Bahas Bahasa



Kekayaan suku dan bahasa di Indonesia menyebabkan besar kemungkinan orang Indonesia tumbuh sebagai bilingual, trilingual, bahkan poliglot. Coba saja. Kita pasti bisa bahasa Indonesia—kalau tidak, kamu pasti sudah bingung sejak awal membaca paragraf ini. Kemudian, tidak jarang kita bisa berbahasa daerah, baik daerah asal orang tua maupun daerah tempat kita tinggal. Belum lagi bahasa Inggris yang kita pelajari di sekolah (dan di tempat les). Belakangan ini makin banyak sekolah di kota besar juga mengajarkan bahasa Mandarin kepada siswanya. Di samping itu, ada juga sekolah menengah atas yang menyediakan pelajaran bahasa asing lain, selain bahasa Inggris. Itu semua belum ditambah pendidikan nonformal di luar sekolah. Hebat, bukan?

Setiap orang pasti memiliki pengalaman menarik terkait bahasa. Karena itulah, komunitas Mamah Gajah Ngeblog (MGN) mengambil tema “Pengalaman Berbahasa Seumur Hidup” untuk Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan ini. Mau tahu cerita saya? Yuk, lanjutkan baca sampai akhir. 


Saat saya muda

Waktu kecil saya hanya bilingual: bahasa Indonesia dan Inggris. Meski sedikit mengerti bahasa Jawa (daerah asal ayah), saya tidak pernah punya keberanian untuk membalas, apalagi memulai percakapan. Alasannya tentu karena saya tidak mengerti pembagian kelas bahasa. Salah-salah nanti saya dipecat jadi cucu (bukan menantu seperti cerita Teh Dewi, seorang mamah gajah juga). 

Hubungan yang lebih payah terjadi antara saya dengan bahasa Aceh, daerah asal ibu. Kosa kata saya hanya seputar nama masakan—sayur pli’, timphan, pulut (eh, malah jadi lapar)—sebab itu yang penting saat pertemuan keluarga. Oh ya, satu lagi: eiu yang berarti “mau air kelapa” (e = mau, i = air, dan u = kelapa)—hasil pengajaran bahasa Aceh yang gagal oleh Nyakwa (uak). Karenanya, saya merasa sama sekali tidak layak untuk menghitung bahasa Jawa, terlebih bahasa Aceh sebagai bahasa yang saya kuasai. 

Di jenjang pendidikan menengah ada pelajaran bahasa Arab di sekolah saya. Walau sudah belajar selama enam tahun, saya harus mengakui tidak banyak yang membekas hingga sekarang. Kenapa, ya? Mungkin karena selain tidak dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari, pada dasarnya bahasa Arab itu, masyaallah, susah! Misalnya, untuk perubahan kata benda tunggal menjadi jamak, setidaknya ada tiga pola yang harus dipelajari. Dua pola merujuk pada jenis kata bendanya, maskulin atau feminin. Yang terakhir kurang lebih disebut "tak beraturan" karena tidak memiliki pola umum. Tentu ini lompatan besar dari bahasa Indonesia yang tinggal mengulang kata benda tunggal untuk membuatnya jadi jamak, juga dari bahasa Inggris yang tinggal menambahkan huruf "s" di akhir kata benda.

Indonesia memiliki 718 bahasa daerah! (Sumber: cafeberita)

Saat saya dewasa muda

Setidaknya sampai saya lulus kuliah sarjana dan melanjutkan proyek penelitian di kampus, saya merasa puas dengan bahasa Indonesia dan Inggris saja. Keduanya bisa membuat saya bertahan hidup di Kota Kembang selama lima tahun. Meski cukup lama tinggal di tanah Sunda, toh kemampuan berbahasa Sunda saya tidak serta-merta terdongkrak. Kata-kata andalan saya adalah punten, hatur nuhun, dan tentu saja, kiri payun, A! Selain itu, saya menyerap frase-frase ajaib, seperti ti payun (dari depan) saat teman saya permisi pulang duluan dan bade ka cai (mau ke air) untuk mengekspresikan hasrat buang hajat. 

Buat apa belajar bahasa Sunda kalau penghuni kampus gajah berasal dari antero nusantara?, pikir saya waktu itu. Apalagi dengan makin ramainya wisatawan lokal dari Jakarta yang memadati Bandung setiap akhir pekan, saya makin merasa tidak perlu bisa bahasa Sunda. Yang mengaku orang Bandung pun menggunakan “gua” dan “elu”—salah satu gegar budaya bagi saya yang biasa menggunakan “gue” dan “lo” di Jakarta—lengkap dengan nada khas orang Sunda. 

Eh, ternyata prinsip tersebut salah besar, Saudara sekalian. Bertahun-tahun kemudian kemampuan bahasa Sunda saya diuji karena … suami saya orang Sunda tulen! Ha-ha-ha. Duh, saya tersiksa setiap hadir di pertemuan keluarga suami. Kalau situasi itu adalah adegan komik, pasti ada ikon “R” di atas kepala saya sebagai tanda “Roaming”. Karena itu, mau tidak mau, demi alasan kekeluargaan, saya terpaksa sedikit-sedikit mengerti bahasa Sunda. Mungkin suatu saat nanti—jika ada dorongan keberanian yang lebih besar—saya akan mulai bercakap-cakap dalam bahasa Sunda. Mari kumpulkan keberanian!


Saat saya dewasa akhir

Awal mula

Saya merasa petualangan berbahasa saya justru dimulai saat saya belajar bahasa Jepang dalam rangka persiapan tes beasiswa. Memang tidak ada keharusan bisa bahasa Jepang sebagai salah satu syarat, tetapi saya mengambil inisiatif, berharap akan mendapat nilai plus karenanya. Bahasa Jepang menantang karena hurufnya bukan huruf Latin, melainkan hiragana, katakana, dan kanji. Ibaratnya, usaha yang saya berikan harus dikali dua agar bisa membaca dan menulis, selain mengerti tata bahasanya. 

Huruf hiragana dan katakana (Sumber: situs Kedutaan Besar Jepang di Indonesia)

Di hari ujian, saya dengan pede menjawab soal-soal yang diberikan. Ternyata kalau sama sekali buta bahasa Jepang, peserta ujian boleh meninggalkan ruangan setelah sepuluh atau lima belas menit—saya lupa persisnya—dengan kertas ujian yang masih kosong. Ujian bahasa Jepang tersebut berfungsi untuk menentukan kategori kelas bahasa Jepang di universitas tujuan nanti jika dinyatakan lulus. Tahu begitu, kan …. 

Alhamdulillah saya menginjakkan kaki di Jepang pada awal April 2009. Masa-masa itu merupakan salah satu pengalaman paling bersejarah dalam hidup saya karena untuk pertama kalinya saya pergi ke luar negeri. Sendiri pula, eh, maksud saya tanpa didampingi orang tua karena saya berangkat bersama 74 orang penerima beasiswa lainnya. 

Profesor saya yang terlalu yakin saya pasti bisa hanya memberikan alamat universitas dan nomor ruangan beliau. Pastinya beliau belum pernah ke Indonesia. Kalau sudah pernah, pasti beliau mempertimbangkan kebingungan saya saat harus membeli tiket kereta di mesin tiket. Bagaimana saya bisa sampai ke tempat tujuan jika tidak mengerti cara naik kereta dari bandara ke kota? Perlu dicatat, semuanya memakai tulisan Jepang. Waktu itu masih jarang tulisan Latin, apalagi bahasa Inggris digunakan di ruang publik. 

Untungnya teman seperjalanan saya dijemput oleh mahasiswa suruhan profesornya. Akhirnya kami bertiga (saya, teman satu lab orang Malaysia, dan teman dari Indonesia) dengan selamat tiba di kota tujuan. Berkat bantuan mahasiswa itu pula, kami bisa naik taksi dari stasiun ke universitas. Setidaknya adegan menarik koper melewati jalan licin bekas salju mencair tidak perlu terjadi.


Makin mahir

Saya belajar bahasa Jepang selama enam bulan pertama, sebelum perkuliahan dimulai, dan memutuskan untuk melanjutkannya hingga lulus magister dua tahun kemudian. Dari yang awalnya belajar hiragana dan katakana, saya naik tingkat belajar kanji. Saya ikut kelas tata bahasa dan percakapan. Selain itu, saya menjajal kemampuan dengan mengikuti ujian bahasa Jepang (JLPT) sampai dua kali, N3 dan N2, dan dua-duanya lulus! Sepertinya ada keajaiban sehingga saya bisa lulus N2 sebab banyak huruf kanji yang saya tidak tahu di bagian reading comprehension. Saya juga seperti alien di tengah peserta ujian yang mayoritas orang Cina. Jangankan yang berkerudung, yang wajah asing non-Cina saja bisa dihitung dengan jari.

Dengan kemampuan bahasa Jepang yang lumayan, saya mulai bisa berinteraksi dengan penduduk lokal di kehidupan sehari-hari, mulai bisa berpikir dalam bahasa Jepang, dan yang lebih penting, mulai bisa mengerti percakapan tokoh-tokoh dalam dorama! Rasanya seperti keluar dari gelembung yang selama ini melingkupi dan membatasi saya dari dunia luar.

Menulis dalam bahasa Jepang (Sumber: freepik.com)

Ada satu cerita menarik. Suatu malam saya sedang berjalan di dekat pertokoan. Saya lupa waktu itu ingin bertanya apa sampai saya menghentikan seorang pemuda yang kebetulan berpapasan. Belum juga saya membuka mulut, dia sudah menyilangkan kedua tangan di depan dadanya, sambil berkata. “Eigo DAME!” (English no good). Dia langsung ngeloyor pergi meninggalkan saya yang syok mendapati reaksi seperti itu. Hih, begitu amat. Padahal kan, saya hendak bertanya dalam bahasa Jepang. #cie #kibasjilbab

Sejak peristiwa itu saya makin sadar betapa orang Jepang secara umum (waktu itu) bisa dibilang antibahasa Inggris. Perkiraan saya, hal ini terkait dengan pelafalan kata bahasa Inggris yang sulit untuk lidah orang Jepang—sehingga membuat mereka kurang percaya diri. Bahasa Jepang tidak mengenal huruf “l” dan huruf mati, kecuali “n”. Karena itu, kata-kata bahasa Inggris yang diserap ke dalam bahasa Jepang seringkali membuat kita mengulas senyum. Misalnya, computer menjadi kon(m)pyu-ta, taxi menjadi takushi, dan ice cream menjadi aisukurimu

Sekarang coba tebak supermarket menjadi apa? Jawabannya adalah su-pa. Kok, bisa? Iya, karena terlalu panjang, orang Jepang senang menyingkat kata. Yang termasuk singkatan adalah eakon(g) untuk air conditioner dan depa-to untuk department store. Menarik, ya? 

Tidak hanya berbicara, kemampuan berbahasa Jepang saya sudah mencapai tingkat menulis pos blog (receh). Ya, walau hanya dua dan singkat-singkat, pos tentang hinamatsuri termasuk pos populer, lo. Entah karena apa. Pengetahuan saya tentang SEO masih jalan di tempat, nih. He-he-he.


Saat saya dewasa (lebih dari) akhir

Masih tentang bahasa Jepang

Kemampuan bahasa Jepang saya tidak hilang walau sudah pulang ke Indonesia, kembali lagi ke Jepang dua tahun kemudian (pos "ひな祭り" ditulis dalam periode ini) selama satu tahun, bahkan sampai detik ini. 

Tulisan nihon-go alias bahasa Jepang (Sumber: japanesestation.com)

Kadang kata-kata bahasa Jepang masih muncul di dalam kepala saya saat hendak merespon sesuatu. Meski terhitung sudah hampir empat tahun berada di Belanda, justru kata sumimasen lebih dulu ada di ujung lidah dibandingkan pardon yang berarti "permisi" dalam bahasa Belanda. Begitu pula ungkapan-ungkapan lain, seperti chigau yo saat ingin menegasikan perbuatan orang lain, dame (da) yo saat ingin melarang, atau wakarimashita/wakatta saat ingin menyatakan bahwa saya mengerti. 

Meski begitu tentu karena sudah tidak aktif memakainya, kemampuan berbicara saya menurun drastis. Suatu waktu saya bertemu orang Jepang di museum di Leiden. Awalnya dia bertanya asal saya, mungkin karena melihat wajah Asia saya. Saya sudah tahu sebelumnya bahwa dia orang Jepang dari percakapan dengan suaminya. Terdorong perasaan bersemangat saya mengatakan saya pernah tinggal di Jepang. Bisa ditebak, berikutnya dia mulai mengobrol dalam bahasa Jepang. Saya—walau mengerti yang dia katakan—kesulitan untuk meresponnya. I was searching for the right words, but it seemed they were buried somewhere beneath piles of memories in my head. Gemas banget, deh. Akhirnya saya kembali menjawab dengan bahasa Inggris. Wakwaw



Saat ini

Bagaimana dengan bahasa Belanda? Harusnya juga sudah mahir, dong. Percayalah, anak saya yang masih 5,5 tahun lebih fasih berbahasa Belanda daripada saya. Kalau mau diukur, kemampuan berbahasa Belanda masih level bayi baru lahir. Saya belajar kosa kata ya dari buku bacaan anak-anak. Sehari-hari setidaknya saya bisa menyapa goedemorgen/goiemorgen (selamat pagi), goedemiddag (selamat siang), dan goedeavond (selamat malam), selain tiga mantera bedankt/dank je wel (terima kasih), alstublieft (tolong), dan sorry (maaf). 

Penyerapan banyak kosa kata bahasa Indonesia dari bahasa Belanda membuat saya tidak merasa begitu asing dengan bahasa ini. Sebut saja gratis, korting, bon, parkir, telat, pernis, peron, sepur, dll. Hal ini wajar mengingat sejarah panjang bangsa Belanda di Indonesia. (Simak pengalaman Teh Deani, mamah gajah yang juga tinggal di Belanda).

Kesibukan sebagai ibu rumah tangga dengan tiga anak kecil membuat saya kesulitan untuk belajar bahasa Belanda di tempat kursus. Apalagi dengan pandemi setahun kemarin, praktis tidak ada yang mengadakan kursus luring. Untuk belajar mandiri secara daring, saya baru mencoba Duolingo dan merasa lebih sreg belajar langsung dari guru. 

Konon begini cara belajar bahasa Belanda (Sumber: dutch101.com)


Namun, alasan yang lebih mendasar adalah kemampuan bahasa Inggris orang Belanda yang keren—walau ini tidak sepenuhnya berlaku untuk orang-orang tua. Biasanya saya meminta mereka untuk mengulang perkataan dalam bahasa Inggris sambil meminta maaf dan beralasan saya tidak bisa bahasa Belanda. Mereka lantas akan berbicara dalam bahasa Inggris dengan jelas dan lancar! Perlu diketahui, dalam bahasa Belanda, huruf "g" dilafalkan "kh" seperti huruf "kha" dalam bahasa Arab, tetapi saat berbicara bahasa Inggris pelafalan mereka ikut berubah menjadi "g" layaknya dalam "gajah". Entah bagaimana pengajaran bahasa Inggris di sekolah—anak-anak baru belajar bahasa Inggris di SD kelas akhir—sampai orang Belanda bisa fasih bilingual seperti itu. 

Dengan masa tinggal saya di sini yang kurang dari satu tahun lagi, saya makin tidak bersemangat untuk belajar bahasa Belanda. Kecuali jika takdir Allah Swt. berkata lain, saya bisa bermukim lebih lama di sini, mungkin (mungkin, lo, ya) saya akan belajar bahasa Belanda dengan serius. Untuk saat ini, alles is goed


Penutup 

Menurut saya ungkapan “Kuasai bahasa, kuasai dunia” benar adanya sebab dengan makin banyak bahasa yang kita kuasai, makin besar peluang kita untuk berkomunikasi dengan orang asing dan mempelajari hal-hal baru. Namun demikian, jangan sampai kita lupa untuk berbahasa Indonesia. 

Saya yakin banyak di antara kita yang kerap abai dengan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Baik sesuai konteks dan benar sesuai kaidah kebahasaan. Kita sering beralasan. “Ah, yang penting orang lain mengerti,” padahal struktur kalimat yang diucapkan berantakan. “Kamu mau lihat apa?” dan “Apa yang mau kamu lihat?” bermaksud sama dan diterjemahkan sama ke dalam bahasa Inggris oleh Google Translate, “What do you want to see?” Sebenarnya dari dua, hanya satu yang benar. Kamu tahu yang mana? 

Karena bahasa ibu kita adalah bahasa Indonesia, sudah semestinya kita memberikan perhatian lebih. Bukan hanya sekadar menggunakannya sebagai alat komunikasi sehari-hari, tetapi juga mempelajari kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar serta menerapkannya dalam komunikasi lisan ataupun tulisan. Mengutip slogan Kemendikbud yang selalu disampaikan Ivan Lanin, seorang pakar bahasa Indonesia, di setiap akhir kelasnya, mari kita “Utamakan bahasa Indonesia, lestarikan bahasa daerah, kuasai bahasa asing.” 

Jadi, selamat mengakrabkan diri dengan KBBI dan PUEBI, ya! Ssst ... ada aplikasinya juga, lo!


Catatan:

Untuk yang belum tahu Ivan Lanin, cuss langsung follow akun Instagram dan Twitter @narabahasa atau buka situs www.narabahasa.id


Post a Comment

2 Comments

  1. Dulu di Jepang di kota mana, teh? Sensei saya pas di Tokyo juga gitu, terlalu pede saya bisa nyampe sendiri ke asrama dari bandara Narita. Kebetulan pas di bandara teman2 dari negara lain juga baru landing dan kami sama2 bawa Buku Hijau, buku panduan kami. Jadi ga bengong lama2 di narita, hehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. Dulu saya di Sapporo, Teh. Saya ga dikasih panduan apa2. Nerbener deh, kalo ga ada mahasiswa itu kami akan muter2 di bandara dulu, haha...

      Delete