghasilan rendah, biaya per hari ini mungkin sama dengan uang makan mereka selama sebulan. Maka dari itu, wajar bila mereka lebih memilih untuk mengonsumsi obat-obatan umum yang ada di pasar, alih-alih mengunjungi dokter. Jika tak kunjung sembuh, mereka akan mendiamkan penyakitnya sampai akhirnya terlalu parah untuk diobati dengan cara atau obat biasa. Padahal nantinya biaya yang dikeluarkan malah akan lebih besar, bahkan bisa berujung pada kematian.

Bagaimana jika yang tertimpa musibah sakit adalah bapak sebagai kepala keluarga? Tentu akibatnya akan lebih dramatis lagi. Nasib satu keluarga menjadi tidak jelas karena kehilangan sumber penghasilan. Akibatnya, baik ibu, maupun anak-anak harus mencari cara untuk bisa bertahan hidup. Efek berikutnya sekolah anak bisa terganggu--bahkan putus di tengah jalan.

Itu baru dari aspek fisik dan materi yang kasat mata. Tak usah berbicara tentang si sakit yang sudah pasti terganggu keseimbangan mentalnya, memiliki anggota keluarga yang sakit juga berpotensi melemahkan mental yang sehat. Mau tidak mau ada perasaan khawatir, sedih, kasihan, takut kehilangan, tidak menerima, dan sebagainya yang mendera anggota keluarga terdekat. Apalagi bila timbul perasaan menyalahkan Tuhan atas takdir sakit yang diberikan, wah, itu berbahaya sekali.

Menjaga kesehatan sebelum sakit

Sayangnya persoalan kesehatan bagi sebagian masyarakat tidak lebih penting daripada urusan perut. Sehat sering baru dianggap bermakna saat sakit. Oh, betapa nikmatnya sehat itu! Begitu sehat, mereka kembali pada kebiasaan lama yang tidak menjaga kesehatan. Ah, manusia memang tempatnya lupa (dan alasan!).

Seharusnya dalam hidup kita mengikuti pakem "lebih baik mencegah daripada mengobati", terutama untuk urusan kesehatan. Caranya antara lain dengan makan makanan bergizi seimbang dan cukup, berolahraga, tidur cukup dan teratur, serta tidak merokok dan minum minuman keras. Dengan tubuh yang sehat, kita bisa melakukan kewajiban kita dengan sempurna, juga banyak hal lain yang baik dan bermanfaat. Kita juga bisa membersamai keluarga tanpa hambatan dan keluhan.

Di samping kesehatan fisik, jangan lupa untuk memperhatikan aspek mental sebab kesehatan mental mempengaruhi kesehatan fisik. Bagi muslim, dengan mengingat Allah dalam kondisi apa pun hati akan tenang. Selain itu, kita berusaha membersihkan hati dari berbagai penyakit, mengedepankan prasangka baik, dan menerima takdir dengan hati lapang. Bersosialisasi dan berteman juga penting sebab bagaimanapun kebutuhan sebagai makhluk sosial harus dipenuhi.

Satu lagi, menjaga kesehatan pikiran. Dengan terus menggunakan otak untuk berpikir yang bermanfaat, menambah pengetahuan, berbagi ilmu kita akan terus "hidup". Karena itu, banyak lansia tetap sehat di masa tuanya karena selalu mengasah pikirannya, tidak membiarkannya diam.

Penutup

Sebenarnya menjaga kesehatan itu tidak sesulit yang dibayangkan. Tidak perlu pula makanan mewah atau peralatan mahal. Mulailah dengan langkah kecil setiap hari. Jika memikirkan segala manfaat yang bisa diraih dan kegiatan yang dilakukan dengan tubuh, mental, dan pikiran yang sehat, kita akan lebih mudah untuk berubah menjadi lebih baik.

Oleh karena itu, seharusnya ungkapan yang tepat, bukan "Sakit itu mahal!", melainkan "Sehat itu mahal!". Mahal bukan diukur dengan uang, tetapi dengan keberdayaan diri saat sehat. Yuk, kita ubah cara berpikir kita dan mulai jaga kesehatan sejak sekarang!


Post a Comment

0 Comments