Nasi Padang, My Luv



Bicara tentang makanan favorit sepanjang masa, saya perlu berpikir agak lama untuk menemukan jawabannya. Rasanya tidak ada yang benar-benar jadi favorit. Namun, kalau ditanya makanan yang paling ngangenin sepanjang masa (merantau), saya akan menjawab: nasi Padang!


Soal nasi Padang, saya rasa tidak berlebihan jika mengatakan makanan tersebut adalah hidangan universal ala Indonesia. Hal ini tentu berkat semangat merantau yang luar biasa dari orang Minang. Bahkan di daerah dengan mayoritas warga nonmuslim sekalipun, kita bisa menemukan rumah makan Padang sebagai pilihan aman (halal) untuk bersantap. Sungguh besar jasa orang Minang terhadap ketersebaran nasi Padang ke seluruh Indonesia. Salut!


Nasi Padang masuk dan diterima oleh segala lapisan masyarakat. Ia tersaji di rumah makan besar lengkap dengan ruangan ber-AC dan tempat parkir mobil yang luas hingga warung pinggir jalan dengan dua set meja makan saja. Ia bisa menjadi ningrat, tetapi bisa juga merakyat. Jika tak bisa makan di tempat, pesan saja untuk dibawa pulang. Niscaya porsinya membuat begah! 


Cara penyajian di restoran. Kita membayar apa yang kita makan saja. Semuanya menggiurkan, bukan? (Sumber gambar: John Orford di wikipedia.com)

Sayangnya imej merakyat ini tidak berlaku untuk para perantau di luar negeri. Nasi Padang menjadi hidangan (super) mewah yang untuk menyantapnya kita harus mengeluarkan usaha--dan uang--yang tidak sedikit. Itu pun kalau ada yang menjual.


Meski cukup banyak restoran Indonesia, hanya ada satu restoran Padang seantero Belanda, tepatnya di kota Den Haag. Untuk mencapainya dari rumah, kami harus menempuh kira-kira satu jam dengan kereta, dilanjutkan dengan berjalan kaki. Walau jauh, dengan niat yang kuat, kami bisa berangkat khusus ke Den Haag hanya untuk mencicipi sepiring nasi Padang komplit. Saking komplitnya, ada jengkol segala, lo! Sungguh, baru di Belanda saya mencoba biji buah pemicu love-hate relationship ini. Kok, mau, sih? Iya, karena harga seporsi menu tersebut €16.50 saja, Saudara sekalian, setara dengan tiga porsi doner kebab. 


Memasak sendiri? Oh, saya baru pertama kali membuat rendang untuk hidangan Idul Fitri yang lalu. Meski gembira dengan hasilnya, sepertinya saya akan menjadikannya makanan setahun sekali (atau dua kali karena ada dua lebaran) karena proses pembuatannya yang memakan waktu. Gara-gara melihat unggahan saya di Instagram story, seorang teman--orang Minang asli--sampai berbaik hati memberitahu saya tips memasak rendang ala Minang. Itu baru rendang, belum jenis lauk yang lain, maka saya memilih untuk menyerahkan kepada ahlinya saja.


Untungnya ada teman di kota tetangga, seorang keturunan Minang, yang membuka usaha katering rumahan. Nasi Padang buatannya, hmm ... lamak bana. Bahkan ayam panggangnya--salah satu lauk favorit saya--lebih enak daripada restoran di Den Haag itu, pastinya dengan harga yang lebih murah. Apalagi kami tidak perlu mengeluarkan ongkos. Sayangnya, karena sistemnya prapesan, saya tidak bisa setiap saat menikmati kelezatannya. Karena itu, setiap dia mengumumkan akan membuat menu nasi Padang, saya langsung gercep mengontaknya, demi memastikan dua porsi tersedia untuk kami. Berhubung dia merotasi menu dan tidak tiap minggu membuka pesanan, prapesan menu nasi Padang menjadi sesuatu yang amat kami nantikan. 


Saya jadi ingat dulu waktu hamil anak kedua dan masih beradaptasi dengan kehidupan di Belanda, saya benar-benar ngidam nasi Padang. Entah mengapa, padahal di bulan-bulan sebelumnya (juga di kehamilan pertama) bisa dibilang saya tidak pernah ngidam. Keinginan tersebut baru terwujud hampir satu tahun setelah bayi lahir. Terbayang dong, betapa terharunya saya saat menyuap rendang, dkk ke dalam mulut. Ha-ha-ha. 


Duh, membahas tentang nasi Padang itu seru. Ia memiliki tempat khusus di hati saya--sama seperti di hati Audun Kviland asal Norwegia pencipta lagu "Nasi Padang". Kalau saja bukan karena alasan kesehatan, rasanya makan setiap hari pun saya tidak akan bosan. Tambuah ciek!



(Sumber gambar banner: Gunawan Kartapranata di wikipedia.com


Post a Comment

0 Comments