Sunday, February 27, 2022
Tips Tetap Waras bagi Ibu Rumah Tangga
1. Tetap terkoneksi dengan dunia luar
2. Ubah suasana rumah
Kejenuhan berada di dalam rumah dapat disebabkan ibu melihat pemandangan yang sama setiap hari: mainan anak yang berserakan di lantai, tumpukan baju kotor yang meronta minta dicuci, atau rak yang berdebu setelah belasan purnama tidak dilap. Rasanya waktu 24/7 tidak cukup untuk mewujudkan rumah secantik katalog Ikea, tetapi kalau terus dibiarkan, suasana hati ibu bisa ikut mendung sepanjang hari. Kewarasan ibu pun berkurang.3. Temukan kesenangan baru
Coba sebutkan apa saja aktivitas yang identik dengan ibu rumah tangga? Pasti jawaban kita tidak jauh dari memasak, menyapu, mencuci, dan berbagai aktivitas domestik lain. Namun, bagaimana jika ibu rumah tangga juga menekuni bisnis, menjadi content creator, atau mengisi kelas macrame?Makanya, menjadi ibu rumah tangga bukan akhir dari segalanya. Ada banyak pintu kesempatan baru di luar sana yang menunggu untuk dibuka. Yang ibu perlukan hanya kemauan untuk mencari yang paling ibu senangi dan minati.
Penutup
Peran sebagai ibu rumah tangga dipilih secara sadar oleh sebagian perempuan. Sebagian yang lain menjalaninya karena tuntutan keadaan. Yang mana pun alasannya, peran ibu rumah tangga tidak kalah pentingnya daripada profesi lain. Ia menjaga keseimbangan dan keutuhan keluarganya. Jika ibu oleng, anggota keluarga lain akan ikut oleng. Karena itu, kewarasan ibu rumah tangga harus tetap terjaga.
Jika kamu juga ibu rumah tangga seperti saya, poin mana yang paling "kamu banget"?
Bonus tips (yang mungkin jadi paling favorit):
4. Hubungi jasa pesan antar makanan, beli makanan jadi, pesan katering, atau makan di luar. Intinya tidak masak sendiri!
Kadang ibu rumah tangga bosan dengan hasil masakannya sendiri, apalagi bila melihat dapur berantakan dan tumpukan alat masak kotor di bak cuci piring. Sebagai penyegar suasana, sekaligus rehat sejenak dari rutinitas memasak, ibu rumah tangga sangat boleh untuk memakai jasa outsource, lo. Kegiatan ini bisa menjadi agenda rutin keluarga selama disesuaikan dengan budget bulanan tentunya, ya.Saturday, February 19, 2022
Menjadi Ibu Bahagia demi Anak yang Bahagia
Altruisme
Ibu bahagia, anak bahagia
Setiap ibu mendambakan anak yang bahagia (ilustrasi: Pixabay) |
Agar ibu bahagia
1. Merawat diri
Rutin melakukan perawatan wajah juga termasuk merawat diri (ilustrasi: Freepik) |
2. Berhenti membandingkan diri dengan orang lain
3. Tidak perlu merasa selalu kuat
4. Berlatih untuk terus bersyukur
5. Berhenti berpikir dan khawatir berlebihan
Penutup
Sumber:
Benson, H. 2019. Mom’s Happiness and Family Well-Being. https://ifstudies.org/blog/moms-happiness-and-family-well-being, diakses pada 18 Februari 2022.
Psychologies. 2020. 5 Tips for a Happier Motherhood. https://www.psychologies.co.uk/5-tips-happier-motherhood, diakses pada 18 Februari 2022.
Saturday, January 15, 2022
Mamah Gajah dan Saya
Beratnya jadi mamah gajah
Sebelum pandemi, kamu tidak perlu jadi mahasiswa. staf, atau dosen untuk jalan-jalan keliling kampus (foto: Kampus Gajah). |
Ibu rumah tangga sesungguhnya punya banyak tangan (gambar: Freepik). |
Pergulatan batin seorang mamah gajah
Momen memegang tangan bayi untuk pertama kali adalah momen berharga bagi seorang ibu (foto: Freepik) |
Penerimaan diri sebagai mamah gajah
Menerima diri adalah salah satu kunci kebahagiaan (gambar: Pixabay). |
- Menanamkan dalam hati bahwa peran sebagai ibu (rumah tangga) adalah takdir Allah yang terbaik. Tidak ada ketentuan-Nya yang salah. Seringnya kekeliruan dalam memahami ada pada diri kita sebagai manusia.
- Memandang keluarga sebagai kendaraan yang akan membawa saya ke surga dunia dan akhirat. Menjadi ibu (rumah tangga) adalah bentuk ibadah kepada Allah. Tambahannya, bersyukur! Allah memberikan nikmat berupa keluarga (dengan anak-anak yang sehat) kepada saya.
- Memperbaiki niat sebab niat adalah setengah dari ibadah, lalu sering-sering memeriksa kelurusan niat. Lihat rumah berantakan, anak berantem, plus masih harus masak itu berpotensi membuat uring-uringan. Mamah pasti paham banget, deh. Kalau sudah begitu, pasang mode masa bodo dulu 😂.
- Mendesain ulang impian. Alih-alih merasa kehilangan impian, saya perlu membuat impian baru sesuai dengan peran sekarang. Mungkin istilah lebih tepatnya, "menyelaraskan impian" sebab seharusnya tidak perlu ada kepentingan baik yang dipertentangkan. Make some time for myself. Finding the right balance is the key.
- Mulai sekarang! Ini adalah poin yang paling menohok 😆.
Penutup
Sunday, November 14, 2021
Mahalnya Harga Kesehatan
"Pah, rumah yang di ujung jalan dijual?"
"Iya, kan istri pemiliknya sakit berat. Butuh biaya buat berobat kayaknya."
Meski hanya ilustrasi, kita pasti familiar dengan situasi demikian. Setidaknya sekali dalam hidup, kita pernah mendengar seseorang terpaksa melepas sebagian (atau seluruh) hartanya demi membiayai pengobatan penyakit. Kita juga sering mendapat pesan berisi ajakan berdonasi untuk pasien yang sedang membutuhkan biaya perawatan di rumah sakit. Jangan-jangan malah kita sendiri yang memiliki pengalaman mengeluarkan uang dalam jumlah besar untuk berobat, bahkan sekadar untuk konsultasi ke dokter.
Akibat sakit
Berdasarkan kenyataan tersebut, wajar bila muncul ungkapan "Sakit itu mahal!". Benarkah? Mari kita ambil contoh tarif pelayanan rawat inap di dua rumah sakit pemerintah, yakni RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta dan RS Hasan Sadikin, Bandung yang saya ambil dari situs masing-masing. Untuk kelas III, kelas terendah, keduanya mematok harga di kisaran Rp300 ribu per hari. Ini belum termasuk obat-obatan.![]() |
Biaya rawat inap di RS Cipto Mangunkusumo (sumber: situs web RSCM) |
![]() |
Biaya rawat inap di RS Hasan Sadikin (sumber: situs web RSHS) |
Bagaimana jika yang tertimpa musibah sakit adalah bapak sebagai kepala keluarga? Tentu akibatnya akan lebih dramatis lagi. Nasib satu keluarga menjadi tidak jelas karena kehilangan sumber penghasilan. Akibatnya, baik ibu, maupun anak-anak harus mencari cara untuk bisa bertahan hidup. Efek berikutnya sekolah anak bisa terganggu--bahkan putus di tengah jalan.
Itu baru dari aspek fisik dan materi yang kasat mata. Tak usah berbicara tentang si sakit yang sudah pasti terganggu keseimbangan mentalnya, memiliki anggota keluarga yang sakit juga berpotensi melemahkan mental yang sehat. Mau tidak mau ada perasaan khawatir, sedih, kasihan, takut kehilangan, tidak menerima, dan sebagainya yang mendera anggota keluarga terdekat. Apalagi bila timbul perasaan menyalahkan Tuhan atas takdir sakit yang diberikan, wah, itu berbahaya sekali.
Menjaga kesehatan sebelum sakit
Sayangnya persoalan kesehatan bagi sebagian masyarakat tidak lebih penting daripada urusan perut. Sehat sering baru dianggap bermakna saat sakit. Oh, betapa nikmatnya sehat itu! Begitu sehat, mereka kembali pada kebiasaan lama yang tidak menjaga kesehatan. Ah, manusia memang tempatnya lupa (dan alasan!).Seharusnya dalam hidup kita mengikuti pakem "lebih baik mencegah daripada mengobati", terutama untuk urusan kesehatan. Caranya antara lain dengan makan makanan bergizi seimbang dan cukup, berolahraga, tidur cukup dan teratur, serta tidak merokok dan minum minuman keras. Dengan tubuh yang sehat, kita bisa melakukan kewajiban kita dengan sempurna, juga banyak hal lain yang baik dan bermanfaat. Kita juga bisa membersamai keluarga tanpa hambatan dan keluhan.
Di samping kesehatan fisik, jangan lupa untuk memperhatikan aspek mental sebab kesehatan mental mempengaruhi kesehatan fisik. Bagi muslim, dengan mengingat Allah dalam kondisi apa pun hati akan tenang. Selain itu, kita berusaha membersihkan hati dari berbagai penyakit, mengedepankan prasangka baik, dan menerima takdir dengan hati lapang. Bersosialisasi dan berteman juga penting sebab bagaimanapun kebutuhan sebagai makhluk sosial harus dipenuhi.
Satu lagi, menjaga kesehatan pikiran. Dengan terus menggunakan otak untuk berpikir yang bermanfaat, menambah pengetahuan, berbagi ilmu kita akan terus "hidup". Karena itu, banyak lansia tetap sehat di masa tuanya karena selalu mengasah pikirannya, tidak membiarkannya diam.
Penutup
Sebenarnya menjaga kesehatan itu tidak sesulit yang dibayangkan. Tidak perlu pula makanan mewah atau peralatan mahal. Mulailah dengan langkah kecil setiap hari. Jika memikirkan segala manfaat yang bisa diraih dan kegiatan yang dilakukan dengan tubuh, mental, dan pikiran yang sehat, kita akan lebih mudah untuk berubah menjadi lebih baik.Oleh karena itu, seharusnya ungkapan yang tepat, bukan "Sakit itu mahal!", melainkan "Sehat itu mahal!". Mahal bukan diukur dengan uang, tetapi dengan keberdayaan diri saat sehat. Yuk, kita ubah cara berpikir kita dan mulai jaga kesehatan sejak sekarang!
Thursday, October 21, 2021
Mencapai Ketahanan Pangan melalui Bank Makanan
Bank makanan di Belanda
Bank makanan dan ketahanan pangan Indonesia
Penutup
Dalam Islam, Allah Swt. akan membalas sekecil apa pun kebaikan yang kita lakukan meski misalnya, hanya sebagai supir armada distribusi paket dari bank makanan atau sesimpel menyumbangkan uang hasil jualan seperti KMD. Karena itu, jangan pernah berpikir apa yang kerjakan itu tidak berarti dalam upaya mencapai ketahanan pangan Indonesia.
Teruslah menjadi pelaku kebaikan apa pun bentuknya, di mana pun berada. Tebarkan kebaikan dan ajak orang lain untuk sama-sama berbuat baik. Bagaimanapun kebaikan yang terhimpun akan lebih berdampak dibandingkan yang sendirian. Setuju, kan?
Tuesday, September 28, 2021
Hoaks dan Melek Literasi Digital
Sebagai penerima informasi, seringkali kita sulit untuk membedakan mana hoaks dan bukan. Banyak juga yang mudah percaya dan merasa penting untuk meneruskannya kepada orang lain. Terutama jika ada redaksi semacam ini di bagian akhir, "Jika Anda merasa informasi ini bermanfaat, bagikan kepada orang terdekat yang Anda cintai," (sounds familiar?). Saya jamin batin kita bergejolak, bimbang--meski sedikit--dalam menentukan apakah akan mengikuti perintah atau tidak. Lebih menyeramkan lagi saat ada embel-embel, "Kalau tidak, Anda akan sial." Duh!
Sebenarnya salah satu trik untuk mengetahui kebenaran suatu informasi adalah dengan mengecek keterangan sumber yang seharusnya tertera. Kalau tidak ada atau tidak jelas sumbernya, kita tidak perlu membuang energi, bahkan untuk membacanya. Trik lain adalah dengan mengetik nama-nama yang biasanya menjadi sumber rujukan informasi di mesin pencari. Apakah yang bersangkutan bukan fiktif dan benar berkompeten di bidang yang dimaksud? Kita juga bisa membuka situs https://turnbackhoax.id/ atau menggunakan aplikasi Awas Hoax untuk mengecek kebenaran suatu berita.
Melek literasi digital
Kemampuan untuk memahami informasi yang diberikan media, baik secara implisit ataupun eksplisit adalah salah satu prinsip literasi digital. Menurut Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, literasi digital adalah kecakapan menggunakan media digital dengan beretika dan bertanggung jawab untuk memperoleh informasi dan berkomunikasi.
Dalam buku Peran Literasi Digital di Masa Pandemik (2021) (dikutip oleh kompas.com), Devri Suherdi menjabarkan pengertian kecakapan, yakni kemampuan untuk menemukan, mengerjakan, mengevaluasi, menggunakan, membuat serta memanfaatkannya dengan bijak, cerdas, cermat serta tepat sesuai kegunaannya. Oleh karenanya, keterampilan mengoperasikan media digital saja tidak cukup untuk dikatakan melek literasi digital. Perlu perangkat lunak bernama etika dan tanggung jawab yang turut menyertainya.
Dalam menyikapi tantangan literasi digital berupa arus informasi yang banyak, kita dituntut untuk bijak. Sifat kritis dalam mencari, menemukan, memilah serta memahami informasi yang benar dan tepat menjadi hal yang krusial. Mau tidak mau kita mengedepankan sifat skeptis sebagai filter pertama saat menerima informasi baru. Sifat kritis juga membantu kita untuk membedakan konten positif dari negatif. Konten negatif yang berisi isu pornografi, SARA, dll adalah tantangan literasi digital yang lain.
Penutup
Pesatnya perkembangan media digital--terutama di masa pandemi, saat semua aktifitas bergantung pada media digital--memang satu hal yang patut disyukuri. Pertukaran informasi bisa terjadi dalam hitungan detik saja. Kejadian di satu belahan dunia akan segera diketahui orang di belahan dunia lain tanpa perlu menunggu tajuk berita di koran esok pagi. Artinya, dunia bergerak sangat dinamis. Namun, konsekuensinya kita harus senantiasa mengasah sifat kritis agar tidak mudah hanyut oleh arus informasi yang banyak (dan sebagian di antaranya menipu alias hoaks).
Jadi, siapkah kita untuk melek literasi digital?
Tuesday, September 21, 2021
Mengenalkan Alam, Memupuk Literasi Sains
Di dalam konsep Pendidikan Berbasis Fitrah--saya belum menyebut diri praktisi sebab baru menerapkan sedikit saja--titik tekan untuk anak usia 0-6 tahun adalah menumbuhkan fitrah keimanan. Di rentang usia ini anak harus sebanyak mungkin dikenalkan dengan Allah Swt. sebagai Rabb (pencipta) dan dibuat kagum dengan Tuhannya.
Bagaimana caranya? Salah satunya adalah dengan mendekatkannya dengan alam. Mengutip kata Ilma Dina dari Hannah Indonesia, alam adalah works of Allah, sedangkan Al-Qur'an adalah words of Allah. Anak-anak belajar mengenal keagungan Allah Swt. melalui hasil ciptaan-Nya, yakni segala sesuatu yang ada di alam semesta ini. Anak belajar membaca alam, mengenali tanda-tanda alam, serta mengagumi keindahan dan keunikan alam. Semuanya bertujuan untuk menumbuhkan keimanan kepada Allah Swt.
Bukanlah kebetulan jika hal tersebut sejalan dengan upaya yang sedang digaungkan pemerintah melalui Gerakan Literasi Nasional. Menurut OECD (2016), literasi sains--satu di antara enam jenis literasi yang harus dikuasai anak--berarti pengetahuan dan kecakapan ilmiah untuk mampu mengidentifikasi pertanyaan, memperoleh pengetahuan baru, menjelaskan fenomena ilmiah, serta mengambil simpulan berdasar fakta, memahami karakteristik sains, kesadaran bagaimana sains dan teknologi membentuk lingkungan alam, intelektual, dan budaya, serta kemauan untuk terlibat dan peduli terhadap isu-isu yang terkait sains. Dengan mendekatkan anak dengan alam untuk menumbuhkan fitrah keimanan, sesungguhnya kita juga sedang memupuk literasi sains pada anak usia dini.
Tentunya karena subjeknya adalah anak-anak, pendekatan yang diambil haruslah yang menarik dan menyenangkan. Yang paling mudah adalah mengajak mereka untuk langsung bersentuhan dengan alam. Siapa guru yang lebih baik kalau bukan alam itu sendiri? Tidak perlu jauh-jauh. Kita bisa mulai dari halaman depan atau belakang rumah, teras, bahkan dari selembar kapas basah untuk menaruh butiran kacang hijau. Jika ingin melangkah lebih jauh, kita bisa melakukan kegiatan trekking (penjelajahan alam) seperti yang kami lakukan akhir pekan lalu bersama rombongan Ikatan Alumni ITB Belanda.
Di era digital--apalagi pandemi--sekarang ini, upaya mengenalkan alam dapat dilakukan juga melalui kelas virtual. Saya merekomendasikan kelas dari @terangkids yang diadakan setiap hari Sabtu sore WIB. Waktunya yang ramah dengan waktu Eropa membuat kami bisa mengikuti kelasnya. Setiap tema dibawakan dengan cara yang menarik. Apalagi sang pembawa acara senantiasa mengembalikan semua kekaguman terhadap alam dan isinya kepada Allah Swt.
Seseru apapun kelas virtual ataupun video yang kita bisa tonton di YouTube, jangan lupakan buku sebagai sumber ilmu yang utama, ya. Apalagi sekarang banyak buku pengenalan sains untuk anak usia prasekolah yang disertai dengan ilustrasi menarik. Orang tua juga bisa ikut belajar bersama anak. Jangan-jangan keduanya sama-sama belum tahu (eh, itu sih saya).
Bagi sesama orang tua, selamat menstimulasi literasi sains sejak dini! Niscaya fitrah keimanan akan ikut tumbuh jika kita selalu menghubungkannya dengan Allah Swt. Sang Maha Pencipta. Ibarat pepatah "sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui", ya, kan?
Tuesday, September 14, 2021
Tidak Sekadar Bisa Matematika
Begitu juga untuk pembagian sederhana, pokoknya hafalkan dulu. Setelah hafal, barulah kita belajar cara pembagian menggunakan kurung. Deretan angka kita tuliskan sampai bertingkat-tingkat--tidak mau kalah dengan perkalian puluhan atau ratusan yang juga berlapis tersusun ke bawah.
Apakah ada yang salah dengan pembelajaran matematika dasar kita dulu? Di sekolah kita terlalu terpaku dengan angka-angka, soal, dan cara penyelesaiannya seperti yang ada di buku teks. Semuanya ada di atas kertas, bukan di dunia nyata. Jangan heran kita bingung saat melihat resep dalam cc sedangkan skala gelas ukur kita dalam ml. Seberapa banyak kita harus menuang?
Saya tidak mengetahui seperti apa pengajaran matematika dasar sekarang ini. Semoga saja sudah lebih baik, alias nyata diterapkan di dalam kehidupan sehari-hari. Bagaimanapun apa fungsinya mengerti penyelesaian soal matematika kalau tidak berguna untuk memecahkan masalah praktis dalam konteks kehidupan sehari-hari? Bukankah itu yang dimaksud dengan literasi numerasi?
Menurut Gerakan Literasi Nasional yang dicanangkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 2017, literasi numerasi adalah bagian dari matematika. Karena sifatnya yang praktis, literasi numerasi juga mencakup bidang lain di luar mata pelajaran matematika. Sebagai contoh, literasi numerasi diterapkan untuk membuat grafik perubahan suhu saat pemanasan air di mata pelajaran IPA, diagram kue profil demografi penduduk di mata pelajaran IPS, atau tabel pemasukan dan pengeluaran di mata pelajaran ekonomi. Semuanya tentu membutuhkan dasar matematika. Karena itu, seharusnya siswa tidak lagi menganggap pelajaran matematika sebagai momok. Wong, untuk menghitung uang saja perlu kemampuan matematika.
Jika kita melihat hasil penilaian Programme of International Student Assessment (PISA) 2018 untuk kemampuan matematika siswa di pendidikan menengah, Indonesia menempati urutan 72 dari 78 negara. Skornya rendah sekali, yakni 379, di bawah rata-rata 489. Yang lebih menyedihkan, skor tersebut hampir sama dengan skor yang diperoleh 18 tahun sebelumnya. Artinya, dalam kurun waktu hampir 20 tahun--catat, 20 tahun!--tidak ada peningkatan berarti perihal kemampuan matematika. Bagaimana dengan kemampuan baca tulis dan sains? Sami mawon alias sama saja. Wajar karena ketiganya membutuhkan logika berpikir yang baik dan nalar yang terasah.
Dengan literasi numerasi--juga berlaku untuk literasi di bidang lain--yang baik, kualitas hidup seseorang akan meningkat. Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) menyebutkan kemampuan numeral yang bagus melindungi seseorang dari pengangguran, penghasilan rendah, dan kesehatan buruk. Bagaimana tidak? Mulai dari kehidupan sehari-hari di rumah ataupun di pekerjaan, hingga kehidupan bermasyarakat dan bernegara membutuhkan literasi numerasi. Ibaratnya, mulai dari urusan dapur hingga urusan pemilu terkait dengan kemampuan numeral. Belum lagi yang beken saat pandemi: data berupa grafik pasien positif dan meninggal karena Covid-19. Sekarang kita bisa berasumsi bahwa orang yang masih abai dengan Covid-19 itu mungkin adalah termasuk yang berkemampuan numeral rendah!
Melalui tulisan ini saya mengajak pembaca sekalian untuk bersama mendukung Gerakan Literasi Nasional. Berbicara dari sudut pandang orang tua, upaya kita dapat berupa penyediaan bahan bacaan terkait kemampuan numeral. Jangan hanya dipajang, tetapi juga dibaca, ya! Selain itu kita dapat mulai memasukkan unsur literasi numerasi selama membersamai anak. Banyak hal yang bisa dilakukan, misal berhitung sederhana untuk anak usia dini, menimbang dan mengukur bahan masakan, membandingkan berat dan panjang benda, memperkirakan jarak tempuh, dll.
Semoga dengan menyemai literasi numerasi dan literasi lainnya sejak kecil, anak-anak kita menjadi generasi masa depan Indonesia yang gemilang. Bisa jadi mereka menjadi penyumbang skor tinggi dalam tes PISA kelak. Mungkin saja, kan?
Sumber:
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2017. Materi Pendukung Literasi Numerasi, Gerakan Literasi Nasional, diakses tanggal 12 September 2021.
Tuesday, August 31, 2021
Katakan Tidak Untuk Plagiarisme
Di bulan pertama tahun 2014 silam, publik Jepang dihebohkan oleh tembusnya dua artikel ilmiah milik ilmuwan Jepang ke Nature, salah satu jurnal paling bergengsi di bidang sains dan teknologi. Sudah merupakan rahasia umum bahwa yang bisa menerbitkan artikel di sana akan langsung naik kelas, bersanding bersama jajaran ilmuwan top notch dunia. Apalagi topiknya "seksi": sel biasa dapat diubah menjadi sel punca (stem cell) dengan perlakuan stres. Sel-sel ini dinamakan STAP (stimulus-triggered acquisition of pluripotency). Keberhasilan metodenya memberikan harapan akan terwujudnya terapi sel punca untuk kepentingan medis.
Tidak hanya perihal artikel itu sendiri, publik Jepang terkesima oleh sosok peneliti yang menjadi penulis pertama, Haruko Obokata. Sebagai seorang wanita, dia laksana berlian di tengah dominasi peneliti pria di Jepang. Semua kualitas baik tampak berkumpul padanya: cerdas, stylish, cantik, tetapi tetap santun khas orang Jepang. Siapa yang tidak dibuat iri bin kagum olehnya?
Namun, lampu sorot media hanya bertahan sebulan saja. Di bulan kedua, laporan soal kejanggalan artikel tersebut mulai terkuak. Tidak ada yang bisa mereproduksi sel yang dimaksud, meski sudah mengikuti prosedur yang dijelaskan di dalam artikel—reproducibility adalah syarat mutlak suatu hasil penelitian diterima oleh masyarakat ilmiah.
Tim investigasi pun dibentuk. Bersamaan dengan itu, ada pihak yang melaporkan bahwa dua gambar yang dicantumkan di dalam artikel ternyata diambil dari tesis PhD Obokata di Universitas Waseda. Lebih parahnya lagi, di tesis tersebut Obokata menyalin dan menempel satu paragraf panjang tentang karakteristik sel punca dari situs National Health Institute.
Tiga bulan setelah investigasi dimulai, Obokata dituduh melakukan plagiarisme, pemalsuan gambar, dan fabrikasi data. Nature menarik kedua artikel milik Obokata dan Universitas Waseda mencabut gelar PhD-nya. Skandal ini tidak hanya memukul Obokata yang kemudian dirawat karena depresi, kepala bagian yang menaungi laboratorium Obokata juga menanggung malu dan memilih gantung diri di tangga kantornya—sebuah akhir yang mengenaskan dari suatu penelitian prestisius.
Bagaimana dengan di Indonesia?
Di sekitar periode waktu yang sama—kebetulan yang aneh—tepatnya bulan Februari 2014, dunia akademis Indonesia diguncang oleh kabar penjiplakan yang dilakukan oleh Anggito Abimanyu, dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada. Artikel Abimanyu berjudul "Menggagas Asuransi Bencana" di kolom Opini Kompas dinilai menjiplak tulisan Hotbonar Sinaga berjudul "Gagasan Asuransi Bencana" yang terbit tahun 2006 di media yang sama. Tuduhan plagiarisme ini berhembus setelah muncul sebuah artikel di Kompasiana yang mempertanyakan hal tersebut.
Selain meminta maaf secara langsung kepada Sinaga, sebagai bentuk komitmen menghargai kejujuran, Abimanyu mengundurkan diri sebagai dosen FEB UGM. Walaupun demikian, dia tidak benar-benar mengakui telah melakukan plagiarisme—seperti halnya Obokata—melainkan akibat kelalaian menyimpan fail di komputer semata—sebuah keteledoran remeh, tetapi fatal.
Plagiarisme
Dari dua kasus di atas, apa kesamaannya? Ya betul, keduanya terlibat plagiarisme!
Apa sih, plagiarisme? Menurut KBBI daring, plagiarisme (n) berarti penjiplakan yang melanggar hak cipta. Adapun plagiat (n) adalah pengambilan karangan (pendapat dan sebagainya) orang lain dan menjadikannya seolah-olah karangan (pendapat dan sebagainya) sendiri, misalnya menerbitkan karya tulis orang lain atas nama dirinya sendiri, jiplakan. Pelakunya disebut plagiator bukan gladiator.
Menurut Peraturan Menteri Pendidikan RI Nomor 17 Tahun 2010, “Plagiat adalah perbuatan sengaja atau tidak sengaja dalam memperoleh atau mencoba memperoleh kredit atau nilai untuk suatu karya ilmiah, dengan mengutip sebagian atau seluruh karya dan atau karya ilmiah pihak lain yang diakui sebagai karya ilmiahnya, tanpa menyatakan sumber secara tepat dan memadai.”
![]() |
Ilustrasi plagiarisme (sumber: Freepik) |
Kita bahas teorinya dulu, ya.
Ruang lingkup plagiarisme
Untuk menilai apakah tindakan kita termasuk plagiarisme atau bukan, kita perlu mengetahui cakupannya. Situs wikipedia.com memaparkan ruang lingkup plagiarisme yang diambil dari buku Bahasa Indonesia: Sebuah Pengantar Penulisan Ilmiah karya Utorodewi, dkk (2007). Suatu perbuatan dikatakan plagiarisme jika:
- mengakui tulisan orang lain sebagai tulisan sendiri,
- mengakui gagasan orang lain sebagai pemikiran sendiri,
- mengakui temuan orang lain sebagai kepunyaan sendiri,
- mengakui karya kelompok sebagai kepunyaan atau hasil sendiri,
- menyajikan tulisan yang sama dalam kesempatan yang berbeda tanpa menyebutkan asal usulnya,
- meringkas dan memparafrasekan (mengutip tak langsung) tanpa menyebutkan sumbernya, dan
- meringkas dan memparafrasekan dengan menyebut sumbernya, tetapi rangkaian kalimat dan pilihan katanya masih terlalu sama dengan sumbernya.
Sebagai tambahan, menurut Panduan Anti Plagiarism—harusnya antiplagiarisme, wkwk—yang diterbitkan oleh Perpustakaan Universitas Gadjah Mada, plagiarisme juga mencakup:
- mengutip kata-kata atau kalimat orang lain tanpa menggunakan tanda kutip dan tanpa menyebutkan identitas sumbernya,
- menggunakan gagasan, pandangan atau teori orang lain tanpa menyebutkan identitas sumbernya,
- menggunakan fakta (data, informasi) milik orang lain tanpa menyebutkan identitas sumbernya,
- menyerahkan suatu karya ilmiah yang dihasilkan dan/atau telah dipublikasikan oleh pihak lain seolah-olah sebagai karya sendiri.
Wah, ternyata luas juga, ya. Karena itu, dalam menghasilkan karya tulis, seseorang harus ekstra hati-hati supaya tidak terpeleset ke dalam plagiarisme. Yang tidak sengaja saja dilarang, apalagi yang sengaja. Ya, kan?
Tipe-tipe plagiarisme
Ada beberapa tipe plagiarisme. Saya mengambil dari artikel daring di kajianpustaka.com berjudul "Pengertian, Jenis dan Identifikasi Plagiarisme" yang mengutip buku Plagiarisme: Pelanggaran Hak Cipta dan Etika karya Soelistyo (2011). Empat tipe yang disebutkan di sana adalah:
Plagiat ide (Plagiarism of ideas). Karena ide bersifat abstrak, tipe plagiat ini relatif sulit dibuktikan. Lagipula bisa saja, kan, dua orang memiliki ide yang sama dalam satu waktu?
Plagiat kata demi kata (Word for word plagiarism). Pada tipe ini, penulis menjiplak persis kata-kata dari karya orang lain tanpa menyebutkan sumbernya. Biasanya hal ini terjadi dalam penulisan karya ilmiah. Ada yang merasa pernah melakukannya?
Plagiat sumber (Plagiarism of source). Penulis tidak menyebutkan secara lengkap dan jelas sumber yang dijadikan rujukan. Jika mengutip dari karya orang lain (penulis kedua) yang dia juga mengutip dari karya penulis lain (penulis pertama), nama penulis pertama juga wajib disebutkan. Ini bagian dari etika juga sih, sebenarnya.
Plagiat kepengarangan (Plagiarism of authorship). Tipe ini paling tidak tahu diri, menurut saya. Penulis dengan sadar dan sengaja mengakui karya orang lain sebagai karyanya.
Pola plagiarisme
Di dalam buku yang sama, juga disebutkan beberapa pola plagiarisme. Apa saja?
Plagiarisme total
Plagiarisme parsial
Autoplagiarisme (self plagiarism)
Plagiarisme antarbahasa
Maksud nomor satu dan dua sudah bisa ditebak lah, ya. Plagiarisme total berarti penulis menjiplak karya tulis orang lain seluruhnya dan mengakui itu sebagai karyanya. Kebangetan nggak, tuh? Teganya … teganya … teganya ….
Dalam plagiarisme parsial, penulis (hanya) mengambil sebagian dari karya orang lain. Itu bisa berupa pernyataan, landasan teori, sampel, metode analisis, pembahasan, dan atau kesimpulan tertentu tanpa menyebutkan sumbernya. Bisa dikatakan, pada umumnya penulis masuk ke dalam kategori ini.
Nah, bagaimana dengan nomor tiga dan empat? Menurut saya, autoplagiarisme adalah tipe plagiarisme yang paling "halus”. Penulis mungkin melakukannya dengan alasan, "Itu kan tulisanku juga. Masa' nggak boleh disalin-tempel", padahal ternyata tindakan itu sudah termasuk plagiarisme. Walaupun terkesan janggal saat menuliskan nama sendiri sebagai sumber referensi, penulis harus tetap melakukannya.
Membaca penjelasan tipe plagiarisme yang terakhir membuat saya mempertanyakan diri sendiri. Jangan-jangan saya pernah melakukannya. Plagiarisme antarbahasa terjadi bila kita menerjemahkan karya tulis dalam bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia tanpa menyebutkan sumbernya. Berhubung biasanya referensi yang saya pakai berbahasa Inggris, bisa jadi dulu saya pernah lalai menuliskan sumbernya.
![]() |
Ilustrasi plagiarisme (sumber: Freepik) |
Plagiarisme: pelanggaran hukum (hak cipta) dan etika
Plagiarisme rentan terjadi di dunia akademis. Alasannya, dalam penulisan karya ilmiah, seseorang pasti membutuhkan referensi. Makin kaya referensi yang dipakai, akan makin bagus. Namun, bukan berarti boleh comot sana sini, termasuk mencomot hasil karya sendiri.
Sampai di sini, kita tentu setuju bahwa plagiarisme adalah bentuk pembajakan karena membajak berarti mengambil hasil ciptaan orang lain tanpa sepengetahuan dan seizinnya (KBBI daring, 2021). Karenanya, plagiarisme pastilah melanggar hukum sebagaimana tindakan pembajakan di bidang lain. Tidak tanggung-tanggung, menurut Undang-undang No. 20 tahun 2003 sanksi bagi lulusan yang karya ilmiah yang digunakannya untuk mendapatkan gelar akademik, profesi, atau vokasi terbukti merupakan jiplakan adalah pidana penjara paling lama dua tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Selain itu, ada juga Peraturan Menteri Nomor 17 Tahun 2010 yang mengatur sanksi bagi mahasiswa yang terbukti melakukan tindakan plagiat. Sanksinya mulai dari tingkat ringan, berupa teguran, hingga berat, berupa pemberhentian tidak dengan hormat dari status sebagai mahasiswa. Untuk mahasiswa yang telah lulus, ijazahnya akan dibatalkan. Sanksi lebih lengkapnya sebagai berikut:
Teguran
Peringatan tertulis
Penundaan pemberian sebagian hak mahasiswa
Pembatalan nilai
Pemberhentian dengan hormat dari status sebagai mahasiswa
Pemberhentian tidak dengan hormat dari status sebagai mahasiswa
Pembatalan ijazah apabila telah lulus dari proses pendidikan.
Nah, mungkin yang agak berbeda dengan pembajakan pada umumnya, di samping melanggar hukum, plagiarisme juga melanggar etika yang dijunjung tinggi di dunia akademis: kejujuran. Sains dan teknologi itu jujur. Semua fakta dijabarkan dan boleh diuji oleh siapa saja. Bahkan dalam konteks artikel ilmiah, metode yang ditulis harus jelas dan dapat diulang oleh pihak lain untuk memberikan hasil serupa. Maka dari itu, adalah hal yang wajar—dan memang sudah semestinya—kita mendengar seseorang mengundurkan diri dari jabatannya karena terlibat kasus plagiarisme. Well, untuk ukuran orang Jepang sih, salah satu solusinya adalah bunuh diri—seperti dalam skandal Obokata—karena tidak kuat menanggung malu.
Alasan melakukan plagiarisme
Kalau sudah tahu bahwa plagiarisme itu adalah sebuah pelanggaran hukum dan etika, mengapa masih ada saja orang yang melakukannya?
Pertanyaan ini harusnya dijawab dengan survei, hehe …, tetapi berdasarkan Panduan Anti Plagiarism Perpustakaan UGM, ada beberapa faktor pendorong plagiarisme.
Terbatasnya waktu untuk menyelesaikan karya tulis—alias dikejar deadline. Makanya jangan suka menunda-nunda! #selftoyor
Rendahnya minat membaca dan menganalisis referensi. Jangan males baca, woy! #pasangikatdikepala.
Kurangnya pemahaman tentang kapan harus mengutip dan caranya. Ada nggak sih di matkul TTKI?
Kurangnya perhatian guru atau dosen terhadap plagiarisme. Hmm … mungkin perlu ada kelas khusus untuk staf pengajar? Supaya bukan cuma mahasiswa saja yang peduli, dosen juga.
Eh, poin keempat benar terjadi, lo. Salah satu hasil investigasi skandal Obokata mengungkap alasan Obokata melakukan penjiplakan. Katanya praktik tersebut umum di Waseda dan profesornya berkata," ... lagipula tidak ada yang akan membaca tesismu." Yah, walaupun ini benar adanya—dan kita juga mengalami, habis lulus langsung menyimpan skripsi di bawah bantal—bukan berarti perbuatan menyalin-tempel menjadi boleh.
![]() |
Ilustrasi plagiarisme (sumber: Freepik) |
Tips terhindar dari plagiarisme
Akhirnya kita sampai di bagian terakhir: tips supaya kita terhindar dari plagiarisme. Are you still with me?
Tips yang akan saya berikan sudah saya praktikkan sewaktu menulis tesis magister x (sensor) tahun yang lalu. Kami beruntung memiliki dosen yang sangat peduli tentang plagiarisme—terima kasih, Pak. Berikut adalah tipsnya:
Belajar cara mengutip yang benar. Pengutipan ada dua macam: langsung dan parafrase.
Pengutipan langsung artinya kita mengambil satu (atau lebih) kalimat tanpa mengurangi sedikitpun dari sumber aslinya. Gunakan dua tanda kutip dan cantumkan sumbernya.
Meski diperbolehkan, terlalu sering melakukan pengutipan langsung juga tidak bagus. Akan lebih baik jika kita melakukan parafrase. Parafrase adalah mengungkapkan ide orang lain dengan kata-kata kita sendiri tanpa mengubah esensi ide tersebut. Percaya, deh, ini butuh latihan.
Selalu cantumkan sumber yang kita pakai sebagai rujukan dengan baik dan benar, lalu tuliskan dalam daftar pustaka di bagian akhir. Ada beberapa gaya penulisan daftar pustaka. Pilih salah satu dan konsisten dengannya.
Nah, seringkali penulis lupa untuk menuliskan sumber yang lengkap di dalam daftar pustaka, padahal sudah mencantumkannya di bagian isi. Zaman S1 dulu, saya segera menulis semua keterangan di halaman daftar pustaka setelah mengutip di bagian isi. Repot bolak-balik, sih, tetapi wayahna, kata orang Sunda—alias, mau gimana lagi. Kemudian saat S2, saya menggunakan Mendeley, sebuah aplikasi pengelola kutipan dan daftar pustaka. Wow, it was really a game changer!
Walaupun saya tidak ingat persis—berhubung sudah sekian tahun berlalu—kurang lebih cara kerjanya sebagai berikut. Untuk yang pernah pakai Mendeley, tolong koreksi kalau ada yang salah, ya. Maklum laptop yang ada aplikasi itu sudah tewas jadi saya tidak bisa kroscek, wkwk ….
Pertama, kita unggah artikel yang kita mau di aplikasi. Nanti aplikasi bisa langsung mendeteksi judul, penulis, tahun penerbitan, nama jurnal. Kita bisa pilih gaya penulisan daftar pustaka yang kita inginkan. Kedua, menyinkronkan aplikasi dengan Microsoft Word. Dengan begini, setiap kita menulis nama sumber setelah mengutip, keterangan lengkapnya akan otomatis muncul di halaman daftar pustaka. Ketiga, memperbarui tampilan secara berkala.
Gunakan perangkat lunak pendeteksi plagiarisme, misalnya Turnitin. Dengan bantuan Turnitin, kita bisa tahu berapa persen plagiarisme karya tulis kita. Kita juga akan tahu di bagian mana, kesamaan/kemiripan terjadi. Canggih, deh.
Penutup
Pembajakan marak terjadi di sekitar kita. Meski ada hukum yang mengatur, penegakannya masih dipertanyakan, termasuk untuk plagiarisme. Apalagi untuk urusan skripsi atau tesis mahasiswa, siapa yang mau memeriksa satu persatu? Akhirnya semua dikembalikan kepada pribadi penulis untuk melakukan pencegahan dari awal. Penulis juga seyogianya mawas diri bahwa plagiarisme adalah satu bentuk pencurian dan pencurian dilarang baik dalam agama maupun secara hukum. Pelakunya akan merasa gelisah—jika nuraninya masih bersih. Dia juga pasti akan malu jika ketahuan—kok, nggak diperlihatkan oleh para koruptor, sih? Kan korupsi juga mencuri. #tanyakanpadarumputyangbergoyang #lalalalala.
Dengan semangat kemerdekaan di penghujung bulan Agustus, saya ingin mengajak teman-teman untuk senantiasa menghargai karya orang lain—baik sudah berwujud maupun masih dalam bentuk ide—dalam bidang apa pun, tidak hanya karya ilmiah. "Hidup Tanpa Bajakan", seperti tema Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog, adalah prinsip penting yang seharusnya kita miliki. Percaya, deh. Pembajakan tidak hanya merugikan orang lain, tetapi juga diri sendiri. Yuk, hidup tenang dengan mengatakan TIDAK untuk pembajakan!
Anonim. 2021. Plagiarisme. https://id.wikipedia.org/wiki/Plagiarisme, diakses tanggal 30 Agustus 2021.
Goodyear, D. 2016. The Stress test. https://www.newyorker.com/magazine/2016/02/29/the-stem-cell-scandal, diakses tanggal 29 Agustus 2021.
Istiana, P dan Purwoko. 2017. Panduan Anti Plagiarism. http://lib.ugm.ac.id/ind/?page_id=327, diakses tanggal 30 Agustus 2021.
Maharani, S. 2014. Dituding Plagiarisme, Anggito Mundur dari UGM. https://nasional.tempo.co/read/555008/dituding-plagiarisme-anggito-mundur-dari-ugm, diakses tanggal 30 Agustus 2021.
Riadi, M. 2019. Pengertian, jenis, dan Identifikasi Plagiarisme. https://www.kajianpustaka.com/2019/02/Plagiarisme.html, diakses tanggal 30 Agustus 2021.