Hoaks dan Melek Literasi Digital


Seiring dengan makin berkembangnya media digital dan terbukanya arus informasi pascareformasi 1998, kita mengenal istilah baru: hoaks. Sederhananya, hoaks adalah informasi bohong. Entah apa motif yang mendasari pembuat hoaks. Kemungkinannya mulai dari iseng belaka, hingga agenda tersembunyi ala intelejen untuk mengganggu kedamaian dan memecah persatuan--baginya kalau tidak ribut, tidak seru. Apalagi jika kita mengingat masa kampanye Pemilu Presiden yang lalu. Wah, segala macam informasi berseliweran di ruang-ruang obrolan grup, linimasa media sosial, juga portal berita daring, tanpa kita tahu kebenarannya. 

Sebagai penerima informasi, seringkali kita sulit untuk membedakan mana hoaks dan bukan. Banyak juga yang mudah percaya dan merasa penting untuk meneruskannya kepada orang lain. Terutama jika ada redaksi semacam ini di bagian akhir, "Jika Anda merasa informasi ini bermanfaat, bagikan kepada orang terdekat yang Anda cintai," (sounds familiar?). Saya jamin batin kita bergejolak, bimbang--meski sedikit--dalam menentukan apakah akan mengikuti perintah atau tidak. Lebih menyeramkan lagi saat ada embel-embel, "Kalau tidak, Anda akan sial." Duh!


Sebenarnya salah satu trik untuk mengetahui kebenaran suatu informasi adalah dengan mengecek keterangan sumber yang seharusnya tertera. Kalau tidak ada atau tidak jelas sumbernya, kita tidak perlu membuang energi, bahkan untuk membacanya. Trik lain adalah dengan mengetik nama-nama yang biasanya menjadi sumber rujukan informasi di mesin pencari. Apakah yang bersangkutan bukan fiktif dan benar berkompeten di bidang yang dimaksud? Kita juga bisa membuka situs https://turnbackhoax.id/ atau menggunakan aplikasi Awas Hoax untuk mengecek kebenaran suatu berita. 


Melek literasi digital 

Kemampuan untuk memahami informasi yang diberikan media, baik secara implisit ataupun eksplisit adalah salah satu prinsip literasi digital. Menurut Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, literasi digital adalah kecakapan menggunakan media digital dengan beretika dan bertanggung jawab untuk memperoleh informasi dan berkomunikasi. 


Dalam buku Peran Literasi Digital di Masa Pandemik (2021) (dikutip oleh kompas.com), Devri Suherdi menjabarkan pengertian kecakapan, yakni kemampuan untuk menemukan, mengerjakan, mengevaluasi, menggunakan, membuat serta memanfaatkannya dengan bijak, cerdas, cermat serta tepat sesuai kegunaannya. Oleh karenanya, keterampilan mengoperasikan media digital saja tidak cukup untuk dikatakan melek literasi digital. Perlu perangkat lunak bernama etika dan tanggung jawab yang turut menyertainya.  


Dalam menyikapi tantangan literasi digital berupa arus informasi yang banyak, kita dituntut untuk bijak. Sifat kritis dalam mencari, menemukan, memilah serta memahami informasi yang benar dan tepat menjadi hal yang krusial. Mau tidak mau kita mengedepankan sifat skeptis sebagai filter pertama saat menerima informasi baru. Sifat kritis juga membantu kita untuk membedakan konten positif dari negatif. Konten negatif yang berisi isu pornografi, SARA, dll adalah tantangan literasi digital yang lain. 


Penutup

Pesatnya perkembangan media digital--terutama di masa pandemi, saat semua aktifitas bergantung pada media digital--memang satu hal yang patut disyukuri. Pertukaran informasi bisa terjadi dalam hitungan detik saja. Kejadian di satu belahan dunia akan segera diketahui orang di belahan dunia lain tanpa perlu menunggu tajuk berita di koran esok pagi. Artinya, dunia bergerak sangat dinamis. Namun, konsekuensinya kita harus senantiasa mengasah sifat kritis agar tidak mudah hanyut oleh arus informasi yang banyak (dan sebagian di antaranya menipu alias hoaks). 


Jadi, siapkah kita untuk melek literasi digital?

Post a Comment

0 Comments